Sabtu, 04 Juni 2016

Meneladani Sikap Kaum Muhajirin Dan Kaum Anshor

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya,

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:” آيَةُ الإِيْمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ وَآيَــةُ النِّفَاقِ بُعْضُ الأَنْصَارِ

dari Anas radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tanda keimanan adalah cinta kepada kaum Anshar. Dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar”. (HR. Al-Bukhari)‎

Hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya kitab al-Iman ‘bab tanda iman adalah cinta kaum Anshar’ (hadits no.17) dari gurunya yang bernama Abul Walid Hisyam bin ‘Abdul Malik al-Bashri. Beliau juga mengulang hadits tersebut melalui gurunya yang lain bernama Muslim bin Ibrahim di kitab Manaaqib al-Anshaar (sisi-sisi kebaikan kaum Anshar) bab Hubbu al-Anshaar (mencintai kaum Anshar) (hadits no.3783) dari Sahabat Anas bin Malik ‎radhiyallahu ‘anhu juga.

Asal-usul kaum Anshar

Istilah kaum ‘Anshar’ hanya melekat pada dua suku, Aus dan Khazraj yang tinggal menetap di Madinah. Sebelumnya, mereka dikenal dengan Bani Qailah. Qailah adalah ibu yang menyatukan mereka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam menamakan mereka dengan sebutan Anshar sebagaimana tertuang dalam hadits di atas (dan hadits lainnya) dan selanjutnya menjadi simbol nama yang melekat erat pada mereka.

Allah pun menyebut mereka dengan penamaan ini. Hal ini berdasarkan satu atsar dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang pernah ditanya oleh seseorang bernama Ghailan bin Jarir, “Tentang (nama) Anshar, apakah kalian menamakan diri kalian dengannya atau Allahlah yang menamakan kalian dengannya?”. Anas menjawab, “Bahkan Allahlah yang menamakan kami dengan sebutan Anshar”. (Shahih al-Bukhari no.3776).

‘Perkenalan’ mereka dengan Islam dimulai dengan terjunnya Rasulullah untuk mendakwahi kabilah-kabilah yang datang pada musim haji tahun 11 kenabian. Seruan dakwah yang disampaikan beliau kepada mereka tidak menemui hambatan. Sebagian mereka berkata kepada yang lain, “Kalian tahu tidak, demi Allah, ia adalah benar-benar nabi (akhir zaman) yang sudah disebut-sebut oleh kaum Yahudi. Janganlah kalian sampai didahului orang-orang Yahudi untuk mengimaninya”.

Pada musim haji tahun 12 dan 13 kenabian, terjadilah baiat (perjanjian setia) antara rombongan dari mereka dengan Nabi di Mina yang kemudian dikenal dengan Baiat ‘Aqabah Pertama dan Baiat ‘Aqabah Kedua. Ringkasnya, mereka menerima untuk bertauhid kepada Allah, tidak mencuri, tidak berzina dan tidak berbuat kedustaan, serta berjanji membela Nabi dan menyediakan tempat tinggal bagi beliau di Madinah.

Mengapa harus cinta kepada kaum Anshar?

Kata الأَنْصَارِ (al-Anshar) bentuk jamak dari kata نَاصِرٌ (naashir) yang bermakna penolong. Mereka itu penduduk Madinah yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammmad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjadi orang-orang yang menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Predikat mulia ini hanya melekat pada diri mereka saja karena mereka telah menyediakan tempat tinggal bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang yang datang berhijrah dari Makkah ke Madinah yang kemudian dikenal dengan kaum Muhajirin. Tidak itu saja, mereka juga memperhatikan keperluan-keperluan dan kebutuhan-kebutuhan hidup kaum Muhajirin dan dengan jiwa dan harta-benda mereka, serta lebih mengutamakan kepentingan kaum Muhajirin dalam banyak hal daripada diri kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri, walaupun mereka dalam kesulitan hidup dan membutuhkan. Demikian paparan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari(1/122).

Semua kemurahan hati dan pengorbanan itu mereka lakukan karena Allah Ta’ala, atas dorongan keimanan dan kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, tanpa pamrih duniawi, sedirham pun! Akhirnya, kaum Muhajirin menyatu dengan kaum Anshar di kota Madinah dengan kemudahan yang ditawarkan oleh kaum Anshar. Maka, Islam pun menyebar lebih luas dan kian kokoh saja. Dan para penganutnya kian bertambah dari hari-ke hari.

Allah Ta’ala telah memberitahukan tentang keutamaan kaum Anshar dalam al-Qur`an. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”. (QS al-Hasyr/59:9).

Dengan melihat paparan singkat keutamaan kaum Anshar, bukankah sangat beralasan bila mencintai kaum Anshar termasuk pertanda iman seorang Muslim. Dengan sesama saudara Muslim saja, kita harus saling mencintai dan menyayangi, apalagi terhadap kaum Anshar (dan Sahabat Nabi secara keseluruhan) yang jasa mereka amat besar bagi perkembangan Islam. Maka, tidak heran bila kecintaan kepada mereka termasuk tanda iman seseorang. Dan amat mengherankan bila ada orang yang membenci mereka itu, sehingga Nabi pun menyebut kebencian terhadap mereka sebagai salah satu tanda kemunafikan. Aneh khan kalo ada orang yang membenci insan-insan yang sudah mengorbankan apa saja yang mereka miliki untuk Allah dan RasulNya serta Islam. Padahal, Allah saja telah memuji dan meridhai mereka.

Persaudaraan Kaum Muhajirin dan Anshor 
Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla surat al-Hujurât/49 ayat 10, yang artinya: Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara. Konsekwensi dari persaudaraan itu, maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr. Persaudaraan antara kaum Muhajirîn dan kaum Anshâr yang deklarasikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki konsekwensi lebih khusus bila dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat umum.

Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang dihadapi kaum Muhajirîn di daerah baru.

Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum Anshâr tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshâr dengan pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshâr yang mengagumkan ini diabadikan di dalam Al-Qur`ân, surat al-Hasyr/59 ayat 9 :

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshâr) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).

Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah Radhiyallahu anhumenceritakan:

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali air”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshâr berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam !” Istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak”. Orang Anshâr itu berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung –Qs. al-Hasyr/59 ayat 9. [HR Bukhari]

Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshâr membantu saudaranya, namun permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak merasa sebagai benalu bagi kaum Anshâr. Disinilah tampak nyata pandangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang cerdas dan bijaksana. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr.

Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tempat deklarasi persudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin Mâlik,dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dua dua, satu dari Anshâr dan satu lagi dari Muhajirin.

Ibnu Sa’ad dengan sanad dari syaikhnya, al-Waqidi rahimahullah menyebutkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan mempersaudarakan antara kaum Anshâr dengan kaum Muhajirin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong, saling mewarisi setelah (saudaranya) wafat. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari 45 kaum Anshâr dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50 orang.

Imam Bukhâri meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah, kaum Muhajirin bisa mewarisi kaum Anshâr karena persaudaraan yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan dzawil-arhâm (kerabat yang bukan ahli waris) tidak.

Di antara contoh praktis buah dari persaudaraan yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu kisah ‘Abdurrahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu dengan Sa’ad bin Rabi’ Radhiyallahu anhu . Sa’ad Radhiyallahu anhu berkata kepada ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu : “Aku adalah kaum Anshâr yang paling banyak harta. Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa ‘iddahnya, engkau bisa menikahinya”.

Mendengar pernyataan saudaranya itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu menjawab: “Aku tidak membutuhkan hal itu. Adakah pasar (di sekitar sini) tempat berjual-beli?”

Lalu Sa’ad Radhiyallahu anhu menunjukkan pasar Qainuqa’. Mulai saat itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu sering pergi ke pasar untuk berniaga, sampai akhirnya ia berkecukupan dan tidak memerlukan lagi bantuan dari saudaranya.

Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berlanjut. Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara mencari nafkah, maka Allah Azza wa Jalla menggugurkan syariat waris-mewarisi dengan sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum mukminin. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. [al-Anfâl/8 : 75]

Dan firman-Nya :

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا

Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). [al-Ahzâb/33 : 6]
.
Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyebutkan, yang digugurkan adalah saling mewarisi, sedangkan tolong-menolong dan saling menasihati tetap disyariatkan. Dan dua orang yang telah dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk saudaranya. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah.

Di antara bukti yang menunjukkan persaudaraan ini terus berlanjut namun tidak saling mewarisi, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu dengan Abu Darda’ Radhiyallahu anhu . Padahal Salmân Radhiyallahu anhu masuk Islam pada masa antara perang Uhud dan perang Khandaq. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempersaudarakan antara Muawiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu dengan al-Hattât at-Tamîmi Radhiyallahu anhu . Juga antara Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu dengan Mu’adz bin Jabar Radhiyallahu anhu . Semua peristiwa ini terjadi setelah perang Uhud. Ini menunjukkan persaudaraan itu masih disyariatkan namun tidak saling mewarisi.

Pelajaran dan Hikmah
Sikap Abdurrahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu terhadap tawaran saudaranya, yaitu Sa’ad bin Rabi’ Radhiyallahu anhu , merupakan iffah atau menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta. Tampak kesiapan mental kaum Muhajirin untuk melakukan pekerjaan yang sanggup mereka lakukan.


MENELADANI SIKAP KAUM MUHAJIRIN DAN ASHAR

KEGIGIHAN KAUM MUHAJIRIN

Pengikut Nabi Muhammad SAW yang ikut hijrah dari Mekah ke Medinah disebut dengan Kaum Muhajirin. Kaum yang menempuh perjalanan di padang pasir yang sangat luas dan panas sekitar 500 km ini Jum’at, 12 Rabiul Awwal tahun 1 H / 27 September 622 M tiba di Yatsrib dan singgah di perkampungan bani An-Najjar yaitu di rumah Abu Ayyub.

Kaum Muhajirin disambut dengan baik oleh penduduk Yatsrib. Mulai saat itu Yatsrib namanya dirubah menjadi Madinatun Nabi, artinya kota Nabi, dan selanjutnya dikenal dengan kota Madinah.
Setelah kaum Muhajirin menetap di Madinah, Nabi Muhammad SAW mulai mengatur strategi untuk membentuk masyarakat Islam yang terbebas dari ancaman dan tekanan (intimidasi). Pertalian hubungan kekeluargaan antara penduduk Madinah (kaum Anshar) dan kaum Muhajirin dipererat dengan mengadakan perjanjian untuk saling membantu antara kaum Muslim dan non muslim. Nabi juga mulai menyusun strategi ekonomi., sosial, serta dasar-dasar pemerintahan Islam.

Kaum muhajirin adalah kaum yang sabar. Meskipun banyak rintangan dan hambatan dalam kehidupan yang menyebabkan kesulitan ekonomi, namun mereka selalu sabar dan tabah dalam menghadapinya dan tidak berputus asa.

Kaum Kafir Quraisy memboikot kepada kaum muslimin, mereka tidak mengeluh apalagi putus asa, sekalipun mereka sangat kesulitan dalam perekonomian, bahkan mereka tidak mempunyai bahan makanan yang dapat dimasak tetapi tetap sabar dalam menjalankan agamanya.

Kaum Muhajirin walau demikian tetap semangat dan gigih dalam mempertahankan akidah dan syari’at islam, sekalipun mereka dianiaya oleh kaum kafir, bahkan sampai meninggalpun mereka tetap mempertahankan agamanya. Mereka memiliki iman yang kuat dan taqwa kepada Allah SWT.

Kaum muhajirin sewaktu hendak melakukan hijrah, mereka diancam akan dibunuh oleh kaum kafir Quraisy, tetapi hijrah tetap dilaksanakan. Budak yang telah masuk Islam yaitu Bilal, Ia disiksa oleh kaum kafir Quraisy dengan siksaan yang dahsyat, ditelentangkan di pasir yang sangat panas, kaki dan tangan diikat, dicambuk dan badannya ditindih dengan batu yang sangat besar, namun ia tetap mempertahankan Islam

Kesabaran dan kegigihan kaum muhajirin sangat luar biasa. Setelah di Madinah, tantangan dan hambatan juga tidak sedikit. Ada tiga golongan yang dihadapi kaum Muhajirin yaitu:

1.     Para shabat yang merupakan orang-orang pilihan , mulia dan ahli kebajikan
2.     Kaum musrikin yang belum beriman sementara mereka berasal dari jantung kabilah-kabilah di Madinah.
3.     Orang-orang Yahudi

Problematika kaum muhajirin yang pertama yaitu terkait dengan kondisi Madinah yang berbeda dengan di Makah. Hidup sebagai orang yang tertekan, dihina dan terusir dari Makah. Problema peradaban dan pembangunan, problema kehidupan dan ekonomi, problema politik dan pemerintahan dan banyak problema lainnya. Ini merupakan problema besar yang dihadapi Rasulullah bersama kaum Muhajirin berkaitan dengan kaum muslimin sendiri.

Kaum Muhajirin tidak memiliki apa-apa bahkan keberadaannya mereka di Madinah berkat meloloskan diri. Mereka tidak memiliki tempat berlindung, tidak memiliki pekerjaan guna memenuhi hidup sehari-hari.

Ke dua yang menjadi problema yaitu orang-orang musyrikin Madinah ada yang menyimpan rasa dendam dan permusuhan terhadap Rasul & kaum Muhajirin, pura-pura masuk islam tetapi tetap menyimpan kekufuran, berbuat makar, pemanfaatan terhadap anak-anak kecil dan orang-orang lugu dari kalangan kaum muslimin sebagai kaki tangan didalam melaksanakan rencana busuk mereka.

Problema ke tiga yaitu orang-orang Yahudi yang selalu membangga-banggakan kebangsaannya dan selalu mengejek orang-orang arab dengan ejekan yang sangat keterlaluan sampai mereka menjuluki orang-orang arab sebagai Ummiyun (orang-orang yang buta huruf dalam artian orang yang primitif yang lugu dan kaum hina-dina yang terbelakang, mereka beranggapan harta orang arab halal bagi mereka, mereka bisa memakan atau memakainya sesuka mungkin, mereka menganngap sebagi orang-orang yang berilmu, memiliki keutamaan dan kepemimpinan spiritual, mereka pandai dalam berbisnis. Selain itu mereka tukang menyebarkan isu, menebarkan permusuhan diantara sesama kabilah sehingga perang berdarah terjadi diantara mereka.

Ada tiga kabilah Yahudi yang masyhur di kota Yatsrib yaitu Bani Qainuqa , Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Kabilah-kabilah ini yang selalu menyulut api peperangan antara suku Aus dan Khazraj . Kabilah-kabilah Yahudi ini selalu memandang kebencian dan dengki terhadap Islam.

Rasulullah SAW setelah di Madinah sebagai kaum Muhajirin dalam posisinya sebagai seorang Rasul, penunjuk jalan kebenaran, pemimpin dan komandan. Rasulullah SAW telah menyelesaikan problema-problema di Madinah dengan penyelesaian yang sangat bijak. Setiap kaum diperlakukan dengan kasih sayang tidak ada kekerasan dan siksaan.

Sebagai pelajar, banyak sekali perihal yang dapat kita teladani dari kaum muhajirin selain kegigihan, ketabahan, keperwiraan, kesabaran dan lain sebagainya, sikap suka membaca dan mempelajari serta mengamalkan Al Qur’an, sangat penting untuk kita ikuti dan teladani.

KAUM ANSHAR PENUH KEIKHLASAN DALAM TOLONG-MENOLONG

Orang-orang anshar ingin sekali menjumpai Rasulullah SAW dan pengikutnya dari Makah, banyak kaum anshar berada di pinggiran kota Madinah menunggu kedatangan Nabi dan pengikutnya .

Setelah Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya datang, dijemput dan disambut dengan suara takbir yang bergema di kota Madinah. Tokoh-tokoh Madinah berlomba-lomba menawarkan kesediaannya untuk mengayomi Rasulullah SAW beserta sahabatnya, dengan segala daya dan upaya sesuai dengan perlengkapan yang mereka miliki.

Kaum anshar selalu menerima dan mau berkorban untuk kaum muhajirin dan bahkan mereka bersedia dipersaudarakan dengan kaum muhajirin. Seperti Abdur Rahman bin Auf (kaum muhajirin) dipersadarakan dengan Saad bin Rabi’ (kaum Anshar). Dengan persaudaraan tidak ada perbedaan seperti nasab, warna kulit, asal daerah ataupun kebangsaannya.

Dengan persaudaraan itu maka perjuangan kaum anshar sangat besar terhadap pertolongan kaum muhajirin dan perkembangan islam yang berkelanjutan. Setelah terbentuk persaudaraan antara muhajirin dan anshar, maka kerjasama dan tanggung jawab dipikul bersama-sama.

Kaum anshar merupakan kaum yang menolong kaum muhajirin yang berdomisili di Madinah. Kaum Muhajirin sewaktu hijrah ke Madinah tidak membawa bekal yang cukup, apalagi memiliki rumah. Dengan pertolongan kaum Anshar, kaum Muhajirin dapat hidup dengan layak.

Kaum anshar sangat menghargai dan menghormati kaum muajirin. Kaum muhajirin yang datang dan menumpang ke keluarga anshar diterima dengan baik dan malah diberi sebagian hartanya, kaum muhajirin pun sangat menghargai keikhlasan kaum anshar.

Sikap suka menolong merupakan ajaran yang harus kita teladani dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tolong menolong dapat terbina persatuan dan persaudaraan sesama kita. Fanatisme kesukuan, perbedaan ras, rasa kedaerahan dan lain sebagainya dapat dihindarinya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar