Rabu, 17 Agustus 2016

Penjelasan Tentang Memperingati Hari Kemerdekaan

Al Qur`an menunjuk kaum muslimin untuk bersama-sama bertanggung jawab atas kelalaian umat manusia, penanggung jawab akan semua kedzaliman yang melanda dunia dan bangsa ini. Kaum muslimin menjadi reformis manakala selalu berfikir dan bertindak sebagai golongan yang peduli terhadap kebangkitan bangsanya.

Oleh karena itu, tidak sepatutnya kaum muslimin di negeri ini bercerai-berai hanya memperjuangkan golongan yang diyakininya. Padahal jelas bahwa Allah SWT menyebutkan kepada seluruh kaum muslimin akan kewajibannya dalam tujuan hidupnya. Kalaulah ada kepentingan sesaat maka kesamaan tujuan akhir sesungguhnya menhindarkan dari perpecahan bangsa ini yang sekarang berada dalam kondisi yang tidak jelas arah dan kebijakannya.

Cahaya Ayat-Ayat Suci Al Qur`an

 Surah Al Baqarah, ayat 185

 شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [٢:١٨٥]

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Surah Al Maidah ayat 16

 يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ [٥:١٦]

Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.

Surah Al A’raf ayat 204

 وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ [٧:٢٠٤]

Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.

Surah An-Nahl ayat 98

 فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ [١٦:٩٨]

Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.

Surah Al Isra` ayat 9

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا [١٧:٩]

Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,

Ayat 41

وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ لِيَذَّكَّرُوا وَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا نُفُورًا [١٧:٤١]

Dan sesungguhnya dalam Al Quran ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).

Kita sebagai bangsa terkadang memiliki ingatan pendek pada peristiwa-peristiwa penting masa silam yang telah turut mewarnai tonggak perjalanan bangsa ini. Bahwa Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia dari sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Menteng Jakarta (kini berdiri Monumen Proklamasi di Jalan Proklamasi) pada 17 Agustus 1945 memproklamasikan kemerdekaan Indonesia semua orang sudah mahfum.

Sebagian pembaca juga sudah tahu (dan sebagian yang lain mungkin belum tahu), proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersebut bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sebuah kebetulan yang patut disyukuri. Namun tahukah pembaca, momentum proklamasi itu ternyata jatuh pada hari Jum’at bertepatan dengan 17 Ramadhan!

Hari dan tanggal tersebut amat dimuliakan umat Islam. Terlebih lagi umat Islam di Indonesia ini sebagai penduduk muslim terbesar di dunia hingga saat ini. Lantaran hari Jum’at merupakan hari “ibadat” khusus kaum Muslim, karena pada hari itu kaum muslim berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan Shalat Jum’at secara berjamaah. Untuk bersilaturahmi sekaligus mendengarkan pesan-pesan kebajikan khatib yang salah satunya pesan wajib berupa ajakan agar manusia senantiasa bertaqwa.

Sementara itu malam 17 Ramadhan bagi umat Islam dikenal sebagai Nuzulul Qur’an, yakni malam turunnya wahyu pertama Kitab Suci Al-Qur’an.

Sebagai pengingat-ingat, pemerintah Indonesia dalam rangka memperingati momentum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus membangun masjid megah dengan nama Masjid Istiqlal, yang berarti kemerdekaan. Bahkan ada cerita bahwa tinggi menara Masjid Istiqlal sama dengan ayat dalam Al-Quran yang berkenaan dengan peristiwa Nuzulul Quran pada 17 Ramadhan.

Pembaca juga tidak akan pernah mendapatkan data penting soal persitiwa 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 17 Ramadhan di buku-buku sejarah kontemporer Indonesia manapun. Salah satu contohnya yang saya miliki, buku karya M.C. Ricklefs “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008” yang diterbitkan PT Serambi Ilmu Semesta Cetakan I: November 2008. Momentum menjelang dan pelaksanaan proklamasi 17 Agustus 1945 pada halaman 444 dan 445 hanya ditulis ala kadarnya.

Alih-alih Ricklefs penulisnya menyinggung soal kebetulan (accidental) proklamasi tersebut yang bertepatan dengan hari Jum’at dan 17 Ramadhan dimaksud. Kita lupakan saja soal Ricklefs itu. Selanjutnya, pesan penting apa yang  dapat kita petik dengan momentum proklamasi 17 Agustus 1945 yang jatuh pada 17 Ramadhan tersebut?

Sejatinya hari kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 tepat pada 17 Ramadhan memiliki nilai intrinsik yang harus dipahami sebagai sebuah peristiwa kebetulan. Namun, yang demikian itu harus juga diyakini sebagai hal yang sudah menjadi rencana Tuhan. Sebagai sebuah grand design-Nya.

Sebagaimana kita ketahui wahyu pertama kepada Nabi SAW yang turun pada malam 17 Ramadhan tersebut yakni Surat (96)  Al-‘Alaq ayat 1-5,


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu teramat Mulia. Yang mengajarkan dengan pena (baca tulis). Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Oleh karena itu, pesan penting secara tersirat dari momentum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 17 Ramadhan atau peristiwa Nuzulul Qur’an di atas, yaitu agar bangsa Indonesia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi agar ia bisa mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju sebelumnya.

Kata “bacalah” dari Surat 96 Al-Qur’an itu bisa kita tafsirkan sebagai perintah kepada manusia agar “membaca” segala sesuatu hal-hal dari yang tidak diketahui sebelumnya. Ia bisa ditafsirkan pula sebagai perintah agar manusia melakukan penelaahan terhadap setiap fenomena yang terjadi dan mengambil manfaat darinya demi kemaslahatan bersama.

Kemerdekaan Jum’at Legi : 17 Agustus 1945, bulan Ramadhan jam 10.00 pagi.

Proklamasi : 
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. 
Jakarta, 17-8-45 Wakil-wakil bangsa Indonesia. Soekarno – Hatta.

Pada 18 Agustus 1945 : Ditetapkan UUD’45 yang berisi :

Pembukaan :
Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka penjajahan harus dihapuskan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausamengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Membentuk pemerintah yang berdasarkan Pancasila.
Pasal-pasal : BAB XI AGAMA, pasal 29:
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menuruti agamanya dan kepercayaannya itu.

Fakta 17 Agustus 1945 Merdeka diantaranya:

Merdeka bukan karena menang perang.

Perang sejak jaman dulu sudah dipelopori oleh pejuang kemerdekaan, perang melawan penjajah Belanda seperti Diponegoro, Patimura, Cut Nyak Din dll.

Tujuan utama adalah ingin merdeka. Tetapi yang diperoleh adalah kekalahan. Apalagi perang melawan Jepang yang lebih kuat dari pada Belanda, sama sekali pejuang kita tidak berkutik. Inilah bukti yang sesuai dengan isi alinea ke 2 Pembukaan UUD 45 yaitu pejuang kemerdekaan dapat mengantar kedepan pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia.

Fakta, setelah dijajah Belanda 3 ½ abad / 350 tahun, kemudian direbut Jepang 3 ½ tahun. Kita tidak berkutik dengan Jepang, tetapi Jepang bertujuan supaya bangsa Indonesia mau membantu melawan Amerika. Oleh karena itu bangsa Indonesia dididik disiplin seperti adanya Seinendang, Kaibodang dan diberi janji bahwa akan diberi kemerdekaan tgl 24 Agustus 1945. 

Terbukti dengan Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)atau disebut Dokuritsu Zyunbi Co Sakaiyang diketuai oleh Dr Rajiman Wedyodiningrat dan Ir Soekarno sebagai anggaota.

Kemerdekaan memang karena Rahmat Allah : 

Setelah ditemukalah yang pertama kali bom atom oleh orang Jerman. Orang tersebut dipelihara oleh Amerika dan dibuatnya bom atom itu 2 bom saja. Oleh tentara Amerika dijatuhkan di Negara Jepang. Yaitu 1 bom atom di kota Hirosyima tgl 6 Agustus 1945 dan 1 bom atom lagi di kota Nagasaki tgl 9 Agustus 1945. Hancur berantakan, semua kehidupan mati. Menurut ilmu kimia adalah bahwa karena ditemukan bom atom yang mempunyai radiasi tinggi itulah salah satu factor terlaksananya Kemerdekaan Indonesia. Tentu saja ditemukannya bom atom tersebut adalah kehendak Allah swt.

Dengan kondisi demikian tentara Jepang bertekuk lutut kepada Amerika dan tentara Jepang di Indonesiapun pulang kampung. Berarti status Indonesia saat itu memang bebas penjajah atau status quo. Maka para pemuda dan panitia PPKI berinisiatif untuk mengambil langkah yang tepat yaitu kita proklamirkan saja Kemerdekaan Indonesia. Dengan berbagai musyawarah Proklamasi Kemerdekaan di proklamirkan seperti teks diatas, di Rumah Ir Soekarno Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta atau sekarang disebut Jl Proklamasi no 1, jam 10.00 pagi. Saat itu dalam bulan puasa mereka sepakat agak siang. Inilah sebagai bukti bahwa keinginan merdeka itu mendapat Rahmat dari Allah swt, sesuai pernyataan yang tertera di alinea ke 3 Pembukaan UUD 45.

Bahwa kemerdekaan itu sesuai dengan tuntunan agama Islam. 

Diantaranya saat sebelum Proklamasi dibacakan ada anggota PPKI Dr Wahid Hasym menyarankan kepada Ir Soekarno untuk membaca Bismillahirrohmannirrohim, dan itu dilaksanakannya. Sedikitnya ada 5 ayat dalam Al Qur’an tentang memerdekakan, seperti perintah bayar zakat yang diantaranya untuk memerdekakan budak. 

Dan banyak juga dalil-dalil dari Al Qur’an dan hadits yang melarang mengambil atau menguasai hak orang lain. Oleh karena itu kalau suatu negara yang umat Islamnya besar, tidak akan mungkin mempunyai kebijakan untuk mengambil / menguasai hak orang lain atau hak negara lain. Apalagi menjajah negara lain jelas tidak mungkin.

Kesimpulan : Jadi betul bahwa kemerdekaan 17 Agustus 1945 karena rahmat Allah swt semata. Lihat alinea ke 4 Pembukaan UUD 45 bahwa Negara berdasarkan Pancasila dan pasal 29 ayat 1 bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu kepada siapakah kita bersyukur?

Yang utama adalah bersyukur kepada Allah swt yang telah memberi Rahmat Kemerdekaan. Caranya bagaimana? Caranya adalah kita juga sebagai hamba Allah swt maka harus ‎beribadah yang sesuai dengan apa yang diperintah dan menjauhi larangannya. Itupun masih kurang yaitu mencontoh Rasulullah saw yang sebagai suri tauladan yang dibenarkan oleh Allah swt.

Berterimakasihlah kepada para pejuang kita, yang telah merintis cita-citanya dan sudah menjadi kenyataan. Caranya adalah kita ikut mendoakan kepada Allah swt agar para pejuang kemerdekaan dapat diterima disisinya.
Mengisi kemerdekaan ini dengan baik yang tidak melanggar aturan Allah swt ataupun aturan dari Rasulullah saw.

Setelah Eropah menemukan masa kebangkitannya, beberapa negara Eropah berekspansi untuk menjajah negara lain, termasuk ke negara-negara yang dahulunya menjadi negara berjayanya masa keemasan Abbasiyah. Penjajahan dari negara Eropah ini pun lalu membuat terpecah menjadi negara-negara kecil bagi umat Islam di Timur Tengah, bahkan sampai kepada negara-negara Asia yang sebelumnya telah dimasuki dengan penyebaran agama Islam melalui perdagangan.

Negara-negara yang dihuni umat Islam kemudian melakukan perlawanan kepada para penjajah, disinilah umat Islam mengimplementasikan Jihad mengangkat senjata mengusir penjajah, untuk menjadi merdeka. Kemerdekaan ini adalah sebagai nikmat, anugerah, kemenangan dan pertolongan dari Allah, sebagaimana pertolongan dan kemenangan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw dalam pembebasan kota Makkah:

وَأُخْرَى تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ [الصف/13]

“Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (al-Shaf: 13) 

Para Ulama dan para pendahulu bangsa telah banyak yang gugur sebagai Syahid. Kemenangan dan selamatnya bangsa dari penjajahan abadi adalah nikmat besar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Khatib al-Syirbini al-Syafii:

حُدُوْثُ ” نِعْمَةٍ ” كَحُدُوْثِ وَلَدٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ مَالٍ أَوْ قُدُوْمِ غَائِبٍ أَوْ نَصْرٍ عَلَى عَدُوٍّ ” أَوِ انْدِفَاعِ نِقْمَةٍ ” كَنَجَاةٍ مِنْ حَرِيْقٍ أَوْ غَرَقٍ (مغني المحتاج – ج 1 / ص 214)

“Nikmat yang baru datang adalah seperti lahirnya anak, naik jabatan, harta, datangnya saudara, pertolongan dari musuh. Juga selamat dari siksa, seperti selamat dari terbakar dan tenggelam” (Mughni al-Muhtaj 1/214)

Negara-Negara Yang Telah Merdeka

Negara-negara yang di dalamnya dihuni umat Islam yang telah merdeka dari penjajahan telah memiliki hari kemerdekaan, yang terkadang disebut dengan al-Yaum al-Wathani, Independence Day dan sebagainya. Berikut diantara daftar nama negara dan tarikh  hari kemerdekaannya:  25 Mei Jordan Independence Day, 1 Jun Tunisia National Day, 23 Julai Egypt (Mesir) National Day, 14 Ogos  Pakistan Independence Day, 17 Ogos Hari Kemerdekaan Indonesia, 18 Ogos  Afghanistan Independence Day, 31 Ogos  Malaysia Hari Merdeka, 1 September Libya Revolution Day, 23 September Saudi Arabia National Day, 26 September Yemen National Day, 29 Oktober Turkey Republic Day, 1 November Algeria (al-Jazair) Revolution Day, 12 November Saudi Arabia –The King’s Coronation  (Penobatan Raja Saudi), 22 November Lebanon Independence Day dan 26 November Albania Coors Day.

Maka sudah menjadi kesepakatan bersama bagi umat Islam bahwa peringatan (Sambutan) Hari Kemerdekaan adalah boleh. Peringatan ini masuk dalam firman Allah. 

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات/55]

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfa`at bagi orang-orang yang beriman.” (al-Dzariyat: 55)

Makna ayat ini dijelaskan oleh ahli Tafsir, Syaikh Fakhruddin al-Razi:

يَحْتَمِلُ وُجُوْهاً : أَحَدُهَا : أَنْ يُرَادَ قُوَّةُ يَقِيْنِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى : لِيَزْدَادُوْاْ إِيْمَانًا [ الفتح : 4 ]  …ثَانِيْهَا : تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ بَعْدَكَ (تفسير الرازي – ج 14 / ص 326)

“Makna ayat ini meliputi beberapa makna. Pertama, maksudnya adalah bertambahnya keyakinan mereka, seperti firman Allah yang artinya: “supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)” [al-Fath: 4]. Yang kedua: Peringatan bermanfaat bagi orang-orang setelah kamu” (Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib 14/326)

Berdasarkan analisa al-Razi ini jika kita kontekstualisasikan dalam peringatan kemerdekaan saat ini adalah (1) menambah keimanan kita dalam hidup berbangsa, dan (2) memberi pendidikan sejarah kepada generasi bangsa yang akan datang, bahwa negara telah mendapat nikmat berupa kemerdekaan.

Fatwa Ulama al-Azhar Tentang “Peringatan”

Hukum sebuah perayaan yang disebut dengan Ihtifal (peringatan / sambutan) hukumnya adalah boleh seperti yang difatwakan oleh para ulama al-Azhar, Mesir:

وَالْاِحْتِفَالُ بِهَذِهِ الْأَعْيَادِ مَعْنَاهُ الْاِهْتِمَامُ بِهَا ، وَالْمُنَاسَبَاتُ الَّتِى يُحْتَفَلُ بِهَا قَدْ تَكُوْنَ دُنْيَوِيَّةً مَحْضَةً وَقَدْ تَكُوْنُ دِيْنِيَةً أَوْ عَلَيْهَا مَسْحَةٌ دِيْنِيَّةٌ، وَالْإِسْلَامُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا هُوَ دُنْيَوِىٌّ لَا يَمْنَعُ مِنْهُ مَا دَامَ الْقَصْدُ طَيِّبًا ، وَالْمَظَاهِرُ فِى حُدُوْدِ الْمَشْرُوْعِ ، وَبِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا هُوَ دِيْنِىٌّ قَدْ يَكُوْنُ الْاِحْتِفَالُ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ كَعِيْدَىِ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى، وَقَدْ يَكُوْنُ غَيْرَ مَنْصُوْصٍ عَلَيْهِ كَالْهِجْرَةِ وَالْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَالْمَوْلِدِ النًّبَوِى ، فَمَا كَانَ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ فَهُوَ مَشْرُوْعٌ بِشَرْطِ أَنْ يُؤَدَّى عَلَى الْوَجْهِ الَّذِى شُرِعَ ، وَلَا يَخْرُجَ عَنْ حُدُوْدِ الدِّيْنِ ، وَمَا لَمْ يَكُنْ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ ، فَلِلنَّاسِ فِيْهِ مَوْقِفَانِ ، مَوْقِفُ الْمَنْعِ لِأَنَّهُ بِدْعَةٌ ، وَمَوْقِفُ الْجَوَازِ لِعَدَمِ النَّصِّ عَلَى مَنْعِهِ

فَالْخُلَاصَةُ أَنَّ الْاِحْتِفَالَ بِأَيَّةِ مُنَاسَبَةٍ طَيِّبَةٍ لَا بَأْسَ بِهِ مَا دَامَ الْغَرَضُ مَشْرُوْعًا وَالْأُسْلُوْبُ فِى حُدُوْدِ الدِّيْنِ ، وَلَا ضَيْرَ فِى تَسْمِيَةِ الْاِحْتِفَالاتِ بِالْأَعْيَادِ ، فَالْعِبْرَةُ بِالْمُسَمَّيَاتِ لَا بِالْأَسْمَاءِ (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 160)

“Peringatan dengan hari-hari perayaan maknanya adalah mementingkan hari-hari tersebut. Kegiatan yang dilakukan perayaan ada kalanya murni agama, ada kalanya murni duniawi dan ada kalanya bersifat agama yang ada sentuhan duniawi. (Sikap) Islam terhadap hal yang bersifat duniawi adalah tidak melarang, selama tujuannya baik, pelaksanaannya juga dalam batas-batas syariat. Dan sikap Islam terhadap hal yang bersiafat agama, maka peringatan tersebut ada kalanya (1) memiliki nash dalam agama seperti Idul Fitri dan Idul Adlha, dan (2) tidak ada nash dalam agama, seperti hijrah Nabi, Isra’-Mi’raj, dan Maulid Nabi. Peringatan yang memiliki nash hukumnya adalah disyariatkan dengan syarat melaksanakannya sesuai syariat dan tidak keluar dari batas-batas agama. Sedangkan peringatan yang tidak ada nash, maka ulama ada 2 pendapat, yaitu kelompok yang melarang karena menilainya bid’ah dan kelompok yang mengatakan boleh, karena tidak ada dalil yang melarangnya.

Kesimpulannya bahwa peringatan dengan apa pun bentuknya yang baik adalah boleh, selama tujuannya dibenarkan oleh agama dan pelaksanaannya berada dalam batas-batas agama. Tidak ada pengaruh dalam penamaan  peringatan dengan Hari Raya. Karena yang dinilai adalah konten isi, bukan nama” (Fatawa al-Azhar 10/160)

Bahkan peringatan yang berkaitan dengan Sungai Nil di Mesir hukumnya tidak dilarang:

إِنَّ الْاِحْتِفَالَ بِوَفَاءِ النِّيْلِ يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ احْتِفَالًا بِنِعْمَةٍ مِنْ أَكْبَرِ نِعَمِ اللهِ عَلَى مِصْرَ، وَذَلِكَ بِشُكْرِهِ سُبْحَانَهُ وَحُسْنِ اسْتِخْدَامِ هَذِهِ الْمِيَاهِ فِى خَيْرِ النَّاسِ ، وَالْبُعْدِ عَنْ تَلْوِيْثِهَا وَالْإِسْرَافِ فِيْهَا (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 371)

“Perayaan Sungai Nil wajib dijadikan sebagai perayaan atas bentuk nikmat terbesar dari Allah bagi bangsa Mesir. Caranya adalah dengan bersyukur kepada Allah, menggunakan air tersbut untuk kebaikan bersama, tidak mengotorinya dan tidak berlebihan dalam penggunaannya” (Fatawa al-Azhar 10/371)

Fatwa Ulama Wahabi

Sekelompok orang yang mengharamkan peringatan hari kemerdekaan hanya bertaklid dan berpijak kepada ulama-ulama Wahabi, diantaranya yang disampaikan oleh Syaikh bin Baz:

اْلاِحْتِفَالُ بِعِيْدِ الْمَوْلِد، وَعِيْدِ الْاُمِّ، وَالْعِيْدِ الْوَطَنِي؛ لِمَا فِي اْلأَوَّلِ مِنْ إِحْدَاثِ عِبَادَةٍ لَمْ يَأْذَنْ بِهَا اللهُ، وَلِمَا فِي ذَلِكَ التَّشَبُّهُ بِالنَّصَارَى وَنَحْوِهِمْ مِنَ الْكَفَرَةِ، وَلِمَا فِي الثَّانِي وَالثَّالِثِ مِنَ التَّشَبُّهِ بِالْكُفَّارِ. (فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء – ج 4 / ص 302)

“Peringatan Maulid Nabi, Hari Ibu dan Hari Kemerdekaan Negeri, (semua dilarang) karena yang pertama (Maulid Nabi) memperbaharui ibadah yang tidak diizinkan oleh Allah dan menyerupai dengan Nasrani dan orang kafir lain, dan yang kedua dan ketiga (Hari Ibu dan Hari Kemerdekaan Negara) karena menyerupai dengan orang kafir” (Fatawa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, 4/302)

Di bagian lain Syaikh Bin Baz berkata:

وَيُلْتَحَقُ بِهَذَا التَّخْصِيْصِ وَالْاِبْتِدَاعِ مَا يَفْعَلُهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ مِنَ الْاِحْتِفَالِ بِالْمَوَالِدِ وَذِكْرَى اسْتِقْلَالِ الْبِلَادِ أَوِ الْاِعْتِلَاءِ عَلَى عَرْشِ الْمَلِكِ وَأَشْبَاهِ ذَلِكَ ، فَإِنَّ هَذِهِ كُلَّهَا مِنَ الْمُحْدَثَاتِ الَّتِي قَلَّدَ فِيْهَا كَثِيْرٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ غَيْرَهُمْ مِنْ أَعْدَاءِ اللهِ (مجموع فتاوى ابن باز – ج 5 / ص 324)

“Sama seperti takhsis dan bid’ah ini, hal-hal yang dilakukan banyak orang, seperti peringatan Maulid Nabi, peringatan hari kemerdekaan negara, hari kenaikan tahta menjadi Raja dan sebagainya. Semua ini adalah bid’ah yang diperbarui, yang umat banyak Islam bertaklid kepada musuh-musuh Allah.

Anehnya, meski ulama Wahabi menegaskan haram, namun kerajaan Arab Saudi setiap tahunnya selalu melakukan Hari Kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 23 September. Bahkan bagi Mufti Saudi, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh tidaklah dihukumi bid’ah:

يَنْبَغِى اَنْ يَكُوْنَ الْيَوْمُ الْوَطَنِى يَوْمَ شُكْرٍ لِلهِ وَلَابُدَّ مِنَ السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِوُلَاةِ الْاَمْرِ

“Sepatutnya Hari Nasional ( HUT ) merupakan hari syukur kepada ALLAH,dan keharusan Mendengar dan ta’at kepada PENGUASA NEGARA”

Peringatan Kemerdekaan Setiap Tahun

Mengapa kami memperingati kemerdekaan setiap tahun? Saya kutipkan metode istidlal ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii tentang bolehnya mengamalkan amaliah Maulid setiap tahun sebagai nikmat dan anugerah lahirnya seorang Nabi Muhammad Saw.

Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَسَأَلَهُمْ ؟ فَقَالُوْا هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيْهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَى مُوْسَى فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى

“Ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah, beliau menjumpai kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram), kemudian Nabi menanyakan kepada mereka? Mereka menjawab: Asyura’ adalah hari dimana Allah menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa pada hari Asyura’ sebagai bentuk syukur kepada Allah”

al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii berkata:

فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيْرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ وَالشُّكْرُ لِلهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُوْدِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ (الحاوي للفتاوي للسيوطي – ج 1 / ص 282)

“Dari hadis ini bisa diambil satu faidah diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dari-Nya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulang kali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah dan membaca al Quran.” (al-Hawi li al-Fatawi, al-Hafidz al-Suyuthi, 1/282)

Dengan demikian, berdasarkan istidlal ini dan diperkuat bahwa kemerdekaan adalah nikmat yang agung, maka boleh bagi sebuah negara untuk merayakan hari kemerdekaannya setiap tahun.

Upacara Bendera

Mengenai upacara bendera, kita lihat dahulu posisi bendera di masa Nabi Muhammad Saw:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَايَةَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَكُوْنُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَرَايَةُ الْأَنْصَارِ مَعَ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَكَانَ إِذَا اسْتَحَرَّ الْقِتَالُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا يَكُوْنُ تَحْتَ رَايَةِ الْأَنْصَارِ. )رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح غير عثمان بن زفر الشامي وهو ثقة. مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 5 / ص 386)

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa bendera Nabi Saw bersama Ali bin Abi Thalib dan bendera Ansor bersama Sa’d bin Ubadah. Jika perang telah memanas maka Nabi termasuk orang yang berada di bawah bendera Ansor” (HR Ahmad, perawinya adalah perawi hadis sahih, selain Utsman bin Zufar al-Syami, ia perawi terpercaya)

Dalam hadis ini sudah jelas Nabi membenarkan posisi bendera berada diatas. Terbukti Nabi berada di bawah bendera Ansor.

Para Sahabat Wafat Demi Bendera

Jika umat Islam saat ini sekedar hormat dengan tangan ke bendera, ternyata para sahabat Nabi membela mati-matian mempertahankan kehormatan Islam dengan simbol bendera, bahkan Nabi tidak menyalahkan sedikitpun:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَيْشاً اسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَقَالَ « فَإِنْ قُتِلَ زَيْدٌ أَوِ اسْتُشْهِدَ فَأَمِيرُكُمْ جَعْفَرٌ فَإِنْ قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ فَأَمِيرُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ ». فَلَقُوا الْعَدُوَّ فَأَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ جَعْفَرٌ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَتَى خَبَرُهُمُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَخَرَجَ إِلَى النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ « إِنَّ إِخْوَانَكُمْ لَقُوا الْعَدُوَّ وَإِنَّ زَيْداً أَخَذَ الرَّايَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ بَعْدَهُ جَعْفَرُ بْنُ أَبِى طَالِبٍ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ (رواه أحمد والطبراني ورجالهما رجال الصحيح. مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 6 / ص 151)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata: Rasulullah mengutus pasukan (dalam perang Mu’tah) dan menjadikan Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Nabi bersabda: Jika Zaid terbunuh atau mati syahid, maka pimpinan kalian adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh atau mati syahid maka pemimpin kalian adalah Abdullah bin Rawahah”. Lalu umat Islam berjumpa dengan musuh, Zaid mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Ja’far mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, lalu Abdullah bin Rawahah mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Khalid bin Walid mengambilnya dan Allah memberi kemenangan. Berita ini sampai kepada Nabi, lalu beliau menemui para sahabat dan berkhutbah: Sungguh saudara-saudara kalian berjumpa dengan musuh, Zaid mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Ja’far mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, lalu Abdullah bin Rawahah mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian salah satu pedang Allah, Khalid bin Walid mengambilnya dan Allah memberi kemenangan.” (HR Ahmad dan al-Thabrani, perawinya adalah perawi hadis sahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari)

Mengenai tujuan dan fungsi bendera, disampaikan oleh Ibnu Khaldun berikut ini:

وَأَمَّا تَكْثِيْرُ الرَّايَاتِ وَتَلْوِيْنُهَا وَإِطَالَتُهَا فَالْقَصْدُ بِهِ التَّهْوِيْلُ لَا أَكْثَرُ وَرُبَّمَا يَحْدُثُ فِي النُّفُوْسِ مِنَ التَّهْوِيْلِ زِيَادَةٌ فِي اْلإِقْدَامِ، وَأَحْوَالُ النُّفُوُسِ وَتَلَوُّنَاتُهَا غَرِيْبَةٌ. وَاللهُ الْخَلَّاقُ الْعَلِيْمُ. ثُمَّ إِنَّ الْمُلُوْكَ وَالدُّوَلَ يَخْتَلِفُوْنَ فِي اتِّخَاذِ هَذِهِ الشَّارَاتِ، فَمِنْهُمْ مُكَثِّرٌ وَمِنْهُمْ مُقِلٌّل بِحَسَبِ اتِّسَاعِ الدَّوْلَةِ وَعِظَمِهَا. فَأَمَّا الرَّايَاتُ فَإِنَّهَا شِعَارُ الْحُرُوْبِ مِنْ عَهْدِ الْخَلِيْقَةِ، وَلَمْ تَزَلِ الْأُمَمُ تَعْقِدُهَا فِي مَوَاطِنِ الْحُرُوْبِ وَالْغَزَوَاتِ، لِعَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْخُلَفَاءِ. (مقدمة ابن خلدون – ج 1 / ص 138)

“Memperbanyak bendera, mewarnainya dan meninggikannya, tujuannya adalah ‘menggetarkan’, tidak lebih dari itu. Terkadang memang terbersit dalam jiwa untuk lebih maju. Kondisi perasaan hati dan macam-macamnya berbeda-beda. Allah yang maha menciptakan dan maha mengetahui. Kerajaan dan negara berbeda-beda dalam menjadikan simbol ini, ada yang memperbanyak, ada pula yang sedikit, tergantung luas dan besarnya negara tersebut. Bendera adalah syiar dalam perang sejak masa Khalifah. Dan umat Islam terus-menerus menggunakan bendera di tempat-tempat peperangan sejak masa Nabi dan para Khalifah” (Muqaddimah Ibni Khaldun 1/138)

Bendera hanya sebuah simbol negara, kami yang mengangkat tangan berhormat bukan lantaran menyembah bendera. Hormat tangan kami tidak lain adalah bentuk syukur kepada Allah yang telah memerdekakan negara Indonesia, dengan simbol warna merah-putih. juga untuk membangkitkan semangat juang kami agar negara ini tak dijajah lagi, sekaligus menambah cinta tanah air kami, sebagaimana Rasulullah mengajarkan cinta tanah air, Makkah dan Madinah:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (رواه البخارى)

Rasulullah berdoa: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kepada Makkah” (HR al-Bukhari)

Fatwa Ulama Wahabi dan Sunni Tentang Hormat Bendera

Bagi sebagian ulama Wahabi menghormat bendera adalah bid’ah, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Bin Baz melalui Komisi Fatwa Arab Saudi:

مَا حُكْمُ تَحِيَّةِ الْعَلَمِ فِي الْجَيْشِ ؟ لَا تَجُوْزُ تَحِيَّةُ الْعَلَمِ، بَلْ هِيَ بِدْعَةُ مُحْدَثَةٌ (فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء – ج 1 / ص 243)

“Apa hukum menghormat benderan dalam pasukan? (Jawab) Tidak boleh menghormat bendera, bahkan hal itu ada bid’ah yang diperbarui” (Fatwa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ 1/243)

Ternyata fatwa ini berbeda dengan sesama ulama Wahabi, yaitu Syaikh Ibnu Utsaimin:

أَمَّا تَحِيَّةُ الْعَلَمِ فَلَا نُسَلِّمُ أَنَّهَا شِرْكٌ . تَحِيَّةُ اْلعَلَمِ لَيْسَتْ بِشِرْكٍ هَلْ سَجَدَ لَهُ ؟ هَلْ رَكَعَ لَهُ ؟ هَلْ ذَبَحَ لَهُ ؟ حَتَّى التَّعْظِيْمُ بِالسَّلَامِ هَلْ هُوَ شِرْكٌ ؟ لَيْسَ بِشِرْكٍ (كتب و رسائل للعثيمين – ج 126 / ص 98)

“Menghormat bendera, kami tidak memastikan bahwa hal itu adalah syirik. Menghormat bendera tidaklah syirik. Apakah ia bersujud kepada bendera? Apakah ia rukuk kepada bendera? Apakah ia menyembeli hewan kepada bendera? Hingga mengagungkan dengan salam apakah disebut syirik? Hal itu bukanlah syirik” (Kutub wa Rasail li al-Utsaimin 126/98)

Ulama Sunni yang diwakili oleh Grand Mufti al-Azhar, Syaikh Athiyah Shaqr menjawab masalah ini dengan sangat bagus:

يَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ : إِنَّ تَحِيَّةَ الْعَلَمِ شِرْكٌ بِاللهِ ، فَلَا يُعَظَّمُ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ ، فَهَلْ هُنَا صَحِيْحٌ ؟ الْجَوَابُ الْعَلَمُ رَمْزٌ لِلْوَطَنِ فِى الْعَصْرِ الْحَدِيْثِ ، وَكَانَ عِنْدَ الْعَرَبِ رَمْزًا لِلْقَبِيْلَةِ وَالْجَمَاعَةِ، يَسِيْرُ خَلْفَهُ وَيُحَافِظُ عَلَيْهِ كُلُّ مَنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْقَبِيْلَةِ أَوِ الْجَمَاعَةِ ، وَكُلَّمَا كَانَ الْعَلَمُ مَرْفُوْعًا دَلَّ عَلَى عِزَّةِ أَهْلِهِ ، وَإِذَا اْنَتَكَسَ دَلَّ عَلَى ذُلِّهِمْ ، وَيُعْرَفُ عِنْدَ الْعَرَبِ بِاسْمِ الرَّايَةِ أَوِ اللِّوَاءِ … فَتَحِيَّةُ الْعَلَمِ باِلنَّشِيْدِ أَوِ الْإِشَارَةِ بِالْيَدِ فِى وَضْعٍ مُعَيَّنٍ إِشْعَارٌ بِالْوَلَاءِ لِلْوَطَنِ وَالْاِلْتِفَافِ حَوْلَ قِيَادَتِهِ وَاْلحِرْصِ عَلَى حِمَايَتِهِ ، وَذَلِكَ لَا يَدْخُلُ فِى مَفْهُوْمِ الْعِبَادَةِ لَهُ ، فَلَيْسَ فِيْهَا صَلَاةٌ وَلَا ذِكْرٌ حَتَّى يُقَالَ : إِنَّهَا بِدْعَةٌ أَوْ تَقَرُّبٌ إِلَى غَيْرِ اللهِ (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 221)

“Sebagian orang berkata bahwa menghormat bendera adalah menyekutukan Allah, karena tidak ada yang diagungkan kecuali Allah. Benarkah pendapat ini? Jawab: Bendera adalah simbol sebuah bangsa di zaman modern ini. Dulu, bagi orang Arab bendera adalah simbol suku dan kelompok. Mereka yang ada dalam suku dan kelompok berjalan di belakang bendera dan menjaganya. Setiap bendera yang ditinggikan, maka menunjukkan kemuliaan pemiliknya. Jika terjatuh, maka menunjukkan kerendahan mereka. Bagi orang Arab, bendera dikenal dengan Rayah atau Liwa’… Maka menghormat bendera dengan lagu dan tangan di tempat tertentu adalah bentuk hormat pada negara, menunjukkan kepatuhan dan keinginan menjaga negara. Hal ini tidak masuk dalam kategori bid’ah, sebab di dalamnya tidak ada salat dan dzikir, hingga disebut bahwa hal itu adalah bid’ah dan ibadah kepada selain Allah” (Fatawa al-Azhar 10/221)

Lagu Kebangsaan

Menyanyikan lagu kebangsaan hukumnya adalah boleh, sebagaimana Fatwa Dr. Ali al-Jumat, Grand Mufti al-Azhar, Mesir:

الْأَغَانِي وَالْمُوْسِيْقِى مِنْهَا مَا هُوَ مُبَاحٌ سَمَاعُهُ وَمِنْهَا مَا هُوَ مُحَرَّمٌ ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغِنَاءَ كَلَامٌ حَسَنُهُ حَسَنٌ وَقَبِيْحُهُ قَبِيْحٌ. فَالْمُوْسِيْقِى وَالْغِنَاءُ الْمُبَاحُ : مَا كَانَ دِيْنِيًّا أَوْ وَطَنِيُّا أَوْ كَانَ إِظْهَارًا لِلسُّرُوْرِ وَالْفَرَحِ فِي اْلأَعْيَادِ وَالْمُنَاسَبَاتِ ، مَعَ مُرَاعَاةِ عَدَمِ اخْتِلَاطِ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَأَنْ تَكُوْنَ الْأَغَانِي خَالِيَةً مِنَ الْفُحْشِ وَالْفُجُوْرِ وَأَلَّا تَشْمُلَ عَلَى مُحَرَّمٍ كَالْخَمْرِ وَالْخَلَاعَةِ ، وَأَلَّا يَكُوْنَ مُحَرِّكًا لِلْغَرَائِزِ أَوْ مُثَيْرًا لِلشَّهَوَاتِ ، وَأَنْ تَكُوْنَ الْمَعَانِي الَّتِي يَتَضَمَّنُهَا اْلغِنَاءُ عَفِيْفَةً وَشَرِيْفَةً. (فتاوى معاصرة – ج 1 / ص 119)

“Lagu dan musik ada yang boleh didengar dan ada yang haram. Sebab hakikat lagu adalah sebuah perkataan. Jika perkataan itu baik, maka juga baik. Jika perkataan itu buruk, maka buruk pula. Musik dan lagu yang boleh adalah sesuatu yang bersifat agama, kebangsaan atau menampakkan rasa senang dan bahagia di hari raya atau peringatan tertentu, dengan  syarat (1) tetap menjaga dari bercampurnya laki-laki dan perempuan. (2) lagu harus tidak ada keburukan dan doa. (3) tidak ada hal yang diharamkan, seperti minuman keran dan memabukkan (4) tidak membangkitkan syahwat nafsu (5) makna yang terdapat dalam lagu harus terjaga dari maksiat dan mulia” (Fatawa Mu’ashirah 1/119)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar