Senin, 13 Juni 2016

Penjelasan Hukum Mengusap Khuf Saat Wudhu


Sesungguhnya agama kita adalah agama yang mudah, bukan agama yang berat dan sulit. Agama ini meletakkan hukum-hukum yang sesuai dengan setiap keadaan, yang dengannya terwujudlah kemaslahatan dan terhapuslah kesulitan. Di antara hal itu adalah apa yang telah disyariatkan oleh Allah dalam hal wudhu, jika pada anggota wudhu ada suatu penghalang yang susah untuk dilepas dan butuh untuk tetap dipakai, baik itu untuk menjaga kedua kaki (seperti khuf dan yang semisalnya), atau untuk menjaga kepala (seperti imamah [sorban]), atau untuk menjaga luka (seperti perban dan yang sejenisnya). Sesungguhnya Pembuat syariat (yaitu Allah ta’ala) memberi keringanan untuk orang yang berwudhu untuk mengusap penghalang-penghalang tersebut. Hal itu menjadikannya tidak perlu melepasnya dan mencuci anggota wudhu yang terhalang olehnya. Ini adalah keringanan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap para hambaNya, sekaligus untuk menafikan rasa berat pada diri mereka.
Islam selalu mendatangan kemudahan.Inna ad diina yusrun, sesungguhnya Islam itu mudah, demikian sabda Nabi ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara kemudahan yang diberikan oleh Islam adalah memberikan keringanan saat thoharoh (bersuci). Ketika seseorang mesti mengenakan khuf (sejenis sepatu) dan sulit ia copot karena berada dalam perjalanan (misalnya), maka Islam mengajarkan jika kondisi demikian sepatu tersebut tidak perlu dilepas. Sepatu tersebut hanya perlu diusap asalkan sebelumnya dikenakan dalam keadaan suci. Baik, bagaimanakah Islam menjelaskan hal ini? Alangkah bagusnya kita menyimak ulasan sederhana berikut ini.

Apa itu Khuf dan Apa yang Dimaksud Mengusap?

Khuf adalah sepatu tipis terbuat dari kulit yang menutupi mata kaki. Mengusap kedua khuf (atau yang menempati kedudukannya seperti kaos kaki dan sepatu tentara) adalah perkara yang ada dalam syariat ini dengan dalil hadits-hadits yang shahih, banyak jumlahnya, serta mutawatir, yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap khuf beliau ketika sedang tidak bepergian maupun ketika bepergian. Beliau juga memerintahkan hal itu dan memberi keringanan untuk melakukannya.‎

Imam Shonáni dalam “Subulus Salam” (1/168) menjelaskan perbedaan antara Khuf, Jurmuq dan Jaurobun (kaos kaki), kata beliau:

وَالْخُفُّ : نَعْلٌ مِنْ أَدَمٍ يُغَطِّي الْكَعْبَيْنِ . وَالْجُرْمُوقُ : خُفٌّ كَبِيرٌ يُلْبَسُ فَوْقَ خُفٍّ صَغِيرٍ . وَالْجَوْرَبُ : فَوْقَ الْجُرْمُوقِ يُغَطِّي الْكَعْبَيْنِ بَعْضَ التَّغْطِيَةِ دُونَ النَّعْلِ ، وَهِيَ تَكُونُ دُونَ الْكِعَابِ .

“Khauf adalah sandal dari kulit yang menutupi kedua mata kaki. Jurmuuq adalah Khuf besar yang dipakai diatas khuf kecil. Jaurob (kaos kaki) adalah diatas jurmuuq yang menutupi kedua mata kaki, sebagian menutupi yang tidak tercover oleh sandal, yaitu yang dibawah mata kaki.

Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash” yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu‎. Jadi yang dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki saat berwudhu.‎

Dalil Pensyariatan Khuf

Disyari’atkan menurut Al-Kitab dan As-Sunnah, serta ijmak Ahlus Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan firman Allah ta'ala

وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَأََرْجُلَِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Dan usaplah kepala-kepala kalian dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki (Al-Maidah 6)
Pensyariatan membasuh khuf telah mutawatir dalil-dalilnya dan disepakati oleh ulama kaum Muslimin. Al Hafidz dalam “Fathul Bari” (1/320) menukil :

نَقَلَ اِبْن الْمُنْذِر عَنْ اِبْن الْمُبَارَك قَالَ : لَيْسَ فِي الْمَسْح عَلَى الْخُفَّيْنِ عَنْ الصَّحَابَة اِخْتِلَاف ؛ لِأَنَّ كُلّ مَنْ رُوِيَ عَنْهُ مِنْهُمْ إِنْكَاره فَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ إِثْبَاته ، وَقَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : لَا أَعْلَم رُوِيَ عَنْ أَحَد مِنْ فُقَهَاء السَّلَف إِنْكَاره إِلَّا عَنْ مَالِك ، مَعَ أَنَّ الرِّوَايَات الصَّحِيحَة عَنْهُ مُصَرِّحَة بِإِثْبَاتِهِ ، وَقَدْ أَشَارَ الشَّافِعِيّ فِي الْأُمّ إِلَى إِنْكَار ذَلِكَ عَلَى الْمَالِكِيَّة ، وَالْمَعْرُوف الْمُسْتَقِرّ عِنْدهمْ الْآن قَوْلَانِ : الْجَوَاز مُطْلَقًا ، ثَانِيهمَا لِلْمُسَافِرِ دُون الْمُقِيم . وَهَذَا الثَّانِي مَا فِي الْمُدَوَّنَة وَبِهِ جَزَمَ اِبْن الْحَاجِب ، وَصَحَّحَ الْبَاجِيّ الْأَوَّل وَنَقَلَهُ عَنْ اِبْن وَهْب ، وَعَنْ اِبْن نَافِع فِي الْمَبْسُوطَة نَحْوه وَأَنَّ مَالِكًا إِنَّمَا كَانَ يَتَوَقَّف فِيهِ فِي خَاصَّة نَفْسه مَعَ إِفْتَائِهِ بِالْجَوَازِ

“Ibnul Mundzir menukil dari Ibnul Mubarok katanya : ‘tidak ada dalam masalah mengusap 2 khuf adanya perselisihan dikalangan para sahabat, karena setiap yang diriwayatkan dari mereka adanya pengingkaran, telah diriwayatkan juga penetapannya’. Ibnu Abdil Bar berkata : ‘aku tidak mengetahui salah seorang fuqoha salaf yang mengingkari membasuh khuf, kecuali Imam Malik, bersamaan bahwa riwayat yang shahih dari beliau tegas menetapkannya’. Imam Syafi’I dalam “Al Umm”  mengisyaratkan adanya pengingkaran mengusap khuf dari Malikiyyah, yang ma’ruf sekarang adalah penetapannya menurut mereka ada 2 pendapat, yang pertama pembolehan secara mutlak dan yang kedua hal ini berlaku untuk musafir bukan untuk orang yang mukim. Yang kedua inilah yang terdapat dalam kitab Al Mudawanah dan ditegaskan oleh Ibnul Haajib. Al baajiy merajihkan yang pertama dan menukil pendapat ini dari Ibnu Wahhab, dan dari Ibnu Naafi’ dalam “Al Mabsuuthoh” pendapat yang serupa. Hanyalah Imam Malik bertawaquf atas hal itu untuk dirinya sendiri, namun beliau telah berfatwa tentang kebolehannya”.

Masalah mengusap khuf adalah masalah fiqih, namun telah menjadi masalah aqidah, manakala sekte bid’ah dalam Islam mengingkari hal ini. Imam Thohawi dalam kitab aqidahnya memasukkan masalah khuf ini, kata beliau :

وَنَرَى الْمَسْحَ على الْخُفَّيْنِ ، في السَّفَرِ وَالْحَضَرِ ، كَمَا جَاءَ في الْأَثَر

“kami berpendapat (disyariatkannya) mengusap kedua khuf pada saat safar maupun hadir (muqim), sebagaimana telah datang dalam Al Atsar”.

Imam Ibnu Abil Izz mensyarahnya dengan berkata :

تَوَاتَرَتِ السنة عَنْ رَسُولِ الله صلى الله عليه وَسَلَّمَ بِالْمَسْحِ على الْخُفَّيْنِ وَبِغَسْلِ الرِّجْلَيْنِ ، وَالرَّافِضَة تُخَالِفُ هذه السنة الْمُتَوَاتِرَة

“tekah mutawatir sunahnya hal ini dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam untuk mengusap kedua khuf dan mencuci kedua kaki, kaum Rafidhah menyelisihi sunah yang mutawatir ini”.

Syaikh Muhammad Al Khumais dalam “I’tiqod Ahlus Sunnah” (1/142) berkata :

المسح على الخفين من المسائل الفقهية ، ولأن أهل البدع أنكروا المسح على الخفين نص العلماء عليها في عقائدهم

“Mengusap kedua khuf adalah permasalahan fiqhiyyah, namun karena Ahlul Bid’ah mengingkari mengusap kedua khuf, maka para ulama memasukkah hal ini dalam masalah aqidah”.

Adapun berdasarkan As-Sunnah, maka telah mutawatir hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang disyari’atkannya hal ini. Sehingga Imam Ahmad berkata:

لَيْسَ فِيْ قَلْبِيْ مِنَ الْمَسْحِ شَيْءٌ, فِيْهِ أَرْبَعُوْنَ حَدِيْثًا عَنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم , مَا رَفَعُوْا إِلَى النَّبِيِّ r وَمَا وَقَفُوْا

Tidak ada dalam hatiku (keraguan) sedikitpun tentang mengusap (khuf). Ada empat puluh hadits dari para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada yang marfu’ dan ada yang mauquf.

Berkata Hasan Al-Bashri :

حَدَّثَنِيْ سَبْعُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم, أَنَّهُ مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ

Telah menceritakan kepadaku tujuh puluh orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap kedua khuf.

Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata :

روى المسح على الخفين خلائق لا يحصون من الصحابة

“Banyak para shahabat yang tak terhitung jumlahnya yang telah meriwayatkan hadits tentang mengusap dua khuf.”‎

Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”[HR. Abu Daud no. 162.]‎

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah -radhialahu anhu- dia berkata:‎

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي مَسِيرٍ فَقَالَ لِي أَمَعَكَ مَاءٌ قُلْتُ نَعَمْ فَنَزَلَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَمَشَى حَتَّى تَوَارَى فِي سَوَادِ اللَّيْلِ ثُمَّ جَاءَ فَأَفْرَغْتُ عَلَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ مِنْ صُوفٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُخْرِجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْهَا حَتَّى أَخْرَجَهُمَا مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ فَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ وَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
“Saya pernah bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada suatu malam dalam perjalanan, maka beliau bersabda kepadaku, “Apakah kamu memiliki air?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau turun dari kendaraannya, lalu berjalan hingga tersembunyi dalam gelapnya malam (untuk buang air besar). Kemudian beliau datang kembali, lalu aku menuangkan air dari geriba untuknya, beliau pun mencuci mukanya. Karena memakai jubah wol yang kedua lengannya sempit, maka beliau pun merasa kesusahan untuk mengelurkan kedua tangannya, beliau lalu mengeluarkannya lewat bawah jubahnya. Lalu beliau mencuci kedua lengannya dan mengusap kepalanya. Kemudian aku jongkok untuk melepas kedua khufnya, maka beliau bersabda, “Biarkanlah keduanya, karena aku memasukkan kedua kakiku padanya dalam keadaan suci.” Maka beliaupun hanya mengusap bagian atas dari kedua khufnya.” (HR. Al-Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274)
Dari Shafwan bin ‘Assal -radhiallahu anhu- dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ

“Jika kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kami tidak membuka sepatu-sepatu kami selama tiga hari tiga malam kecuali ketika kami junub. Dan tetap boleh untuk mengusap sepatu karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” (HR. At-Tirmizi no. 96, An-nasai no. 127, Ibnu majah no. 471 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 104)
Dari Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhu- dia berkata:‎

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menjadikan waktu tiga hari tiga malam bagi musafir (untuk mengusap khuf) dan sehari semalam bagi orang yang menetap (muqim).” (HR. Muslim no. 276)

Ada juga riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jabir. Saya pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa Jabir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)‎

Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jabir ternyata belakangan setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki (bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.‎‎

Dalil yang menjelaskan disyari’atkannya mengusap khuf diriwayatkan lebih dari 80 sahabat radhiyallahu ‘anhum, di antara mereka adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga.‎

Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Tidak ada beda pendapat di kalangan sahabat akan bolehnya mengusap khuf. Karena setiap riwayat yang menunjukkan kalau mereka mengingkari bolehnya hal itu, dalam riwayat lainnya menunjukkan kebalikannya yaitu mereka membolehkan mengusap khuf.”‎

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui riwayat dari salaf yang mengingkari bolehnya mengusap khuf kecuali dari Malik. Namun riwayat shahih dari Imam Malik adalah beliau membolehkan mengusap khuf.”‎

Ibnul Mundzir dan yang selain beliau rahimahumullah menukil kesepakatan para ulama tentang bolehnya hal itu. Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun bersepakat tentangnya, berbeda dengan ahlul bid’ah yang berpendapat bahwa hal itu tidak boleh.

Hukum mengusap dua khuf adalah rukhshah (keringanan). Melakukannya lebih utama daripada melepas dua khuf dan mencuci kaki. Hal ini dalam rangka mengambil keringanan dari Allah ‘Azza wa Jalla dan meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menyelisihi ahlul bid’ah.

Mengusap dua khuf dianggap telah mengangkat hadats dari anggota wudhu yang ada di bawah khuf yang diusap. Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberat-beratkan diri kaitannya dengan keadaan kedua kaki beliau. Jika kedua kaki beliau mengenakan khuf, beliau mengusap khuf tersebut. Jika kedua kaki beliau terbuka (tidak mengenakan khuf dan yang semisalnya), beliau mencuci keduanya. Tidak disyariatkan sengaja mengenakan khuf untuk diusap, dalam keadaan dia tidak butuh untuk mengenakannya.‎

Hukum Mengusap Khuf

Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.‎

Hikmah Mengusap Khuf

Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.

Syarat Bolehnya Mengusap Khuf

Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi) terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,

دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

“Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.” Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja.[HR. Ahmad 4/251, Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274.]

Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati oleh para ulama.

Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya pendapat tersebut.‎

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf baru.” 

Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan.‎

Bagian Mana yang Diusap?

Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf, atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ) yang sudah disebutkan di awal.

Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”[HR. Abu Daud no. 162.]‎ 

Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf

Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).

Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,

فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.”[HR. Ahmad 4/239. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa penjelasan mengenai mengusap khuf dalam hadits ini dinilai shahih lighoirihi (dilihat dari jalur lain). Sedangkan sanad ini hasan dilihat dari jalur ‘Ashim.]‎

Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” [‎HR. Muslim no. 276.]‎ 

Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau 3×24 jam (bagi musafir)?

Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkatakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.

Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad usai.

Cara Mengusap Khuf

Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.

Pembatal Mengusap Khuf

Berakhirnya waktu mengusap khuf.
Terkena junub.
Melepas sepatu.
Jika khuf dilepas –dan masa mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam keadaan tidak suci.

Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.

Catatan penting: Jika salah satu pembatal mengusap khuf di atas terwujud tidak berarti wudhunya batal jika memang masih dalam keadaan suci. Demikian pendapat An Nakho’i, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Ibnu Hazm, pilihan An Nawawi, Ibnul Mundzir dan Ibnu Taimiyah.
Mengusap Imamah (Sorban) Ketika Berwudhu
Seseorang yang memakai imamah, ketika berwudhu boleh mengusap imamah itu sebagai ganti dari mengusap kepalanya. Ini adalah amalan yang memang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalil banyak hadits yang dikeluarkan oleh lebih dari satu ulama hadits. Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata :

من لم يطهره المسح على العمامة، فلا طهره الله

“Barangsiapa yang menganggap bahwa mengusap imamah (ketika berwudhu) tidak membuatnya suci, maka semoga Alloh tidak mensucikannya.”

Diriwayatkan dari beliau tiga keadaan kaitannya dengan mengusap kepala ketika beliau berwudhu :

Mengusap seluruh kepala. Ini adalah hal yang sudah ma’ruf. Salah satu dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari di dalam Shahih beliau dari ‘Amr bin Yahya Al Muzani, dari ayah beliau bahwa ada seseorang yang berkata kepada ‘Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu – dan beliau adalah kakek ‘Amr bin Yahya :
أتستطيع أن تريني كيف كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ فقال عبد الله بن زيد نعم فدعا بماء فأفرغ على يديه فغسل مرتين ثم مضمض واستنثر ثلاثا ثم غسل وجهه ثلاثا ثم غسل يديه مرتين مرتين إلى المرفقين ثم مسح رأسه بيديه فأقبل بهما وأدبر بدأ بمقدم رأسه حتى ذهب بهما إلى قفاه ثم ردهما إلى المكان الذي بدأ منه ثم غسل رجليه.


“Apakah engkau bisa memperlihatkan kepadaku bagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu?” Abdullah bin Zaid berkata,”Ya.” Beliaupun meminta air lalu menuangkannya ke atas kedua tangannya. Beliau mencuci keduanya dua kali. Kemudian beliau berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian beliau mencuci wajah beliau tiga kali, lalu mencuci kedua tangan beliau masing-masing dua kali sampai kedua siku. Kemudian beliau mengusap kepala dengan kedua tangan beliau, menggerakan keduanya ke depan dan ke belakang, yaitu memulai (mengusap) dari bagian depan kepalanya dan kemudian menjalankan kedua telapak tangannya sampai ke (batas) tengkuknya, kemudian mengembalikan lagi kedua telapak tangannya ke tempat memulai mengusapnya (bagian depan kepala). Kemudian beliau mencuci kedua kaki.” (Shahih Al Bukhari, Kitabul Wudhu, Bab Mengusap Seluruh Kepala Berdasarkan Firman Allah : “Dan usaplah kepala kalian,” hadits no. 183).

Mengusap imamah. Salah satu dalilnya adalah hadits ‘Amr bin Umayyah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
رأيت رسول الله- صلى الله عليه وسلم- يمسح على عمامته وخفيه
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap imamah dan kedua khuf beliau.” (Shahih Al Bukhari, Kitabul Wudhu, Bab Mengusap Dua Khuf, jilid 1, hadits no. 205).

Mengusap imamah dan ubun-ubun. Salah satu dalilnya adalah hadits dari Ibnul Mughirah dari ayah beliau :
أن النبي صلى الله عليه و سلم مسح على الخفين ومقدم رأسه وعلى عمامته
 
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuf, ubun-ubun, dan imamah beliau.” (Shahih Muslim, Kitabut Thaharah, Bab Mengusap Ubun-Ubun, hadits no. 82-247).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

 وكان يمسح على رأسه تارة، وعلى العِمامة تارة، وعلى الناصية والعمامة تارة

“Dahulu beliau (ketika berwudhu-pent) sekali waktu mengusap kepala, sekali waktu mengusap imamah, dan kali yang lain mengusap ubun-ubun dan imamah.” (Zadul Ma’ad 1/194)

Mengusap dua khuf dan imamah hanya dibolehkan dalam thaharah dari hadats kecil. Adapun hadats besar, maka tidak sah thaharah dengan mengusap keduanya. Anggota badan yang tertutup keduanya harus dicuci ketika thaharah dari hadats besar itu.
Mengusap Gips dan yang Semisalnya

Ketika berwudhu, seseorang juga boleh mengusap anggota wudhunya yang terbalut atau tertutup oleh gips, perban, atau plester. Dengan syarat, penutup tadi menutupi bagian tubuh yang memang butuh untuk ditutup karena sakit. Adapun jika menutupi bagian lain di dekatnya yang tidak sakit yang sebenarnya tidak perlu diperban, dan bisa dilepas atau dibuka ketika berwudhu, maka bagian itu harus dicuci.
Dalil yang Menunjukkan Bolehnya Mengusap Gips dan yang Semisalnya

Dalil yang menunjukkan bolehnya mengusap gips dan yang semisalnya dalam thaharah adalah hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :

خرجنا في سفر، فأصاب رجلا منا حجر، فشجه في رأسه، ثم احتلم، فسأل أصحابه: هل تجدون لي رخصة في التيمم ؟ قالوا: ما نجد لك رخصة وأنت تقدر على الماء. فاغتسل، فمات، فلما قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ أخبر بذلك، فقال: قتلوه قتلهم الله، ألا سألوا إذا لم يعلموا؛ فإنما شفاء العي السؤال، إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصب على جرحه خرقة ثم يمسح عليها

"Kami sedang bepergian. Salah seorang di antara kami terkena batu di kepalanya dan batu itu melukainya. Kemudian dia mimpi basah. Lalu ia bertanya kepada teman-temannya," Apakah menurut kalian aku memperoleh keringanan untuk bertayamum?" Mereka menjawab, "Tidak ada keringanan (bagimu) karena kamu bisa menggunakan air." Lalu dia mandi dan meninggal. Ketika kami datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kami sampaikan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, "Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah memerangi mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengetahui? Sesungguhnya, bertanya adalah obat ketidaktahuan. Seharusnya dia cukup bertayamum, membalut lukanya dengan kain, kemudian mengusap pembalut itu." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Ibnus Sakan).
Batasan Waktunya

Boleh mengusap gips dan yang semisalnya dalam thaharah dari hadats kecil dan hadats besar. Tidak ada jangka waktu tertentu kaitannya dengan mengusap penutup jenis ini. Seseorang boleh terus mengusapnya ketikah thaharah sampai penutup itu dilepas atau sampai ia sembuh. Sebab, mengusapnya adalah karena darurat sehingga jangka waktunya diperkirakan sesuai dengan keadaan darurat itu.

Tatacara Mengusap Gips Dan Yang Semisalnya

Seseorang yang berwudhu ketika sampai pada anggota wudhu yang diperban sedangkan ada bagian lain dari anggota wudhu itu yang tidak diperban, maka ia mencuci bagian lain yang tidak diperban itu dan mengusap bagian yang diperban dari seluruh sisi. Jika ada bagian perban itu yang membalut anggota tubuh yang bukan merupakan anggota wudhu, maka  tidak perlu mengusap bagian itu. Misalnya seseorang yang kakinya diperban dari setengah telapak kaki sampai betis, maka dia mencuci jari kaki, sedikit bagian atasnya, dan juga setengah telapak kaki yang tidak diperban. Lalu dia mengusap bagian sisanya yang diperban sampai mata kaki. Dia tidak perlu mengusap bagian perban yang membalut betis.

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar