Jumat, 15 Juli 2016

Berlaku Adil Pada Istri Berat Bagi Suami Yang Berpoligami

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dan kaum yang lain, dan perkenalan akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Dalam pernikahan dikenal juga dengan istilah poligami, poliandri, dan monogami. Poligami ialah seseorang suami yang memiliki istri lebih dari satu, dalam Islam poiligami di perbolehkan dengan syarat mampu menegakkan keadilan dalam rumah tangganya.
Di dalam Al-Quran sudah di sebutkan batasan jumlah istri yang boleh di nikahi yaitu : dua, tiga atau empat ada juga yang berpendapat 2+3+4 samapai dengan sembilan istri.
Sampai sekarang ini istilah poigami menjadi topik yang menarik untuk di bahas, oleh karena itu dalam makalah kami ini akan coba kami uraikan persoalan poigami sesuai dengan kemampuan yang kami miliki.

Sebagian dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan mereka menentang praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya sangat besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan.Namun, sebagian yang lain menyetujui poligami dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya Islam.

Terlepas dari pendapat pro dan kontra tentang poligami, yang jelas masalah poligamimenjadi masalah yang menarik untuk didiskusikan. Praktik poligami semakin lamasemakin banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam praktiknya, masih banyak di antara kaum poligam belum memenuhi ketentuan yang ada, baik secara hukum Negara maupun hukum agama.

Firman Allah Swt.:

{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى}

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua. (An-Nisa: 3)

Yakni apabila di bawah asuhan seseorang di antara kalian terdapat seorang anak perempuan yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak memberikan kepadanya mahar misil-nya, hendaklah ia beralih mengawini wanita yang lain, karena sesungguhnya wanita yang lain cukup banyak; Allah tidak akan membuat kesempitan kepadanya.

Imam Bukhari mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah. dari ayah-nya, dari Aisyah, bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan yatim, lalu ia menikahinya. Sedangkan anak perempuan yatim itu mempunyai sebuah kebun kurma yang pemeliharaannya dipegang oleh lelaki tersebut, dan anak perempuan yatim itu tidak mendapat sesuatu maskawin pun darinya. Maka turunlah firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil. (An-Nisa: 3)

Menurut keyakinanku, dia (si perawi) mengatakan bahwa anak perempuan yatim tersebut adalah teman seperseroan lelaki itu dalam kebun kurma, juga dalam harta benda lainnya.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya:Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya). (An-Nisa: 3) Siti Aisyah mengatakan, "Hai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang dimaksud berada dalam asuhan walinya dan berserikat dengannya dalam harta bendanya. Lalu si wali menyukai harta dan kecantikannya, maka timbullah niat untuk mengawininya tanpa berlaku adil dalam maskawinnya; selanjutnya ia memberinya maskawin dengan jumlah yang sama seperti yang diberikan oleh orang lain kepadanya (yakni tidak sepantasnya). Maka mereka dilarang menikahi anak-anak yatim seperti itu kecuali jika berlaku adil dalam mas kawinnya, dan hendaklah maskawinnya mencapai batas maksimal dari kebiasaan maskawin untuk perempuan sepertinya. Jika para wali tidak mampu berbuat demikian, mereka diperintahkan untuk kawin dengan wanita lain selain anak-anak perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya. Urwah mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya ada orang-orang yang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. sesudah ayat di atas. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita' (An-Nisa: 127)." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa diturunkan pula ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: sedangkan kalian ingin mengawini mereka. (An-Nisa: 127) Karena ketidaksukaan seseorang di antara kalian terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan maskawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan mereka bila anak-anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik. 

Firman Allah Swt.: 

{مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ}

dua, tiga, empat. (An-Nisa: 3)

Nikahilah wanita mana pun yang kamu sukai selain dari anak yatim: jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

جاعِلِ الْمَلائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ

Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk meng-rus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. (Fathir: 1)

Maksudnya, di antara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap. tiga buah sayap, ada pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain dari itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya selain itu.

Masalahnya lain dengan dibatasinya kaum lelaki yang hanya boleh menikahi empat orang wanita. Maka dalilnya berasal dari ayat ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan. Seandainya diperbolehkan mempunyai istri lebih dari itu (yakni lebih dari empat orang), niscaya hal ini akan disebutkan oleh firman-Nya.

Imam Syafii mengatakan, "Sesungguhnya sunnah Rasulullah Saw. yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah Saw. tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita." Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini telah disepakati di kalangan para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syi’ah yang mengatakan, "Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang." Sebagian dari kalangan Syi'ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah Saw. dalam hal menghimpun istri lebih banyak daripada empat orang sampai sembilan orang wanita, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih.

Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari; sesungguhnya Imam Bukhari sendiri telah men-ta'liq-nya (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri. Hal ini menurut para ulama termasuk kekhususan bagi Nabi Saw. sendiri, bukan untuk umatnya; karena adanya hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, yaitu membatasi istri hanya sampai empat orang. Dalam pembahasan berikut kami akan mengemukakan hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مَعمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ. قَالَ ابْنُ جَعْفَرٍ فِي حَدِيثِهِ: أَنْبَأَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ أَبِيهِ: أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمة الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشَرَةُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. فَلَمَّا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ طَلَّقَ نِسَاءَهُ، وَقَسَّمَ مَالَهُ بَيْنَ بَنِيهِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّي لَأَظُنُّ الشَّيْطَانَ فِيمَا يَسْتَرِقُ مِنَ السَّمْعِ سَمِعَ بِمَوْتِكَ فَقَذَفَهُ فِي نَفْسِكَ وَلَعَلَّكَ لَا تَمْكُثُ إِلَّا قَلِيلًا. وَايْمُ اللَّهِ لتراجعنَّ نِسَاءَكَ وَلَتَرْجِعَنَّ فِي مَالِكَ أَوْ لأورثُهن مِنْكَ، وَلَآمُرَنَّ بِقَبْرِكَ فَيُرْجَمُ، كَمَا رُجِمَ قبرُ أَبِي رِغَال

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri. Ibnu Ja'far mengatakan bahwa di dalam hadisnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dad Salim, dari ayahnya, bahwa Gailan ibnu Salamah As-Saqafi masuk Islam; saat itu ia mempunyai sepuluh orang istri. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja. Ketika pemerintahan Khalifah Umar. Gailan menceraikan semua istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara semua anaknya. Hal tersebut terdengar oleh sahabat Umar, maka ia berkata (kepada Gailan), "Sesungguhnya aku tidak menduga setan dapat mencuri pendengaran (dari pembicaraan para malaikat) mengenai saat kematianmu, lalu membisikkannya ke dalam hatimu. Yang jelas. barangkali kamu merasakan masa hidupmu tidak akan lama lagi. Demi Allah, kamu harus merujuk istri-istrimu kembali dan kamu harus mencabut kembali pembagian harta bendamu itu. atau aku yang akan memberi mereka warisan dari hartamu, lalu aku perintahkan membuat lubang kuburan buatmu, kemudian kamu dirajam sebagaimana Abu Riqal dirajam dalam kuburannya."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Syafii, Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah, Imam Daruqutni, dan Imam Bailiaqi serta lain-lainnya melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Ulayyah, Gundar, Yazid ibnu Zurai', Sa'id ibnu Abu Arubah, Sufyan As-Sauri, Isa ibnu Yunus, Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dan Al-Fadl ibnu Musa serta lain-lainnya dari kalangan para huffazul hadis, dari Ma'mar berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal sampai pada sabda Nabi Saw.:Pilihlah olehmu empat orang saja di antara mereka!

Sedangkan lafaz lainnya mengenai kisah Umar r.a. termasuk asar yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Tetapi hal ini merupakan tambahan yang baik dan sekaligus melemahkan analisis yang dikemukakan oleh Imam Bukhari terhadap hadis ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi darinya.

Dalam riwayatnya itu Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis ini tidak ada yang hafal. Tetapi yang benar ialah hadis yang diriwayatkan oleh Syu'aib dan lain-lainnya, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa dia menceritakan hadis berikut dari Muhammad ibnu Abu Suwaid ibnus Saqafi, Gailan ibnu Salamah, hingga akhir hadis.

Imam Bukhari mengatakan, "Sesungguhnya hadis Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya hanyalah mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Saqif menceraikan semua istrinya. Maka Umar berkata kepadanya, "Kamu harus merujuk istri-istrimu kembali, atau aku akan merajam kuburmu sebagaimana kubur Abu Rigal dirajam." Akan tetapi, analisis Imam Bukhari ini masih perlu dipertimbangkan.

Sesungguhnya Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Az-Zuhri secara mursal. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Az-Zuhri secara mursal. Menurut Abu Zar'ah, hal ini lebih sahih.

Imam Baihaqi mengatakan bahwa Uqail meriwayatkannya dari Az-Zuhri, telah sampai hadis ini kepada kami dari Usman ibnu Muhammad ibnu Abu Suwaid, dari Muhammad ibnu Yazid.
Abu Hatim mengatakan bahwa hal ini hanyalah dugaan belaka; sesungguhnya sanad hadis ini adalah Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah Saw. ... hingga akhir hadis.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Yunus dan Ibnu Uyaynah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid. Hal ini sama dengan apa yang di-ta'liq-kan(dianalisiskan) oleh Imam Bukhari. Dan isnad yang telah kami ketengahkan dari kitab Musnad Imam Ahmad semua perawinya adalah orang-orang yang siqah dengan syarat Syaikhain.

Kemudian diriwayatkan melalui jalur selain Ma'mar, bahkan Az-Zuhri. Imam Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Ali Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai dan Yazid ibnu Umar ibnu Yazid Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sar-rar ibnu Mujasysyar, dari Ayyub, dari Nafi' dan Salim, dari Ibnu Umar, bahwa Gailan ibnu Salamah pada mulanya mempunyai sepuluh orang istri. Lalu ia masuk Islam, dan semua istrinya ikut masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi Saw. menyuruh Gailan memilih empat orang istri saja di antara mereka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya.

Abu Ali ibnus Sakan mengatakan bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh Sarrar ibnu Mujasysyar. dan dia orangnya siqah Ibnu Mu'in menilainya siqah pula.

Abu Ali mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sumaid' ibnu Wahb, dari Sarrar.

Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami melalui hadis Qais ibnul Haris atau Al-Haris ibnu Qais dan Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi serta Safwan ibnu Umayyah, yakni hadis Gailan ibnu Salamah ini.

Pada garis besarnya tersimpulkan bahwa seandainya diperbolehkan menghimpun lebih dari enipat orang istri. niscaya Rasulullah Saw. memperbolehkan tetapnya semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi Saw. memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apa pun. Apabila hal ini berlaku untuk yang telah ada, maka terlebih lagi bagi yang pemula.‎

رَوَى أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِمَا  مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيضة بْنِ الشَّمَرْدَل -وَعِنْدَ ابْنِ مَاجَهْ: بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، وَحَكَى أَبُو دَاوُدَ أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: الشَّمَرْذَلِ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ -عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ. وَعِنْدَ أَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةِ: الْحَارِثِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عُمَيْرَةَ الْأَسَدِيِّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثماني نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا".

Hadis lain mengenai hal tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnahnya masing-masing melalui jalur Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Khamisah ibnusy Syamardal, sedangkan yang ada pada Imam Ibnu Majah dari bintisy Syamardal. Imam Abu Daud meriwayatkan bahwa di antara mereka ada yang menyebut Asy-Syamarzal dengan memakai huruf Zal dari Qais ibnul Haris. Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Abu Daud dalam riwayat Al-Haris ibnu Qais, Umairah Al-Asadi pernah mengatakan, "Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai delapan orang istri. Lalu aku tuturkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda: 'Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja'!"

Sanad hadits ini jayyid; perbedaan syawahid seperti ini tidak menimbulkan mudarat pada hadis yang dimaksud.

Hadis lain sehubungan dengan masalah ini diriwayatkan oleh Imam Syafii di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa: ‎

أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ ابْنَ أَبِي الزِّناد يَقُولُ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ سُهَيل بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَوْفِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ نَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الدِّيْلِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي خَمْسُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اخْتَرْ أَرْبَعًا أَيَّتَهُنَّ شِئْتَ، وَفَارِقِ الْأُخْرَى"، فَعَمَدت إِلَى أَقْدَمِهِنَّ صُحْبَةً عَجُوزٍ عَاقِرٍ مَعِي مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً، فَطَلَّقْتُهَا .

telah menceritakan kepadaku seseorang yang pernah mendengar dari Ibnu Abuz Zanad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Majid, dari Ibnu Sahl ibnu Abdur Rahman, dari Auf ibnul Haris, dari Naufal ibnu Mu'awiyah Ad-Daili yang mengatakan bahwa ketika dirinya masuk Islam, ia mempunyai lima orang istri. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang istri saja, mana yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lainnya. Ia mengatakan, "Maka aku menjatuhkan keputusanku terhadap seorang di antara mereka yang paling lama menemaniku, yaitu seorang wanita yang sudah tua lagi mandul, sejak enam puluh tahun yang silam, lalu aku ceraikan dia."

Semuanya merupakan syawahid yang memperkuat hadis Gailan tadi. menurut apa yang dikatakan oleh Imam Baihaqi.

Firman Allah Swt.:‎

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ}

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 3)

Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:‎

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian (An-nisa 129)

Pendapat yang sahih adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yakni tidak berbuat zalim. 

Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang berbuat aniaya berat sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya Abu Talib mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal:‎

بِمِيزَانِ قسطٍ لَا يَخيس شُعَيْرَةً ...لَهُ شَاهِدٌ مِنْ نَفْسِهِ غَيْرُ عَائِلِ

 Dengan timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya seberat sehelai rambut pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang tidak aniaya.

Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman ibnu Affan berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu hal yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman ibnu Affan mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang berat sebelah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.‎

وَقَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدويه، وَأَبُو حَاتِمِ ابْنِ حِبَّان فِي صَحِيحِهِ، مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ دُحَيْم، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا} قال: "لا تجوروا".

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih serta Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Umair, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian berbuat aniaya!"

Ibnu Abu Hatim mengatakan.”Menurut ayahku hadis ini keliru. Yang benar hadis ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak sampai kepada Nabi Saw

Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Mujahid, Ikrimah. Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin, An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurasani. Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan.”Tidak berat sebelah."

Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang diucapkan oleh Abu Talib, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Tetapi apa yang diucapkan oleh Abu Talib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia mengemukakannya secara baik dan memilihnya.

Allah menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan hartanya, melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan kamu pilihlah perempuan lain yang kamu senangi satu, dua, tiga atau empat, dengan konsekuensi kamu memperlakukan istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu bermalam (giliran), nafkah, perumahan serta hal-hal yang berbentuk materi lainnya.‎

Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi apabila kamu tidak dapat melakukan semua itu dengan adil, maka cukuplah kamu menikah dengan seorang saja. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang.

 Poligami merupakan sebuah rukshah (keringanan) yang bersyarat, yaitu mampu berbuat adil. Jika khawatir tidak sanggup berbuat adil, maka cukup satu istri saja.

Alasan islam memperbolehkan rukshah ini, karena Islam merupakan agama yang selalu melihat realita dan kebutuhan masyarakat, dan senantiasa menjaga ahlak dan kebaikan masyarakat.

Poligami adalah solusi dari suatu problem masyarakat, seperti perzinahan dan lain-lain.

 Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagi berikut:

1. Apabila dalam satu rumah tangga belum mempunyai seorang keturunan sedang istrinya menurut pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul, padahal dari perkawinan diharapkan bisa mendapatkan keturunan, maka poligami merupakan jalan keluar yang bisa dilakukan.

2. Bagi perempuan masa berhenti haid (menopause) lebih cepat datangnya, sebaliknya bagi seorang pria walau telah mencapai umur tua , dan kondisi fisiknya sehat ia masih membutuhkan pemenuhan hasrat seksualnya. Dalam keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina? Maka disinilah dirasakan hikmah dibolehkannnya poligami tersebut.

3. Sebagai akibat dari peperangan umpamanya jumlah kaum perempuan lebih banyak dibandingkan kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami. Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki.

4. Untuk menolong kehidupan seorang perempuan, seperti yang dilakukan nabi Muhammad SAW.

Hikmah Poligami yang Dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW. selalu memelihara kemaslahatan dalam memilih setiap wanita yang akan dijadikan istrinya. Untuk itu, beliau menarik kabilah-kabilah terbesar untuk bersimenda dengannya. Kemudian beliau mengajari para pengikutnya, seperti, bagaimana cara menghormati kaum wanita dan memuliakan istri-istrinya, serta berlaku adil terhadap mereka.
            
Ketika Nabi SAW. wafat beliau meningglkan sembilan istrinya sebgai ‎Ummahatu ‘i mukmini (Ibu-ibu kaum mukmin). Mereka, bertugas mengajari istri-istri kaum mukmin tentang hukum-hukum yang khusus untuk kaum wanita yang harus mereka ketahui, langsung dari kaum wanita sendiri, bukan dari kaum pria. Dan seandainya Nabi SAW. hanya meninggalkan seorang istri pastilah manfaatnya tidak akan seperti beliau meningglakan sembilan istri (mengingat funsi mereka yang sangat penting).

Singkatnya, dalam berpoligamy Nabi SAW tidak bermaksud seperti yang dikehendaki oleh seorang raja, amir, dan hartawan yang hanya ingin bersenang- senang dengan wanita. Sebab, kalau saja beliau bermaksud demikian, niscaya beliau akan memilih wanita- wanita tercantik da perawan, seperti yang pernah beliau sarankan kepada salah seorang sahabat yang mengawini seorang janda.

هَلاَ بِكْرًا تَلاَ عِبُهَا وَ تُلاَعِبُكَ وَ تَظَحِكُهَا وَتُظَا حِكُهَا.

Mengapa bukan (yang masih) perawan, (hingga) engkau bisa bermain-main dengannya, dan ia pun bisa bermain-main denganmu, kemudian engkau bisa bersenang- senang dengannya, dan ia pun bisa bersenang-senang denganmu.
(H.R. Bkhari dan Muslim)

Berpoligami butuh keadilan. Berlaku adil inilah yang berat. Karena di antara wasiat Allah yang Dia sampaikan kepada kita di dalam kitab-Nya yang mulia adalah sikap adil terhadap para istri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 129).
Sikap adil yang dituntut dari seorang suami adalah adil dalam jatah bermalam, adil dalam memberi nafkah dan pakaian. Di sini yang dituntut bukanlah adil dalam kecenderungan hati, sebab manusia tidak mampu menyamakan kecenderungan hatinya.
Sebagian orang bila memiliki lebih dari satu istri hanya memperdulikan salah satu istri dan mengabaikan yang lain. Ia bermalam lebih lama di rumah istri tersebut. Ia berikan nafkah hanya kepadanya dan menelantarkan istri-istri yang lain. Tindakan seperti ini haram dilakukan, dan pelakunya akan datang pada hari kiamat dalam keadaan seperti dijelaskan dalam hadits berikut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394. Syaikh Al Albani menyatakan hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1949)
Al ‘Azhim Abadi berkata, “Siapa yang memiliki dua isteri –misalnya- lantas ia tidak berbuat adil terhadap keduanya. Ia lebih cenderung pada salah satunya, tidak pada yang lainnya, maka salah satu sisi badannya akan mengalami kelumpuhan.”
Beliau mengatakan pula, “Hadits di atas menunjukkan bahwa wajib bagi suami untuk menyamakan dan tak boleh condong pada salah satunya, yaitu dalam hal pembagian malam dan nafkah. Ini bukan berarti mesti sama dalam hal kecintaan. Kecintaan tersebut tak bisa seseorang membuatnya sama.” (‘Aunul Ma’bud, 6: 124).
Yang dimaksud ayat yang kami sebutkan di atas telah diterangkan oleh Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya (hal. 206), maksudnya adalah, “Suami tidak mampu berbuat adil secara sempurna kepada para istrinya. Karena adil melazimkan keadilan dalam hal cinta, condong pada salah satunya, kemudian amalan sebagai konsekuensinya. Berbuat adil secara sempurna untuk itu semua, amatlah sulit. Oleh karenanya Allah memaafkannya. Sedangkan hal yang mampu suami berbuat adil, dilarang untuk tidak adil.”
Kemudian Syaikh As Sa’di melanjutkan, “Untuk masalah nafkah, pakaian, pembagian malam dan semacamnya, hendaklah suami berbuat adil. Hal ini berbeda dengan kecintaan dan kenikmatan hubungan intim.”
Kalau memang ingin berpoligami, berlaku adillah. Jangan sekedar memperturut nafsu sehingga cenderung untuk tidak adil dan condong pada salah satu istri atau bahkan sampai melalaikan nafkah atau bahkan sebenarnya tidak mampu, namun memaksa untuk berpoligami.
Jadi timbang-timbanglah sebelum melangkah. Benarkah itu kebutuhan ataukah sekedar keinginan?
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar