Minggu, 03 Juli 2016

Dzikir Dan Doa Berjama'ah Setelah Sholat Bukanlah Bid'ah

Pada dasarnya, kalau kita mengkaji ajaran Islam secara mendalam, akan kita dapati bahwa tradisi doa bersama, di mana salah seorang dari jamaah mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah lainnya membaca amin, merupakan tradisi Islami sejak generasi salaf yang saleh dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut ini:‎

عن نافع قال كان ابن عمر إذا جلس مجلسا لم يقم حتى يدعو لجلسائه بهذه الكلمات وقَالَ : قَلَّمَا كَانَ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يَقُومُ مِنْ مَجْلِسٍ حَتَّى يَدْعُوَ بِهؤلاء الدَّعَواتِ : (( اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا ، اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بأسْمَاعِنا ، وَأَبْصَارِنَا ، وقُوَّتِنَا مَا أحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الوارثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلاَ تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا )) رواه الترمذي والنسائي، وقال الترمذي: (( حديث حسن )) .‎

“Nafi’ berkata: “Setiap Ibnu Umar duduk dalam satu majlis, ia tidak berdiri sebelum berdoa bagi mereka yang duduk bersama beliau dengan kalimat-kalimat ini, dan beliau berkata: “Sedikit sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dari satu majlis sebelum berdoa dengan doa-doa berikut: “Ya Allah, berikanlah kami bagian dari sifat takut kepada-Mu yang dapat menghalangi kami dari perbuatan-perbuatan dosa kepada-Mu, dari ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan kami ke surga-Mu, dari keyakinan yang akan meringakan musibah-musibah dunia pada kami. Tolonglah kami menghadapi mereka yang memuhusi kami. Janganlah Engkai jadikan musibah kami berkenaan dengan agama kami. Janganlah Engkau jadikan dunia sebagai keinginan terbesar kami, dan puncak pengetahuan kami. Dan janganlah Engkau jadikan penguasa kepada kami orang yang tidak mengasihi kami.” (HR. al-Tirmidzi [3502] dan al-Nasa’i [10161]. Al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan.”).
Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah SAW bersabda:‎

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri RA –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”

Dalam hadits lain diterangkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).

Menurut al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi li-’Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi (juz 4 hal. 43), kelemahan hadits al-Dailami di atas dapat diperkuat dengan ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman tentang kisah Nabi Musa AS:

قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا. (يونس : ٨٩).

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus : 89).

Dalam ayat di atas, al-Qur’an menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS. Padahal yang berdoa sebenarnya Nabi Musa AS, sedangkan Nabi Harun AS hanya mengucapkan amin, sebagaimana diterangkan oleh para ulama ahli tafsir. Nabi Musa AS yang berdoa dan Nabi Harun AS yang mengucapkan amin, dalam ayat tersebut sama-sama dikatakan berdoa. Hal ini pada dasarnya menguatkan substansi hadits di atas, bahwa orang yang berdoa dan yang mengucapkan amin sama-sama mendapatkan pahala doa. Mengenai doa Nabi Musa AS tersebut, telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya, yaitu ayat berikut ini:

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ، (يونس : ٨٨).

“Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasankalah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS. Yunus : 88).

1) Hadits Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ‘anhu
عن قيس المدني أن رجلا جاء زيد بن ثابت فسأل عن شيء فقال له زيد : عليك بأبي هريرة فبينا أنا وأبو هريرة وفلان في المسجد ندعو ونذكر ربنا عز و جل إذ خرج إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم حتى جلس إلينا فسكتنا فقال : " عودوا للذي كنتم فيه " . فقال زيد : فدعوت أنا وصاحبي قبل أبي هريرة وجعل النبي صلى الله عليه و سلم يؤمن على دعائنا ثم دعا أبو هريرة فقال : اللهم إني سائلك بمثل ما سألك صاحباي وأسألك علما لا ينسى . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم آمين فقلنا يا رسول الله ونحن نسأل الله علما لا ينسى فقال سبقكما بها الدوسي رواه والنسائي في الكبرى والطبراني في الأوسط وصححه الحاكم
“Dari Qais al-Madani, bahwa seorang laki-laki mendatangi Zaid bin Tsabit, lalu menanyakan tentang suatu. Lalu Zaid berkata: “Kamu bertanya kepada Abu Hurairah saja. Karena ketika kami, Abu Hurairah dan si fulan di Masjid, kami berdoa dan berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar kepada kami, sehingga duduk bersama kami, lalu kami diam. Maka beliau bersabda: “Kembalilah pada apa yang kalian lakukan.” Zaid berkata: “Lalu aku dan temanku berdoa sebelum Abu Hurairah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca amin atas doa kami. Kemudian Abu Hurairah berdoa: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu seperti yang dimohonkan oleh kedua temanku. Dan aku memohon kepada-Mu ilmu pengetahuan yang tidak akan dilupakan.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Amin.” Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah, kami juga memohon ilmu pengetahuan yang tidak akan dilupakan.” Lalu beliau berkata: “Kalian telah didahului oleh laki-laki suku Daus (Abu Hurairah) itu”. (HR. al-Nasa’i dalam al-Kubra [5839], al-Thabarani dalam al-Ausath [1228]. Al-Hakim berkata dalam al-Mustadrak [6158]: “Sanadnya shahih, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya”.)
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca amin atas doa sahabatnya. Berarti mengamini doa orang lain, hukumnya sunnah berdasarkan hadits di atas.‎

2) hadits Habib bin Maslamah al-Fihri radhiyallahu ‘anhu‎

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك وقال صحيح على شرط مسلم، وقال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد: رجاله رجال الصحيح غير ابن لهيعة وهو حسن الحديث.
“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri radhiyallahu ‘anhu –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [3536], dan al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/347. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid 10/170, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”‎

Hadits di atas, memberikan pelajaran kepada kita, agar sering berkumpul untuk melakukan doa bersama, sebagian berdoa, dan yang lainnya membaca amin, agar doa dikabulkan.‎‎

3) hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma‎

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.
“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami [3039] dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).‎

Kelemahan hadits ini dapat dikuatkan dengan hadits sebelumnya dan ayat al-Qur’an di atas.‎

4) hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:


عن أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : أُعْطِيتُ ثَلاَثَ خِصَالٍ : صَلاَةً فِي الصُّفُوفِ ، وَأُعْطِيتُ السَّلاَمَ وَهُوَ تَحِيَّةُ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَأُعْطِيتُ آمِينَ ، وَلَمْ يُعْطَهَا أَحَدٌ مِّمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، إِلاَّ أَنْ يَكُونَ الله أَعْطَاهَا هَارُونَ ، فَإِنَّ مُوسَى كَانَ يَدْعُو وَيُؤَمِّنُ هَارُونَ. رواه الحارث وابن مردويه وسنده ضعيف 
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku dikaruniakan tiga perkara; shalat dalam shaf-shaf. Aku dikaruniakan salam, yaitu penghormatan penduduk surga. Dan aku dikaruniakan Amin, dan belum pernah seseorang sebelum kalian dikaruniakan Amin, kecuali Allah karuniakan kepada Harun. Karena sesungguhnya Musa yang selalu berdoa, dan Harun selalu membaca amin.” (HR al-Harits bin Abi Usamah dan Ibnu Marduyah. Sanad hadits ini dha’if. Lihat, al-Amir al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, 2/488). ‎‎

Kelemahan hadits ini dapat diperkuat dengan hadits-hadits sebelumnya serta ayat al-Qur’an di atas. Hadits di atas mengisyaratkan pentingnya membaca amin bagi orang orang lain, sebagaimana bacaan amin Nabi Harun ‘alaihissalam atas doa Nabi Musa ‘alaihissalam.
5) hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
عن عائشة - رضي الله عنها - عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُوْدُ عَلىَ شَيْءٍ مَا حَسَدُوْكُمْ عَلىَ السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ أخرجه البخاري في الأدب المفرد وأحمد بمعناه ابن ماجة وقال البوصيري هذا إسناد صحيح، وإسحاق بن راهوية في مسنده قال الأمير الصنعاني قد صححه جماعة، وقال الحافظ ابن حجر صححه ابن خزيمة وأقره.
.
“Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang Yahudi tidak hasud kepada kalian melebihi hasud mereka pada ucapan salam dan amin.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad [988], Ahmad 6/134, Ibnu Majah [856], dan Ibnu Rahawaih dalam al-Musnad [1122]. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh al-Bushiri dan lain-lain. Lihat al-Amir al-Shan’ani, al-Tanwir Sayrh al-Jami’ al-Shaghir, 9/385).
Hadits di atas menganjurkan kita memperbanyak ucapan salam dan amin. Tentu saja ucapan salam kepada orang lain. Demikian pula memperbanyak ucapan amin, baik untuk doa kita sendiri, maupun doa orang lain. Hadits ini juga menjadi dalil, bahwa ajaran Syiah sangat dekat dengan Yahudi, karena sama-sama melarang membaca amin.‎

6) atsar Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
عن جامع بن شداد عن ذي قرابة له قال سمعت عمر بن الخطاب يقول ثلاث كلمات إذا قلتها فهيمنوا عليها اللهم إني ضعيف فقوني اللهم إني غليظ فليني اللهم إني بخيل فسخني. رواه ابن سعد في الطبقات‎

“Dari Jami’ bin Syaddad, dari seorang kerabatnya, berkata: “Aku mendengar Umar bin al-Khaththab berkata: “Tiga kalimat, apabila aku mengatakannya, maka bacakanlah amin semuanya: “Ya Allah, sesungguhnya aku orang yang lemah, maka kuatkanlah aku. Ya Allah, sesungguhnya aku orang yang kasar, lembutkanlah aku. Ya Allah, sesungguhnya aku seorang yang pelit, maka pemurahkanlah aku.” (HR. Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat 3/275).‎

7) atsar al-Nu’man bin Muqarrin radhiyallahu ‘anhu. Dalam peperangan Persia, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, Panglima al-Nu’man bin Muqarrin berdoa, dan meminta anggota pasukannya membaca amin:
وكان النعمان بن مقرن رجلا لينا فقال ... اللهم إني اسألك أن تقر عيني اليوم بفتح يكون فيه عز الإسلام وذل يذل به الكفار ثم اقبضني إليك بعد ذلك على الشهادة أمنوا يرحمكم الله فأمنا وبكينا. رواه الطبري في تاريخه. وفي رواية قال النعمان: وَإِنِّي دَاعِيَ اللهَ بِدَعْوَةٍ ، فَأَقْسَمْتُ عَلَى كُلِّ امْرِئٍ مِنْكُمْ لَمَّا أَمَّنَ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : اللهُمَّ اُرْزُقَ النُّعْمَانَ الْيَوْمَ الشَّهَادَةَ فِي نَصْرٍ وَفَتْحٍ عَلَيْهِمْ ، قَالَ : فَأَمَّنَ الْقَوْمُ. رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح.


“Al-Nu’man bin Muqarrin seorang laki-laki yang lembut. Lalu beliau berkata: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, agar Engkau sejukkan mataku pada hari ini dengan penaklukan yang menjadi kemuliaan Islam dan kehinaan orang-orang kafir. Kemudian ambillah aku kepada-Mu sesudahnya dengan mati sebagai syahid. Bacakanlah amin, semoga Allah mengasihi kalian.” Maka kami membaca amin atas doa beliau dan kami menangis.” (HR. al-Thabari, Taikh al-Umam wa al-Muluk, 4/235). 

Dalam riwayat lain, al-Nu’man berkata: “Sesungguhnya aku akan berdoa kepada Allah dengan satu permohonan, aku bersumpah agar setiap orang dari kalian membacakan amin untuk doa tersebut. Lalu al-Nu’man berkata: “Ya Allah, berilah al-Nu’man rizki meninggal sebagai syahid dalam kemenangan dan penaklukan atas mereka.” Perawi berkata: “Lalu kaum membaca amin.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf [34485]). Sanad atsar tersebut shahih.
Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa doa bersama, dengan dipimpin oleh seorang imam, dan dibacakan amin oleh para jamaah, adalah tradisi Islami yang memiliki dasar yang kuat dari al-Qur’an, hadits dan tradisi para sahabat.

Dalam hadits lain diterangkan:

عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَّادٍ قَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبِيْ وَعُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ حَاضِرٌ يُصَدِّقُهُ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ؟ يَعْنِيْ أَهْلَ الْكِتَابِ، فَقُلْنَا: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ وَقَالَ: اِرْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ وَقُوْلُوْا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، فَرَفَعْنَا أَيْدِيَنَا سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ: اَللّهُمَّ أَنْتَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ وَأَنْتَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ، ثُمَّ قَالَ: أَبْشِرُوْا فَقَدْ غُفِرَ لَكُمْ. رواه الإمام أحمد بسند حسنه الحافظ المنذري، والطبراني في الكبير وغيرهما.

“Ya’la bin Syaddad berkata: “Ayahku bercerita kepadaku, sedangkan Ubadah bin al-Shamit hadir membenarkannya: “Suatu ketika kami bersama Nabi SAW. Beliau berkata: “Apakah di antara kamu ada orang asing? (Maksudnya ahlul-kitab).” Kami menjawab: “Tidak ada, ya Rasulullah.” Lalu Rasul SAW memerintahkan agar mengunci pintu. Kemudian bersabda: “Angkatlah tangan kalian dan ucapkan la ilaha illlallah.” Maka kami mengangkat tangan kami beberapa saat. Kemudian Rasul SAW berkata: “Ya Allah, Engkau telah mengutus aku membawa kalimat ini, dan Engkau janjukan surga padaku dengan kalimat tersebut, sedangkan Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian Rasul SAW bersabda: “Bergembiralah, karena Allah telah mengampuni kalian.” (HR. al-Imam Ahmad dengan sanad yang dinilai hasan oleh al-Hafizh al-Mundziri, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan lain-lain.

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat membaca kalimat tauhid (la ilaha illallah) bersama-sama. Lalu para sahabat pun mengucapkannya bersama-sama sambil mengangkat tangan mereka. Kemudian Rasulullah SAW membacakan doa. Dengan demikian, dzikir bersama sebenarnya memiliki tuntunan dari hadits shahih ini.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi doa bersama, di mana salah seorang di antara jamaah memimpin doa, sedangkan jamaah yang lain mengucapkan amin, baik hal tersebut didahului dengan dzikir bersama maupun tidak, pada dasarnya memiliki dasar hadits yang kuat, dan bahkan merupakan tuntunan al-Qur’an al-Karim sebagaimana yang terdapat dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS. 

Sebagaimana yang kita ketuahi bahwa bahwa berdzikir bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam shalat berjamaah sebaiknya dilakukan bersama-sama. Imam membaca dzikir dengan keras dan makmum mengikutinya. Hal ini didasarkan keumuman hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم
 “Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (H.R. Muslim)

Di sisi lain memang beberapa hadits shahih yang tampak memiliki maksud berbeda. Di satu sisi terdapat hadits yang menunjukkan bahwa membaca dzikir dengan suara keras setelah sahalat fardlu sudah dilakukan para sahabat pada masa Nabi saw. Hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم‎

“Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi saw” (H.R. Bukhari-Muslim)
 
Namun terdapat juga hadits lain yang berkebalikan, yang menunjukkan adanya anjuran untuk memelankan suara ketika berdzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:


ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا (رواه البخاري
“Ringankanlan atas diri kalian (jangan mengerasakan suara secara berlebihan) karena susunggunya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, akan tetapi kalian berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (H.R. Bukhari)

Dari kedua hadits tersebut dapat dipahami bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir dan memelannkannya sama-sama memiliki landasan yang shahih. Maka dalam konteks ini Imam an-Nawawi berusaha untuk menjembatani keduanya dengan cara memberikan anjuran kepada orang yang berdzikir untuk menyesuakan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini adalah penjelasan Imam an-Nawawi yang dikemukan oleh penulis kitab Ruh al-Bayan.

 وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، 3، ص. 306
“Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir tersebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306)
Mengeraskan Suara Dalam Dzikir Setelah Sholat

Dzikir setelah shalat merupakan ibadah yang sangat disunnahkan dan salah satu kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga melakukannya dengan suara keras.Dalam sahih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.”dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ

“Aku mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir.” (HR. al-Bukhari)

Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ مِنْ صَلاتِهِ يَقُولُ : بِصَوْتِهِ الأَعْلَى : ” لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ ، وَلا نَعْبُدُ إِلا إِيَّاهُ ، لَهُ النِّعْمَةُ ، وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengucapkan salam dari shalatnya akan berkata dengan suaranya yang paling tinggi: laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariika lah lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syay’in qadiir. ..

Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengingkari dan melarangnya.

Ibnu Huzaiman memasukkan hadits di atas daam kitab Shahih-nya, dan memberinya judul, Bab: Raf’u al-Shaut bi al-Takbiir wa al-Dzikr ‘inda Inqidha’ al-Shalah – Bab: meninggikan ( mengeraskan ) suara takbir dan dzikir ketika selesai shalat ( wajib ).. hal ini menunjukkan bahwa beliau memahami bolehnya mengeraskan takbir dan dzikir sesudah shalat.

Ibnu Daqiq al-‘Id, juga menyatakan hal yang sama, “ Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir.”

Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dan di antara ulama muta’akhirin yang menyunahkannya adalah Ibnu Hazm al-Zahiri.

Sedangkan Imam al-Syafi’i rahimahullaah, memaknai hadits di atas dengan mengatakan, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengeraskan (dzikir sesudah shalat) hanya dalam waktu sementara saja untuk mengajari mereka tentang sifat dzikir, bukan mengeraskan terus menerus.

Imam Syafi’i berpendapat agar imam dan makmum melirihkan dzikir kepada Allah Ta’ala sesudah shalat, kecuali kalau imam ingin agar makmum belajar darinya, maka dia mengeraskan dzikirnya sehingga ia melihat makmum telah belajar darinya, lalu melirihkannya. Dan beliau memaknai hadits tersebut dengan ini. ( Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi ).

Selain dalil-dalil di atas, yang menganjurkan doa bersama, banyak sekali hadits-hadits yang menganjurkan doa bersama dan dzikir bersama. Misalnya hadits berikut ini:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنَّ للهِ مَلائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخاري ومسلم

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan, mereka senantiasa mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka mendapati satu kaum sedang berdzikir kepada Allah, maka mereka akan saling berseru: “Mintalah hajat kalian.” Beliau melanjutkan: “Lalu para malaikat itu mengelilingi dengan sayap-sayapnya hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia.” Beliau melanjutkan: “Lalu Tuhan mereka menanyakan mereka padahal Dia lebih mengetahui dari pada mereka: “Apa yang dikatakan oleh hamba-hamba-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Mereka mensucikan, membesarkan, memuji dan mengagungkan-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apakah mereka pernah melihat-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Demi Allah, mereka tidak pernah melihat-Mu.” Allah bertanya lagi: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Seandainya mereka pernah melihat-Mu, tentu mereka akan lebih bersungguh-sungguh beribadah, mengagungkan dan semakin banyak mensucikan-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apa yang mereka minta kepada-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Mereka memohon surga-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Belum wahai Tuhan kami.” Allah bertanya lagi: “Bagaimana jika mereka telah melihat surga-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Tentu mereka akan lebih bersungguh-sungguh memohon dan menginginkannya.” Allah bertanya lagi: “Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Dari neraka-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apakah mereka sudah pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Demi Allah, mereka belum pernah melihat neraka-Mu.” Allah bertanya lagi: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat itu itu menjawab: “Tentu mereka akan semakin lari dan takut pada neraka itu.” Beliau melanjutkan: “Kemudian Allah berfirman: “Saksikanlah oleh kalian, bahwa Aku sudah mengampuni mereka.” Beliau melanjutkan lagi, “Lalu sebagian malaikat itu berkata: “Wahai Tuhan kami! Di antara mereka terdapat si Fulan, ia bukanlah termasuk orang-orang yang berdzikir, hanya saja ia kebetulan datang karena ada keperluan (duduk bersama mereka).” Lalu Allah menjawab: “Mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka.” (HR. al-Bukhari [6408] dan Muslim [4854]).

Hadits di atas jelas memberikan pelajaran tentang keutamaan majlis dzikir. Kita dianjurkan memperbanyak majlis dzikir. Kemudian di bagian akhir hadits tersebut dijelaskan, tentang keutamaan orang yang tidak sengaja datang kepada mereka, lalu diampuni, padahal tidak bermaksud menjadi peserta majlis dzikir. Nah, apabila orang yang tidak sengaja datang, begitu besar pahalanya, apalagi orang yang sengaja datang, tentu lebih besar pahalanya. Bukankah begitu akhi? (Lihat, al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 11 hal. 213).


Berikut ini kami sertakan fatwa-fatwa para ulama Arab yang natabennya Ulama Wahabi tentang dzikir sesudah shalat:

Fatwa Syaikh Utsaimin rahimahullaah

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan bagaimana cara pelaksanaannya?

Beliau menjawab: Bahwa sesungguhnya menjaharkan dzikir sesudah shalat fardhu adalah sunnah.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu menunjukkan sunnah tersebut, bahwa mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai melaksanakan shalat fardhu telah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,


كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ‎

“Dan aku tahu apabila mereka telah selesai dari shalat dengan itu, (yaitu) apabila aku mendengarnya.” (Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini adalah salah satu dari hadits-hadits dalam al-‘Umdah).

Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca apabila telah selesai shalat:


لَا إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

“Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Al-hadits. Dia tidak akan mendengar dzikir ini kecuali jika orang yang berdzikir mengeraskannya.

Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu ‘anhum. Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas.

Tidak didapatkan keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan selainnya.

Bahkan di dalam hadits Ibnu Abbas, mereka mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir.

Dengan ini terbantahkan pendapat orang bahwa tidak boleh jahar (keras) dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir.

Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu ‘anhum.

Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas.

Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut bid’ah?!

Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullaah berkata, “Hal itu ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari perbuatan dan taqrirnya.

Para sahabat melaksanakan hal itu pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau mengajarkannya kepada mereka.

Beliau menyetujui mereka atas hal itu sehingga mereka mengetahuinya dengan pengajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka.

Mereka melaksanakan dan beliau menyetujui mereka di atas perbuatan tersebut setelah mengetahuinya, beliau tidak mencela mereka.”

Adapun alasan mengingkari dzikir jahar dengan firman Allah Ta’ala,


وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,” (QS. Al-A’raf: 205).

Fatwa Syaikh Ibnu Bazz

Al-‘Allamah Ibnu Bazz pernah ditanya tentang sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraskan dzikir atau melirihkannya?

Beliau menjawab: Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa mengeraskan suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanakan shalat wajib sudah ada pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku mendengarnya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’)

Dalam Jawaban lain, beliau berkata: “Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku mendengar (suara dzikir) itu.”

Hadits shahih ini dan hadits-hadits semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhumadan lainnya, semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir ketika orang-orang selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu. (Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dalil lain yang menerangkan hal itu. Dalam tuntunan mengeraskan dzikir ketika para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak manfaat, diantaranya: 1. Menampakkan pujian kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung ini. 2. Dan (Sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar