Wanita selalu menggoda, namun kadang pula godaan juga karena si pria yang nakal. Islam sendiri mengajarkan agar tidak terjadi kerusakan dalam hubungan antara pria dan wanita. Oleh karenanya, Islam memprotek atau melindungi dari perbuatan yang tidak diinginkan yaitu zina. Karenanya, Islam mengajarkan berbagai aturan ketika pria-wanita berinteraksi. Di antara adabnya adalah berjabat tangan dengan wanita non mahram.
Islam memberikan batasan - batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan wanita. Alloh SWT memberikan hukum- hukum tersebut adalah guna memberikan kemaslahatan kepada umat manusia, agar manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya, dapat terhindar dari perbuatan zinah. karena, sebagaimana yang telah kita ketahui, perbuatan zinah antara laki-laki dan wanita dapat terjadi karena adanya hubungan dan komunikasi antara mereka tanpa adanya sekat-sekat hukum didalamnya. Alloh SWT telah melarang perbuatan bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrimnya, sesuai dengan dalil-dalil dibawah ini:
Pertama, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata,
عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَتِ الْمُؤْمِنَاتُ إِذَا هَاجَرْنَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُمْتَحَنَّ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (يَا أَيُّهَا النَّبِىُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قَالَتْ عَائِشَةُ فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ فَقَدْ أَقَرَّ بِالْمِحْنَةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». وَلاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ. غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ – قَالَتْ عَائِشَةُ – وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى النِّسَاءِ قَطُّ إِلاَّ بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَا مَسَّتْ كَفُّ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَفَّ امْرَأَةٍ قَطُّ وَكَانَ يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ عَلَيْهِنَّ « قَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». كَلاَمًا.
“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12). ‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).
Kedua, hadits Ma’qil bin Yasar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau hadits tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya. Yang diancam dalam hadits di atas adalah menyentuh wanita. Sedangkan bersalaman atau berjabat tangan sudah termasuk dalam perbuatan menyentuh.
Masalah hukum persentuhan kulit antara lelaki dengan perempuan sangat beragam. Para ulama di antara empat madzhab yang masyhur pun turut berbeda pendapat. Hal ini didasarkan pada perbedaan dalil yang digunakan dan penafsiran di antara mereka dalam menafsirkan kata Au-lamastumun nisaa (QS Annisaa ayat 43).
Pendapat berhujjah dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.
أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ
Atau kamu telah berjima’ dengan istri. (QS. An-Nisa’: 43).
Berdasarkan firman Allah :
اَوْلمَسْتُمُ النِّساَءَ فَلَمْ تَجِدُوا مآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْداً طيِّباً
Atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (QS Al-Maidah : 6)
Sebagai muslim yang awam terhadap dalil-dalil suatu hukum, maka sebaiknya bersandar kepada arahan ulama yang diakui kredibilitas keilmuannya. Karena, bila kita harus mengumpulkan beberapa hadits untuk setiap masalah, sangat tidak memungkinkan. Maka sebuah keniscayaan bahwa bagi kita yang awam, dianjurkan untuk berpegang ke salah satu madzhab. Di antara empat madzhab yang ada, Madzhab Imam Syafi’i diakui sebagai satu madzhab yang mementingkan kehati-hatian (ihthiyath) dalam bertindak. Termasuk dalam masalah persentuhan ini, beliau memilih ihthiyath, yakni lebih baik menghukumi persentuhan kulit antara kulit lelaki dengan perempuan sebagai bentuk pembatalan wudlu.
Menurut pendapat Imam Syafi’i RA, menyentuh lain jenis yang bukan mahram itu dapat membatalkan wudlu, baik yang menyentuh atapun orang yang disentuh. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji:
لَمْسُ الرَّجُلِ زَوْجَتَهُ أَوِ الْمَرْأَةَ اْلأَجْنَبِيَّةَ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ فَإِنَّهُ يَنْتَقِضُ وُضُوْءُهُ وَوُضُوْءُهَا، وَاْلأَجْنَبِيَّةُ هِيَ كُلُّ امْرَأَةٍ يَحِلُّ لَهُ الزَّوَاجُ بِهَا.
“Seorang lelaki yang menyentuh istrinya atau perempuan ajnabiyyah (yang bukan mahramnya) tanpa penghalang, maka wudlu lelaki itu menjadi batal. Yang dimaksud dengan ajnabiyyah (perempuan lain) adalah setiap wanita yang halal dinikahi.” (Al-Fiqh al-Manhaji, juz I, hal. 63)
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari buang air atau kamu menyentuh perempuan lain (yang bukan mahramnya), kemudian kamu tidak menjumpai ai, maka bertayammum-lah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (QS Al-Nisa, ayat 43)
Dalam al-Muwattha (sebuah kitab hadits tertua karya Imam Malik), disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ: قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَءَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنَ الْمُلاَمَسَةِ، فَمَنْ قَبَّلَ امْرَءَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوْءُ.
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata: Kecupan seorang suami kepada istrinya dan menyentuh dengan tangannya termasuk mulasamah (persentuhan). Maka siapa saja yang mengecup istrinya atau menyentuhnya, maka ia wajib melakukan wudlu.” (Al-Muwattha, juz II, hal, 65)
Lalu, bagaimana dengan hadits yang menjelaskan persentuhan Nabi SAW dengan sebaian istrinya padahal Nabi SAW dalam keadaan suci dari hadats kecil, seperti dalam hadits ‘Aisyah RA, maka hal itu harus diartikan bahwa Nabi SAW ketika itu menggunakan penghalang, sehingga kulit beliau tidak bersentuhan langsung dengan kulit istrinya. Sebagaimana keterangan Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’.
اَلْجَوَابُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِيْ وُقُوْعِ يَدِهَا عَلَى بَطْنِ قَدَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يَحْتَمِلُ فَوْقَ حَائِلٍ.
“Jawaban atas hadits ‘Aisyah RA tentang menyentuhnya tangan beliau ke tumit Nabi SAW, maka hal itu menggunakan tabir (penghalang)”. (Al-Majmu’, juz II, hal 22).
قال الشافعي: وَبَلَغَنَا عن بن مَسْعُودٍ قَرِيبٌ من مَعْنَى قَوْلِ بن عُمَرَ، وإذا أَفْضَى الرَّجُلُ بيده إلَى امْرَأَتِهِ أو بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أو بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عليه الْوُضُوءِ
Imam Asy-Syafi’i berkata; “Telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas’ud yang mendekati makna ucapan Ibnu Umar: Apabila seorang laki-laki menyentuhkan tangannya kepada istrinya, atau bersentuhan sebahagian tubuhnya pada sebahagian tubuh istrinya, dimana tidak ada pembatas antara dia dan istrinya, baik dengan nafsu birahi atau tidak, maka wajib atas keduanya berwudhu.
Hal ini sesuai dalam hadits sebagai berikut:
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر، أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء.
“Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu.” (HR. Imam Malik)
Imam Syafii menyampaikan; “Allah Ta’alai berfirman dalam al-Quran surat Al-Maidah ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur”.
Ayat ini bermaksud; Allah Azza Wajalla menyebutkan wudhuk bagi orang yang berdiri hendak mengerjakan shalat. Maksud yang lebih dominan adalah orang yang berdiri (baca: bangun) dari tidur terlentang. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan bersuci dari janabah. Kemudian setelah menyebutkan bersuci dari janabah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu junub, maka mandilah; dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (toilet/kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.
Ayat yang sama dengan ayat di atas juga termaktub dalam Qs. An-Nisa pada ayat ke 43, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu shalat pada saat kamu sedang mabuk, sampai kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula dalam keadaan junub, kecuali lalu saja di masjid dibolehkan, hingga kamu mandi lebih dahulu. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau dating dari kakus (toilet) atau menyentuh kamu akan perempuan. Kemudian kamu tidak mendapat air (untuk berwudhu’), maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih, maka sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun”.
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa dilarang shalat dalam keadaan mabuk. Shalat boleh dilaksanakan jika kita sudah mengetahui apa yang kita ucapkan. Ini juga berate dilarang shalat dalam keadaan hialng akal. Hilang akal yang disebabkan mabuk akan membatalkan wudhu’. Hal ini dikarenakan orang mabuk biasanya tidak tahu apakah ia sudah kencing atau sudah buang angin (baca: kentut) dalam mabuknya itu.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Terjemahan: Persoalan anak Adam berkaitan zina telah ditentukan. Tidak mustahil, ia pasti melakukannya. Dua mata berzina dengan melihat, dua telinga berzina dengan mendengar, lidah berzina dengan berkata-kata, tangan berzina dengan menyentuh, kaki berzina dengan melangkah, hati berzina dengan angan-angan (kehendak), dan kemaluanlah yang akan membenarkan (merealisasikan) atau mendustakan semua itu. (Hadis Riwayat Muslim, Shohih Muslim, 13/125, no. 4802)
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan:
معنى الحديث أن بن آدم قدر عليه نصيب من الزنى فمنهم من يكون زناه حقيقيا بادخال الفرج في الفرج الحرام ومنهم من يكون زناه مجازا بالنظر الحرام اوالاستماع إلى الزنى وما يتعلق بتحصيله او بالمس باليد بأن يمس أجنبية بيده او يقبلها او بالمشي بالرجل إلى الزنى اوالنظر او اللمس او الحديث الحرام مع اجنبية ونحو ذلك او بالفكر بالقلب
Makna hadis di atas adalah bahawa setiap anak Adam itu ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina dengan sebenar-benarnya, iaitu dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan wanita secara haram. Di antara mereka ada yang zinanya secara majaz (kiasan), iaitu dengan melihat perkara-perkara yang haram, atau dengan mendengar sesuatu yang mengajak kepada perzinaan dan usaha-usaha untuk melakukan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan, atau menyentuh wanita ajnabiyah (yang bukan mahram) dengan tangannya, atau menciumnya. Atau dengan melangkah kaki menuju tempat perzinaan, melihat, menyentuh, atau berkata-kata dengan cara yang haram bersama dengan wanita ajnabiyah (yang bukan mahram), atau berangan-angan (imaginasi/berniat) dengan hatinya. (an-Nawawi, al-Minhaj Syarah Shohih Muslim, 16/206)
Melihat wanita yang bukan mahram secara sengaja dan tidak ada sebab yang syar’i dihukumi haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena banyak hadits yang shahih yang menerangkan hal ini. Jika melihat saja terlarang karena dapat menimbulkan godaan syahwat. Apalagi menyentuh dan bersamalan, tentu godaannya lebih dahsyat daripada pengaruh dari pandangan mata. Berbeda halnya jika ada sebab yang mendorong hal ini seperti ingin menikahi seorang wnaita, lalu ada tujuan untuk melihatnya, maka itu boleh. Kebolehan ini dalam keadaan darurat dan sekadarnya saja.
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
كل من حرم النظر إليه حرم مسه وقد يحل النظر مع تحريم المس فانه يحل النظر إلى الاجنبية في البيع والشراء والاخذ والعطاء ونحوها ولا يجوز مسها في شئ من ذلك
“Setiap yang diharamkan untuk dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun ada kondisi yang membolehkan seseorang memandang –tetapi tidak boleh menyentuh, yaitu ketika bertransaksi jual beli, ketika serah terima barang, dan semacam itu. Namun sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh dalam keadaan-keadaan tadi. ” (Al Majmu’: 4: 635)
Dalil yang menyatakan terlarangnya pandangan kepada wanita non mahram adalah dalil-dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur: 30)
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur: 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216)
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahramnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216-217)
Dari Jarir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 2159)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:
أن كلام الأجنبية يباح سماعه عند الحاجة وأن صوتها ليس بعورة وأنه لايلمس بشرة الأجنبية من غير ضرورة كتطبب وقصد وحجامة وقلع ضرس وكحل عين ونحوها مما لا توجد امرأة تفعله جاز للرجل الأجنبى فعله للضرورة وفى قط خمس لغات
Perkataan (suara) wanita ajnabiyah boleh kita dengari di ketika ada keperluan dan suaranya tidak termasuk aurat, menyentuh kulit wanita ajnabiyah tidak dibolehkan tanpa adanya alasan darurat seperti sebab perubatan, pendarahan, bekam, mencabut gigi, dan seumpamanya, di mana tiada wanita yang sanggup melakukannya. Lelaki yang bukan mahram dibenarkan melakukannya disebabkan alasan darurat tertentu. (Imam an-Nawawi, Syarah Shohih Muslim, 13/10)
Beliau juga berkata:
حيث حرم النظر حرم المس بطريق الأولى لأنه أبلغ لذة فيحرم
Terjemahan: Disebabkan melihat wanita yang bukan mahram itu diharamkan, sudah tentu menyentuh kulitnya lebih diharamkan lagi. Ini adalah kerana menyentuh lebih mudah membangkitkan syahwat. (Imam an-Nawawi, Raudhatut Tholibin wa ‘Umdatul Muftiin, 7/27)
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata tentang hadis pembai’atan para wanita kepada Rasulullah tanpa bersalaman:
ومنع لمس بشرة الأجنبية من غير ضرورة لذلك
Hadis tersebut mengandungi penjelasan larangan menyentuh wanita ajnabiyah (yang bukan mahram) tanpa adanya alasan darurat untuk menyentuhnya. (al-Hafiz Ibnu Hajar, Fathul Bari, 13/204)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar