Sabtu, 04 Juni 2016

Penjelasan Hadist Berdzikirlah Sampai Dianggap Gila

Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam Bersabda 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ


Dari ‘Abdullâh bin Busr Radhiyallahu anhu berkata, “Seorang Badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami. Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh kepadanya ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV/188, 190); at-Tirmidzi (no. 3375). Beliau berkata, “Hadits ini hasan gharib.”; Ibnu Majah (no. 3793) dan lafazh ini miliknya. Ibnu Abi Syaibah (X/89, no. 29944); Al-Baihaqi (III/371)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibbân (no. 811-at-Ta’lîqâtul Hisân) dan al-Hâkim (I/495) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’is Shaghîr (no. 7700), Shahîh al-Kalimut Thayyib (no. 3), dan Shahîhut Targhîb wat Tarhîb (no. 1491)

SYARAH HADITS
Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dalam shahihnya dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Amal apakah yang paling dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .’”

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin untuk banyak berdzikir kepada-Nya dan Allâh memuji orang-orang yang banyak berdzikir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allâh, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” [al-Ahzâb/33:41-42]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman.

وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“… Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allâh, Allâh telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.“[al-Ahzâb/33:35]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبَقَ الْمُفَرِّدُوْنَ قَالُوْا: وَمَا الْمُفَرِّدُوْنَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: اَلذَّاكِرُوْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتُ

“al-Mufarridûn telah mendahului.” Para sahabat berkata, “Siapa al-Mufarridûn wahai Rasûlullâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allâh.”

Dari hadits di atas, terlihatlah makna al-mufarridun, yaitu orang yang terus-menerus berdzikir kepada Allâh dan menyukainya. Orang yang banyak berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hatinya ingat kepada Allâh Azza wa Jalla dan batas-batas-Nya, maka dia termasuk orang yang bertakwa. Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhu telah menjelaskan makna takwa ini pada saat beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allâh dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya…” [Ali ‘Imrân/3:102]‎
Rasulullah Saw dalam suatu hadits menyebutkan,

إِنَّ الْإسْلَامَ بَدَأَ غَرِيْبًـا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا, فَطُوْبَا لِلْغُرَبَآءِ. قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْغُرَبَآءُ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.{رواه مسلم}‎

“Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing, maka berbahagialah bagi mereka yang dianggap asing itu. Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah! Siapakah al-Guraba (yakni orang yang dianggap asing) itu? Rasul menjawab: Merekalah yang berbuat baik di kala orang-orang sedang rusak.” (HR Muslim)

Disebut asing (aneh) karena melakukan perubahan terhadap tradisi jahiliyyah yang telah berkembang sejak lama. Kaum jahiliyyah yang mayoritas bertahan atas keyakinannya itu, alias tidak mau berubah.

Di kemudian hari orang-orang yang menjalankan Islam dengan sesungguhnya akan dianggap asing kembali. Rasulullah Saw mengapresiasi kemunculan mereka, ‘Beruntunglah mereka yang dianggap asing!’ [Dianggap asing itu bukan berarti asing sebenarnya]

Dianggap asingnya ajaran Islam disebabkan sudah banyaknya kezhaliman dan kemungkaran. Sehingga kejahatan yang dilakukan oleh banyak pelaku menjadi suatu perbuatan yang biasa saja. Merokok di tempat umum jika sudah menjadi biasa tidak akan dianggap kesalahan. Padahal telah menzhalimi diri sendiri dan orang lain. Jika kebanyakan orang berbuat kejahatan di suatu tempat maka orang yang berbuat kebaikan dianggap salah. Ini adalah suatu resiko dalam menyampaikan kebenaran.

Para Nabi dan Rasul seperti yang diutarakan dalam Al-Quran disebut sebagai ‘orang gila’ [majnun] oleh kaumnya. ‎Karena mereka hendak melakukan perubahan di tengah kehidupan yang sudah statis dan dianggap tidak akan berubah meskipun satu orang. Meskipun minoritas, tapi mereka tidak takut menyampaikan kebenaran dan berani ‘tampil beda’.

Dalam istilah tasawuf disebut Jununul Uqala’ yakni orang-orang yang berakal(menjalankan agama dengan benar) tapi dianggap tidak waras. Kebanyakan manusia di setiap masa memilih menjadi orang gila tapi dianggap waras. Sedikit yang memilih sebaliknya. Hal demikian terjadi di setiap generasi.

Ada sebuah hadits shahih yang begitu menggelitik sekaligus sindiran terhadap orang-orang munafiq. Dalam hadits ini Rasulullah memerintahkan untuk perbanyak berdzikir. Banyak berdzikir ini akan memancing orang-orang munafiq hingga mereka mengatakan orang yang banyak berdzikir sebagai orang sinting / gila. Berikut hadits yang dishahihkan oleh Imam Al Hakim.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : "أكثروا ذكر الله حتى يقولوا: مجنون. أخرجه أحمد وأبو يعلى وابن حبان والحاكم وصححه


"Dari Abu Sa'id radliya Allahu 'anh bahwa Rosulullah sholla Allahu 'alaihi wa sallam bersabda : Perbanyaklah dzikir kepada Allah sehingga mereka (orang-orang munafiq ) mengatakan : (Engkau) orang gila". (HR. Ahmad , Abu Ya'la , Ibnu Hibban dan Al-Hakim dan beliau menshohihkannya)

Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (11674),

حَدَّثَنَا حَسَنٌ ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ ، حَدَّثَنَا دَرَّاجٌ ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَنَّهُ قَالَ :  أَكْثِرُوا ذِكْرَ اللَّهِ ، حَتَّى يَقُولُوا مَجْنُونٌ

Hasan menuturkan kepada kami, Ibnu Lahi’ah menuturkan kepada kami, Darraj menuturkan kepada kami, dari Abul Haitsam, dari Abu Sa’id, dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

“perbanyaklah dzikrullah sampai orang-orang mengatakan anda gila”

Derajat hadits

Sanad hadits ini lemah karena memiliki dua masalah:

1. Pada perawi Ibnu Lahi’ah

Ibnu Lahi’ah diperselisihkan statusnya. Mayoritas ulama mendhaifkannya, At Tirmidzi berkata: “ia dhaif dikalangan ahli hadits, Yahya bin Sa’id Al Qathan mendhaifkannya dari sisi hafalannya”. Adz Dzahabi berkata: “yang dipraktekkan adalah melemahkan haditsnya”. Imam Ahmad berkata: “ia bukan hujjah”. An Nasa’i berkata: “dha’if, ia tidak tsiqah”.

Namun sebagian ulama juga men-tautsiq Ibnu Lahi’ah, Ahmad bin Shalih Al Mishri berkata: “ia tsiqah kecuali jika mendiktekan hadits (dari hafalannya)”. Yahya bin Hasan At Tunisi berkata: “belum pernah aku melihat orang yang lebih bagus hafalannya setelah Hasyim selain Ibnu Lahi’ah”.

Para ulama juga berselisih pendapat apakah kitab-kitab Ibnu Lahi’ah terbakar ataukah tidak, juga diperselisihkan apakah beliau ikhtilath di akhir usianya. Yang shahih, insya Allah, Ibnu Ma’in dalam Sualat Ibnu Junaid (499) berkata: “penduduk Mesir berkata kepadaku, kitab Ibnu Lahi’ah tidak ada yang terbakar satu pun”. Ibnu Sa’ad berkata: “adapun penduduk Mesir, mereka mengatakan bahwa Ibnu Lahi’ah tidak ikhtilath dan tidak hilang perkaranya dari awal sampai akhir walaupun hanya satu”.

Turunan dari khilaf ini, sebagian ulama berpendapat bahwa hadits-hadits Ibnu Lahi’ah dhaif kecuali yang diriwayatkan oleh Al Abadilah Al Arba’ah, karena mereka meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahi’ah sebelum terbakar kitab-kitabnya. Mereka adalah : (1) Abdullah bin Yazid Al Muqri (2) Abdullah bin Wahb (3) Abdullah bin Al Mubarak (4) Abdullah bin Maslamah.  Yang berpendapat demikian diantaranya Syaikh Al Albani, beliau membuat judul dalam Ash Shahihah: “shahihnya hadits Ibnu Lahi’ah jika diriwayatkan oleh salah satu Abadilah” (Ash Shahihah, 3/32).

Namun yang rajih wallahu a’lam, adalah pendapat yang menyatakan Ibnu Lahi’ah statusnya dhaif secara mutlak sebagaimana pendapat jumhur. Dan ini dikuatkan oleh Syaikh Muqbil’ bin Hadi Al Wadi’i, beliau berkata: “yang shahih adalah mendhaifkan Ibnu Lahi’ah secara mutlak”. Terlebih dalam kasus kasus ini, hadits Ibnu Lahi’ah tidak diriwayatkan oleh salah satu Abadilah.

2. Pada perawi Darraj

Ia diperselisihkan statusnya. Sebagian ulama melemahkannya, Abu Hatim berkata: “dalam haditsnya ada kelemahan”. Imam Ahmad berkata: “hadits-haditsnya munkar”. An Nasa-i berkata: “munkarul hadits”. Sebagian ulama menyatakan shaduq, Ibnu Hajar berkata: “shaduq, namun haditsnya dari Abul Haitsam ada kelemahan”. Yahya bin Ma’in berkata: “ia tidak mengapa”. Abu Daud As Sijistani berkata: “hadits-haditsnya mustaqim kecuali yang diriwayatkan dari Abul Haitsam dari Abu Sa’id”. Sehingga Darraj dalam sanad ini statusnya lemah.

Hadits ini dikeluarkan juga oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak (1839), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (817), Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (523),

حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ ، أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ ، أَنَّ أَبَا السَّمْحِ حَدَّثَهُ ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” أَكْثِرُوا ذِكْرَ اللَّهِ ، حَتَّى يَقُولُوا : مَجْنُونٌ

Ibnu Wahb menuturkan kepada kami, ‘Amr bin Al Harits, bahwa Abu Samh (Darraj) menuturkan kepada kami, dari Abul Haitsam, dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “perbanyaklah dzikrullah sampai orang-orang mengatakan anda gila“.

namun dalam jalan ini pun terdapat periwayatan Darraj dari Abul Haitsam.

Berdzikir itu tidak sebatas menyebut. Berdzikir yang komprehensif (menyeluruh) adalah jiwanya selalu menghadap kepada Allah. Jika jiwa sudah menghadap kepada Allah, segala pekerjaan akan dijalankan dengan baik. Usahanya mencari rizki dilakukan dengan cara yang halal walaupun kebanyakan orang sudah tidak mempedulikan cara mendapatkannya, apakah halal atau haram. Inilah yang disebut banyak dzikir kepada Allah (dzikron katsiiroo).

Tandanya adalah banyak latihan dzikir di masjid, mendapatkan dampak psikologis jiwanya terus menghadap kepada Allah, memilih pekerjaan yang halal, ia bersikap jujur sementara banyak orang menyuarakan ketidakjujuran, ia tidak melakukan korupsi ketika banyak orang telah melakukannya. Resikonya adalah disebut gila.

Anjuran dzikir dalam riwayat tersebut  adalah anjuran bagi seorang hamba untuk senantia berdzikir kapanpun dan dimanapun, bahkan pelaksanaan dzikir harus dilakukan dengan khusyu’ dan penuh pengharapan yang terkadang pelaku dzikir itu terlihat seperti orang gila karena harus berteriak-teriak sambil geleng-geleng kepala sebagai tanda bahwa ia sedang menyatukan pikiran dan hatinya untuk terpusat pada allah SWT.

Adapun terkait Hadist diatas, yang dimaksud sampai gila adalah cinta yang luar biasa. Sebab, bila zikir dibaca dengan baik, ia mampu menumbuhkan cinta yang amat kuat kepada Allah, juga tumbuh rasa khawf (takut) bila imannya meluntur atau tipis, yang berakibat dirinya jauh dari Allah dan Rasul-Nya. Maka gandengan kalimat khawf adalah raja' (peng-harapan) yang penuh. Tiada yang bisa diharapkan terkecuali Allah, baik untuk bersandar, berteduh, berlindung maupun memohon. Yang ditakutkan adalah mati dalam keadaan su'ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek), dan yang diharapkan yaitu mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik). Selain dan khawf, raja', ada jugahaya', yang artinya malu kepada Allah. Dia malu bila berbuat maksiat, malu bila akhlaknya dan budi pekertinya tidak terpuji kepada Allah, Rasul-Nya, para sahabat, para wali, dan para ulama. Itulah yang terkandung dalam Hadist tersebut. Jadi bukan gila dalam pengertian penyakit dan bukan pula gila dalam pengertian meninggalkan syariat atau sunnah, akhlak dan adab Nabi (saw).

Orang yang gila (tergila-gila) atau gandrung kepada Allah jauh berbeda dibanding gila karena maksiat. Biasanya orang yang gandrung dengan pacarnya, akan berpakaian rapi, menggunakan parfum, berbuat apa saja untuk mendapat simpati dan cintanya. Padahal bila sudah tercapai, orang yang dicintai dan dinikaihnya itu, tidak bisa menjamin akan selamatdari api neraka, atau menjadi jaminan masuk surga-Tetapi, kalau kita gandrung dengan Yang Menciptakan surga, Pastilah kita akan didekatkan dengannya, masuk surga.
Jabatan yang tidak naik-naik jika tidak kong kali kong (menyuap), ditekan bos agar mark-up anggaran, adalah resiko kehidupan. Semuanya memiliki konssekuensi yang mesti ditanggung. Pilihannya hanya 2 saja, menjadi orang gila dianggap waras atau menjadi orang waras tapi dianggap gila. Dan kebanyakan manusia memilih menjadi orang gila yang dianggap waras oleh kebanyakan manusia. Walaakinna aktsaron naasi laa ya’lamuun. ‎Manusia kebanyakan mengikuti aturan yang ada dan tidak mau mengambil resiko.

Agama bukan sekedar jargon dan platform. Agama adalah pengusung perubahan mikro dan makro. Perubahan sikap individu dan sosial. Perubahan dari skala kecil hingga kepada skala besar menuju cahaya Allah (An-Nur). Oleh karenanya mesti siap menanggung resiko. Bagi para Kekasih Allah menghadapi resiko adalah merupakan kebahagiaan tersendiri, lebih baik dianggap orang gila daripada gila sebenarnya (jununul ’uqala).

Inilah kelompok yang ditunggu-tunggu oleh Bangsa dan Negara ini sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa (founding fathers) dalam Undang-Undang ’45. Yakni mencapai bangsa yang penuh keadilan dan kesejahteraan. Melalui figur orang-orang yang berani ‘tampil beda’ (meski dianggap gila) inilah Bangsa dan Negara ini bisa terselamatkan.

Tanda (indikator) orang gila adalah tidak takut dan malu. Orang yang ingin terlepas dari jeratan hukum dengan berpura-pura gila juga memiliki rasa takut. Jika seseorang berani menjalankan agama dan tidak mengenal rasa malu dengan orang lain maka orang tersebut adalah orang yang berani mengambil resiko dianggap gila.

Sekarang ini banyak orang salah kaprah, tidak meletakkan rasa malu pada tempat sebenarnya yakni merasa malu melakukan kebaikan atau menegakkan kebenaran. Sedangkan dalam urusan kejahatan tidak merasa malu lagi. Meski sudah mengenakan baju tahanan KPK, penampilannya masih percaya diri (PeDe). Manusia banyak yang gila dunia, jabatan, harta, sanjungan, tapi anehnya mereka dianggap hebat.

Supaya benar-benar beribadah, banyak menyebut Nama Allah dan mengaplikasikan kesadaran kita dengan menjalankan ketetapan Allah walau berbeda dengan kebanyakan manusia, Allah akan memberikan tanda kegilaan kepada Allah berupa rasa berani dan tidak malu kepada manusia. Tidak ada kekhawatiran atasnya dan tidak merasa sedih dicaci maki orang dalam menjalankan kebenaran.

Orang yang melakukan kebenaran itu tidak hanya disebut gila, tapi juga akan mengalami keterasingan atau terpinggirkan (ter-marginal-kan). Mereka yang jujur dan bertanggungjawab sering terpinggirkan oleh sistem yang ada. Firman Allah menyatakan,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿يونس: ٦٢﴾
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Orang waras dianggap gila itu ternyata termasuk Awliya Allah. Karena mereka tidak peduli dengan keberadaan orang di sekelilingnya yang berbeda dengan dirinya. Mereka tidak mengenal rasa takut dan bersedih kepada selain-Nya.

Gaya hidup dan tradisi orang awam sekarang sama dengan kebanyakan manusia. Anak muda zaman sekarang tidak cukup mengidolakan artis luar, hingga didatangkan artis luar negeri. Meski harga tiketnya yang mahal pun dibeli. Cara joget dan berpakaian diikuti, karena terseret arus gelombang besar orang-orang yang jauh dari kebenaran. Mereka tidak mampu melawan arus tersebut. Dan hanya orang-orang yang jiwanya belajar cinta kepada Allah.

Dalam menjalankan agamanya telah melampaui batas kecintaan. Jika ibadah sholat, puasa hanya sebatas fiqih (tidak menembus relung jiwanya) sehingga merasa Allah terus mengawasi jiwanya, berarti belum dikatakan cinta kepada Allah. Orang yang belum cinta kepada Allah masih takut kepada manusia. Ia takut disebut gila, takut terpinggirkan, takut tidak bisa makan.

Orang yang belajar cinta kepada Allah akan diberikan jiwa yang tangguh. Dalam menjalankan agama, mereka sudah masuk ke dalam penghayatan (memasuki alam rasa). Terjadi komunikasi antara dirinya dengan Allah sehingga jiwanya terus menyambung . Inilah awal seorang hamba mencintai Allah.

Dalam konteks cinta, seseorang yang mencintai akan menyatu jiwanya dengan yang dicintainya. Ke manapun ia melangkah akan selalu terbayang yang dicintainya. Saat makan, bekerja, hingga terbawa ke alam mimpi. Semestinya dalam menjalankan ajaran keagamaan tidak hanya sebatas fisiknya semata, tapi menyentuh aspek penghayatan jiwa (tasawuf). Ia selalu menjiwai berbagai pelaksanaan ibadahnya.

Kita mesti terus belajar menghayati agama dengan penuh kesadaran. Caranya adalah melalui media majelis dzikir dan ilmu. Melalui media tersebut lisan dilatih untuk berdzikir. Lidah yang basah menyebut Nama Allah karena banyaknya akan menyebabkan makna Asma tersebut masuk ke dalam jiwanya. Jiwanya akan bergerak menangkap sesuatu yang ghaib. Ia merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya. Inilah jalan awal mencintai Allah.

Jika terus belajar mencintai Allah maka Allah akan memberikan tanda kegilaan. Begitu besar cinta menyebabkan tergila-gila. Dalam Al-Quran disebut dengan Asyaddu Hubbal lillaah. Orang-orang yang beriman itu tidak sebatas cinta, tapi tergila-gila kepada Allah. Tergila-gila itu melampaui sekedar cinta.

Tanda kegilaan adalah laa khoufu ’alayhim, jiwanya tidak dilanda rasa takut. Yakni takut miskin, difitnah dan dihinakan orang. Tapi takut akan ancaman (murka) Allah, takut menjalankan sesuatu yang dilarang Allah. Ia menghindar dan memutus rantai media yang akan menyebabkan dirinya terperosok ke jurang kehinaan dan siksa akibat melakukan dosa atau larangan Allah.

Sebaliknya Orang yang tergila-gila dengan dunia dan kehidupannya takut tidak makan padahal ia sedang makan, takut tidak menjabat padahal ia sedang menjabat. Para Hakim kalah dengan suap, para politisi takut tidak mendapat jabatan. Manusia semakin serakah, tamak, dan takut ditinggalkan dunia. Inilah yang menyebabkan negara bahkan dunia porakporanda (hancur).

Allah mengisyaratkan jika ingin dibukakan barokah dari langit dan bumi, mesti diisi dengan orang-orang yang gila kepada Allah.

Kita lihat diri kita apakah sudah laa khoufun sebagaimana karakter para kekasih Allah atau masih dihinggapi ketakutan dan kekhawatiran hidup. Allah mencabut rasa takut dan kekhawatiran dalam hati orang beriman, sehingga timbullah keberanian untuk menyuarakan kebenaran dan tampil beda karena kebenaran. Inilah yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan yang besar, diawali melalui diri dan keluarga.

Indikator kedua adalah walaa hum yahzanuun, jiwanya tidak merasa sedih, galau, bingung, gundah gulana dalam urusan dunia. Tenang, tenteram dan penuh kepastian selalu menyelimuti jiwanya. Ini merupakan deskripsi jiwa yang mencicipi kebahagiaan hakiki sebelum datangnya akhirat. Hidupnya terasa nikmat, karena jiwanya senantiasa menghadap dan mengabdi kepada Allah.

Fungsi agama adalah sebagai perubahan, yakni merubah sikap, pikiran, dan tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Resiko menjalankannya adalah dituding gila (tapi bukan gila sebenarnya), karena mereka adalah kelompok minoritas yang berani tampil beda demi kebenaran. Mereka yang mampu melakukannya adalah orang-orang yang tidak mengenal rasa takut dan khawatir dalam urusan dunia ini, karena jiwanya selalu menghadap kepadaNya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar