Dalam perjalanan sejarah Mohamad Besari menjadi Kyai Tegalsari dengan gelar Kyai Ageng Mohamad Besari alias Kyai Ageng Kasan Besari alias Kyai Ageng Tegalsari-I, mengikuti masa perkembangan status wilayah ini, yang menjadi Tanah Merdeka Perdikan Tegalsari (1760).
Pemukiman Tegalsari dalam pemekarannya telah menjadi sumber dan sentrum pengembangan dan pengajaran agama Islam. Pada zamannya pancaran ketegarannya menjadi andalan, terutama karena bimbingannya pada para santri dan warok Ponorogo yang tangguh tersohor atas asuhan Kyai Kasan Besari ini. Kemudian predikat Warok Ponorogo menjadi simbol dan andalan masyarakat Ponorogo.
Awal dari riwayat Kyai Ageng Kasan Besari- I , Tegalsari-Ponorogo menjadi suatu tonggak sejarah bagi keturunannya, adalah keterlibatan dalam meberikan bantuan saat Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II ( Mataram-Kartosuro), mendapat serangan dari bangsa Tionghoa/Cina. Kejadian tersebut dikenal "Kraman Cino"pada tanggal 30 Juni 1742, yang di pimpin oleh Sunan Garendo atau disebut Sunan Kuning; Saat terdesak maka PB-II, beserta keluarga dan bala tentara mengungsi ke Ponorogo. Dalam riwayat kekuasaan dan Tahta PB-II dipulihkan oleh susunan strategy-perang Kyai Ageng Kasan Besar-I, dan beliau memimpin para santri dan para warok Ponorogo, Sebagai imbalan jasa kepada Kyai Ageng Kasan Besarai-I, oleh Kanjeng Susuhunan PB-II menghadiahkan Desa Sehwulan (Madiun) sebuah tanah merdeka Perdikan. Dan menganugerahkan kedudukan sebagai Adipati Tumenggung dengan pangkat Kanjeng Bupati, namun pemberian tersebut oleh Kyai Ageng Kasan Besari - I, tidak diterima (menolak). Namun Desa Sehwulan menjadi pada generasi ke 5 (level 5 = Wareng) yaitu Raden Bei Seno Besari / Kyai Raden Nedo Besari, sebagi pusat Trah Keturunan (dinasti) Kyai Ageng Kasan Besari - I.
Sutau tanah perdikan adalah wilayah merdeka swapraja otonomi / pemerintahan sendiri (independent) dan dikenal bebas pajak - bulu bekti. Dapat diartikan pula terlepas dari pengaruh kekuasaan langsung Keraton Surakarta. Yang selanjutnya juga bebas dari pengaruh Kompeni ataupun Pemerintah penjajah Hindia Belanda.
Pengganti Kyai Ageng Kasan Besari-I, adalah putera ke 7 bernama:
Kyai ILyas, menyadang gelar Kyai Tegalsari - II / Kyai Bagus Kasan Besari - II, dan riwayat kepemimpinan digantikan putera pertama Kyai ILyas yaitu Kyai Kasan Yahja, dengan gelar Kyai Tegalsari - III (wafat 1799). dan kemudian digantikan oelh putera ke 2 Kyai Kasan ILyas bernama:
Kanjeng Kyai Kasan Besari II / Kanjeng Kyai Bagus Kasan Besari - II, / Kanjeng Kyai Tegalsari - IV ( 1799-1862 ); Dan menjadi wayah menantu Kanjeng Susuhunan PB-III (1800), menikah dengan Gusti Raden Ayu Moertosijah. Dengan saserahan Desa Karanggebang. Memperoleh gelar Kanjeng paringan dari Kanjeng Susuhunan PB_IV.
Pengganti Kanjeng Kyai Kasan Besari II, bernama Kyai Kasan Anom-I,/ Kyai Tegalsari -V (1862-1873); Adalah putera pertama atau kakak tertua se-ayah dengan Kanjeng Lider (adik ke 10), yang diketahui menjadi berbesanan.
Kemudian penerusnya adalah Kyai Kasan Kalipah / Kyai Tegalsari-VI (1873-1883), adalah putera ke 12 dari Kanjeng Kyai Kasan Besari II, adik se-ayah dengan Kanjeng Lider.
Kyai Kasa Anom - II / Kyai Tegalsari VII (1883-1903) adalah putera ke 3 Kyai Kasan Anom - I; Putera tersebut diambil menantu Kanjeng Lider Raden Mas Adipati Tjokronegoro - I, dengan Raden Ayu Wosmirah (puteri ke 15) atau Raden Ayu Koesmirah (1867-19xx) di makamkan di Tegalsari-Ponorogo.
Kyai Kasa Anom - III / Kyai Tegalsari VIII (1883-1903) / R Mas Djarot / R Mas Ngoeman hadji adalah putera pertama dariKyai Kasa Anom - II; Wayah dari Kanjeng Lider Raden Mas Adipati Tjokronegoro - I.
Kyai Mohamad Ismail / Kyai Mohamad Ismangil / Kyai Tegalsari - IX, (1909-1926);
Wayah dari Kanjeng Lider Raden Mas Adipati Tjokronegoro - I.
Kyai Ichsan Ngalim / Kyai Iksan Ngalim / Kyai Tegalsari - X, (1926-1931); adalah putera menantu Kyai Kasa Anom - II, menikah dengan puteri ke 4 bernama R Ayu Napisijatin.
Kyai Rachman Amin Koesoemo/ Kyai Achmad / Kyai Tegalsari - XI, (1931-1960): adalah putera ke 5 dari Kyai Kasa Anom - II . Nama kecil R Mas Rachmad / R Mas Amin Koesoemo. Wayah dari Kanjeng Lider Raden Mas Adipati Tjokronegoro - I.
Kyai Aljoenani / Kyai Tegalsari XII (1960-1963), adalah putera ke 6 dari Kyai Kasa Anom - II .Nama kecil R Mas Aljoenani / R Mas Adisapoetro. Wayah dari Kanjeng Lider Raden Mas Adipati Tjokronegoro - I.
Karena Perdikan Tegalsari di Ponorogo ini lebih ditonjolkan sebagai wilayah Pondok Pesantren, sebab adanya aktivitas pendidikan agama, dengan banyaknya minat masyarakat menjadi para santri serta para warok. Yang kemudian banyak riwayat menerangkan bahwa setelah menyelesaikan pendidikan Agama di Pesantren Tegalsari-Ponorogo, mereka menyandang sebutan/gelar sebagai Kyai, dan meneruskan menyiarkan Agama Islam dengan cara mendirikan pondok pondok pesantren baru.
Suksesi Kyai Tegalsari berlangsung menurut sistem garis Trah-Keturunan Kyai yang terdahulu, sedangkan penggantian kepemimpinan hany dilaksnakan setelah Kyai yang terdahulu wafat. Suksesi terakhir adalah Kyai Tegalasri XII, karena likuidasi kesuaprajaan / kerjaan yang melebur menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mematuhi PP No:13/1946 tentang Penghapusan supraja/kerajaan dalam wilayah Republik Indonesia,
Saat ini status Tegalsari-Ponorogo adalah sebuah desa Tegalsari, diwilayah Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo; Posisi letak berada 10 kilometer sebelah tenggara kota Ponorogo, atau kurang dari 40 kilometer sebelah selatan kota Madiun.
Kyai Hasan Besari II adalah buyut dari Kyai Ageng Anom Besari yang bertempat tinggal di daerah Kuncen Caruban Madiun. Beliau mempunyai silsilah ke-12 dari Prabu Brawijaya V (Raden Udara/ Bhre Kertabhumi), Raja Majapahit yang bertahta tahun 1468 – 1478 masehi. Urut- urutan silsiah beliau adalah:
1. Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabhumi)
2. Raden Patah (Pangeran Djin Bun/Sultan Ayah Alam Akbar I)
3. Sultan Trenggana (Sultan Alam Akbar II)
4. Sunan Prawata (Pangeran Bagus Mukmin)
5. Panembahan Wiraswara
6. Pangeran Demang I (Ratu Djalu)
7. Pangeran Demang II (Raden Demang)
8. Kyai Ageng Abdul Mursyad
9. Kyai Ageng Anom Besari
10. Kyai Muhammad Besari (Kyai Hasan Besari I/Kyai Ageng Tegalsari-I)
11. Kyai Ageng Ilyas
12. Kyai Hasan Besari II
Sejarah Kyai Ageng Tegalsari-I
Arah sebelah Selatan Timur kota Ponorogo sejauh kurang lebih 12 km terletak suatu desa tempat tinggal seorang Kyai yang alim lagi berbudi luhur dan bijaksana, asih terhadap sesama. Suka memberi pertolongan kepada siapa saja yang menderita kesengsaraan, sesuai dengan peribahasa : “memberi paying kepada orang yang kepanasan, memberi tongkat kepada orang yang berjalan di atas tempat yang licin, memberi obor kepada orang yang kegelapan”, lagi pula didasari banyaknya santri atau muridnya, sehingga tersohor di kiri dan kanan tetangga desanya, malahan sudah kedengaran sampai ke daerah-daerah lain.
Adapun kyai yang dimaksud di atas ialah yang bernama DONOPURO yang berasal dari keturunan Sunan Tembayat.
Setelah Kyai Mohammad Besari mendengar berita ada orang alim berilmu lagi pula berbudi luhur dan bijaksana, Kyai Mohammad Besari bergegas-gegas menghadap ramo ibunya menghaturkan maksudnya : “Duh ayah ibu, kiranya ananda diperkenankan serta diizinkan mencari ilmu di Pondok Sentono, Jetis Ponorogo”. Ramanda menjawab : “Ooo angger, putraku, jikalau engkau mencari ilmu ke Pondok Sentono, Jetis, aku sangat menyetujui dan memantu apa yang telah menjadi niatmu itu. Maka lekas engkau berangkat dan sekalian ajaklah adikmu Noer Sodiq”.
Kedua anak tersebut lalu berangkat bersama-sama menuju ke tempat kediaman Kyai Donopuro di desa Setono Jetis Ponorogo.
Setelah kira-kira 3 atau 4 tahun lamanya Mohammad Besari beserta adiknya berguru pada Kyai Donopuro dan telah semua ilmu Agama Islam dipelajarinya, maka semakin lama semakin disayang oleh Kyai Gurunya. Kemudian Mohammad Besari mempunyai keinginan menjelajah daerah Ponorogo dengan adiknya Noer Sodiq sebagai pengikut.
Ketika perjalanan sampai di desa Mantub – Ngasinan, adiknya Noer Sodiq merasa kehausan dan mengatakan kepada kakaknya : “Kakak, saya merasa haus sekali, saya minta minum”. Setelah Mohammad Besari mendengar permintaan adiknya, merasa sangat hiba hatinya. Karena pada waktu itu masih jarang adanya sumur, mencari air bersih sangat sulit. Kebetulan di desa itu ada seorang Kyai yang bernama Kyai Noer Salim keturunan dari Kyai Dugel Kesambi, Nglupeng Slaung Ponorogo. Kyai Mohammad Besari kemudian bertemu menghadap dan menyatakan niatnya : “Mohon maaf Kyai, sekiranya diperbolehkan kami mohon diperkenankan mengambil kelapa muda yang di pinggir jalan, airnya akan saya minumkan kepada adik saya, sebab dia merasa haus sekali”.
Kyai Noer Salim berbicara sambil ketawa dan katanya : “Iya ambillah sesukamu!”.
Dari rasa senang dan lega hatinya kedua anak itu, terus melambaikan tangannya ke Kepala muda, yang seketika satu janjang Kepala jatuh. Setelah Kyai Noer Salim Mengetahui, lalu berbicara : “Lho lho anak cakap, kalau mengambil kelapa muda jangan seperti itu, coba kemari saya ajari”. Kyai Noer Salim mendekati pohon kelapa. Pohon kelapa dilengkungkan sampai melengkung ke tanah puncaknya, sambil bicara : “Sudah anak cakap, engkau pilihlah, mana yang engkau senangi, jadi kelapanya tidak rusak”. Mohammad Besari mengambil kelapa mudanya lalu diberikan kepada adiknya dan diminumlah airnya.
Sehabis itu Kyai Noer Salim lalu bertanya : “Engkau ini anak mana dan siapa namamu?”. Mohammad Besari menjawab : “Saya muridnya Kyai Donopuro dan berasal dari desa Kuncen, Caruban. Nama saya Muhammad Besari dan adik saya bernama Noer Sodiq.” Keduanya diajak masuk ke dalam rumah untuk diajak berbincang-bincang. Pada akhirnya Mohammad Besari diambil sebagai memantu oleh Kyai Noer Salim yang di Juluki Kyai Ageng Mantub. Karenanya desa dimana Kyai Noer Salim bertempat tinggal disebut desa Mantub. Disebut desa Mantub karena Kyai Noer Salim merasa mantap mengambil menantu Mohammad Besari.
Setelah dibicarakan seperlunya Mohammad Besari dinikahkan dengan putri sulung Kyai Noer Salim kemudian diboyong ke Sentono.
Sesudah Mohammad Besari menikahi putrinya Kyai Noer Salim Mantub, keduanya (suami-istri) bersama ikut (suwito) Kyai Ageng Donop0uro di Setono. Kyai Ageng Donopuro adalah saudara dari Pangeran Semende dari Tembayat. Kira-kira setelah satu tahun Mohammad Besari dan istrinya berada di Sentono, Kyai Donopuro berkata : “Mohammad Besari engkau bersama istrimu mulailah membuka tanah (babad) di sebelah timur seberang sungai. Itu adalah Tegal milikku dan saya beri nama Tegalsari”. Kemudian, Mohammad Besari dengan istrinya berangkat memulai di tempat yang telah ditunjuk oleh Kyai Donopuro tadi. Lama kelamaan tempat Tegalsari oleh Mohammad Besari dinamakan juga “TEGALSARI”. Bertambah hari muridnya bertambah banyak Tegalsari menjadi tempat pesantren yang besar sekali. Setelah Kyai Donopuro wafat, kejayaannya (Pulung) pindah ke Tegalsari. Pesantren dan Pondok Tegalsari ini tersohor sampai kemana-mana.
BAGUS HARUN (BASJARIJAH) IKUT PADA KYAI AGENG TEGALSARI
Diceritakan bahwa Kyai Ageng Prungkut Sumoroto mempunyai putra lelaki bernama Bagus Harun (Basjarijah) dan dipondokkan oleh ayahnya di Tegalsari, perlu ikut (nyuwito) sekalian belajar ilmu Agama Islam. Bagus Harun berada di Tegalsari sangat tunduk dan patuh kepada Gurunya dan selalu mengikuti segala perintah. Bila Kyai akan bersantap yang melayani adalah Bagus Harun dan ditunggui sampai selesai bersantap. Begitu pula bila mau mandi, Bagus Harunlah yang menimba air.
SINUHUN KARTASURA KE II (SINUHUN KUMBUL) BERTEMU DENGAN KYAI AGENG TEGALSARI TH. 1730 – 1747 WAFAT
Ketika Bagus Harun mondok di Tegalsari, di suatu saat di Tanah Jawa terjadi kegegeran yang sangat mengerikan, yaitu datangnya berandal dari Negeri Cina, merampok dan merampas di KratonSurakarta.
Hal ini membuat Sang Sinuhun meninggalkan Kraton dan lolos mengungsi ke jurusan timur didampingi Tumenggung Wiratirto di dalam perjalanannya hingga sampai di desa Sawo, Ponorogo.
Karena capai dan lemasnya, kedua pria agung berhenti di lereng gunung Bubuk. Sampai sekarang batu yang pernah diduduki masih ada, berada di sebelah Utara Barat pasar Sawo, Ponorogo. Akan meneruskan perjalanan ke arah timur sudah tidak kuat disebabkan jalan sudah mulai menanjang gunung.
Ketika Sang Sinuhun melihat ada seorang naik pohon kelapa mengambil Nira/Legen, lalu menanyakan kepada Tumenggung : “He, Wirotirto, itu orang naik pohon kelapa kok pakai bumbung segala?” Wirotirto menjawab pertanyaan Sang Sinuhun : “Itu sedang mengambil Legen/Nira (nderes), akan dibikin gula kelapa”. Sang Sinuhun bertanya lagi : “Bolehkah kiranya aku minta legennya untuk diminum?” “Akan saya coba meminta,” Kata Wiratirto. Jadilah Tumenggung Wirotirto minta legen kepada orang yang lagi nderes. Setelah Wirotirto menerima legen terus disampaikan kepada Sang Sinuhun. Setelah Sang Sinuhun selesai minum legen, berkatalah beliau kepada yang memberi legen : “Pak, aku senang sekali atas legen pemberianmu, sungguh berterima kasih aku, mudah-mudahan legenmu oleh Yang Maha Kuasa setelah menjadi gula dijadikan gula yang enak lagi manis sampai turun temurun”. Itulah sebabnya gula kelapa dari desa Sawo enak rasanya, manis dan gurih dan kuning rupanya sehingga tersohor di seluruh daerah Ponorogo.
Kira-kira pukul satu tengah malam, Sang Sinuhun mendengar suatu seperti suara lebah yang sedang kirab (terbang keliling) keluar dari sarangnya, gemuruh karena banyaknya. Bertanya Sinuhun kepada Tumenggung Wirotirto : “Wirotirto, suara apakah itu yang gemuruh ?”. Wirotirto menjawab : “Itu adalah suaranya orang sedang munajad kepada Allah”. “Kalau begitu mari kita datangi mereka, siapa tahu dapat memberikan obat kepada saya!” demikian ajak Sang Sinuhun kepada Tumenggung Wirotirto mendatangi mereka yang sedang munajad.
Adapun yang suaranya gemuruh itu, tidak lain adalah suara Bagus Harun dan Kyai Tegalsari bermunajad, memohon rahmat dan derajat untuk putra cucunya sampai datang kiamat. Setelah Sang Sinuhun bertemu dengan Kyai Ageng Tegalsari kemudian menceritakan dari awal sampai akhir tentang kejadian yang menimpa Negeri Surakarta.
Cerita selanjutnya, Sang Sinuhun menghendaki Kyai Ageng Tegalsari ikut membantu mengusir berandal Cina. Kelak bila dapat berhasil, Sang Sinuhun akan memberikan hadiah, yaitu akan memberi tanah tanpa dikenakan membayar pajak sampai turun temurun.
Kyai Ageng Tegalsari lalu munajad kepada Allah Swt. dengan jalan shalat hajad. Setelah selesai, kemudian berdoa :
“Ya Allah, semoga jadikanlah Negeri ini, menjadi Negeri yang aman dan tentram. Dan semoga Allah memberi rizqi kepada rakyat semua dengan rizqi yang suci lagi yang halal”.
Sesudah berdoa, Kyai Ageng Tegalsari kemudian unjuk bicara : “Gusti Yang Mulia, saya persilahkan kembali, Negeri Kartasura kini sudah aman dan tentram. Prajurit berandal Cina sudah kembali semua, sebab Tanah Jawa kelihatan sempit sekali, percuma akan memerintah Tanah Jawa”. Sang Sinuhun kemudian berkata, “Saya supaya disertai teman Kyai, kalau kembali ke Solo”. Bagus Harun kemudian diperintah Kyai untuk menemani dan menghantar Sang Sinuhun. Pagi harinya sekira pukul 6 pagi, Sang Ratu, Tumenggung Wirotirto dan Bagus Harun berangkat menuju Solo. Sesampainya di desa Srandil mereka berhenti untuk istirahat menghilangkan lelah.
Beberapa saat setelah istirahat, Sang Sinuhun merasa lapar. Kebetulan ada seorang wanita janda yang membawa kemarang (keranjang dari bambu) yang isinya nasi dan sayur berkuah. Sang Sinuhun bertanya kepada Bagus Harun, “Orang itu menggendong apa, Bolehkah saya minta?” “Coba saya Tanya dahulu !” balas Bagus Harun. Ketika ditanya dengan baik-baik, akhirnya nasi dan sayur diberikan. Nasi sayur kemudian disantap Sang Sinuhun. Sesudah selesai bersantap kemudian bertanya : “Desa ini namanya desa apa?” Bagus Harun kemudian menjawab, “Kalau desa ini belum ada namanya”. Sang Sinuhun berkata lagi, “Enaknya dan sebaiknya dinamakan desa Menang saja, sebab hari ini saya sudah Menang dapat mengusir berandal Cina”. Selanjutnya Sang Sinuhun berkata kepada mbok Rondojian – ibu janda, “Saya sangat senang sekali bahwa engkau telah ikhlas memberi nasi yang saya minta. Maka nanti kalau ada waktu, kelak engkau datanglah ke Solo, ini engkau saya beri surat, adapun tanda-tanda rumahku, kalau ada rumah yang mempunyai halaman lebar, yang itulah rumahku”. Di lain waktu mbok Rondo kemudian datang menghadap ke Solo dan dianugrahi Bumi Merdiko sampai sekarang.
Sang Sinuhun dan Bagus Harun melanjutkan perjalanan ke Solo. Sesampainya di Solo langsung menuju masuk di Kraton dengan selamat.
Bagus Harun di Solo terus masuk Masjid Suronatan, untuk sholat hajad mempertegas memohon kepada Allah. Kurang lebih 40 hari lamanya, Kraton Solo dan daerah kekuasaannya dalam keadaan aman dan tentram. Setelah itu Bagus Harun mohon pamit kembali pulang ke Tegalsari. Sang Sinuhun mengizinkan dan memberi hadiah berupa payung kebesaran dan lampit (tikar dibuat dari anyaman belahan rotan), sebagai tanda jasa (pembelaan). Setelah sampai di Tegalsari, Bagus Harun melapor kepada Kyai Ageng Tegalsari bahwa keadaan yang ditemui di Negeri Solo dari awal sampai akhir. Paying dan lampit pemberian dari Sang Sinuhun sebagai anugerah juga diserahkan kepada Kyai Ageng Tegalsari. Tetapi Kyai Ageng Tegalsari tidak mau menerimanya dan berkata kepada Bagus Harun : “Yang dihadiyahi itu engkau, bukan aku, sebab yang menghantarkan ke Solo adalah engkau.” Bagus Harun tidak menjawab sepatah katapun, tetapi setelah waktu malam tidak dapat memejamkan mata, selalu memikirkan masalah itu yang diberi anugerah tersebut dia sendiri atau Kyai Ageng Tegalsari? Lalu yang menjadi keputusan hatinya ialah pada esok harinya berangkat kembali menuju Solo. Sesampainya di kota Solo dan keadaan cuaca sangat panans, maka paying kemudian dibuka dan dipakai terus sampai alun-alun.
Setelah perajurit Kraton Mengetahui kemudian mereka bersiap sedia karena dikira ada Prajurit Cina yang akan masuk ke Kraton. Bagus Harun kemudian dihujani panah dari segala penjuru terkepung rapat, Namun tidak satupun anak panah mengenai badannya.
Untuk menjaga jangan sampai berlarut-larut, Bagus Harun kemudian melemparkan tongkatnya. Dan seketika itu bubarlah prajurit Kraton tunggang langgang dan banyak yang menjadi korban. Sang Sinuhun setelah mendengar kalau prajurit Cina sudah memasuki Kraton, cepat-cepat keluar memasang Kyai Setomo dan Nyai Setomi untuk menanggulangi musuh. Setelah yang masuk ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah Bagus Harun sambil berkata, “Oooo, tidak tahu kalau Kyai, saya kira prajurit Cina datang merampok lagi”. Kemudian Sang Sinuhun minta keterangan kejadian seperti itu tadi. Bagus Harun menjawab, sewaktu ia melewati alun-alun memakai payung, dipanahi dari sebelah kanan-kiri sehingga terjadi pertengkaran.
Setelah Bagus Harun menjelaskan kepada Sang Sinuhun maksud kedatangannya, maka Sang Sinuhun menjelaskan bahwa paying dan lampit tersebut sebagai anugerah untuknya dan untuk selama-lamanya.
Setelah jelas dan ternyata kedua barang tersebut untuknya, Bagus Harun kemudian kembali ke Ponorogo lagi.
Ketika perjalanan Bagus Harun sampai di grojogan (dam) Bang Peluwang di desa Nglengkong, Kecamatan Sukorejo Distrik Sumoroto, ia berhenti dan berpikir tentang paying dan lampit, kata hatinya : “Jika paying dan lampit ini kurawat sampai kelak, pasti anak-cucuku nantinya akan mempunyai pikiran sok besar (gemede), mengandalkan perjuangan ayahnya kepada Negeri. Lebih baik kedua barang ini kutitipkan saja di grojokan sini”. Seketika itu paying dan lampit dijeburkan dalam grojokan dan berkata : “Grojogan, saya titip payung dan lampit, kelak bila anak-cucuku pada bertapa kemari, dan kiranya bakal berhasil maksudnya, muncullah menampakkan diri”.
Karenanya anak-cucu Bagus Harun bila mempunyai hajad, banyak yang menjalankan rialat atau bertapa di situ (grojogan Bang Peluwang).
Sekembalinya Bagus Harun dari Solo, lalu ikut (nyuwito) lagi pada Kyai Ageng Tegalsari. Lama-kelamaan Bagus Harun mempunyai keinginan menjadi orang yang berdiri sendiri lagi mempunyai tanah bukan (babadan) sendiri juga merdeka seperti Tegalsari.
Pada suatu hari Bagus Harun menghadap Kyai Ageng Tegalsari dan menyampaikan keinginan hatinya : “Duhai rama Panembahan, perkenankanlah kami menyampaikan keinginan ke hadapan rama Panembahan”. Kyai Ageng Tegalsari bertanya : “Iya ada Gus, coba haturkan!”. “Saya mempunyai keinginan mempunyai tanah babadan seperti Kyai, lagi pula merdika. Kiranya tanah mana yang dapat saya babad yang dapat saya turunkan kepada anak-cucu?” demikian haturnya Bagus Harun.
Kyai Ageng Tegalsari memberi petunjuk, “Harun, kalau engkau ingin babad tanah, carilah payungmu yang kau buang di grojokan Bang Peluwang dahulu itu, nanti kitari mengikuti hutan, jangan berhenti sebelum ketemu”.
Bagus Harun kemudian berfikir-fikir sejenak di dalam hati, pikirnya bingung, ling lung dan tidak habis fakir.
“Lha payung saya buang di dalam grojokan, jelas saya masih ingat betul, saya kok diperintah Kyai Ageng mencari di dalam hutan, apa ya masuk akal?” demikian kata hati Bagus Harun.
Karena tiada tindakan atau reaksi apa-apa dari Bagus Harun, maka Kyai Ageng berkata, “Lho jangan termangu-mangu dan ling lung Harun, Allah itu mempunyai Kekuasaan Yang Besar, Maha Besar! Kalau engkau ingin segera memiliki tanah babadan, cepat-cepat carilah payungmu sepanjang hutan.
Setelah Bagus Harun mendengar kata-kata Kyai Ageng Tegalsari yang meyakinkan, tanpa menunggu apa-apa ia pun segera berangkat (pepatah Jawa mengatakan “rindik asu digitik” kurang lebih artinya “anjing kalau kena pukul akan lari) melaksanakan perintah Kyai Ageng Tegalsari. Setelah sampai di hutan, dimasukilah hutan sampai berhari-hari dan berbulan-bulan, setelah genap 1000 hari Bagus Harun berada di dalam hutan, ada suatu keanehan. Bagus Harun mencium bau-bauan yang harum dan dari tempat itulah muncullah payung yang berdiri tegak tinggal kerangkanya saja. Bagus Harun mendekati dan ternyata setelah diteliti benar-benar payung tersebut adalah miliknya, terbukti adanya tanda huruf “H” pada gagang payung. Tanda huruf “H” tersebut ia tulis sewaktu akan membuang payung tersebut ke dalam grojogan. Kerangka payung kemudian dibawa pulang dan dihaturkan kepada Kyai Ageng Tegalsari. Dan setelah menerima kerangka payung tersebut Kyai Ageng Tegalsari berkata, “Ya di tempat payung ini engkau ketemukan, dirikanlah sebuah Masjid, dan tempat tersebut beri nama SEWULAN, sebab waktu mencari sampai ketemunya payung ini engkau membutuhkan waktu 1000/sewu (seribu) dina (hari)”.
Maka setelah tempat dimana Masjid berdiri meluas menjadi desa, desanya dinamakan juga desa SEWULAN, sampai sekarang masih ada.
Sepeninggal Bagus Harun pergi menuju ke tempat yang baru (Sewulan) dari Tegalsari, desa Tegalsari menjadi buah bibir orang-orang sebelah timur gunung Lawu sampai ke Cangkring, Pacitan. Putra putri Tumenggung Cangkring Pacitan yang bungsu tidak ketinggalan membicarakan Desa Tegalsari yang sudah kesohor kemana-mana it. Sang putri memberanikan diri menghadap ayahnya dan menyatakan keinginan, “Ayah, kalau ananda dijodohkan kelak, ananda akan menurut asalkan dijodohkan dengan putra Kyai Ageng Tegalsari, Ponorogo”.
Tumenggung Cangkring Pacitan setelah mendengar pernyataan putrinya, tidak lama kemudian berangkat menuju ke Tegalsari perlu bertemu dan menemui Kyai Ageng Tegalsari untuk memenuhi permohonan putrinya. Dasarnya memang Sang Putri sudah waktunya berumah tangga dan Tumenggung sendiri ingin segera mempunyai memantu. Sesampainya di Tegalsari Sang Tumenggung langsung menuju ke tempat kediaman Kyai Ageng Tegalsari, yang kebetulan sedang berada di tempat. Sang Tumenggung dipersilahkan duduk dan berbincang-bincang. Setelah istirahat beberapa saat, Sang Tumenggung menyampaikan maksud dan tujuan utamanya kepada Kyai Ageng Tegalsari bahwa kedatangannya disamping bersilaturohmi ada persoalan yang khusus yang akan dibicarakan, yaitu masalah permintaan putrinya dijodohkan dengan putrinya Kyai Ageng Mohammad Besari Tegalsari.
Kyai Ageng Tegalsari kemudian memberi jawaban : “Saya juga mempunyai perjaka, hanya rupanya buruk, tidak rupawan lagi pula perawakannya cebol, apa sekiranya putra putri Tumenggung mau dengan anak saya itu?”
Sang Tumenggung kembali menjawab tanpa melihat putra Kyai Ageng yang dimaksud : “Ya Kyai, saya sudah senang, hanya sebaiknya putra Kyai lelaki supaya datang menghadap ke Cangkring untuk melamar”. Sepulangnya Sang Tumenggung, Zainal Abidin dipanggil ayahnya dan setelah menghadap Kyai Ageng Tegalsari memberitahukan : “He anakku Zainal Abidin, engkau akan ayah nikahkan, saya dapatkan / jodohkan dengan putrinya Tumenggung Cangkring Pacitan, maukah engkau dan senangkah menjalaninya?.
“Duh rama dan ibu, junjungan ananda, ananda akan mengikuti apa yang dikehendaki rama dan ibu, hanya apakah kiranya putri di Cangkring mau menjadi istri ananda? Karena ananda ini bermuka burik (bopeng) lagi pula cebol”. Demikian kata Zainal Abidin.
Kyai Ageng berkata lagi, “Perkara itu sudah cukup di tangan Tumenggung Cangkring sendiri, engkau diminta supaya datang menghadap ke sana, ke Cangkring untuk melamar. Hanya sebaiknya engkau wakilkan kepada kangmasmu Iljas saja!” Zainal Abidin sependapat dan mengiyakan apa kata ayahnya.
Putusnya pembicaraan, Kyai Ageng kemudian memanggil putrinya Iljas. Setelah Iljas menghadap diberitahu dan diperintahkan, “Iljas, hari ini engkau kusuruh mewakili adikmu Zainal Abidin dengan keperluan melamar ke Cangkring Pacitan dan ajaklah seorang anak santri untuk menghantarmu”.
Setelah menerima perintah dari ayahnya, Iljas terus berangkat ke Cangkring Pacitan. Dan sepulangnya dari Cangkring Pacitan terus menghadap ayahnya dan hunjuk atur, bahwa putri Cangkring itu memang cantik betul, dan empat puluh hari lagi Zainal Abidin supaya datang ke Cangkring perlu didaupkan (dinikahkan).
Apa yang terjadi, berangkatnya penganten pria dari Tegalsari diarak oleh para santri yang tidak sedikit jumlahnya dan kelihatan meriah sekali, sepanjang jalan mereka bersorak-sorai menandakan kesukariaan mereka. Singkatnya cerita penganten pria sudah sampai di Cangkring dan dipersilahkan istirahat sebentar di tempat pemondokan sementara. Sesudah satu jam kemudian, penganten akan dinikahkan putri mengetahui kenyataan keadaan penganten pria yang berbadan cebol dan bermuka burik (bopeng), lalu berteriak tidak mau dipertemukan dengan penganten pria, Zainal Abidin. Tetapi mempunyai permohonan supaya dinikahkan dengan yang pernah melamar dahulu, yaitu Iljas. Akhir pembicaraan, penganten wanita dinikahkan dengan Iljas.
Alangkah kecewanya perasaan Zainal Abidin menanggung malu, sebagai lelaki sampai ditolak oleh seorang wanita. Oleh Karenanya seketika itu Zainal Abidin meloloskan diri dari Cangkring terus pulang ke Tegalsari, menghadap rama ibu dan menyampaikan peristiwa yang dialami di Cangkring, Pacitan. Kyai Ageng kemudian berkata : “Ooo ananda, memeng itu bukan jodohmu. Supaya bersabar dan bersyukur kepada Allah Swt engkau diberi coba yang seperti itu”.
Ketika kedua penganten diunduh ke Tegalsari, Zainal Abidin tidak mau memperlihatkan diri, malah sembunyi ke rumah kakaknya Kyai Iskak Coper. Setelah sampai di Coper dan ketemu dengan kakaknya, ia kemudian bilang, “Kak, saya akan pergi, aku sangat malu tinggal di Ponorogo”.
Kakaknya telah memberi nasehat cukup dan selalu membujuk-bujuk kepada adiknya agar sabar dan membatalkan niatnya akan pergi itu. Akan tetapi semua itu tanpa guna. Seandainya tidak takut dosa Kyai Zainal Abidin lebih baik mati dari pada menanggung malu. Cerita selanjutnya, Kyai Iskak membuat keputusan begini, “Sudahlah adik, baiknya sekarang engkau laporkan kepada bapak, bahwa aku dan engkau akan berangkat haji ke Mekah dan mohon diberi ongkos di perjalanan”.
Kyai Zainal Abidin kemudian terus pergi akan menghadap ayahnya dan kebetulan ayah dan ibundanya lagi duduk di beranda. Setelah ayahnya Mengetahui kedatangan Kyai Zainal Abidin, lalu dipanggil dan disuruh duduk di hadapan ayahnya dan ditanya : “Mengapa engkau, sudah agak lama tidak menengok aku dan ibumu?” Jawab Zainal Abidin, “Belum ada waktu dan perkenankanlah ananda akan menyampaikan niatan ananda. Hendaknya menjadikan periksa ayah dan ibu bahwa hari ini ananda berhajat akan Ziarah Haji ke Mekah, semoga ayah bunda memberikan doa restu serta sudi memberikan uang saku secukupnya”. Ayahnya berkata lagi, “Ooo putraku lanang (laki), aku ini tidak berdagang dan juga tidak berlayar, engkau sendiri Mengetahui dan mengerti, kalau ayah ini sehari-hari bekerja mengajar santri, engkau ini bagaimana, kok minta uang saku?”
Zainal Abidin tidak menjawab, hanya diam saja karena merasa iba hatinya terhadap ayah-bundanya. Kemudian ia mohon pamit kembali ke Coper lagi.
Setelah sampai di Coper, ia langsung melapor kepada Kyai Iskak, Kyai Iskak kemudian berkata, “Sudahlah, menghadap kembali dan bilang kepada ayah, mohon uang saku mesti punya”.
Kyai Zainal Abidin kembali menghadap lagi ke Tegalsari mengatakan lagi mohon uang saku. Pun ayah dan bunda geleng-geleng kepala sambil berkata, “Anak ini bagaimana dia diberi tahu, kok masih nekad benar? Kapan engkau berangkat.
Zainal Abidin menjawab, “Besok lusa, dengan kak Iskak Coper”. Ayahnya berkata lagi : “Kalau begitu, besok kalau berangkat singgah dulu kemari”.
Hari lusanya kedua orang (Kyai Iskak dan Kyai Zainal Abidin) bersama-sama pada berangkat, dari Coper menuju ke Tegalsari menghadap rama – ibu mohon doa restu dan uang saku. Setelah datang di Tegalsari, ayahanda masih sujud sunat, maka itu menunggu sampai selesai. Sesudah sujud pun ayahanda kemudian menemui kedua putrinya yang kelihatan susah, Kyai Ageng Tegalsari berkata, “Apa kedua anak ini akan jadi berangkat? Kalau berangkat, kalian berdoa sana buka di bawah pesujudan ada apa kalau ada emasnya ambillah secukupnya untuk dipakai bekal perjalanan”.
Kedua putra Kyai Ageng kemudian menuju ke tempat sujud. Dibukalah tempat sujud ayahnya dan disitu ada emas lantak. Lalu keduanya mengambil secukupnya dan berangkat ke Mekah beribadah Haji. Selesainya ibadah haji keduanya di dalam perjalanan pulang, kapal yang dinaiki keduanya selama 7 hari di pelabuhan Selangor, Malaya. Keduanya menyempatkan waktu untuk ke darat melihat-lihat keadaan. Setelah 7 hari sudah habis, kapalpun siap-siap untuk angkat setelah kapal sudah siap jalan, Kyai Iskak memanggil Kyai Zainal Abidin, “Zainal Abidin, ayo lekas naik, kapal akan jalan”.
Zainal Abidin menjawab ajakan kakaknya, “Kangmas, saya tidak pulang ke Tanah Jawa, saya akan berhenti di sini, di Selangor sampaikan kepada ayahanda dan ibunda hendaknya diberi tambahan doa dan restu, supaya saya dapat berhasil apa yang menjadi idam-idaman hatiku”.
Atas jawaban adiknya itu, Kyai Iskak tidak dapat berbuat apa-apa terus, menaiki tangga kapal yang akan meneruskan pelayarannya ke Tanah Jawa.
Apa mau dikata, Kyai Zainal Abidin tetap tinggal di Selangor dan terus i'tikap di dalam Masjid kota sampai Beberapa bulan lamanya.
Pada suatu ketika, putri Kanjeng Sultan Selangor menderita sakit. Tambah hari bukannya semakin sembuh malahan semakin berat sakitnya. Sudah banyak jampi-jampi maupun dukun-dukun tidak dapat menyembuhkan sakitnya sang putri. Agaknya sudah sangat prihatin, menderita duka sebab memikirkan putrinya yang menderita sakit tanpa ada jampi-jampi ataupun dukun-dukun yang dapat menyembuhkan. Akhirnya Raja mengambil suatu keputusan, yaitu mengadakan sayembara untuk menyembuhkan sang putri. Kepada siapa saja orangnya tanpa pandang bulu yang dapat menyembuhkan siang putri dari sakitnya yang sangat berat akan diberi anugerah dari Sultan Selangor. Kepada yang dapat menyembuhkan sang putri kalau lelaki akan diangkat sebagai memantu. Kalau wanita akan diangkat sebagai anak putri Raja Kanjeng Sultan Selangor. Sayembaranya sang Raja sudah sampai ke seluruh pelosok negeri, banyak para ahli nujum dan para sarjana bijaksana yang memasuki sayembara, Namun masih belum ada seorangpun yang berhasil menyembuhkan sakitnya sang putri.
Diceritakan, Sehabis shalat subuh pada suatu hari Kyai Zainal Abidin yang sudah beberapa bulan belum meninggalkan Masjid (I’tikap) mempunyai keinginan keluar Masjid melihat keadaan suasana di luar Masjid. Setelah kakaknya menginjak gapura Masjid menuju ke jalan, ia mendengar berita bahwa Sang Raja Sultan Selangor mengadakan sayembara, Kyai Zainal Abidin pun meneruskan langkah menuju ke Istana Sultan dan akan menghadap Raja Sultan Selangor.
Sesampainya di istana langsung mohon menghadap Kanjeng Sultan. Setelah menghadap dan menyampaikan maksud kedatangannya, Zainal Abidin langsung dibawa ke keputrian dan dipersilahkan untuk mengusahakan penyembuhan sang putri yang masih menderita sakit. Terjadilah, setelah sang putri diobati Zainal Abidin seketika itu juga sang putri sembuh dari segala penderitaan. Tidak dapat diperkirakan, betapa rasa puas dan lega hati sang Raja Sultan Selangor setelah melihat putrinya dapat sembuh kembali seperti sebelum sakit. Maka Zainal Abidin terus dinikahkan dengan putri Raja Selangor. Setelah Raja Selangor wafat, kedudukan sebagai Sultan Selangor digantikan oleh Zainal Abidin dan turun-menurun sampai zaman sekarang.
Sesudah Kyai Ageng Tegalsari Mengangkat semua putra putrinya ke janjang rumah tangga, tinggal seorang putrinya yang bungsu yang belum mendapatkan jodoh sehingga memprihatinkan Kyai Ageng Tegalsari. Beliau memohon kehadirat Allah Swt agar putri bungsunya segera mendapatkan jodoh.
Diceritakan bahwa Kyai Ageng Pugeru (Umar) mempunyai seorang putra lelaki yang bernama Muhammad Bin Oemar dilamarkan ke Tegalsari oleh ayahnya. Setelah diterima oleh Kyai Ageng Tegalsari, Bin Oemar kemudian dinikahkan dengan putrinya. Antara 7 hari sesudah hari pernikahan, di Kraton Yogyakarta terjadi suatu kejadian yang menggemparkan yalah hilangnya Pangeran Singosari pergi dari Yogyakarta membuka (babad) hutan di daerah Malang, di desa Singosari mendirikan istana (Kraton) sendiri. Sinuhun Yogya bertanya kepada Tumenggung, “Ki Tumenggung, ini nanti bagaimana akhirnya bahwa Pangeran Singosari tidak mau kembali ke Yogya malah beritanya mendirikan istana Kerajaan di Singosari. Salah-salah nantinya akan ada kejadian peperangan dengan saudara sendiri, sekarang baiknya bagaimana?”
Ki Tumenggung lalu memberikan jawaban, “Gusti, sebaiknya Paduka saya mohon mengirim utusan ke Tegalsari minta pertolongan kepada Kyai, supaya mengajak pulang Pangeran Singosari kembali ke Yogya”.
Sinuhun kembali berkata, “Kalau demikian engkau saya utus pergi ke Tegalsari menyelesaikan persoalan ini”.
Ki Tumenggung menyanggupi kemudian buru-buru berangkat menuju Tegalsari.
Sesampainya Ki Tumenggung di Tegalsari, kemudian menemui Kyai Ageng Tegalsari dan mengatakan maksud dan tujuannya menghadap Kyai Ageng, “Kyai, saya diutus oleh Sinuhun Yogya, untuk memohon bantuan Kyai membawa pulang Pangeran Singosari yang dewasa ini sedang babad di hutan desa Singosari Malang, Dikawatirkan, kalau Pangeran tidak mau pulang ke Yogya, kelak akan timbul perang saudara antara Yogya dan Singosari. Nanti apabila Kyai Ageng dapat membawa pulang Pangeran Singosari, Kyai akan diberi anugerah yaitu bumi merdika yang tidak dikenakan pajak untuk selama-lamanya. Kyai Ageng Tegalsari kemudian memanggil Kyai Bin Oemar, putra mantu yang baru menikah dan memerintahkan, “Bin Oemar, hari ini engkau saya utus ke Singosari Malang, supaya Pangeran Singosari yang sedang membuka (Babad) hutan di sana, Singosari, supaya kembali ke Yogya”.
Kyai Bin Oemar bersedia menjalankan tugas yang baru saja diberikan oleh Kyai Ageng dan segera berangkat bersama-sama Ki Tumenggung.
Setelah Kyai Bin Oemar sampai diMalang, kemudian sholat di perbatasan hutan tanah yang dibuka (babad) oleh Pangeran Singosari. Selanjutnya Kyai Bin Oemar menghadap kepada Pangeran Singosari. Setelah Pangeran mengetahui ada tamu Ki Tumenggung dari Yogya, Sang Pangeran kemudian memerintah Senopati untuk menangkap Ki Tumenggung. Kyai Bin Oemar lalu berkata kepada Senopati bahwa Ki Tumenggung ke Yogya ini bukanlah kemauannya sendiri tetapi menghantarkan Bin Oemar Wakil Kyai Ageng Tegalsari, senopati lalu menghadap Pangeran Singosari, dan menceritakan bahwa Ki Tumenggung Yogya datang ke Singosari itu hanya sebagai pengikut Kyai Ageng Tegalsari. Pangeran kemudian berkata, “Kalau begitu supaya diperintah kemari, biar ketemu dengan aku”. Setelah Pangeran Singosari bertemu muka dengan Kyai Bin Oemar lalu berdoa berbincang-bincang. Akhirnya Pangeran Singosari mau kembali ke Yogya kalau Kyai Bin Oemar mau menghantarkan. Dan keamanan pribadi Pangeran Singosari selama di Yogya menjadi tanggung jawab Kyai Bin Oemar. Kyai Bin Oemar menyanggupi apa yang diminta oleh Pangeran Singosari. Ki Tumenggung diperintahkan berangkat dahulu perlu menghubungi Sinuhun Yogya, supaya kedatangan Pangeran Singosari dijemput para prajurit di batas luar kota. Dan pada akhirnya Kyai Bin Oemar dianugrahi bumi Perdikan Banjarsari Madiun bebas pajak, sampai turun temurun hingga sekarang.
Peristiwa Di Surakarta
Semasa Tegalsari dipegang oleh Kyai Kasan Besari, keadaannyapun makmur aman dan sentosa, rakyat sedesa dan kiri-kanannya pada mantap menghadap dan dengan sungguh-sungguh memeluk Agama Islam. Mereka pada rukun bersatu padu bergotong-royong dan tidak ada bentrok satu dengan yang lain, adanya hanya saling bantu membantu dengan semboyan, “Sakit mari kita pikul bersama, enaknya kita rasakan bersama pula”. Kyai Kasan Besari adalah putra dari Kyai Iljas dan Kyai Iljas adalah putra dari Kyai Ageng Mohammad Besari Tegalsari. Berarti Kyai Kasan Besari adalah cucu dari kyai Ageng Mohammad Besari Tegalsari.
Desa Tegalsari semakin hari menjadi semakin tambah banyak duduknya dan sangat maju dalam hal Agama Islam, sampai-sampai tersohor dimana-mana pesantren Tegalsari.
Kyai Kasan Besari kecuali mengajar para santri juga menjabat sebagai Kepala Desa Tegalsari. Jumlah muridnya ketika itu tidak kurang dari 10.000 orang. Di waktu itu Kyai Ageng Kasan Besari sampai membuat peraturan baru yang selaras dengan Hukum Agama Islam. Orang mencari (maling) apabila tertangkap hukumannya dipotong tangannya, orang yang bertindak zina digebuki sampai 80 kali gebukan. Desa Tegalsari adalah desa yang aman dan tentram, menjadi sumber ilmu Agama Islam. Keamanan dan ketentraman desa Tegalsari membuat iri hati desa-desa yang lain. Sehingga desa lainnya juga akan menerapkan peraturan seperti di desa Tegalsari.
Bupati Ponorogo setelah mendengar bahwa Kyai Tegalsari membuat peraturan sendiri dan nyebal dari peraturan Pemerintah segera melaporkan hal tersebut kepada Sinuhun di Surakarta. Sinuhun merasa terkejut sekali, terus memerintahkan supaya menangkap Kyai Tegalsari untuk dibawa ke Surakarta dikenakan pidana. Sesudah diurus oleh Pengadilan Negeri, Kyai Ageng Kasan Besari mendapat keputusan dibuang (diasingkan/diselong) keluar Jawa, di seberang lautan.
Kyai Ageng Kasan Besari jadi diberangkatkan ke pembuangan. Setibanya di Jakarta terus dinaikkan ke kapal. Begitu jangkar diangkat pertanda kapal mau bergerak berlayar, mendadak sontak mesin mogok, kapal tidak mau jalan. Berulang kali setelah mesin hidup kapal dijalankan, mesin mogok. Kemudian dari fihak penguasa timbul pemikiran, Kyai Ageng Kasan Besari diturunkan dari kapal dan kapal dicoba berlayar tidak mogok. Kemudaian dinaikkan kembali Kyai Ageng Kasan Besari ke kapal. Kapal dijalankan, kembali mogok tidak mau bergerak. Sudah jelas diketahui sebab-sebabnya, karena kekuatan Kyai Ageng Kasan Besarilah. Kyai Ageng tidak jadi diasingkan, tetapi ditawan di dalam Masjid Agung Surakarta.
Di bulan Maulud, Kyai Sebaweh yang tinggal di Tegalsari, mewakili Kyai Ageng Kasan Besari, memberi perintah kepada para santri, supaya pergi ke Surakarta untuk melihat Grebeg Maulud sekalian menengok Kyainya, karena mendengar bahwa Kyai tidak jadi diasingkan tetapi ditawan di Masjid Agung Surakarta.
Para santri semua bergembira ria dan mereka telah mengatur keperluan masing-masing untuk berangkat ke Solo. Tidak kurang dari 500 orang santri pergi ke Solo dan setelah sampai di tempat tujuan mereka langsung menuju ke Masjid Agung dimana Kyai Ageng Kasan Besari ditawan. Mereka menemui dan menyalami Kyai Ageng dan banyak yang meneteskan air mata karena merasa iba hati mereka melihat Kyainya sedang menderita batin, mereka mohon bertanya hal keputusannya. Kyai Ageng memberi jawaban bahwa beliau masih dalam tawanan di dalam masjid ini dan menunggu keputusan Pengadilan Negeri labih lanjut. Para santri mohon bertanya kepada Kyai, apakah diperbolehkan oleh Kyai, kalau bergol (rante) yang mengikat itu diputuskan saja? Ada santri lain yang mengusulkan supaya rentenya ditiup saja, nanti kan copot sendiri, Kyai Ageng Kasan Besari kemudian ketawa sambil menjawab : “Gus, kalau seorang lelaki sejati, sebenarnya kalau Gusti Allah hendak melepaskan belenggu atau rante itu bukannya diputus atau ditiup, tetapi lepasnya harus dari orang yang membelenggu semula. Jadi aku hanya pasrah kepada Allah saja, terserah bagaimana keputusan Allah. Gus baiknya ini adalah bulan Maulud, nanti malam mari semua mengadakan perjanjean-perjanjean dan selawatan Maulud untuk menghormati Gusti Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sebaiknya salah seorang santri pergi menghadap Bapak Penghulu perlu mohon izin untuk mengadakan perjanjen dan selawatan”.
Sesudah seorang santri menghadap Bapak Penghulu untuk memohon izin mengadakan perjanjen dan selawatan di Masjid Agung dan diperkenankan, malamnya perjanjen dan selawatan Maulud dimulai, Suara di Masjid dan kanan-kirinya sungguhnya ramai karena sejumlah 500 orang santri pada melaksanakan semua. Banyak orang yang pada melihat dan merasa heran, sebab pada masa itu belum ada orang yang dapat selawatan Maulud, kalau toh ada yang dapat selawatan, masih jarang sekali. Keadaan yang baru terlaksana ini, membuat puas dan senangnya para pinisepuh di daerah Surakarta sehingga membikin tentramnya pemerintah.
Diceritakan, setelah waktu menunjukkan pukul sat malam, waktunya asrakat, Kyai Ageng Kasan Besari yang bertindak selaku dalang, dasar suaranya baik dan lagi lagunya enak, sehingga kedengaran di dalam Kraton. Para putri di dalam Kraton pada tergiur mendengarkan suara yang enak dan merdu itu.
Malah salah seorang putri Sinuhun mohon bicara kepada ayahnya sebagai berikut, “Ayah, siapakah yang kiranya enak didengar itu?” Ayahnya menjawab, “Yang suaranya baik dan enak didengar itu adalah Kyai Ageng Kasan Besari Tegalsari yang akan diselong tidak jadi”. Sang Putri berkata lagi, “Kalau memang demikian, ananda mohon dijodohkan dengan Kyai Ageng Kasan Besari Tegalsari, kalau kelak ananda tidak dapat dinikahkan dengannya, ananda akan bunuh diri”. Sinuhun menjawab, “Genduk (anak perempuan), nini putri sebenarnya engkau ini sudah kujodohkan dengan putrinya Pangeran Yogyakarta”. Sang putri kembali bicara, “Kalau ananda tidak dapat dengan Kyai Ageng Kasan Besari Tegalsari, lebih baik tidak hidup di alam dunia”.
Singkat pembicaraan, esok harinya Kyai Ageng Kasan Besari dipanggil Sinuhun masuk ke dalam Kraton menerima pembicaraan Sinuhun sebagai berikut : “Bila anda mau dan senang serta setuju, akan saya ambil sebagai memantu, saya nikahkan dengan anak perempuan saya, bagaimana Kyai pendapat anda? Lagi pula Kyai saya bebaskan dari Perkara anda”.
Kyai Kasan Besari hunjuk atur, “Gusti, hamba yang bersedia akan tetapi hamba perkenankan hunjuk atur, karena hamba ini Kyai tukang ngajar pada santri, tidak mempunyai penghasilan apa-apa, karenanya hamba mohon diberi nafkah untuk mencukupi makanannya putri anda Sinuhun”.
Sinuhun berkata kembali, “Ya Kyai, anda akan saya beri sawah seratus bau untuk makannya anak saya perempuan”.
Setelah selesai pembicaraanya, Kyai Kasan Besari terus dinikahkan dengan putriSurakarta. Sesudah kejadian nikah, pamannya Sinuhun yang sedang bertapa di gunung Tidar mendengar berita bahwa cucunya, putri kemenakannya dinikahkan dengan Kyai Tegalsari, lalu pulang ke Surakarta perlu minta keterangan tentang dinikahkan cucu, putri kemenakannya.
Setiba di Surakarta, lalu menanyakan kepada Sinuhun, “Anak angger Sinuhun, bagaimana kok cucuku di nini putri dinikahkan dengan Kyai Tegalsari? Tentunya putra Ratukan ya mendapatkan Ratu, kok hanya dapat santri rendahan (Kendil). Itu kan merendahkan derajat putra Ratu, lagi pula menurunkan kewibawaan”.
Sang Sinuhun kemudian hunjuk atur, “Paman, biarpun dia itu seorang Kyai, kesaktiannya melebihi kesaktian saya maupun kesaktian Paman. Buktinya ketika akan diselong, kapalnya tidak dapat bergerak jalan dan lagi Kyai Tegalsari itu masih keturunan kesatria rembesing madu. Sebab eyangnya masih keturunan Sinuhun Brawijaya Majapahit.
Pamannya ganti bicara dan setengah menentang, “Cobalah, sekarang utusan memanggil Kyai Kasan Besari, saya coba seberapa kesaktiannya dan keprawiraannya.
Sinuhun kemudian mengutus pengawal ke Tegalsari perlu memanggil Kyai Kasan Besari beserta istrinya supaya datang ke Solo. Setelah pengawal tiba di Tegalsari langsung menghadap Kyai Ageng Kasan Besari dan menyampaikan pesan Sinuhun, “Kyai, saya diutus Sinuhun, sampeyan beserta istri dipanggil Sinuhun menghadap di Surakarta, angkutan ke Surakarta sudah tersedia”.
Kyai Ageng Kasan Besari bicara kepada istrinya, “Nyai, seyogyanya hari ini engkau berangkat dahulu, biar diantar oleh pengawal, aku berangkat belakangan saja dan kuda yang dibawa dari Surakartauntukku sebaiknya dibawa kembali saja”.
Nyai Ageng bertanya : “La Kangmas Kyai mau naik apa?”
“Saya akan jalan kaki saja”. Jawab Kyai.
Nyai Ageng dan Pengawal utusan Sinuhun sudah berangkat naik kuda. Perjalanan mereka memakan waktu 7 hari baru sampai di Surakarta. Maklumlah waktu itu keadaan jalan tidak seperti zaman sekarang. Sesudah Nyai Ageng dan pengawal sampai di Kraton, sungguh merasa heran dan bengong, melihat Kyai Ageng Kasan Besari sudah berada di Kraton, bertemu bersama Sinuhun dan pamannya.
Nyai Ageng mohon Penjelasan dari Kyai Ageng, “Kyai kok sudah ada di sini, naik apa dan sudah berapa lama sampai di sini?”.
Kyai Ageng menjawab, “Ya jalan saja dan sudah enam hari berada di Keraton kenapa kalian kok begitu lama, saya tunggu-tunggu kok tidak datang-datang”.
Sinuhun dan Pemannya merasa heran. Tidak antara lama Sinuhun mengadakan pesta kembul bujono (makan bersama) bersama-sama putra-putra Sentono dalem, santap bersama. Ketika Paman Sinuhun mengambil lauk ayam rampadan yang sudah ada di piring, seketika itu lauk ayam jadi ayam hidup, kemudian terbang. Kyai Ageng Kasan Besari merasa dicoba. Lalu mengambil saputangan di buang terus jadi luwak dan menubruk ayam tadi. Paman ambil lauk daging kambing yang ada di rampadan lainnya, dan berubah menjadi kambing hidup. Kyai Ageng Kasan Besari tidak terlena, serban yang dipakai kemudian dilepas dibuang menjadi harimau dan menubruk kambing. Sinuhun kemudian mohon kepada Pamanda dan minta kepada memantu untuk tidak diteruskan.
Akhirnya Pamanda berkata kepada Kyai Ageng Kasan Besari, “Apakah Kyai dapat memanah?.
Kyai menjawab, “Tidak! Akan tetapi kalau yang Mulia mengajak titis titisan, saya hanya mengikuti”.
Pamanda lalu memasang gambar burung di tengah alun-alun digantung, kemudian di lepasi panah dari kejauhan, (dipasang di alun-alun Utara di panah dari alun-alun Selatan) kena matanya gambar burung hanya meleset. Lalu bergantian Kyai Ageng Kasan Besari diperintah melepas panah, sebelum melepas panah berkata, “Mohon maaf Eyang, apakah saya diperkenankan melepaskan panah sambil membelakangi?”
Pamanda menjawab, “Ya Boleh!”
Kyai Ageng Kasan Besari kemudian membelakangi gambar burung menghadap ke Selatan. Panah kemudian dilepas, menuju ke arah Selatan, tetapi kemudian kembali ke Utara mengenai mata pusatnya gambar burung sampai tembus. Selanjutnya Kyai Kasan Besari mengeluarkan guna kesaktiannya sambil berkata kepada Yang Mulya Eyang, “Eyang, cucunda mohon diperkenankan menyampaikan sepatah kata untuk dipergunakan sebagai terakhirnya kepercayaan kepada cucunda. Sekarang beringin kurung itu saya panah. Eyang dipersilahkan memeriksa, kalau nanti ada selembar daun saja yang tidak berlobang, cucunda terima menjatuhkan talak kepada cucunya Yang Mulia. Selanjutnya nanti hamba akan pulang ke Tegalsari Ponorogo seorang diri saja”.
Ceritanya beringin kurung kemudian dipanah, seketika roboh terbelah menjadi dua dan daunnya bolong semua. Disitulah yang Mulia Sinuhun dan yang Mulai Paman Heran sekali dan merasa terkalahkan, karenanya lalu berbicara kepada Kyai Kasan Besari, “Sekarang engkau sudah saya perbolehkan kembali bersama istrimu ke Tegalsari, perlu menentramkan fikiran. Dan bilamana tidak ada panggilan lagi, tidak perlu datang kemari”.
Seketika itu Kyai Kasan Besari mohon pamit lalu kembali pulang ke Tegalsari, dihantarkan putrinya. Pulangnya Kyai Kasan Besari dari Solo, pada putra kerabat Kraton bersama keluar memberi penghormatan dan banyak para putri yang pada mengeluarkan air mata, melihat keberangkatannya Kyai bersama istrinya.
Sepeninggalannya itu, Kyai Kasan Besari sampai mejadi bunga bibir para kerabat dalam Kraton, dan keseluruhan daerah Surakarta, baunya harum mewangi, kok ada Kyai yang bijaksana dan sebegitu saktinya.
BAGUS BURHAN MONDOK DI TEGALSARI
Antara selang bulan sejak Pulangnya Kyai Kasan Besari dari Surakarta, Tumenggung Tjokonegoro, ingin dan tergiur sekali dapat cucup ilmunya Kyai Kasan Besari, kemudian putranya lelaki bernama Bagus Burhan dihantarkan ke Tegalsari, dipondokkan (masuk Pondok/Pesantren). Sesampainya di Tegalsari, putrinya diserahkan supaya dipimpin, dibina pengajian. Disertai seorang pembantu pribadi Onggolyo, juga dari Solo.
Diceritakan Bagus Burhan mondok di Tegalsari antara satu tahun lamanya, selalu membikin tidak amanya Pondok dan mengajak para santri menyabung ayam jago dan plesiran serta judi. Lama kelamaan di Pondok timbul kerusuhan disebabkan dari judi keplek kecek, dadu dan adu jago. Setelah Kyai Kasan mendengar dan melihat keadaan seperti itu, lebih-lebih prihatin dan merasa sedih hatinya dan akhirnya memanggil pembantu pribadinya Bagus Burhan, yang bernama Onggolyo karena Bagus Burhan itu sebaiknya disuruh pergi saja dari pondok sini, sebab dia selalu bikin rusaknya teman-temannya, sehingga menjadikan kotornya Pondok. Hari ini dia supaya pergi dari sini, saya tidak mau ketempatan”.
Onggolyo kemudian mengajak Bagus Burhan dan hari ini juga Bagus Burhan harus pergi dari Tegalsari sini, sebab Kyai sudah tidak mau ketempatan dia. Seketika Bagus Burhan kaget dan sedih hatinya sebab mau pulang ke Solo takut kalau dimarahi ayahnya. Akhirnya ditemukan jalan, pembantunya si Onggolyo diajak pergi arahnya ke Utara, menuju kota Madiun.
Di kota Madiun, Bagus Burhan kemudian berjualan barang-barang pakean dan perhiasan (palen) untuk mencukupi makannya setiap hari. Untungnya juga lumayan, sebab ambilnya cuma sedikit.
Ceritanya, putri Bupati Madiun yang bernama R. Aj. Gombak, pada suatu hari diutus ibunya ke pasar untuk belanja. Setelah melihat orang jualan palen lalu singgah akan mencari cincin. Tetapi tidak ada yang disenangi. R. Aj. Gombak melihat cincin yang dipakai oleh si penjual pakean. Karena hatinya merasa senang melihat cincin yang dipakai di penjual palen, lalu bertanya, “Pak, cincin yang anda pakai itu apakah dijual?”
Se penjual palen menjawab : “Kalau Den Ayu menghendaki cincin yang saya pakai ini, saya persilahkan”.
Raden Ayu Gombak berkata, “Coba saya lihat”. Setelah cincin diperiksa, Den Ayu Gombak senang sekali pada cincin tersebut lalu berkata, “Pak harganya berapa?”
Dijawab, “Harganya terserah Den Ayu”.
Den Ayu Gombak kemudian menawar, “Seumpama saya beli enam gobang ( 1 gobang = 2 ½ sen ) bagaimana?”
Dijawab oleh sipenjual, “Silahkan saja!”
Cincin lalu dibayar, kemudian dibawa pulang. Setelah Onggolyo mengetahui tentang penjualan cincin tersebut kemudian hunjuk atur, “Den Burhan, bagaimana sih, cincin bagusnya seperti itu kok dijual murah, nanti ada apa-apanya”.
Bagus Burhan menjawab : “Onggolyo aku diperintah Eyang, kalau cincin itu diminta orang perempuan, jangan dibeli harus diberikan”.
Setelah Onggolyo mendengar kata-kata juragannya itu ia pun berkata lagi sambil tertawa, “Ya sekarang saya sudah mengerti apa kemauan Den Bagus”.
Sesampainya Den Ayu Gombak di rumah, lalu mengatakan kepada ibundanya dengan buru-buru, “Ibu, Bu, saya membeli cincin harganya murah lagi pula baik sekali”.
Ibundanya berkata agak terkejut : “Coba lihat seperti apa, aku ingin melihat!”
Setelah ibunya mengetahui, terkejut amat. Adapun cincin kira-kira seberat 10 gram apabila emasnya tua, kok hanya dibeli seharga enam gobang (15 sen). Cincin lalu diserahkan kepada suaminya, yaitu Bupati Madiun. Ayahanda Raden Ayu Gombak setelah memeriksa cincin menjadi terkejut dan heran, adapun cincin itu bukanlah buatan dari desa, tetapi buatan dari Kraton dan yang memakai tentunya pada leluhur Keraton di Solo. Bupati Madiun juga masih termasuk darah dari Keraton Solo. Selanjutnya ia memanggil Den Ayu Gombak, “Genduk (panggilan untuk anak perempuan), engkau membeli cincin ini dari siapa, dan harganya berapa?”
Den Ayu Gombak menjawab, “Saya dapatnya membali dari orang yang berjualan palen di pasar, harganya enam gobang”.
Seketika itu juga Bupati memanggil upas/ pesuruh dan berkata memerintah, “Pak Upas, coba orang penjual palen yang ada di pasar yang cincinnya dibeli juraganmu Den Ayu Gombak, dipanggil kemari. Den Ayu Gombak biar menghantar dan menunjukkan dari kejauhan”.
Pak Upas lalu pergi ke pasar. Setelah sudah diketemukan penjual palen. Pak Upas kemudian bertanya, “Pas penjual palen, apakah anda yang menjual cincin kepada anak perempuan itu?”
Dijawab “Iya”.
Pak Upas bicara lagi, “Hari ini juga anda dipanggil Bapak Bupati di Kabupaten bersama saya”.
Bagus Burhan setelah mendengar dipanggil Bapak Bupati, menjadi terkejut dan bertanya kepada Pak Upas, “Ada apa kiranya Pak Upas?”
Pak Upas menjawab, “Tidak mengetahui, saya tidak mengerti”.
Onggolyo menyambung bicara, “Den Burhan, sekarang anda mengetahui sendiri maka itu jangan gampang-gampang menjual cincin dengan harga murah kepada orang perempuan. Sudah sekarang anda berangkat, barang jualannya biar saya yang menunggu”.
Setelah Bagus Burhan sampai di Kabupaten, Bapak Bupati lalu bertanya : “Engkau anak dari mana dan siapa namamu?”
Bagus Burhan hunjuk atur, “Saya santri dari Tegalsari, adapun asal saya dari Solo. Saya berada di Madiun ini mencari bekal”.
Bapak Bupati bertanya lagi, “Engkau anak dari Solo, putrinya siapa?”
Bagus Burhan berkata terus terang, mengaku putrinya Tumenggung Tjokronegoro.
Bapak Bupati terkejut kemudian berkata lagi, “Ayahmu itu dengan aku masih saudara yang dekat sekali, masih saudara sepupu (misanan) jadi engkau ini adalah keponakan saya. Lha engkau kok jual cincin dengan harga murah sekali, itu bagaimana?”
Bagus Burhan berkata terus terang, “Ini menepati perintah Eyang. Kalau cincin ini disenangi oleh wanita, supaya diberikan”.
Bapak Bupati berkata sambil geleng-geleng kepala, “Ya, ya, aku sudah mengerti apa yang menjadi kehendak Eyangmu. Lha kok kebetulan sekali yang membeli masih saudara sendiri. Memang kehendak Gusti Allah, yang harus begitu itu dan 7 hari lagi aku akan pergi ke Solo, mau Konprensi, apakah engkau ikut?”
Bagus Burhan menjawab, “Tidak!” kemudian mohon pamit untuk kembali ke pasar lagi.
Bapak Bupati berbicara lagi, “Kalau begitu, selesaikanlah apa yang menjadi tujuanmu!”.
Setelah sampai di pasar, Bagus Burhan berkata kepada Onggolyo, Pak Onggolyo, sebaiknya hari ini kita berhenti berjualan palen, kita bubaran saja. Sekarang mari mencari penghidupan yang lain saja, sebab hari ini aku telah ketahuan oleh Paman Bupati Madiun sini, dan aku harus menjaga nama baiknya Pamanku”.
Onggolyo kemudian berkata atur, “Mencari penghidupan apa to Den sebaiknya!”
Bagus Burhan berbicara, “Sekarang mencari ikan sepanjang kali saja, pendapatan ikan kita jual”.
Onggolyo berkata lagi, “Kebetulan kalau begitu, Den! Mari kita berangkat”. Keduanya berangkat menuju ke desa Caruban, arahnya Utara – Timurnya Kota Madiun.
Diceritakan desa Tegalsari sepeninggalnya Bagus Burhan, disitu terjadi huru-hara yang besar sekali, banyak orang sakit, Wabah penyakit, pagi sore ada orang yang meninggal tanpa berhenti. Di waktu pagi fajar (gagak rahino) tidak ada suaranya ayam jago berkokok, jangkrik ngerik, kutu-kutu belalang pada diam tiada suaranya. Adanya hanya dingin menusuk tulang sungsum, pepohonan pada berhenti tiada daun-daunnya yang bergeming dihembus angin. Karena itulah membuat para santri kembali pulang ke tempat asalnya masing-masing.
Kyai Ageng Kasan Besari lebih-lebih merasa sedih dan prihatin, berkata Kyai di dalam hati, “Apa yang menjadikan sebab musabab sehingga di Tegalsari ada kejadian semacam ini? Ooo, tidak lain dan tidak bukan karena perginya Bagus Burhan, ya barang kali ini?” sebaiknya Bagus Burhan kusuruh kembali ke sini saja”.
Kyai Kasan Besari kemudian memanggil pembantunya yang bernama Kromoliyo, diperintahkan, “Kromoliyo, hari ini engkau saya utus mencari Bagus Burhan, kemana saja perginya sampai ketemu. Kalau sudah ketemu ajaklah dia kembali ke sini, sebab saya mengusir dia itu salah. Sebetulnya, harus kuhantarkan pulang ke Solo, dan ku pasrahkan kepada orang tuanya. Sebab dia ada di sini ini permulaan diserahkan oleh orang tuanya, jadi kalau anaknya hilang tentu sayalah yang disalahkan”.
Kemudian Kromoliyo berangkat. Di perjalanan Kromoliyo berpikir : “Lha iya, saya diutus mencari orang yang tidak karuwan tempat tinggalnya dan lagi tidak diberi ongkos, bagaimana ini usaha saya? Yah sekarang saya ke Utara saja.
“Kromoliyo jalannya lurus ke Utara. Setelah sudah dekat kota Ponorogo, dia melihat orang sedang mengepung harimau, Kromoliyo terus ikut mengepung, harimau ketangkap terus di bagi bersama. Kromoliyo minta kepalanya. Kulitnya diambil untuk dibikin mbarong (ngamen) hasilnya dibuat ongkos perjalanan mencari Bagus Burhan. Desa di mana dikepungnya harimau *Jawa- Simo) sampai sekarang bernama desa Siman. Jalannya Kromoliyo terus ke Utara sampai di kota Madiun. Di alun-alun Madiun, Kromoliyo menari-nari dengan menggunakan kerudung kulit harimau. Banyak orang melihat, sehingga alun-alun menjadi ramai.
Ceritanya Bagus Burhan dan Onggolyo, waktu pulang dari mencari ikan melalui alun-alun. Ada ramai-ramai tidak tahunya yang bikin ramai-ramai adalah temannya sendiri yaitu Kromoliyo, teman di Pondok Tegalsari. Onggolyo ikut menari sekali sebagai pemain pentul, kedua orang itu menari-nari sampai seperti orang kesetanan. Seteleh Kromoliyo mengetahui bahwa yang ikut membantu menari adalah Onggolyo, lalu diceblak (pukulan sebagai isyarat) dan bertanya : “Lho kok Kang (Bang) Onggo, juraganmu berada di mana?”
Onggolyo menjawab, “Sudah tidak perlu tanya Den Bagus , mari kita teruskan saja kita menari-nari ini, soal tanya bertanya (bage-binager / Jawa) nanti saja”.
mBrongnya kedua orang tersebut diteruskan sampai selesai. Sesudah selesai kemudian saling tanya menanyakan keselamatan. Kromoliyo lalu bertanya, “Den Bagus Burhan berada di mana?”
Onggolyo memberi jawaban, “Ada di masjid Agung saja, mari kita ke sana!”
Sesampainya di Masjid Agung dan bertemu dengan Bagus Burhan, Kromoliyo lalu berkata, “Den Burhan, saya diutus oleh Kyai Kasan Besari, Paduka hari ini dipanggil supaya kembali menghadap ke Tegalsari”.
Bagus Burhan menjawab : “ada apa gerangan Kromoliyo? Saya kan sudah diusir dari Tegalsari. Nanti saya menghadap malah dimarahi?”
Kromoliyo ganti menjawab : “Kalau nanti dimarahi saya yang menanggung”.
Cerita selanjutnya, Bagus Burhan kemudian menghadap Kyai Tegalsari. Kyai Kasan Besari kemudian berkata, “Bagus Burhan sekarang ini engkau saya minta kemantapanmu. Apakah engkau menurut atau tidak kepada saya? Kalau tidak menurut, engkau saya antar kembali ke Solo, saya akan serahkan kembali kepada orang tuamu”.
Bagus Burhan menjawab, “Saya akan mengikuti kehendak Kyai dan hari ini saya sudah benar-benar taubat”.
Kata Kyai Kasan Besari : “Kalau demikian mulai hari ini engkau harus menjalani puasa 40 hari lamanya. Untuk bukamu ada pisang di sebelah Barat Pondok, sehari hanya diperbolehkan buka satu buah pisang”.
Bagus Burhan hanjuk atur : “Inggih/Ya!”
Setelah itu ingin mengetahui kebenaran ucapan Kyai tentang pisang. Bagus Burhan lalu pergi ke sebelah Barat Pondok, dan di sana ternyata ada satu tandan pisang yang sudah masak dan jumlahnya benar 40 dari buah pisang.
Selanjutnya Bagus Burhan menjalani bertapa melek (tidak tidur sama sekali) berada di sungai dalam posisi njengking (membungkuk/rukuk). Adapun caranya sebagai berikut, bambu sebatang diletakkan melebar di atas tali (malang) lalu kedua orang Bagus Burhan dan Onggolyo bersama-sama duduk di atas bambu tersebut sampai satu malam suntuk. Kalau sampai terkantuk akan terjatuh kedalam kali. Padahal kalinya dalam sekali dan deras alirnya. Jadi kalau sampai jatuh ya basah kuyub dan harus dapat berenang.
Setelah sudah genap 40 hari, Bagus Burhan bicara kepada pembantunya Onggolyo : “Pak Onggo, besok itu sudah waktunya buka (beruwah). Baiknya nanti malam sekira pukul 2, engkau bikin nasi liwet yang banyak, untuk sarapan pagi”.
Benar, waktu pukul 2 malam Onggolyo bikin nasi liwet. Setelah liwet sudah hamper matang (kasilep) ada sinar clorot-clorot dari arah barat seperti ndaru (pulung), masuk ke dalam Kendil ini nasi liwet. Kemudian kendil terus ditutup, baunya sangat harum sekali.
Setelah pukul 4 pagi Bagus Burhan kemudian berkata : “Onggolyo sekarang sudah pagi (bangun), sebaiknya liwenya dikeduk”.
Kedua orang bersama pergi mendekati liwet. Setelah Kendil dibuka, didalamnya ada ikan bader yang baunya harum mewangi. Onggolyo berkata : “Lha ini kok ada ikan badernya di dalam Kendil. Kalau begitu saya mohon kepalanya saja”.
Bagus Burhan berkata : “Ya, saya badannya”.
Keduanya bersama-sama makan sehingga nasi sekendil habis, juga ikan badernya. Setelah pukul setengah lima pagi, kentongan Masjid serta bedungnya dibunyikan, pertanda sudah tiba saatnya sholat subuh. Bagus Burhan dan Onggolyo pergi ke Masjid.
Dalam perjalanan menuju ke masjid Bagus Burhan berkata, “Onggolyo….”.
Onggolyo menjawab, “Saya juga mengerti Den!”
Bagus Burhan menimpali lagi, “Bagaimana maunya?”
Onggolyo kembali menjawab, “Itu jangkrik pada senang-senang, sebab ketiga istri-istrinya pada berkumpul. Coba saya persilahkan memeriksa!”
Setelah jangkrik diperiksa, nyata-nyata kalau ketiga istri-istrinya pada kumpul. Keduanya meneruskan perjalanan ke masjid, jamaah shalat subuh.
Sewaktu pagi Kyai Kasan Besari mengaji, Bagus Burhan dan Onggolyo juga ikut ngaji. Setelah pukul 9 pagi Kyai Kasan Besari kebetulan berada di serambi Masjid, dihadapi oleh pada santri, di situ ada seekor burung gagak lagi bersuara di Kubah Masjid, Kyai Kasan Besari berkata, “Gus, ini ada gagak bersuara goak-goak, ini ada apa?”
Bagus Burhan hunjuk atur, “Kyai, gagak itu lagi mengeluhkan kepada anaknya 2 ekor yang masih pada indil (piyek), masalah makannya. Sebab sekarang lagi susah pangan. Adapun tempatnya di pohon Cangkring gunung Celumpring Pacitan”.
Kyai Kasan Besari heran sekali, lalu berkata, “Apa benar kata-katamu itu?”
Bagus Burhan menjawab, “Nanti kalau saya berbohong, leher saya supaya dipotong saja”.
Kyai Kasan Besari berkata, “Kalau begitu Burhan, sekarang buktikan, saya sertakan dua orang santri sebagai saksi”.
Ketika orang tersebut pada berangkat ke Celumpring Pacitan. Setelah sudah sampai di desa Celumpring Pacitan, ternyata menunggu gagak itu bersarang di situ, lalu diunduh dibawa pulang di sampaikan kepada Kyai Kasan Besari. Kyai setelah mengetahui terheran-heran. Kemudian Bagus Burhan diwejang Kyai Kasan Besari.
Antara 2 tahun berada di Tegalsari, Ponorogo, Bagus Burhan kemudian diantar pulang ke Solo. Adapun yang menghantarkan adalah Onggolyo dan Kromoliyo.
Setelah datang di Solo lalu diserahkan kepada ayahanda Tumenggung Tjokronegoro. Setelah Kyai Kasan Besari berada di Solo, Tumenggung Tjokronegoro sangat senang sekali. Dari senangnya lalu mengadakan tayuban, Kyai dipersilahkan menari tetapi tidak mau. Lalu diwakili oleh Kromoliyo. Setelah Kromoliyo menari banyak orang pada tertawa, karena Kromoliyo luwes dan lucu.
Sepeninggalnya Kyai Kasan Besari pulang, Bupati Madiun bersama putrinya Raden Ayu Gombak datang di Solo untuk menikahkan Raden Bagus Burhan dengan Raden Ayu Gombak.
Selanjutnya bagus Burhan disuwitakan (diikutkan) pada Sinuhun. Akhirnya Bagus Burhan menjadi kesayangan Yang Mulia Sinuhun Solo. Kalau ada keruwetan praja Bagus Burhan yang diajak pertimbangan. Sebab di dalam dan di luar Kraton bila ada apa-apa, maka Bagus Burhan yang dipercaya mengatasi dan memimpin keadaan, supaya tentram dan aman.
Akhirnya Bagus Burhan diangkat menjadi Pujangga Kraton oleh Yang Mulia Sinuhun dan dianugrahi nama Raden Ngabehi Ronggowarsito sehingga namanya menjadi harum ke seluruh Tanah Jawa.
BalasHapus( Versi ini perpaduan dari berbagai sumber, silahkan dikritisi jika ada yg janggal. Yang jelas patokan kami, Syekh Djamaluddin Akbar al Husaini, adalah Keturunan Rasul saw yg ke-20 ).
==================
Silsilah Kyai Hasan Besari Ponorogo , melaului jalur
NYAI Ageng Anom Besari Kuncen Caruban Kab MADIUN.
==================
*SAYYIDINA MUHAMMAD RASULULLAH SAW*
1. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra
( _Menikah dengan Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib_)
2. Sayyidina Husain
3. Sayyid 'Ali Zainal Abadin
4. Sayyid Muhammad al-Baqir
5. Sayyid Ja'far ash-Shadiq
6. Sayyid Ali Al-'Uraidhi
7. Sayyid Muhammad al-Naqib
8. Sayyid Isa Ar-Rumi
9. Sayyid Ahmad al-Muhajir ilallah
10. Sayyid Ubaidillah
11.Sayyid Alwi Al-Awwal
12. Sayyid Muhammad Shahibush Shaumiyah
13. Sayyid Alwi Ats-Tsani
14. Sayyid Ali Khali' Qasam
15.Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
16. Sayyid Alwi Ammi al-Faqih
17. Sayyid Abdul Malik Azmat Khan
18. Sayyid Abdullah Khan
19. Sayyid Ahmad Syah Jalal
20. Maulana Sayyid Jamaluddin Akbar al-Husaini atau Syekh Jumadil Kubro
21. Sayyid Ibrahim Asmuro
22. Raden Rahmat atau Sayyid Ahmad Rahmatillah atau Sunan Ampel + Dewi Condrowati
23. Raden Qasim/Sayyid Qasim/Sunan Drajat /Sunan Mayang Madu.
(menikahi Dewi Sufiyah binti Sunan Gunung Djati)
24. Pangeran Rekyana/Tranggana
25. Raden Panji Wiryokromo
26. Pangeran Djayalengkara
27. Pangeran Pekik Jenggala
28. Pangeran Pengampon
29. Raden Satmoto al Ngalim, kyai Ngarobi, Surabaya.
30. Nyai Ageng Anom Besari
31. Kyai Ageng Muhammad Besari, Pendiri Pesantren Tegalsari (guru R Bagus Harun/ Ky. Ag. Basyariyah)
32. Kyai Ilyas
33. Kyai Ageng Hasan Besari (guru R. Bagus Burham/ R. Ng. Ronggo Warsito)
Jika tadi dari Jalur NYAI ,
BalasHapusSedangkan ini, dari jalur KYAI Ageng Anom Besari
===================
Silsilah Kyai Hasan Besari Ponorogo , melaului jalur
KYAI Ageng Anom Besari MADIUN.
===================
*SAYYIDINA MUHAMMAD RASULULLAH SAW*
1. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra
( _Menikah dengan Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib_)
2. Sayyidina Husain
3. Sayyid 'Ali Zainal Abadin
4. Sayyid Muhammad al-Baqir
5. Sayyid Ja'far ash-Shadiq
6. Sayyid Ali Al-'Uraidhi
7. Sayyid Muhammad al-Naqib
8. Sayyid Isa Ar-Rumi
9. Sayyid Ahmad al-Muhajir ilallah
10. Sayyid Ubaidillah
11.Sayyid Alwi Al-Awwal
12. Sayyid Muhammad Shahibush Shaumiyah
13. Sayyid Alwi Ats-Tsani
14. Sayyid Ali Khali' Qasam
15.Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
16. Sayyid Alwi Ammi al-Faqih
17. Sayyid Abdul Malik Azmat Khan
18. Sayyid Abdullah Khan
19. Sayyid Ahmad Syah Jalal
20. Maulana Sayyid Jamaluddin Akbar al-Husaini atau Syekh Jumadil Kubro
21. Sayyid Ali
22. Sayyid Musthofa
23. Sayyid Ahmad ( Syekh Dinar Kediri )
24. Sayyid Zainal Arifin ( Kyai Ageng Jenggolo Kediri)
25. Syekh Sayyid Abdulloh Mursyad _Setono Landehan Kediri_
26. KYAI Ageng Anom Besari _Caruban Kuncen Madiun_
27. Kyai Ageng Muhammad Besari, Pendiri Pesantren Tegalsari (guru R Bagus Harun/ Ky. Ag. Basyariyah)
28. Kyai Ilyas
29. Kyai Ageng Hasan Besari (guru R. Bagus Burham/ R. Ng. Ronggo Warsito)