Rabu, 21 September 2016

Hukum Dua Sholat Jum'at Berdekatan Dan Di Sekolah

Jumat adalah salah satu hari istimewa Islam, memiliki segudang rahasia samawi yang tidak terjangkau oleh akal kita. Tonggak agama yang mengakar pada ritual shalat fardlu menjadi lebih sarat akan makna, ketika waktu ini menjadi hari istimewa dengan perintah menjalankan syiar shalat Jumat ditengah umat. Melalui sebuah ayat dari surat al Jumuah ayat 9, Allah menyampaikan perintah:

يَأيها الذيْنَ أَمَنُوا إِذَا نُودِى للصَّلاَةِ مِنْ يَومِ الجُمُعَةِ فَاسْعَوا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا البَيْعَ , ذَلِكْمُ خَيْرٌ لَكْم إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Shalat Jumat sebagai sebuah rutinitas ritual, menjadi penopang syiar yang efektif dalam membentuk sebuah tradisi jama’i, yaitu kenginan untuk berpegang pada tali Allah dalam rangka berjuang mengangkat panji-panji Islam.

Shalat Jumat ini dibebankan secara wajib (taklif) bagi mereka yang masuk katagori laki-laki, baligh, berakal, merdeka, bertempat tinggal dengan tanpa ada udzur syar'i (alas an dispensasi syariat). Taklifini menurut madzhab Syafi'i, madzhab yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia, adalah fardlu ain/kewajiban individu. Secara konkrit, perintah dalam redaksi ayat “fa'au ilaa dzikr alLah” (maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah) jelas menunjukkan kewajiban. Artinya, karena tujuan dari bersegera dalam ayat itu diperntahkan sebagai kewajiban, tujuannyapun tentu menjadi wajib. Artinya karena tujuan dari bergegas adalah shalat Jumat, berarti shalat Jumat juga menjadi wajib.

Beberapa syarat lain yang harus dipenuhi sebagai syarat sah dalam shalat Jumat mencakup empat hal :

Dilakukan secara total di waktu dzuhur.
Tempat pelaksanaan harus pada batas territorial sebuah pemukiman yang terdiri dari bangunan perumahan, baik berupa balad (di masa sekarang kira-kira seluas desa) atau hanya sebatas qaryah (kira-kira seluas dusun).
Tidak didahului maupun bersamaan dengan shalat Jumat yang lain dalam satu wilayah(balad ataupun qaryah). Hal ini selama tidak ada factor yang memperkenankan shalat Jumat di beberapa lokasi.‎
Dilakukan berjamaah oleh mereka yang berstatus penduduk tetap (mustauthin) dengan jumlah minimal 40 orang.
Para ulama madzhab menyepakati adanya jamaah sebagai syarat sah di dalam shalat Jumat. Kesepakatan ulama yang mensyaratkan 40 orang sebagai batas minimal jumlah jamaah yang mengikuti shalat. Argumentasi dari ketentuan ini adalah sebuah hadist yang menyatakan bahwa Nabi sewaktu melakukan shalat Jumat pertama kali adalah dengan jumlah jamaah yang sebanyak itu.

Berakar dari praktek Nabi dalam melakukan shalat Jumat dengan selalu berjamaah, serta lokasi yang digunakan pasti di dalam kota dan menetap pada satu masjid, muncullah beragam pemahaman, apakan hal itu harus diadopsi secara tekstual dan menyeluruh atau kisi-kisi maknawinya saja yang perlu diterjemahkan. Hal ini berdampak pada tata hukum baku, tentang diperkenankannya shalat Jumat lebih dari satu tempat. Versi yang mendasarkan pada realita di jaman Nabi, tegas mengatakan tidak boleh karena yang dilakukan Nabi bersifat dogmatif dan harus diadopsi secara total. Versi ini merupakan pendapat Madzhab Syafii yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Jumat adalah salah satu hari istimewa Islam, memiliki segudang rahasia samawi yang tidak terjangkau oleh akal kita. Tonggak agama yang mengakar pada ritual shalat fardlu menjadi lebih sarat akan makna, ketika waktu ini menjadi hari istimewa dengan perintah menjalankan syiar shalat Jumat ditengah umat. Permasalahan yang timbul kemudian adalah semakin banyaknya masjid yang mendirikan  jumat dalam jarak yang sangat dekat.

Ada perbedaan pendapat dalam soal 2 (dua) Jumat-an dalam satu tempat (desa/kota) dalam madzhab Syafi'i yang detilnya sebagai berikut:

Pendapat pertama, tidak boleh dengan pengecualian. Ini pendapat Imam Syafi'i sendiri dan didukung oleh ulama-ulama madzhab Syafi'i. Kecuali apabila tempat tersebut cukup luas dan ramai penduduknya sehingga sulit mengumpulkan mereka semua dalam satu masjid untuk shalat Jum'at. Dalam kasus seperti ini maka boleh mendirikan dua shalat Jum'at atau lebih seperti yang terjadi di banyak tempat (kota/desa) di Indoensia. 

Dalam hal ini, Abu Yahya Zakariya bin Syaraf An-Nawawi yang lebih dikenal dengan Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Talibin wa Umdatul Muftin (روضة الطالبين وعمدة المفتين) dalam "كتاب صلاة الجمعة" menulis:

الشرط الثالث : أن لا يسبق الجمعة ، ولا يقارنها أخرى . قال الشافعي - رحمه الله - : ولا يجمع في مصر - وإن عظم ، وكثرت مساجده - إلا في موضع واحد . وأما بغداد ، فقد دخلها الشافعي - رحمه الله - وهم يقيمون الجمعة في موضعين . وقيل : في ثلاثة ، فلم ينكر عليهم . واختلف أصحابنا في أمرها على أوجه . أصحها : أنه إنما جازت الزيادة فيها على جمعة ، لأنها بلدة كبيرة يشق اجتماعهم في موضع واحد ، فعلى هذا تجوز الزيادة على الجمعة الواحدة في جميع البلاد ، إذا كثر الناس وعسر اجتماعهم ، وبهذا قال أبو العباس ، وأبو إسحاق ، وهو الذي اختاره أكثر أصحابنا تصريحا وتعريضا . وممن رجحه : القاضي ابن كج ، والحناطي - بالحاء المهملة المفتوحة ، وتشديد النون - والقاضي الروياني ، والغزالي 
Arti kesimpulan: Saat berada di Baghdad Imam Syafi'i tidak mengingkari adanya kenyataan bahwa shalat Jum'at di sana dilakukan di dua atau tiga tempat yang berbeda sekaligus. Para ulama madzhab Syafi'i menafsiri sikap Imam Syafi'i dalam soal Baghdad tersebut dengan beragam pendapat. Pertama dan yang paling sah, karena Baghdad merupakan kota besar yang sulit mengumpulkan jamaah dalam satu tempat. Dalam kasus ini maka boleh mengadakan lebih dari satu Jum'at-an di satu kota/desa. Ini adalah pendapat Abul Abbas, Abu Ishaq dan menjadi pandangan mayoritas ulama Syafi'i dan sudah ditarjih oleh Qadhi Ibnu Kajj, Hannati, Qadhi Rauyani dan Imam Ghazali. 

Uraian Imam Nawawi di atas saya kira cukup menjadi dalil bolehnya mendirikan 2 Jum'at atu lebih di satu tempat (kota/desa) kalau memang jamaahnya mencukupi.

Adapun pandangan lain ulama Madzhab Syafi'i dalam menafsiri sikap Imam Syafi'i dalam soal Jum'at lebih dari satu di Baghdad adalah sebagai berikut (bagi yang ingin mengetahuinya):

والثاني : إنما جازت الزيادة فيها ، لأن نهرها يحول بين جانبيها فيجعلها كبلدتين . قاله أبو الطيب ابن سلمة . وعلى هذا لا يقام في كل جانب إلا جمعة . فكل بلد حال بين جانبيه نهر يحوج إلى السباحة ، فهو كبغداد . واعترض عليه ، بأنه لو كان الجانبان كبلدين ، لقصر من عبر من أحدهما إلى الآخر ، والتزم ابن سلمة المسألة ، وجوز القصر . والثالث : إنما جازت الزيادة ، لأنها كانت قرى متفرقة ، ثم اتصلت الأبنية ، فأجري عليها حكمها القديم ، فعلى هذا يجوز تعدد الجمعة في كل بلد هذا شأنه . واعترض عليه أبو حامد بما اعترض على الثاني . ويجاب بما أجيب في الثاني . وأشار إلى هذا الجواب صاحب " التقريب " . والرابع : أن الزيادة لا تجوز بحال ، وإنما لم ينكر الشافعي ، لأن المسألة اجتهادية ، وليس لمجتهد أن ينكر على المجتهدين . وهذا ظاهر نص الشافعي - رحمه الله - المتقدم . واقتصر عليه الشيخ أبو حامد وطبقته ، لكن المختار عند الأكثرين ما قدمناه

Artinya: Kedua, Bolehnya shalat Jum'at di dua masjid di Baghdad karena sungainya berada di antara dua sisi sehingga terkesan seperti dua kota/tempat seperti dikatakan oleh Abu Tayyib Ibnu Salamah. Oleh karena itu, maka tidak ditempati dalam setiap sisi kecuali satu jum'at. Maka setiap kota yang terdapat sungai di antara dua sisinya, maka itu seperti Baghdad (artinya boleh dua masjid dan dua jum'at). Pendapat ini ditentang: bahwa kalau dua sisi itu seperti dua kota/desa niscaya orang yang menyeberang sungai dari satu sisi ke sisi yang lain boleh mengqashar shalat. Ibnu Salamah mengkonfirmasi hal itu dan boleh mengqashar shalat.

Ketiga, Bolehnya lebih dari satu Jum'at dan satu masjid karena Baghdad dulunya adalah terdiri dari beberapa desa yang terpisah lalu tersambung oleh sejumlah bangunan lalu Imam Syafi'i memperlakukan hukum Qaul Qadim oleh karena itu boleh dilakukannya Jum'at lebih dari satu dalam setiap kota. Pandangan ini ditentang oleh Abu Hamid (al Ghazali) sebagaimana pada argumen kedua. Dan dijawab sebagaimana jawaban kedua. Secara implisit jawaban ini ditunjukkan oleh pengarang kitab At Taqrib. 

Keempat, lebih satu Jum'at dalam satu kota tidak boleh. Bahwa Imam Syafi'i tidak mengingkari adanya dua Jum'at karena ini masalah ijtihad. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari pendapat mujtahid lain.

Mengacu Dari  hasil muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang menetapkan bahwa dalam mazhab Syafi’i, penyelenggaraan Jum’at lebih dari satu (ta’addud al-Jum’ah) diperbolehkan jika terdapat hajah.
Yang dimaksud hajah dalam pembahasan kali ini ialah: Sulit berkumpul (‘usr al-ijtima’) antara lain karena sempitnya masjid (dhaiq al-makan) atau adanya permusuhan (‘adawah), atau jauhnya pinggir-pinggir negeri (athraf al-balad).

Diantara referensi yang digunakan pada waktu itu adalah:

1. Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta’addud al-Jum’atainkarya Ahmad Khatib al-Minangkabawi

 إِذَا عَرَفْتَ أَنَّ أَصْلَ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَدَمُ جَوَازِ تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَلَدٍ وَاحِدٍ وَأَنَّ جَوَازَ تَعَدُّدِهِ أَخَذَهُ اْلأَصْحَابُ مِنْ سُكُوْتِ الشَّافِعِيِّ عَلَى تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَغْدَادَ وَحَمَّلُوْا الْجَوَازَ عَلَى مَا إِذَا حَصَلَتِ الْمَشَقَّةُ فِي الاجْتِمَاعِ كَالْمَشَقَّةِ الَّتِيْ حَصَلَتْ بِبَغْدَادَ وَلَمْ يُضْبِطُوْهَا بِضَابِطٍ لَمْ يَخْتَلِفْ فَجَاءَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَضَبَطَهَا كُلُّ عَالِمٍ مِنْهُمْ بِمَا ظَهَرَ لَهُ

 وَبَنَى الشَّعْرَانِيُّ أَنَّ مَنْعَ التَّعَدُّدَ لِأَجْلِ خَوْفِ الْفِتْنَةِ وَقَدْ زَالَ. فَبَقِيَ جَوَازُ التَّعَدُّدِ عَلَى اْلأَصْلِ فِيْ إِقَامَةِ الْجُمْعَةِ وَقَالَ أَنَّ هَذَا هُوَ مُرَادُ الشَّارِعِ وَاسْتَدَلَّ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ التَّعَدُّدُ مَنْهِيًّا بِذَاتِهِ لَوَرَدَ فِيْهِ حَدِيْثٌ وَلَوْ وَاحِدًا وَالْحَالُ أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ شَيْءٌ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ سُكُوْتَ النَّبِيِّ كَانَ لِأَجْلِ التَّوْسِعَةِ عَلَى أُمَّتِهِ

Artinya: “Jika Anda tahu, bahwa dasar mazhab Syafi’i tidak memperbolehkan shalat Jum’at lebih dari satu di satu daerah. Namun kebolehannya telah diambil oleh para Ashhab dari diamnya Imam Syafi’i atas Jum’atan lebih dari satu di kota Baghdad, dan para Ashhab memahami kebolehannya pada situasi para jamaah sulit berkumpul, seperti kesulitan yang terjadi di Baghdad, mereka pun tidak memberi ketentuan kesulitan itu yang tidak (pula) diperselisihkan, lalu muncul para ulama dan generasi sesudahnya, dan setiap ulama menentukan kesulitan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka.

As-Sya’rani menyatakan bahwa pencegahan jum’atan lebih dari satu adalah karena kekhawatiran tertentu dan hal itu sudah hilang. Kebolehan Jum’atan lebih dari satu itu juga berdasarkan hukum asal tentang pelaksanaan shalat Jum’at. Beliau berkata: “Inilah maksud (Nabi Saw.) pembawa syari’ah.” Beliau berargumen, bahwa bila pendirian shalat Jum’at lebih dari satu itu dilarang secara dzatnya, niscaya akan terdapat hadits yang menerangkannya, meskipun hanya satu. Sementara tidak ada satupun hadits yang menyatakan begitu. Maka hal itu menunjukkan bahwa diamnya Nabi Saw. Itu bertujuan memberi kelonggaran kepada umatnya.”

2. Bughyah al-Mustarsyidin karya Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi

 وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلَامِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ ضَيِّقُ مَحَلِّ الصَّلَاةِ بِحَيْثُ لَا يَسَعُ اْلُمجْتَمِعِينَ لَهَا غَالِبًا وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يُسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءِ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا إِذْ لَا يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ

Artinya; “Dan kesimpulan pendapat para imam adalah boleh mendirikan Jum’atan lebih dari satu tempat karena tiga sebab. (i) Tempat shalat Jum’at yang sempit, yakni tidak cukup menampung para jama’ah Jum’at secara umum. (ii) Pertikaian antara dua kelompok masyarakat dengan syaratnya. (iii) Jauhnya ujung desa, yaitu bila seseorang berada di satu tempat (ujung desa) tidak bisa mendengar adzan, atau di tempat yang bila ia pergi dari situ setelah waktu fajar ia tidak akan menemui shalat Jum’at, sebab ia tidak wajib pergi jum’atan melainkan setelah fajar.”

Poin permasalahan penyelenggaraan Jumat di sekolah adalah sebagai berikut:

Posisi sekolah yang berada disuatu wilayah desa yang sudah ada masjidnya
Keberadaan sekolah yang berada disuatu wilayah desa yang sudah ada masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat, menimbulkan taadud al Jumat (banyaknya penyelenggaraan Jumat) dalam satu wilayah.

Hasil penelitian para ahli sejarah menunjukkan bahwa sepanjang masa kenabian Rasulullah SAWdan kepemimpinan Khulafa' al Rasyidin, pelaksanaan ibadah Jumat tidak pernah dilaksanakan kecuali di dalam Masjid Jami (satu lokasi). Dalam perjalanan kepemimpinan mereka, tidak pernah ada statement atau perilakuk yang menyalahkan atau menyetujui gagasan Jumat lebih dari satu dalam sebuah kawasan (desa atau dusun). Dari sinilah kemudian muncul pemahaman berbeda; apakah hal ini merupakan ajaran fi'li (praktek) yang bersifat dogmatis dan harus diadopsi secara total ataukah cukup dipahami makna yang tersirat dimana saat itu keadaannya sangat kondusif).

Mayoritas ulama Syafii berpendapat bahwa hal ini bersifat dogmatis, sehingga dalam satu desa seharusnya hanya ada satu Jumat, kecuali ada alasan tertentu yang dapat diterima syariat. Alasan utama yang biasanya digunakan sebagai dasar pembolehan pendirian Jumat lebih dari satu dalam sebuah wilayah adalah mashaqqah (tingkat kesulitan tertentu). Seperti terjadinya konflik yang menimbulkan usr al ijtima' (sulitnya dikumpulkan) atau factor kesulitan yang terdapat dalam jauhnya jarak tempuh menuju masjid. Meski keduanya memiliki tingkat kesulitan yang berbeda, tetapi masih layak untuk dijadikan alasan bolehnya taadud al Jumat karena keduanya masih termasuk dalam tataran mashaqqah la tuhtamal ‘adatan (tingkat kesulitan diluar batas kemampuan). Sulitnya memperluas masjid karena lahan masjid berada diperkampungan yang padat, atau semakin banyaknya jumlah penduduk, juga disebut sebagai salah satu factor pembolehan terjadinya taadudul Jumat.

Yang menjadi permasalahan kemudian, apakah orientasi “mendidik” sebagaimana seringkali menjadi alasan penyelenggaraan shalat Jumat di sekolah itu juga termasuk unsur mashaqqah yang memperbolehkan taadud al Jumat? Mengawali pembahasan ini, ada baiknya kita menyimak nash Hamish Sharh Sulam Taufiq halaman 25-26 berikut ini:

وَمَنْ إِنْتَقَضَ وُضُوؤُهُ حَرُمَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالطَّوَافُ وَحَمْلُ المُصْحَفِ وَمَسُّهُ إِلاَّ لِلصَّبِى لِلدِّرَاسَةِ...
Orang yang batal wudlunya maka haram atasnya menjalankan shalat, thawaf, membawa al Quran/mushaf dan menyentuhnya kecuali bagi anak kecil untuk belajar.
Rasulullah pernah menulis surat kepada masyarakat Yaman yang di dalamnya terdapat pernyataan:

لاَيَمَسُّ القُرْآنَ إِلاَّطَاهِرٌ 
Tidak diperkenankan menyentuh al Quran kecuali orang yang dalam keadaan suci.
Hadits ini menguatkan ayat al Quran dalam surat al Waqiah yang menyatakan:

لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ المُطَهَّرُونَ. 
Ketentuan hukum tentang larangan menyentuh al Quran bagi orang yang tidak suci sangatlah jelas. Namun Imam Abdullah Ibn Husein dalam Hamish Sharh Sulam Taufiq menyatakan bahwa larangan itu dikecualikan untuk belajar. Dari sini dapat kita pahami bahwa pendidikan atau pembelajaran dapat menjadi illat/alasan hukum untuk melanggar ketentuan yang semestinya. Hanya saja kita tidak bisa tergesa-gesa menyimpulkan bahwa masalah Jumat ini bisa dijalankan dengan menggunakan analogi hukum/qiyas masalah menyentuh al Quran.

Untuk dapat menganalogi hukum, beberapa variable atau illat dari hukum asal dan masalah yang dicarikan keputusan hukum harus sama. Beberapa variable diantara dua masalah tersebut diantaranya adalah:

Variable dari hukum asal
Larangan menyentuh mushaf bagi yang tidak memiliki wudlu
Memegang/menyentuh mushaf bukan kewajiban yang harus dijalankan dalam tempo waktu cepat. Islam menekankan keharusan mampu membaca al Quran tanpa ada batasan waktu.‎
Pembolehan melanggar larangan menyentuh bagi anak kecil yang belajar.
Variabel dari masalah penyelenggaraan Jumat di sekolah
Larangan menyelenggarakan Jumat lebih dari satu dalam satu desa.
Shalat Jumat merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan.
Shalat Jumat hukumnya wajib bagi laki-laki yang sudah dewasa.
Dari beberapa variable yang sudah diurai diatas, maka kita dapat melihat apakah kita bisa menganalogkan pembolehan menyentuh al quran bagi anak kecil untuk belajar dengan pembolehan penyelenggaraan shalat Jumat disekolah untuk pembelajaran. Bila kita mencoba menggabungkan variable-variabel diatas; belajar al Quran merupakan kewajiban yang dapat dilakukan tertunda. Sedang shalat Jumat adalah kewajiban yang harus segera ditunaikan bagi lelaki yang sudah baligh.

Untuk menganalogkan kedua masalah ini, ada ketidak sesuaian dari variable yang ada, yaitu pembolehan melanggar pada masalah menyentuh mushaf hanya untuk anak kecil yang belajar. Kewajiban dapat membaca al Quran dengan baik bukan kewajiban yang harus segera ditunaikan artinya dapat berjalan pelan-pelan. Sementara itu, shalat Jumat merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan. Bagi mereka yang dewasa, shalat Jumat bukan lagi pada stadium belajar tetapi sudah pada tataran diwajibkan.

Melihat hubungan antar illat/variable yang tidak sesuai, maka alasan pembelajaran dalam masalah penyelenggaraan shalat Jumat di sekolah tidak dapat dibenarkan. Terlebih pembelajaran dapat dijalankan bahkan langsung bisa dijalankan di masjid. Bahkan nilai lebih pembelajaran di masjid adalah siswa dapat belajar berinteraksi dengan masyarakat.

Keharusan Jumat dilaksanakan dan dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk tetap.
Hampir seluruh kitab fiqh menjelaskan bahwa syarat minimal mendirikan Jumat adalah harus dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk desa/dusun. Yang dimaksud penduduk ini, bukan orang yang kost atau menetap sementara didesa itu, atau orang diluar desa yang masuk pada desa itu.

Dalil-dalil yang memperkuat hujjah ini adalah :

Hadits Nabi Muhammad SAW

أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ فِى المَدِيْنَهِ وَلَمْ يَنْتَقِلْ أَنَّهُ جَمَعَ بِأَقَلٍّ مِنْ أَرْبَعِيْنَ
Sesungguhnya Rasulullah SAW, berjamaah (jumat) di Madinah dan tidak pernah diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah berjamaah (jumat) kurang dari 40 orang.
Keterangan sahabat Jabir RA

مَضَتْ السَّنَةٌ أَنَّ فِى كُلِّ أَرْبَعِيْنَ فَمَا فَوقَهَا جُمْعَةً
Telah lewat beberapa tahun, bahwa Jumat didirikan oleh 40 orang atau lebih.
Keterangan sahabat Ka'ab Ibn Malik

أَوَّلُ مَنْ صَلَّى بِنَا الجُمْعَةٌ فِى بَقِيْع الخَصْمَاتِ أَسْعَدْ بِنْ زَرَارَةَ وَكُنَّا أَرْبَعِيْنَ.
Orang pertama yang shalat Jumat denganku di Baqi' al khasman adalah As'ad Ibn Zararah dan kami bersama 40 orang.HR. Ibn Hibban dan Baihaqi
Kifayatul Akhyar Juz 1 halaman 148 menjelaskan 40 orang yang dapat menjadi pendukung keabsahan pendirian shalat Jumat :

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرْطَ الأَرْبَعِيْنَ الذُّكُورَةُ وَ التَّكْلِيْفُ وَالحُرِّيَّةُ وَالإِقَامَةُ عَلَى سَبِيْلِ التَّوَطُّنِ لاَيَظْعَنُونَ شِتَاءً وَلاَصَيْفًا إِلاَّ لِحَاجَةٍ فَلاَيَنْعَقِدُ بِالإِنَاثِ وَلاَ بِالصِّبْيَانِ وَلاَبِالعَبِيْدِ وَلاَ بِالمُسَافِرِيْنَ وَلاَ بِالمُسْتَوطِنِيْنَ شِتَاءً دُونَ صَيْفِ وَعَكْسُهُ.
Ketahuilah! Adapun syarat 40 orang itu, haruslah laki-laki, sudah mukallaf/baligh, merdeka (bukan budak) bermukim dalam arti menetap, tidak berpindah pada musim dingin atau panas kecuali untuk hajat. Maka tidaklah sah shalat Jumat dengan (melengkapi jumlah 40) bersama perempuan, anak kecil, hamba sahaya, orang yang bepergian (kedaerah diselenggarakannya Jumat), juga tidak dapat (dilengkapi oleh) penduduk musiman yang berpindah pada musim tertentu…
Dari keterangan ini maka jelaslah bahwa setiap pendirian Jumat harus dihadiri oleh penduduk setempat minimal 40 orang. Pendirian Jumat yang didirikan oleh 40 orang yang berasal dari berbagai wilayah dan bukan dari wilayah dimana Jumat diselenggarakan maka Jumatnya tidak sah, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Kifayatul Akhyar juz 2 halaman 148 :

إِذَا تَقَارَبَ قَرْيَتَانِ فِى كُلٍّ مِنْهُمَا دُوْنَ أرْبَعِيْنَ بِصِفَةِ الكَمَالِ وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَبَلَغَوا أَرْبَعِيْنَ لَمْ يَنْعَقِدُ بِهَمْ الجُمْعَةُ وَإِنْ سَمِعَتْ كُلُّ قَرْيَةٍ نِدَاءَ الأُخْرَى لأَنَّ الأَرْبَعِيْنَ غَيْرُ مُقِيْمِيْنَ فىِ مَوضِعِ الجُمْعَةِ واللهُ أَعْلَمْ.
Ketika berdekatan dua buah desa, tiap-tiap dari dua desa itu tidak ada 40 orang dengan sifat yang sempurna (yang memenuhi syarat pelengkap Jumat), seandainya mereka berkumpul, kemudian mencapai 40 orang, maka Jumat yang mereka dirikan tetap tidak sah! Meskipun tiap-tiap dari penduduk desa itu mendengar panggilan dari yang lain. Karena 40 itu dilengkapi oleh orang yang tidak bermukim dan menetap dari desa dimana Jumat itu didirikan.
Dari beberapa paparan diatas, maka Jumat yang didirikan di sekolahan (SMP atau SMA) yang tidak melibatkan penduduk setempat sebanyak 40 orang dan jarak tempuh dengan masjid lain yang mendirikan Jumat kurang dari 1.6 km, maka Jumatnya tidak sah. Untuk jarak kurang dari 1.6 km dapat pula menjadi sah bila ada kesulitan mengumpulkan dalam satu masjid sebagaimana penjelasan diatas. Shalat Jumat dengan alasan untuk mendidik dapat dibenarkan bila Jumat tersebut didirikan dilingkup Sekolah Dasar atau sebagian siswa SMP yang belum baligh, karena Jumat bagi mereka belum merupakan kewajiban. Sementara untuk sebagian siswa SMP yang sudah baligh dan siswa SMA maka tidak lagi dapat menggunakan alasan mendidik karena mereka sudah memiliki kewajiban, dan tidak pada porsi belajar lagi.‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
    sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
    kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
    Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
    1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
    melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
    dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
    saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
    kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
    penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
    dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
    minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
    buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
    Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
    sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
    agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
    saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
    jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau

    BalasHapus