Minggu, 03 Juli 2016

Kisah Perang Tabuk Dan Hikmah Dibalik Peristiwa Tersebut

Tabuk ialah sebuah benteng yang kuat dan tinggi, dibangun di sebuah kawasan perbatasan Syam, atau Suriah sekarang. Pada zaman itu Suriah merupakan tanah jajahan imperium Romawi Timur. Penduduk Syam saat itu beragama Kristen, dan para pejabat pemerintahannya ditunjuk oleh para penguasa Romawi.

Penyebaran agama Islam yang sangat cepat di Tanah Arab dan kemenangan umat muslimin dalam berbagai peperangan, membuat para penguasa Syam takut, sehingga mendorong mereka untuk menyusun strategi. Mereka berpikir bahwa sebelum Islam semakin menyebar dan memperoleh kekuatan, maka mereka harus membasminya terlebih dahulu. Rupanya strategi preemtif yang sekarang ini diterapkan oleh AS, sudah dikenal sejak zaman dulu.

Persiapan pasukan Syam yang didukung oleh pasukan imperium Romawi dan niat mereka untuk melancarkan serangan preventif terhadap muslimin ini telah didengar oleh Rasullullah Shalallahuwa’alaihi wasalam, melalui berita yang dibawa oleh para pedagang Arab yang jalur perdagangan mereka itu adalah Madinah - Syam. Beliaupun merasa harus segera mempersiapkan pasukan dalam jumlah besar untuk menghadang dan memberi pelajaran kepada pasukan Syam dukungan Romawi itu, selain tentu saja demi menjaga dan mempertahankan pemerintahan Islam yang berhasil beliau tegakkan di jazirah Arab.

Sejarah Perang Tabuk menjadi sejarah peperangan terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW. Rasulullah memimpin langsung perang yang terjadi pada 630 M atau 9 H antara tentara Muslim dan pasukan Bizantium (Romawi Timur). Memang, tidak ada pertempuran yang terjadi kerena diadakan perundingan diantara keduanya. Namun pada perang ini lah umat Islam diuji, apakah mereka mau bersatu untuk berperang membela agama Allah, atau malah menikmati kekayaan yang saat itu sedang mereka rasakan. 

Pasukan Binzantium awalnya percaya diri dengan 100 ribu pasukan lebih. Hal ini membuat Rasulullah SAW menurunkan 30 ribu pasukan. Jumlah ini menjadi jumlah pasukan terbanyak yang dilalui Nabi sepanjang perang. 

Para sahabat lalu menyumbangkan hartanya untuk perang kali ini. Utsman Bin Affan menyedekahkan 900 Unta, 100 kuda dan 1000 Dinar. Abdurahman bin Auf yang menyumbang 200 uqiyah perak, yang satu uqiyah sama dengan 40 dirham, tak lupa Umar Bin Khattab yang menyumbang setengah hartanya, juga Abu Bakar yang seluruh hartanya untuk peperangan ini.

Ternyata ada saja kaum munafik yang saat itu memilih untuk tetep tinggal di Madinah yang saat itu sedang menikamati panen raya. Akhirnya yang tinggal adalah kaum munafik, orang-orang udzur, wanita, anak-anak dan sebagian kecil sahabat yang tak mendapatkan tunggangan padahal mereka sangat ingin berperang. Tiga sahabat Rasulullah juga memilih untuk tinggal menikmati kenikmatan dunia ketimbang ikut berperang. Salah satunya adalah Ka’ab Bin Malik.

Perjalanan untuk menempuh perang pun dimulai. Rasulullah SAW dan pasukan kemudian meninggalkan Madinah menuju Tabuk yang wilayahnya berjarak 800 km dari Madinah. Perjalanan ini memakan waktu hingga 20 hari. Medan yang mereka lakoni juga sangat sulit. Selain keterbatasan bahan makanan, kaum muslimin juga harus menghadapi panasnya gurun pasir yang diatas rata-rata. Perang  ini bahkan dijuluki “Pasukan Jaisyul Usrah” yang artinya pasukan yang dalam keadaan sulit.

Sesampainya di Tabuk, Rasulullah SAW tidak menemukan satu pun kaum musrikin. Romawi dan sekutunya merasa takut dan kuatir setelah mendengar Rasulullah SAW menggalang pasukan. Mereka berpencar ke batas-batas wilayahnya. 

Rasulullah SAW menghabiskan 10  hari Tabuk. Namun Ia tidak tinggal diam begitu saja, ekspedisi ini dimanfaatkan Nabi Muhammad SAW untuk mengunjungi kabilah-kabilah yang ada di sekitar Tabuk dan menyebarkan ajaran Islam.

Rasulullah SAW didatangi oleh Yuhanah bin Rubbah dari Ailah untuk menawarkan perjanjian perdamaian dengan beliau dan siap menyerahkan jizyah kepada beliau. Rasulullah menulis selembar surat perjanjian dan memberikan kepada mereka yang kemudian mereka pegang. Akhirnya peperangan pun tidak jadi terjadi. Setelah 30  hari meninggalkan Madinah, akhirnya umat Islam kembali tanpa terjadi peperangan. 

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman 

وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (118) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119) 

dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari(siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (QS At-Taubah Ayat 118-119)

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami keponakan Az-Zuhri (yaitu Muhammad ibnu Abdullah), dari pamannya (Muhammad ibnu Muslim Az-Zuhri), telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik, bahwa Ubaidillah ibnu Ka'b ibnu Malik yang menjadi juru penuntun Ka'b ibnu Munabbih setelah matanya buta mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Malik menceritakan hadis tentang dirinya ketika ia tidak ikut berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam Perang Tabuk. Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Aku tidak pernah absen dari Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan pun yang dilakukannya, kecuali dalam Perang Tabuk. Hanya dalam Perang Badar aku tidak ikut, dan tidak ada seorang pun yang ditegur karena tidak mengikutinya. Karena sesungguhnya saat itu Rasulullah Saw. berangkat hanya bertujuan untuk menghadang kafilah orang-orang Ouraisy, tetapi pada akhirnya Allah mempertemukan mereka dengan musuh mereka tanpa ada perjanjian sebelumnya. Sesungguhnya aku ikut bersama Rasulullah Saw. dalam malam 'Aqabah ketika kami mengucapkan janji setia kami kepada Islam, dan aku tidak suka bila malam itu diganti dengan Perang Badar, sekalipun Perang Badar lebih dikenal oleh orang daripadanya. Termasuk berita yang menyangkut diriku ketika aku tidak ikut berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam Perang Tabuk ialah bahwa pada saat itu keadaanku cukup kuat dan cukup mudah, yaitu ketika aku absen dari Rasulullah Saw. dalam peperangan tersebut. Demi Allah, aku belum pernah mengumpulkan duarahilah (unta kendaraan lengkap dengan perbekalannya) melainkan aku mampu mengumpulkannya buat perang itu. Rasulullah Saw. apabila hendak berangkat menuju suatu medan perang jarang sekali menyebutkan tujuannya, melainkan menyembunyi­kannya di balik tujuan yang lain. Ketika tiba saat perang itu, maka Rasulullah Saw. berangkat menuju medannya dalam musim yang panas sekali dan perjalanan yang sangat jauh serta padang sahara yang luas, juga akan menghadapi musuh yang sangat banyak. Maka Rasulullah Saw. memberikan kesempatan kepada kaum muslim untuk membuat persiapan sesuai dengan musuh yang akan mereka hadapi, dan beliau Saw. memberitahukan kepada mereka tujuan yang akan ditempuhnya. Saat itu jumlah kaum muslim yang bersama Rasulullah Saw. sangat banyak sehingga sulit untuk dicatat jumlahnya."

Ka'b melanjutkan kisahnya, "Jarang sekali seorang lelaki yang berkeinginan untuk absen melainkan ia menduga bahwa dirinya pasti tidak diketahui, selagi tidak turun wahyu kepada Nabi Saw. dari Allah Swt. yang memberitahukannya. Rasulullah Saw. berangkat ke medan Perang Tabuk di saat musim buah sedang masak dan naungan yang rindang, sedangkan diriku (Ka'b) lebih cenderung kepada kedua hal ini. Rasulullah Saw. melakukan persiapan untuk menghadapinya bersama-sama kaum muslim, dan aku pun pergi dengan mereka untuk membuat persiapan, tetapi aku kembali dalam keadaan masih belum dapat menyelesaikan sesuatu pun dari persiapanku. Lalu aku berkata kepada diri sendiri, 'Aku mampu membuat persiapan jika aku meng­hendakinya.' Hal tersebut berkepanjangan dalam diriku, sedangkan orang lain terus membuat persiapannya dengan penuh kesungguhan. Hingga pada suatu hari Rasulullah Saw. dan kaum muslim berangkat, sedangkan aku masih belum menunaikan sesuatu pun dari persiapanku. Dan aku berkata kepada diriku sendiri, 'Aku akan membuat persiapanku dalam satu dua hari lagi, lalu aku akan berangkat menyusul Rasulullah Saw.' Pada keesokan harinya setelah mereka semuanya pergi, aku pergi untuk membuat persiapanku, tetapi akhirnya aku kembali dalam keadaan masih belum mempersiapkan sesuatu pun dari urusanku itu. Lalu pada keesokan harinya aku pergi lagi untuk membuat persiapan, tetapi aku kembali dalam keadaan belum menunaikan apa-apa. Hal itu berkepanjangan atas diriku, hingga pasukan kaum muslim telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kemudian aku berniat berangkat dan menyusul mereka —sebenar­nya alangkah baiknya bagiku bila niat tersebut kulakukan—, tetapi aku tidak mampu melakukan hal itu. Sejak saat itu apabila keluar menemui orang-orang sesudah ke­berangkatan Rasulullah Saw., aku selalu dilanda kesedihan, karena aku memandang diriku sendiri tiada lain seperti seseorang yang tenggelam dalam kemunafikannya, atau sebagai seorang lelaki yang dimaafkan oleh Allah Swt. karena berhalangan. Rasulullah Saw. tidak menyebut tentang diriku melainkan sesudah sampai di medan Tabuk. Ketika beliau sudah sampai di Tabuk di saat beliau sedang duduk di tengah-tengah kaum muslim, beliau Saw. bertanya, 'Apakah yang telah dilakukan Ka'b ibnu Malik?' Seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah menjawab, 'Wahai Rasulullah, dia tertahan oleh dua lapis kain burdahnya dan memandang kepada kedua sisi pundaknya,' yakni cenderung kepada duniawi. Maka perkataannya itu dibantah oleh Mu'az ibnu Jabal, 'Perkataanmu itu buruk sekali. Demi Allah, wahai Rasulullah, sepanjang pengetahuan kami dia adalah orang yang baik.' Rasulullah Saw. diam."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Ketika sampai kepadaku berita yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. dalam perjalanan pulangnya dari medan Tabuk, maka diriku dilanda kesedihan dan kesusahan, lalu aku mulai berpikir mencari alasan dengan berdusta untuk menyelamatkan diriku dari murka Rasulullah Saw. pada keesokan harinya. Untuk itu, aku bermusyawarah dengan orang-orang yang pandai dari kalangan keluargaku. Tetapi ketika diberitakan bahwa Rasulullah Saw. kini telah dekat, maka lenyaplah kebatilan dari diriku, dan kini aku sadar bahwa diriku tidak akan selamat darinya dengan alasan apa pun. Maka akhirnya aku Pada pagi harinya Rasulullah Saw. tiba. Kebiasaan Rasulullah Saw. apabila baru tiba dari suatu perjalanan, beliau memasuki masjid terlebih dahulu, lalu salat dua rakaat, setelah itu duduk menghadapi orang-orang. Ketika Rasulullah Saw. telah melakukan hal itu, maka berdatangan­lah kepadanya orang-orang yang tidak ikut berperang, lalu mereka mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepadanya untuk menguatkan alasannya. Yang melakukan demikian ada delapan puluh orang lebih, maka Rasulullah Saw. menerima lahiriah mereka dan memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka, sedangkan mengenai isi hati mereka beliau serahkan kepada Allah Swt. Setelah itu aku tiba dan mengucapkan salam kepadanya, maka ia kelihatan tersenyum sinis kepadaku, lalu bersabda, 'Kemarilah!' Aku berjalan ke arahnya hingga duduk di hadapannya, lalu ia bersabda, 'Apakah yang menyebabkan kamu tidak ikut perang? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?' Aku menjawab, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya jika aku duduk di hadapan selain engkau dari kalangan penduduk dunia, niscaya aku dapat keluar dari kemarahannya dengan berbagai alasan, sesungguhnya aku telah dianugerahi pandai berbicara. Tetapi demi Allah, aku merasa yakin bahwa jika aku berbicara kepadamu pada hari ini dengan pembicaraan yang dusta hingga aku dapat membuatmu rida, niscaya Allah akan membuat engkau murka terhadap diriku dalam waktu yang dekat (yakni melalui wahyu-Nya yang menerangkan hal sebenarnya). Dan sesungguhnya jika aku mengatakan hal yang sebenarnya kepadamu, niscaya engkau akan murka terhadap diriku karenanya; hanya saja aku benar-benar berharap semoga Allah memberikan akibat yang terbaik bagiku dalam kejujuranku ini. Demi Allah, sebenarnya aku tidak mempunyai uzur (halangan) apa pun. Demi Allah, aku belum pernah mengalami keadaan yang luas dan mudah seperti ketika aku tidak ikut perang bersamamu'."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Rasulullah Saw. bersabda: Adapun orang ini, maka ia berkata sejujurnya. Sekarang pergilah hingga Allah memberikan keputusan.  Maka aku bangkit dan pergi, lalu bangkitlah banyak kaum lelaki dari kalangan Bani Salamah mengikuti diriku, lalu mereka berkata kepadaku, "Demi Allah, kami belum pernah melihat engkau melakukan suatu dosa (kesalahan) pun sebelum ini. Kali ini engkau tidak mampu mengemuka­kan alasan seperti apa yang dikemukakan oleh mereka yang tidak ikut perang itu. Padahal dosamu sudah cukup akan dihapus oleh permohonan ampun Rasulullah Saw. kepada Allah buat dirimu."

Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, mereka terus-menerus menegurku hingga timbul perasaan dalam hatiku seandainya aku kembali kepada Rasulullah Saw., lalu aku berdusta terhadap diriku. Kemudian aku bertanya kepada mereka, 'Apakah ada orang lain yang mengalami seperti apa yang aku lakukan?' Mereka menjawab, 'Ya, engkau ditemani oleh dua orang lelaki yang kedua-duanya mengatakan hal yang sama dengan apa yang telah kamu katakan, lalu dijawab dengan jawaban yang sama seperti yang diutarakan kepadamu.' Aku bertanya, 'Siapakah keduanya itu?' Mereka menjawab, 'Mararah ibnu Rabi' Al-Amiri dan Hilal ibnu Umayyah Al-Waqifi.' Mereka menceritakan kepadaku perihal dua orang lelaki yang pernah ikut dalam Perang Badar, kedua-duanya adalah orang yang saleh, dan pada diri keduanya terdapat teladan yang baik bagi diriku. Lalu aku meneruskan perjalananku setelah mereka menceritakan kedua orang itu kepadaku."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Rasulullah Saw. melarang kaum muslim berbicara dengan kami bertiga dari kalangan orang-orang yang tidak ikut perang bersamanya. Maka kami dijauhi oleh orang-orang. Sikap mereka berubah total terhadap kami, hingga terasa olehku bahwa bumi yang aku huni ini bukanlah bumi yang pernah aku tinggal padanya dan bukanlah bumi yang aku kenal. Kami tinggal dalam keadaan demikian selama lima puluh hari. Kedua temanku itu diam saja dan hanya tinggal di dalam rumahnya masing-masing sambil menangis tiada henti-hentinya (menyesali perbuatannya), tetapi aku adalah orang yang paling sabar dan paling tahan dalam menderita di antara mereka. Aku tetap ikut salat berjamaah bersama kaum muslim dan berkeliling Di pasar-pasar tanpa ada seorang pun yang mau berbicara kepadaku.  Dan aku datang menghadap Rasulullah Saw. ketika beliau sedang berada di majelisnya sesudah salat, lalu aku mengucapkan salam kepadanya, dan aku berkata kepada diriku sendiri bahwa apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya menjawab salamku ataukah tidak. Kemudian aku salat di dekatnya dan mencuri pandang ke arahnya. Tetapi apabila aku menghadapi salatku, beliau memandang ke arahku, dan apabila aku memandang ke arahnya, maka beliau berpaling dariku. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama kualami, semua orang muslim tidak mau berbicara kepadaku, hingga aku berjalan menelusuri tembok kebun milik Abu Qatadah. yaitu saudara sepupuku dan orang yang paling aku sukai. Lalu aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi —demi Allah—- dia tidak menjawab salamku. Lalu aku berkata, 'Hai Abu Qatadah. aku memohon kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah engkau mengetahui bahwa aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?'."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Sepupuku itu diam saja." Ka'b ibnu Malik mengulangi salam dan pertanyaannya, tetapi sepupunya itu tetap diam. Ketika Ka'b ibnu Malik mengulangi lagi hal itu kepadanya, barulah ia menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Maka berlinanganlah air mata Ka'b ibnu Malik, hingga pergi dan meniti jalan dengan bersembunyi di balik tembok. Ketika aku (Ka'b ibnu Malik) sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba aku bersua dengan seorang Nabti dari negeri Syam yang biasa mendatangkan bahan makanan untuk dijual di Madinah. Dia bertanya, "Siapakah yang akan menunjukkan Ka'b ibnu Malik kepadaku?" Maka orang-orang menunjukkan kepadanya rumahku, hingga orang itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat untukku dari Raja Gassan. Kebetulan aku adalah orang yang pandai baca tulis. Ketika kubaca isinya, ternyata di dalamnya terdapat kata-kata berikut, "Amma ba'du. Sesung­guhnya telah sampai kepada kami suatu berita yang mengatakan bahwa temanmu (yakni Nabi Saw.) telah menjauhimu, dan sesungguhnya Al­lah tidak menjadikanmu berada di negeri yang semuanya menghina dan menyia-nyiakanmu. Maka bergabunglah dengan kami, kami pasti akan membantumu."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Setelah kubaca isi surat itu. jiku berkata kepada diriku sendiri. Inipun suatu malapetaka lagi. Lalu aku menuju tempat pembakaran roti. kemudian surat itu aku masukkan ke dalamnya. Setelah berlalu empat puluh hari dari lima puluh hari yang telah kami sebutkan, tiba-tiba Rasulullah Saw. —yakni utusannya— datang kepadaku seraya membawa pesan bahwa Rasulullah Saw. memerintah­kan aku agar menjauhi istriku. Aku bertanya, 'Apakah aku harus menceraikannya ataukah harus bagaimana?' Utusan itu menegaskan. 'Tidak, tetapi kamu harus menjauhinya, janganlah kamu mendekatinya." Hal yang sama telah dikatakan pula kepada kedua orang temanku."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu aku berkata kepada istriku, 'Pulanglah ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah memutuskan perkaraku ini menurut apa yang dikehendaki-­Nya'." Lain halnya dengan istri Hilal ibnu Umayyah (teman Ka'b yang juga dijauhkan). Ia datang menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal adalah orang yang telah berusia lanjut lagi lemah keadaannya, dia pun tidak mempunyai pembantu, apakah engkau tidak suka bila aku melayaninya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak, tetapi dia tidak boleh mendekatimu." Istri Hilal berkata, "Sesungguhnya dia, demi Allah, tidak mempunyai selera apa pun. Dia, demi Allah, masih terus-menerus menangis sejak peristiwa yang dialaminya sampai sekarang."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu salah seorang istriku ada yang mengatakan kepadaku,' Sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah Saw. agar istrimu diberi izin untuk melayanimu seperti apa yang diizinkan kepada istri Hilal ibnu Umayyah untuk melayaninya.' Aku berkata, 'Demi Alah, aku tidak mau meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk istriku itu, apakah nanti yang akan dikatakan oleh Rasulullah Saw. tentang diriku yang masih muda ini bila aku meminta izin kepadanya'."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Kami tinggal selama sepuluh hari dalam keadaan demikian, hingga genaplah lima puluh hari sejak Rasulullah Saw. melarang orang-orang berbicara kepada kami."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu aku melakukan salat Subuh pada pagi hari yang kelima puluhnya di atas loteng salah satu rumahku. Ketika itu aku sedang duduk dalam keadaan seperti apa yang disebutkan oleh Allah, bahwa jiwaku merasa sempit dan bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Dalam keadaan demikian aku mendengar suara seruan keras dari atas Bukit Sala' yang menyerukan dengan suara keras sekali, 'Bergembiralah engkau, hai Ka'b ibnu Malik!' Maka aku menyungkur bersujud, dan aku mengetahui bahwa telah datang jalan keluar dari Allah Swt., yaitu dengan menerima tobat kami. Rasulullah Saw. seusai salat Subuhnya memaklumatkan penerimaan tobat kami oleh Allah Swt. Maka orang-orang pun pergi untuk menyampaikan berita gembira itu kepadaku dan kepada kedua orang temanku. Ada seorang lelaki yang memacu kudanya dari kalangan kabilah Aslam, dan seorang lagi berlari menaiki puncak Bukit (Sala') untuk menyerukan hal itu, dan ternyata suara lebih cepat daripada kuda. Ketika datang kepadaku orang yang telah kudengar suaranya menyampaikan berita gembira dari atas bukit itu, maka aku tanggalkan kedua bajuku, lalu kuberikan kepadanya sebagai penghargaan atas jasanya; padahal, demi Allah, aku tidak mempunyai baju lagi yang selainnya pada saat itu. Lalu aku meminjam dua lapis baju dan kukenakan, lalu aku berang­kat dengan tujuan akan menghadap Rasulullah Saw. Setiap orang yang aku jumpai secara berbondong-bondong menyampaikan ucapan selamat mereka kepadaku karena tobatku diterima oleh Allah. Mereka mengata­kan, 'Selamat dengan penerimaan tobatmu oleh Allah.' Ketika aku memasuki masjid, kujumpai Rasulullah Saw. sedang duduk dikelilingi oleh orang banyak. Maka Talhah ibnu Ubaidillah berlari kecil datang kepadaku dan menyalamiku serta mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah dialah satu-satunya orang dari kalangan Muhajirin yang bangkit menyambutku."

Perawi mengatakan bahwa atas peristiwa itu Ka'b tidak pernah melupakan kebaikan Talhah ibnu Ubaidillah.

Ka'b melanjutkan kisahnya, "Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw. (dan beliau menjawab salamku), maka kelihatan wajah Rasulullah Saw. bercahaya karena gembira, lalu bersabda: 'Bergembiralah engkau dengan sebaik-baik hari yang kamu alami sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.' Aku bertanya, 'Apakah dari sisimu, hai Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?' Rasul Saw. menjawab, 'Tidak, tetapi dari sisi Allah.' Rasulullah Saw. bila wajahnya bersinar hingga kelihatan seperti bulan purnama, maka hal itu merupakan suatu pertanda bahwa beliau sedang gembira. Ketika aku duduk di hadapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya untuk menunjukkan tobatku, aku melepaskan semua hartaku untuk aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.' Rasulullah Saw. bersabda, 'Peganglah sebagian dari hartamu, hal itu lebih baik bagimu.' Aku berkata, 'Sesungguhnya aku hanya mau memegang bagianku yang ada di Khaibar.' Dan aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan diriku hanya dengan berkata benar, dan sesungguhnya termasuk tobatku ialah aku tidak akan berbicara melainkan sejujurnya selagi aku masih hidup'."

Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui seseorang dari kalangan kaum muslim yang diuji dengan kejujuran dalam berbicara sejak aku mengucapkan kejujuran itu kepada Rasulullah, yakni dengan hasil yang lebih baik daripada apa yang pernah diujikan oleh Allah kepadaku. Demi Allah, aku tidak punya niat melakukan suatu kedustaan pun sejak aku mengucapkan hal itu kepada Rasulullah Saw. sampai sekarang. Dan sesungguhnya aku berharap semoga Allah Swt. memelihara diriku dari dusta dalam sisa usiaku."
Firman Allah Swt.:

{لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ. وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ}

Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Ansar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesung­guhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat)mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas danjiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 117-119)

Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Demi Allah, tidak ada suatu nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadaku sesudah Dia memberiku petunjuk kepada Islam, yakni nikmat yang paling besar artinya bagiku selain dari kejujuranku kepada Rasulullah Saw. pada hari itu. Karena aku tidak mau berdusta kepadanya, sebab aku akan dibinasakan oleh Allah seperti apa yang telah Dia lakukan kepada orang-orang yang berdusta kepada Rasul Saw."

Allah Swt. mengecam dengan kecaman yang sangat keras terhadap orang-orang yang berdusta kepada Rasul Saw. melalui firman yang diturunkan-Nya, yaitu:

{سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}

Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam: sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu. (At-Taubah: 95-96)

Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Kami bertiga adalah orang-orang yang berbeda dengan mereka yang diterima uzurnya oleh Rasulullah Saw.; ketika mereka tidak ikut perang, lalu Rasulullah Saw. membaiat mereka dan memohonkan ampun kepada Allah buat mereka. Sedangkan terhadap kami bertiga, Rasulullah Saw. menangguhkan urusan kami hingga Allah Swt. sendiri yang memutuskannya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

{وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا}

'dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka.' (At-Taubah: 118)

Penangguhan Allah terhadap kami tentang urusan kami itu bukanlah karena pelanggaran kami yang tidak ikut perang, melainkan ditangguhkan dari orang-orang yang mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepada Nabi untuk mempercayainya, lalu Nabi Saw. menerima alasan mereka."

Hadis ini sahih lagi terbuktikan kesahihannya dan telah disepakati kesahihannya. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang semisal. Hadis ini mengandung tafsir ayat ini dengan penafsiran yang paling baik dan paling detail.

Hal yang sama telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang dari kalangan ulama Salaf dalam tafsir ayat ini, seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Al-A'masy dari Abu Sufyan, dari Jabir ibnu Abdullah sehubungan dengan firman Allah Swt.:dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan(penerimaan tobat) mereka. (At-Taubah: 118); Mereka adalah Ka'b ibnu Malik, Hilal ibnu Umayyah, dan Mararah ibnu Rabi', semuanya dari kalangan Ansar.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ad- Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Semuanya mengatakan bahwa salah seorangnya adalah Mararah ibnu Rabi'ah.

Hal yang sama disebutkan dalam salah satu salinan dari kitab Muslim, disebutkan Ibnu Rabi'ah; sedangkan dalam salinan yang lainnya disebutkan Mararah ibnur Rabi'. Di dalam suatu riwayat dari Ad-Dahhak disebutkan Mararah ibnur Rabi', seperti yang terdapat di dalam kitab Sahihain, dan ini adalah yang benar.

Teks hadis yang menyebutkan bahwa mereka (orang-orang dari Bani Salamah) menyebutkan dua orang lelaki yang pernah mengikuti Perang Badar; menurut suatu pendapat, ini merupakan kekeliruan dari Az-Zuhri, karena sesungguhnya keikutsertaan seseorang dari mereka dalam Perang Badar tidak dikenal.

Setelah Allah menyebutkan jalan keluar yang telah diberikan-Nya kepada mereka dari kesempitan dan musibah yang menimpa mereka, yaitu diasingkan oleh kaum muslim selama lima puluh hari, dalam masa-masa itu jiwa mereka terasa sempit dan bumi yang luas ini terasa sempit oleh mereka. Semua jalan dan semua pemikiran tertutup bagi mereka sehingga mereka tidak menemukan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan. Tetapi mereka tetap bersabar kepada perintah Allah dan tenang menunggu perintah-Nya serta bersikap teguh, sehingga Allah memberikan jalan keluar bagi mereka berkat kejujuran mereka terhadap Rasulullah Saw. dalam mengemukakan alasan ketidakikut-sertaan mereka. Mereka mengatakan bahwa ketidakikutsertaan mereka dalam perang bukanlah karena beruzur, sehingga mereka mendapat hukuman selama masa itu. Kemudian pada akhirnya Allah menerima tobat mereka, dan ternyata akibat yang baik bagi mereka adalah berkat kejujuran mereka hingga tobat mereka diterima. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ}

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119)

Yakni jujurlah kalian dan tetaplah kalian pada kejujuran, niscaya kalian akan termasuk orang-orang yang jujur dan selamat dari kebinasaan serta menjadikan bagi kalian jalan keluar dari urusan kalian.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ ؛ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، هُوَ ابْنُ مَسْعُودٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ؛ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الكذب، حتىيُكْتَبُ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Syaqiq. dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas'ud r.a.) yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jujurlah kalian, karena sesungguhnya kejujuran itu membimbing ke arah kebajikan; dan sesungguhnya kebajikan itu membimbing ke arah surga. Dan seseorang yang terus-menerus melakukan kejujuran serta berpegang teguh kepada kejujuran pada akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur (benar). Hati-hatilah kalian terhadap kebohongan, karena sesungguhnya bohong itu membimbing kepada kedurhakaan; dan sesungguhnya kedurhakaan itu membimbing ke arah neraka. Dan seseorang yang terus-menerus melakukan kebohongan serta bersikeras dalam kebohongannya, pada akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pembohong (pendusta).

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab shahihnya.

Syu'bah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah bahwa ia pernah mendengar Abu Ubaidah menceritakan hadis dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa dusta itu tidak layak dilakukan, baik dalam keadaan sungguhan maupun dalam keadaan bersenda gurau. Bacalah oleh kalian firman Allah Swt. yang mengatakan:Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119) Demikianlah bunyi ayat seperti yang dibacakan oleh Nabi Saw. Maka apakah kalian menjumpai padanya suatu rukhsah (kemurahan) bagi seseorang?

Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr sehubungan dengan firman-Nya: Bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119) Yaitu bersama Muhammad Saw. dan para sahabatnya.

Menurut Ad-Dahhak, bersama Abu Bakar dan Umar serta teman-teman keduanya.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Jika engkau ingin bersama orang-orang yang benar, maka berzuhudlah kamu terhadap duniawi, dan cegahlah dirimu dari (menyakiti) saudara seagamamu."

Firman-Nya

مَا كَانَ لأهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الأعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلا إِلا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (120) 

Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka tidak turut menyertai Rasulullah (untuk pergi berperang), dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula)menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (At-Taubah: 120)

Allah Swt. mencela orang-orang dari kalangan penduduk Madinah dan sekitarnya —yang terdiri atas orang-orang Arab Badui— yang tidak ikut perang bersama Rasulullah Saw. dalam Perang Tabuk. Mereka di­cela pula karena lebih mementingkan diri mereka sendiri daripada membantu perjuangan Rasulullah Saw. dengan alasan masyaqqat yang akan dialaminya. Maka sesungguhnya pahala mereka dikurangi dari diri mereka, sebab:

{لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ}

mereka tidak ditimpa kehausan. (At-Taubah: 120)
Kata zama-un artinya 'atasyun, yakni kehausan.

{وَلا نَصَبٌ}

dan tidak pula kepayahan. (At-Taubah: 120)
Yakni kelelahan dan kepayahan.

{وَلا مَخْمَصَةٌ}

dan tidak pula kelaparan. (At-Taubah: 120)
Makhmasah artinya maja'ah, yakni kelaparan.

{وَلا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ}

dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir. (At-Taubah: 120)
Artinya, tidaklah mereka menginjak suatu tempat yang membuat hati musuh mereka gentar.

وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا

dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh. (At-Taubah: 120)
Yaitu beroleh kemenangan dan keberhasilan mengalahkan musuh di tempat itu.

إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ

melainkan dituliskan bagi mereka. (At-Taubah: 120)
berkat amal perbuatan mereka yang pada kenyataannya di luar ke­mampuan mereka. Tetapi dari perbuatan mereka itu timbul amal-amal saleh dan pahala yang berlimpah.

{إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ}

Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (At-Taubah: 120)
Ayat ini semakna dengan ayat lain yang disebutkan oleh firman-Nya:

{إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلا}

tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik. (Al-Kahfi: 30)

Firman-Nya 

وَلا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً وَلا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (121) 

Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan. (At-Taubah: 121)

Allah Swt. berfirman, bahwa tidak sekali-kali mereka membelanjakan hartanya dalam perang di jalan Allah:

{نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً}

suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar. (At-Taubah: 121)
Yakni pembelanjaan yang sedikit dan pembelanjaan yang banyak.

{وَلا يَقْطَعُونَ وَادِيًا}

dan tidak melintasi suatu lembah (At-Taubah: 121)
Yaitu dalam perjalanan mereka menuju medan pertempuran melawan musuhi

{إِلا كُتِبَ لَهُمْ}

melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). (At-Taubah: 121)
Dalam ayat ini disebutkan lahum, bukan dengan memakai damir bihi, karena perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan oleh mereka. Karena itulah dalam ayat selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya:

{لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan)yang lebih baik daripada apayang telah mereka kerjakan. (At-Taubah: 121)

Amirul Mu’minin Usman ibnu Affan r.a. telah mempunyai bagian yang sangat besar dari apa yang disebutkan oleh ayat yang mulia ini. Demikian itu karena dalam perang ini (Tabuk) ia telah membelanjakan pem­belanjaan yang besar dan harta yang sangat banyak, seperti apa yang disebutkan oleh Abdullah ibnu Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى الْعَنَزِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ، حَدَّثَنِي سَكَن بْنُ الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنِي الْوَلِيدُ بْنُ أَبِي هَاشِمٍ، عَنْ فَرْقَدٍ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ خَبَّاب السُّلَمِيِّ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَثَّ عَلَى جَيْشِ الْعُسْرَةِ، فَقَالَ عثمان بن عفان، رضي الله عنه: عليَّ مِائَةُ بَعِيرٍ بِأَحْلَاسِهَا وَأَقْتَابِهَا. قَالَ: ثُمَّ حَثَّ، فَقَالَ عُثْمَانُ: عليَّ مِائَةٌ أُخْرَى بِأَحْلَاسِهَا وَأَقْتَابِهَا. قَالَ: ثُمَّ نَزَلَ مرْقاة مِنَ الْمِنْبَرِ ثُمَّ حَثَّ، فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ: علىَّ مِائَةٌ أُخْرَى بِأَحْلَاسِهَا وَأَقْتَابِهَا. قَالَ: فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِيَدِهِ هَكَذَا -يُحَرِّكُهَا. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الصَّمَدِ يَدَهُ كَالْمُتَعَجِّبِ: "مَا عَلَى عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ هَذَا".

Telah menceritakan kepada kami Abu Musa Al-Ganawi, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnul Mugirah. telah menceritakan kepadaku Al-Walid ibnu Abu Hisyam, dari Farqad ibnu Abu Talhah, dari Abdur Rahman ibnu Hubab As-Sulami yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. berkhotbah dan menganjurkan kepada kaum muslim untuk mempersiapkan pasukan Usrah. Maka Usman ibnu Affan berkata, "Saya menyumbangkan seratus ekor unta berikut pelananya." Nabi Saw. kembali menganjurkan, dan Usman ibnu Affan r.a. ber­kata lagi, "Saya sumbangkan seratus ekor unta lagi berikut pelananya." Lalu Rasulullah Saw. turun satu anak tangga dari mimbarnya, kemudian kembali menganjurkan kepada orang-orang (untuk mempersiapkan pasukan Usrah). Maka Usman ibnu Affan berkata, "Saya sumbangkan seratus ekor unta lagi berikut pelananya." - Perawi mengatakan bahwa ia melihat Rasulullah Saw. berisyarat dengan tangannya menunjukan rasa takjub. hal ini di­ peragakan oleh perawi-  Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Tiada memudaratkan Usman sesudah apa yang dilakukannya sekarang.

Abdullah mengatakan pula bahwa:

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ، حَدَّثَنَا ضَمْرَة، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَوْذَب، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ كَثِيرٍ مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: جَاءَ عُثْمَانُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَلْفِ دِينَارٍ فِي ثَوْبِهِ حِينَ جَهَّز النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ قَالَ: فَصَبَّهَا فِي حِجْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَلِّبُهَا بِيَدِهِ وَيَقُولُ: "مَا ضَرّ ابْنَ عَفَّانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْمِ". يُرَدِّدُهَا مِرَارًا.

telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ma'ruf, telah menceritakan kepada kami Damrah, telah men­ceritakan kepada kami Abdullah ibnu Syauzab, dari Abdullah ibnul Qasim, dari Kasir maula Abdur Rahman ibnu Samurah, dari Abdur Rahman ibnu Samurah yang menceritakan bahwa Usman ibnu Affan r.a. datang kepada Nabi Saw. dengan membawa seribu dinar yang digondol di dalam bajunya. Ketika itu Nabi Saw. sedang mempersiapkan pasukan Usrah. Maka Usman r.a. menuangkan semua uang yang dibawanya itu ke pangkuan Nabi Saw. Maka aku (Abdur Rahman ibnu Samurah) melihat Nabi Saw. membolak-balikkan uang itu dengan tangannya seraya bersabda: Tiada yang membahayakan Usman lagi sesudah apa yang diamalkannya pada hari ini.Kalimat ini diucapkan oleh Rasulullah Saw. secara berulang-ulang.

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak (pula) mereka melintasi suatu lembah, melainkan dicatatkan bagi mereka (amal saleh). (At-Taubah: 121), hinggaakhir ayat. Tidak sekali-kali suatu kaum yang berangkat ke medan jihad di jalan Allah bertambah jauh dari keluarganya, melainkan mereka makin bertambah dekat kepada Allah.

Sayyidina Ali Dan Perang Tabuk
Rasulullah berangkat  bersama 3.000 pasukan. Dan Rasulullah memerintahkan kepada Muhammad bin Maslamah sebagai amir sementara di kota madinah, ada juga yang berpendapat Rasulullah memerintahkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib.Telah disebutkan dalam kitab Tarikh kalau perkataan ini diucapkan Nabi SAW ketika Beliau SAW bersama kaum muslimin telah berangkat keluar dari Madinah.
خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب على أهله، وأمره بالإقامة فيهم، فارجف به المنافقون وقالوا ما خلفه إلا استثقالاً له وتخففاً منه. فلما قال ذلك المنافقون، أخذ علي سلاحه ثم خرج حتى أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو نازل بالجرف، فقال يا رسول الله، زعم المنافقون أنك إنما خلفتني تستثقلني وتخفف مني. قالكذبوا، ولكن خلفتك لما تركت ورائي، فارجع فاخلفني في أهلي وأهلك، ألا ترضى أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى، إلا أنه لا نبي بعدي. فرجع إلى المدينة.

Rasulullah SAW menugaskan kepada Ali untuk menjaga keluarganya dan mengurus keperluan mereka. Kemudian kaum munafik menyebarkan berita buruk, mereka berkata “Tidaklah Beliau [Nabi SAW] menugaskannya [Ali] untuk tinggal kecuali karena ia merasa berat untuk berjihad sehingga diberi keringanan”. Ketika orang-orang munafik berkata begitu maka Ali mengambil senjatanya dan keluar menyusul Rasulullah SAW ketika Beliau berada di Jarf. Kemudian Ali berkata “wahai Rasulullah kaum munafik menganggap Engkau menugaskanku karena Engkau memandangku berat untuk berjihad sehingga memberikan keringanan kepadaku”. Beliau SAW bersabda “mereka berdusta, kembalilah Aku menugaskanmu dan meninggalkanmu agar Engkau mengurus keluargaku dan keluargamu, Tidakkah engkau rela bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahKu”. Maka Alipun akhirnya kembali ke Madinah [Tarikh Al Islam Adz Dzahabi 2/631]

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى تَبُوكَ وَاسْتَخْلَفَ عَلِيًّا فَقَالَ أَتُخَلِّفُنِي فِي الصِّبْيَانِ وَالنِّسَاءِ قَالَ أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ نَبِيٌّ بَعْدِي

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu’bah dari Al Hakam dari Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW berangkat keluar menuju Tabuk dan menugaskan Ali. Kemudian Ali berkata “Engkau menugaskanku untuk menjaga anak-anak dan wanita”. Nabi SAW berkata “Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku” [Shahih Bukhari 3/6 no 4416]

Hadis Bukhari di atas mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW telah berangkat terlebih dahulu menuju perang tabuk baru kemudian Ali menghadap Nabi SAW kembali. Hal ini disebutkan pula dalam Musnad Ahmad dimana Syaikh Syu’aib berkata “shahih dengan syarat Bukhari”

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا سليمان بن بلال ثنا الجعيد بن عبد الرحمن عن عائشة بنت سعد عن أبيها ان عليا رضي الله عنه خرج مع النبي صلى الله عليه و سلم حتى جاء ثنية الوداع وعلى رضي الله عنه يبكى يقول تخلفني مع الخوالف فقال أو ما ترضى أن تكون منى بمنزلة هارون من موسى الا النبوة

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id mawla bani hasyim yang berkata menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal yang menceritakan kepada kami Al Ju’aid bin Abdurrahman dari Aisyah binti Sa’ad dari ayahnya bahwa Ali pergi bersama Nabi SAW hingga tiba di balik bukit. Saat itu Ali menangis dan berkata “Tidakkah engkau rela bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian” [Musnad Ahmad 1/170 no 1463]

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا حماد يعنى بن سلمة أنبأنا على بن زيد عن سعيد بن المسيب قال قلت لسعد بن مالك انى أريد ان أسألك عن حديث وأنا أهابك ان أسألك عنه فقال لا تفعل يا بن أخي إذا علمت أن عندي علما فسلني عنه ولا تهبني قال فقلت قول رسول الله صلى الله عليه و سلم لعلي رضي الله عنه حين خلفه بالمدينة في غزوة تبوك فقال سعد رضي الله عنه خلف النبي صلى الله عليه و سلم عليا رضي الله عنه بالمدينة في غزوة تبوك فقال يا رسول الله أتخلفني في الخالفة في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون منى بمنزلة هارون من موسى قال بلى يا رسول الله قال فأدبر علي مسرعا كأني أنظر إلى غبار قدميه يسطع وقد قال حماد فرجع على مسرعا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata menceritakan kepadaku Ayahku menceritakan kepada kami Affan menceritakan kepada kami Hammad yakini bin Salamah memberitakan kepada kami Ali bin Zaid dari Sa’id bin Musayyab yang berkata “aku berkata kepada Sa’ad bin Malik “sesungguhnya aku ingin bertanya kepada kamu sebuah hadis namun aku segan untuk menanyakannya”. Sa’ad berkata “jangan begitu wahai putra saudaraku. Jika kamu mengetahui bahwa pada diriku ada suatu ilmu maka tanyakanlah dan jangan merasa segan”. Aku berkata “tentang sabda Rasulullah SAW kepada Ali saat Beliau meninggalkannya di Madinah dalam perang tabuk. Sa’ad berkata “Nabi SAW meninggalkan Ali di Madinah dalam perang tabuk, kemudian Ali berkata “wahai Rasulullah apakah engkau meninggalkan aku bersama wanita dan anak-anak?”. Beliau menjawab “Tidakkah engkau rela bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Ali menjawab “baiklah wahai Rasulullah”. Ali pun segera kembali seolah aku melihat debu yang berterbangan dari kedua kakinya. Hammad berkata “Ali pun segera kembali” [Musnad Ahmad 1/173 no 1490 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib]

Jika kita menarik kesimpulan dari riwayat-riwayat di atas maka Nabi SAW keluar pergi menuju Tabuk dan menugaskan Imam Ali memimpin Madinah. Lantas kaum munafik membuat fitnah sehingga Imam Ali kembali menghadap Nabi SAW yang ketika itu ada di Jarf, ketika itu baik Imam Ali dan Nabi SAW sedang berjalan hingga sampai di balik bukit dan menyebutkan hadis ini yang disaksikan oleh para sahabat yang ikut dalam perang Tabuk. Dan setelah mendengar hadis tersebut Imam Ali kembali ke Madinah.

Jadi perkataan ini diucapkan setelah Nabi SAW keluar dari Madinah dalam arti kata setelah Nabi SAW menugaskan Ali sebagai pemimpin di Madinah. Nabi SAW mengucapkan ini untuk menenangkan hati Imam Ali sekaligus memberikan penjelasan bagi mereka [para sahabat yang bersama Nabi SAW] bahwa kedudukan Ali di sisi Nabi SAW itu begitu tinggi seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian. Para sahabat yang berada di Jarf mendengar langsung bahwa Nabi SAW berkata begitu diantaranya Jabir RA, Abu Said Al Khudri RA dan Saad bin Abi Waqash RA yang meriwayatkan hadis ini. Kemudian mari perhatikan hadis berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله بن نمير قال ثنا موسى الجهني قال حدثتني فاطمة بنت علي قالت حدثتني أسماء بنت عميس قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يا علي أنت مني بمنزلة هارون من موسى الا انه ليس بعدي نبي

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Musa Al Juhani yang berkata telah menceritakan kepadaku Fathimah binti Ali yang berkata telah menceritakan kepadaku Asma’ binti Umais yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW berkata“wahai Ali engkau di sisiKu seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku”[Musnad Ahmad 6/438 no 27507]‎

Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan kalau hadis ini shahih dan memang demikianlah keadaannya. Perhatikan baik-baik Asma’ binti Umais mengaku mendengar langsung Rasulullah SAW berkata kepada Ali RA dan pendengaran ini bukan saat perang tabuk. Asma’ binti Umais jelas termasuk wanita yang tinggal di Madinah atau tidak ikut berperang saat perang tabuk. Padahal telah disebutkan bahwa Nabi SAW mengucapkan hadis ini setelah Beliau SAW keluar menuju perang tabuk [Adz Dzahabi menyebutkan ketika Nabi SAW berada di Jarf] dan ketika itu Asma’ binti Umais berada di Madinah. Sehingga lafaz pendengaran langsung Asma’ binti Umais menunjukkan bahwa Nabi SAW mengucapkan hadis ini bukan pada saat perang Tabuk tetapi situasi lain dimana Asma’ binti Umais menyaksikan Nabi SAW mengucapkannya. Hadis Asma’ binti Umais menjadi bukti kalau Rasulullah SAW mengucapkan hadis Manzilah juga pada saat lain selain perang tabuk.

Firman-Nya

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122) ‎

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS At-Taubah Ayat 122)‎

Hal ini merupakan penjelasan dari Allah Swt. mengenai apa yang dikehendaki-Nya, yaitu berkenaan dengan keberangkatan semua kabilah bersama Rasulullah Saw. ke medan Tabuk.

Segolongan ulama Salaf ada yang berpendapat bahwa setiap muslim diwajibkan berangkat dengan Rasulullah Saw. apabila beliau keluar (berangkat ke medan perang). Untuk itulah dalam firman yang lain disebutkan:

{انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا}

Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat. (At-Taubah: 41)

Kemudian dalam ayat berikutnya disebutkan oleh firman-Nya:

{مَا كَانَ لأهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الأعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ}

Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka. (At-Taubah: 120), hingga akhir ayat.
Selanjutnya ayat-ayat di atas di-mansukh oleh ayat ini (At-Taubah: 122).

Dapat pula ditakwilkan bahwa ayat ini merupakan penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah Swt. sehubungan dengan keberangkatan semua kabilah, dan sejumlah kecil dari tiap-tiap kabilah apabila mereka tidak keluar semuanya (boleh tidak berangkat). Dimaksudkan agar mereka yang berangkat bersama Rasul Saw. memperdalam agamanya melalui wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasul. Selanjutnya apabila mereka kembali kepada kaumnya memberikan peringatan kepada kaumnya tentang segala sesuatu yang menyangkut musuh mereka (agar mereka waspada). Dengan demikian, maka golongan yang tertentu ini memikul dua tugas sekaligus. Tetapi sesudah masa Nabi Saw., maka tugas mereka yang berangkat dari kabilah-kabilah itu tiada lain adakala­nya untuk belajar agama atau untuk berjihad, karena sesungguhnya hal tersebut fardu kifayah bagi mereka.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas se­hubungan dengan firman-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah: 122) Yakni tidaklah sepatutnya orang-orang mukmin berangkat semuanya ke medan perang dan meninggalkan Nabi Saw. sendirian. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) Yaitu suatu golongan.

Makna yang dimaksud ialah sepasukan Sariyyah (pasukan khusus) yang mereka tidak berangkat kecuali dengan seizin Nabi Saw. Apabila pasukan Sariyyah itu kembali kepada kaumnya, sedangkan setelah keberangkatan mereka diturunkan ayat-ayat Al-Qur'an yang telah dipelajari oleh mereka yang tinggal bersama Nabi Saw. Maka mereka yang bersama Nabi Saw. akan mengatakan kepada Sariyyah, "Sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an kepada Nabi kalian dan telah kami pelajari."

Selanjutnya Sariyyah itu tinggal untuk mempelajari apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi mereka, sesudah keberangkatan mereka; dan Nabi pun mengirimkan Sariyyah lainnya. Yang demikian itulah pengertian firman Allah Swt.:

{لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ}

untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (At-Taubah: 122)
Yakni agar mereka mempelajari apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi mereka. Selanjutnya mereka akan mengajarkannya kepada Sariyyah apabila telah kembali kepada mereka.

{لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ}

supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)

Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan sejumlah orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. yang pergi ke daerah-daerah pedalaman, lalu mereka beroleh kebajikan dari para penduduknya dan beroleh manfaat dari kesuburannya, serta menyeru orang-orang yang mereka jumpai ke jalan petunjuk (hidayah). Maka orang-orang pedalaman berkata kepada mereka, "Tiada yang kami lihat dari kalian melainkan kalian telah meninggalkan teman kalian (Nabi Saw.) dan kalian datang kepada kami." Maka timbullah rasa berdosa dalam hati mereka, lalu mereka pergi dari daerah pedalaman seluruhnya dan menghadap Nabi Saw. Maka Allah Swt. berfirman: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) untuk mencari kebaikan. untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (At-Taubah: 122) dan untuk mendengarkan apa yang terjadi di kalangan orang-orang serta apa yang telah diturunkan oleh Allah. Allah memaafkan mereka. dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya. (At-Taubah: 122) Yakni semua orang apabila mereka kembali kepada kaumnya masing-masing. supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)

Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa apabila Rasulullah Saw. mengirimkan pasukan, Allah memerintahkan kepada kaum muslim agar pergi berperang, tetapi sebagian dari mereka harus tinggal bersama Rasul Saw. untuk memperdalam pengetahuan agama: sedangkan segolongan yang lainnya menyeru kaumnya dan mem­peringatkan mereka akan azab-azab Allah yang telah menimpa umat-umat sebelum mereka.

Ad-Dahhak mengatakan bahwa Rasulullah Saw. apabila ikut dalam peperangan, maka beliau tidak mengizinkan seorang pun dari kalangan kaum muslim untuk tidak ikut bersamanya, kecuali orang-orang yang berhalangan. Dan Rasulullah Saw. apabila mempersiapkan suatu pasukan Sariyyah, beliau tidak membolehkan mereka langsung berangkat melainkan dengan seizinnya. Dan apabila mereka sudah berangkat, lalu diturunkan kepada Nabi-Nya ayat-ayat Al-Qur'an, maka Nabi Saw. Membacakannya kepada sahabat-sahabatnya yang tinggal bersamanya. Apabila pasukan Sariyyah itu kembali, maka mereka yang tinggal bersama Nabi Saw. berkata, "Sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an kepada Nabi-Nya sesudah kalian berangkat." Lalu mereka yang tinggal mengajarkan ayat-ayat itu kepada mereka yang baru tiba dan memperdalam pengetahuan agama mereka. Hal inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah Swt.:Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah: 122) Yaitu apabila Rasulullah Saw. tidak ikut berangkat dalam pasukan tersebut. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) Dengan kata lain, tidak sepatutnya kaum muslim berangkat seluruhnya bila Nabi Saw. tinggal di tempat. Apabila Nabi Saw. tinggal di tempat, hendaklah yang berangkat hanyalah Sariyyah (pasukan khusus)nya saja, sedangkan sebagian besar orang-orang harus tetap ada bersama Nabi Saw.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah: 122) Ayat ini bukan berkenaan dengan masalah jihad, tetapi ketika Rasulullah Saw. mendoakan musim paceklik bagi orang-orang Mudar, maka negeri mereka menjadi kekeringan dan paceklik. Dan tersebutlah bahwa ada salah satu kabilah dari mereka berikut semua keluarganya datang ke Madinah dan tinggal padanya karena kelaparan yang mereka derita, lalu mereka berpura-pura masuk Islam, padahal mereka dusta. Keadaan itu membuat sahabat-sahabat Rasul Saw. menjadi terganggu dan membuat mereka kewalahan. Maka Allah menurunkan kepada Rasul Saw. wahyu-Nya yang mengabarkan bahwa mereka bukanlah orang-orang mukmin. Lalu Rasulullah Saw. memulangkan mereka kepada induk kabilahnya dan memperingatkan kepada kaumnya agar jangan melakukan perbuatan yang sama. Yang demikian itulah maksud dari firman Allah Swt.: dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya. (At-Taubah: 122). hingga akhir ayat.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa segolongan orang dari tiap-tiap kabilah Arab Badui berangkat meninggalkan daerahnya, lalu menghadap Nabi Saw. Mereka menanyakan kepada Nabi Saw. banyak hal yang mereka kehendaki menyangkut urusan agama mereka. Dengan demikian, mereka memperdalam pengetahuan agamanya. Dan mereka bertanya kepada Nabi Saw., "Apakah yang akan engkau perintahkan kepada kami untuk mengerjakannya? Dan perintahkanlah kepada kami apa yang harus kami lakukan kepada keluarga dan kaum kami apabila kami kembali kepada mereka!" Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi Saw. juga mengutus mereka kepada kaumnya untuk menyeru mereka agar mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan tersebutlah bahwa apabila mereka telah kembali kepada kaumnya, maka mereka mengatakan, "Barang siapa yang mau masuk Islam, sesungguhnya dia termasuk golongan kami." Lalu mereka memberikan peringatan kepada kaumnya, sehingga seseorang (dari kaumnya) yang masuk Islam benar-benar rela berpisah dari ayah dan ibunya (yang tidak mau masuk) Islam.

Sebelum itu Nabi Saw. telah berpesan dan memperingatkan mereka akan kaumnya, bahwa apabila mereka kembali kepada kaumnya, hendaklah mereka menyeru kaumnya untuk masuk Islam dan mem­peringatkan kaumnya akan neraka serta menyampaikan berita gembira kepada mereka akan surga (bila mereka mau masuk Islam).

Ikrimah mengatakan ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman Allah Swt.: Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih. (At-Taubah: 39) Dan firman Allah Swt.: Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah. (At-Taubah: 120), hingga akhir ayat. Orang-orang munafik mengatakan, "Binasalah orang-orang Badui yang tidak ikut berperang dengan Muhammad dan tidak ikut berangkat bersamanya." Dikatakan demikian karena ada sejumlah sahabat Nabi Saw. yang pergi ke daerah pedalaman, pulang kepada kaumnya masing-masing dalam rangka memperdalam pegetahuan agama buat kaumnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah: 122), hingga akhir ayat.

Turun pula firman Allah Swt. yang mengatakan:

{وَالَّذِينَ يُحَاجُّونَ فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا اسْتُجِيبَ لَهُ}

Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima, maka bantahan mereka itu sia-sia saja, di sisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras. (Asy-Syura: 16)

Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat. bahwa makna yang dimaksud ialah agar orang-orang yang berangkat ke medan perang belajar melalui apa yang telah diperlihatkan oleh Allah kepada mereka, yaitu menguasai musuh dan dapat mengalahkan mereka. Kemudian bila mereka kembali kepada kaumnya, maka mereka memperingatkan kaumnya untuk bersikap waspada.

Maka di antara kaum muslimin yang tidak ikut berperang (berjihad) pada hari ini itu juga dalam rangka mempersiapkan diri untuk berjihad, Allah berfirman :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122) 

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS At-Taubah Ayat 122)
Ayat ini tidak berkaitan dengan langsung dengan perang tabuk, akan tetapi ada beberapa sekelompok dari kaum muslimin hari ini, yang menjadikan ayat ini sebagi dalih atau alasan mereka untuk tidak mau berjihad, mereka menjadikan ayat ini untuk berpaling dari jihad, dengan alasan menuntut ilmu. padahal tidak semestinya begitu, akan tetapi pemahaman yang rancu ini sudah masuk disebagian hati kaum muslimin yang hatinya Allah timpakkan penyakit kemunafikan, Semoga kita diselamatkan dari sifat tercela ini. Amin.Akan tetapi ayat ini mengandung faidah yang sangat mendalam, sehingga yang ingin saya tegaskan dalam ayat ini adalah apa yang ditafsirkan oleh Syaikh Abdurrahman As-sa’di di dalam kitab tafsirnya. Bahwa di  dalam ayat ini mengandung faidah.

Beliau berkata :

ففي هذا فضيلة العلم، وخصوصا الفقه في الدين، وأنه أهم الأمور، وأن من تعلم علما، فعليه نشره وبثه في العباد، ونصيحتهم فيه فإن انتشار العلم عن العالم، من بركته وأجره، الذي ينمى له.

وأما اقتصار العالم على نفسه، وعدم دعوته إلى سبيل اللّه بالحكمة والموعظة الحسنة، وترك تعليم الجهال ما لا يعلمون، فأي منفعة حصلت للمسلمين منه؟ وأي نتيجة نتجت من علمه؟ وغايته أن يموت، فيموت علمه وثمرته، وهذا غاية الحرمان، لمن آتاه اللّه علما ومنحه فهما.

وفي هذه الآية أيضا دليل وإرشاد وتنبيه لطيف، لفائدة مهمة، وهي: أن المسلمين ينبغي لهم أن يعدوا لكل مصلحة من مصالحهم العامة من يقوم بها، ويوفر وقته عليها، ويجتهد فيها، ولا يلتفت إلى غيرها، لتقوم مصالحهم، وتتم منافعهم، ولتكون وجهة جميعهم، ونهاية ما يقصدون قصدا واحدا، وهو قيام مصلحة دينهم ودنياهم، ولو تفرقت الطرق وتعددت المشارب، فالأعمال متباينة، والقصد واحد، وهذه من الحكمة العامة النافعة في جميع الأمور.

Artinya “Maka ayat ini mengandung keutamaan ilmu, terutama ilmu syari’at, sesungguhnya itu adalah perkara yang penting, maka siapa saja yang mempelajari ilmu syar’I maka hendaklah ia menyiarkannya kepada manusia, dan saling menasehati di antaranya, maka seorang yang alim yang menyiarkan ilmunya, akan memberikan barokah dan pahala untuknya dan akan mengangkat derajat.

Adapun seorang yang ‘alim yang membatasi dirinya dan merasa cukup, tidak mau berda’wah menyeru ke jalan Allah dengan hikmah, dan tidak memberikan pengajaran terhadap orang-orang yang bodoh, maka manfaat apa yang ia berikan kepada kaum muslimin? Berapa nilai yang ia ambil dari hasil ilmu yang ia ketahui?dan tidak lain adalah tujuannya untuk mematikan dan dari ilmu yang telah ia ketahui, dan ini adalah orang yang bernasib buruk dari siapa saja yang Allah berikan ilmu dan kefahaman.

Dan di ayat ini mengandung dalil untuk berlaku lemah lembut untuk kepentingan dan maslahat da’wah, maka hendaknya seorang muslim untuk mempersiapkan diri untuk kemaslahatan umat dan memanfaatkan waktu-waktunya untuk da’wah, bersungguh-sungguh, dan tidak berpaling dari jalan da’wah agar berdirinya kemaslahatan da’wah dan tersempurnanya manfaatnya. Maka jadikan tujuan mereka itu menjadi satu tujuan yaitu membangun kemaslahatan untuk agamanya dan dunianya, mesikupun caranya berbeda. Dan ini adalah sebuah hikmah yang bermanfaat dalam segala perkara.”

Maka salah satunya dengan belajar memperdalam ilmu din ini, akan menjadi sebab kebaikan bagi agama ini. Bersungguh-sungguh dalam belajar dan berusaha untuk berda’wah kepada masyarakat, menda’wahkan tauhid dan mengajarkan sunnah-sunnah NabiNya. Di atas ilmu dan bimbingan ulama yang berjalan di atas manhaj salafussholeh.

Di samping itu para da’I dan kaum muslimin juga hendaknya memikirkan tentang kondisi saudaranya yang terdzholimi, baik itu di negri sendiri atau di negri lainnya. Memiliki spirit (motivasi) untuk  mengajari anak-anak mujahid yang di tinggal bapaknya, memiliki tekad yang kuat untuk menyusul mereka yang sudah mendahului kita dalam berjihad. Sebagaimana semangat Ali Bin Abi Thalib di perang Tabuk dan semangatnya Abu Dzar Radhiayyallhu ‘anhuma.

Adapun kondisi 3 sahabat Nabi yang mangkir tidak ikut serta dalam jihad di perang tabuk Allah menguji mereka sebelum taubat mereka di terima oleh Allah. Yaitu ketika Rasulullah dan para sahabatnya memberikan pendidikan yang sangat berarti bagi kaum muslimin umumnya juga pendidikan bagi 3 orang sahabat nabi ini khususnya. Karena siapapun yang beriman dengan iman yang benar, maka mereka akan bergabung bersama RasulNya dalam peperangan ini, sehingga siapapun yang mangkir dari peperangan ini dianggap memiliki indikasi kemunafikan. Maka sebagai hukumannya Rasulullah melarang para sahabat berbicara dengan mereka bertiga dan mereka juga harus menjalani isolasi (hajr) secara total dengan orang-orang mukmin. Orang-orang yang dahulu ramah kini berubah sikap kepada mereka. Bahkan bumi yang luas terasa sempit bagi mereka dan apapun yang sebelumnya lapang kini terasa sempit bagi mereka. Mereka benar-benar meraksakan tekanan yang amat berat ketika menjalani hukuman ini yang berlangsung selama 40 hari, bahkan istiri-istri mereka pun diperintahkan untuk tidak melayani mereka hannya sekadar keperluan yang penting saja.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

3 komentar: