Selasa, 15 November 2016

Sejarah Peperangan Kyai Tapa Banten

Orang terutama dari Jawa Tengah bisa saja mengira Kyai Tapa berkaitan dengan kata “pertapa”. Tetapi ternyata bukan. Kyai Tapa berasal dari Tubagus Mustafa;  Kyai Tapa diketahui juga seorang keturunan Tionghoa, dengan nama  Thung Siang Toh; saudara seayah dengan Sultan Banten,  Zainul Ariffin (1733-1748).  Kyai Tapa, seorang guru agama  adalah tokoh penting dalam pemberontakan Banten di abad ke-18 bersama dengan Ratu Bagus Buang, keponakan Sultan Zainul Arifin.

Pemberontakannya yang mula-mula ditujukan pada Ratu Sarifa Fatimah yang dengan dukungan Gubernur Jendral VOC, Baron Van Imhoff, menyingkirkan Sultan yang juga suaminya sendiri  Zainul Arifin (meninggal dalam pembuangan di Ambon) dan sebelumnya juga berhasil menyingkirkan Pangeran Gusti, putera mahkota ke Ceylon,  justru semakin membesar dan mulai mengarah pada Pusat Kekuasaan VOC di Batavia.


Sultan Zainul Arifin (1733-1748) adalah pewaris kerajaan Islam Banten. Istrinya Ratu Sarifah menghianatinya dan melaporkan bahwa sang sultan kurang waras jiwanya. Maka VOC sebagai penguasa dan pelindung politik serta militer Banten, langsung membuang sang sultan naas ini ke Ambon. Putra mahkota yang sebenarnya berhak menggantikan ayahnya juga dibuang ke Ceylon. 

Sarifah yang mengangkat dirinya sebagai wali, Sebagai penggantinya diangkatlah Pangeran Syarif abdullah dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil menjadi Sultan Banten, tahun 1750, tapi sebenarnya, Ratu Fatimah yang memegang kuasa. Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi, sehingga rakyat pun mengadakan perlawanan bersenjata.Sudah bisa diperkirakan rakyat yang sudah muak kepada istana kesultanan ditambah arogannya pejabat VOC yang sebagian besar bule, ahirnya berontak pada bulan Oktober 1750. 

Para pemberontak menginginkan diangkatnya Ratu Bagus Buang sebagai penguasa baru. Pemberontakan ini dipimpin oleh seorang tokoh Alim Ulama bernama Kiai Tapa. Secara kekerabatan Tubagus Buang adalah keponakan dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Ariffin (1733-1750). Sedangkan Kyai Tapa adalah saudara seayah dengan Sultan Muhammad Syifa Zainul Ariffin.
Pemberontakan dipimpin oleh Tubagus Buang dan Kyai Tapa dengan menyerang Keraton Surosowan, akan tetapi Benteng Keraton sulit ditembus karena bantuan VOC yang begitu kuat. Selanjutnya Tubagus Buang dan Kyai Tapa menyerang dengan cara gerilya dan mendirikan kanton-kantong perlawanan, salah satunya di Gunung Munara (Rumpin), Pandeglang, Bogor dan Tangerang. Tubagus Buang melakukakan gerilya sekitar Banten selama dua tahun, karena desakan pasukan VOC maka pasukan Tubagus Buang terpukul mundur ke pedalaman. Sementara Kyai Tapa meneruskan hingga ke Pandeglang dan Bogor, Pasukan Tubagus Buang mundur hingga ke Jasinga. rakyat Jasinga ikut serta membantu perlawanan yang dilakukan Tubagus Buang. Bersamaan dengan peristiwa ini, VOC dengan Gubernur Jenderal baru Jacob Mossel, sedang mengalami kemunduran dalam kemampuan militernya. 

Pada bulan November 1750, suatu pasukan gabungan kesultanan Banten dan VOC yang berjumlah 800 orang, dipukul mundur oleh kaum pemberontak yang jumlahnya jauh lebih besar (diperkirakan 7000 orang). Sejumlah 30 orang opsir dan prajurit bule terbunuh mati dalam pertempuran tersebut. Pasukan VOC masih bisa mempertahankan bentengnya, tapi sebagian besar wilayah Banten jatuh ketangan musuh. 

Pemberontakan lalu merembet sampai perbatasan Batavia yang membuat penduduk kota besar VOC ini ketar-ketir karena merasa takut akan datangnya pasukan Islam yang katanya akan melakukan pembunuhan besar-besaran warga Eropah. 

Rupanya pimpinan VOC di Batavia melihat bahwa kuatnya kaum pemberontak ini karena tidak adilnya pimpinan istana Banten. Jadi ini bukan soal konflik Belanda-kaum pemberontak, tapi mula-mula dipicu konflik internal antara Ratu Sarifa dan para pemuka masyarakat. Ahirnya tampa kehilangan akal, VOC menangkap Ratu Sarifa dan kemenakannya tersebut yang lalu dibuang kepulau Edam (jajaran pulau 1000). Ratu meninggal dipulau tersebut pada bulan Maret 1751. 

Oleh VOC kemudian diangkat Pangeran Arya Adil Santika, adik dari sultan Zinul Arifin. Pengangkatan ini sifatnya sementara, sambil menunggu kembalinya putra mahkota dari Ceylon. Dukungan terhadap Arya Santika ini disertai dengan perjanjian bahwa Lampung diserahkan pada VOC. ‎

Tapi pemberontakan tidak mereda juga. Maka dengan kemampuan maksimal, pada tahun 1751 dikirimlah sebanyak 1000 orang serdadu bule dan 350 serdadu pribumi (sebagian besar orang Madura) untuk menumpas habis pemberontakan. 

Serbuan ke Banten ini mengakibatkan pasukan pemberontak meninggalkan kota dan bergerilya diluar kota. Mereka melakukan pembakaran rumah-rumah dan perkebunan orang Eropah dan melakukan penyerangan pos-pos pasukan VOC. Namun seperti biasa, pertahanan kaum pemberontakpun bisa dipatahkan oleh VOC. Kubu pertahan utamanya bisa direbut pada bulan September 1751. Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang berhasil menyelamatkan diri. Setelah itu pemberontakan terjadi secara sporadis disekitar dataran tinggi Jawa Barat seperti disekitar Bandung dan Bogor. Usaha VOC untuk menumpas kaum pemberontak lama kelamaan berhasil juga. Banten tenang kembali. 

Putra Zainul Arifin bernama Zainul Asyikin kembali dari pengasingan, dia dinobatkan pada tahun 1753. Apa untungnya bagi VOC ?. Tentu saja perusahaan dagang tidak mau rugi. Kalau sebelum tahun 1753, Banten hanya bersifat daerah yang dilindungi, maka setelah ini Banten resmi menjadi wilayah jajahan VOC.‎

Kekalahan Kyai Tapa dan Penobatan Pangeran Gusti sebagai  Sultan Zainul Asyikin (1753-1777) menandai berakhirnya kemerdekaan politik Banten dan berkuasanya sepenuhnya Perkumpulan Dagang VOC, (Verenigde Oost Indische Compagnie- Persatuan Perkongsian Dagang Hindia Timur) atas Banten. 

Kasultanan Banten sebagaimana kita ketahui  akhirnya dihapuskan pada tahun 1808 oleh Gubernur Jendral Daendels setelah terlebih dahulu kratonnya dihancurkan. Datangnya Inggris tidak mengembalikan Kasultanan Banten. Justru penjajah Inggris mengukuhkan berakhirnya Kesultanan Banten.  Pada  tahun 1813,  Raffles sebagai Gubernur Jendral mewakili Pemerintahan kolonial Inggris melucuti  Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dan memaksanya turun takhta.

Bagaimana dengan Kyai Tapa, tokoh kita kali ini? Setelah pertempuran penghabisan di Banten menghadapi gempuran VOC pada September 1751, Kyai Tapa berhasil menyelamatkan diri dan terus  melakukan pertempuran sporadis di sekitar Selat Sunda, Bandung dan Bogor. 

Tanggal 21 Agustus 1753, Kiai Tapa dan pasukannya melewati Bandung, kemudian menuju Parakanmuncang (dengan bantuan Tumenggung Wiratanubaja).

Disini pasukan Belanda menghadangnya namun dapat dikalahkan, Kiai Tapa dan pasukannya terus maju hingga mereka kekurangan bahan-bahan dan prajurit-prajuritnya mengalami penderitaan, sehingga memaksakannya mengundurkan diri ke arah pedalaman Gunung Galunggung dan tidak diketahui oleh Belanda.Akhirnya Kiai Tapa menerobos ke arah timur untuk bergabung dengan pergerakan-pergerakan anti Belanda di daerah Banyumas, 

Perlawanan terhadap penjajah VOC membawa dirinya  terlibat dalam konflik Mataram. Pasca Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kyai Tapa pun  menghilang.

Namanya diabadikan sebagai nama jalan di daerah Tomang, Jakarta. Nama asli Kyai Tapa (Kyai Mustafa) adalah Thung Siang Toh lahir di Tiongkok. alias Pangeran Mustofa Abdul Ha, menurut salah satu sumber dari keluarga Kyai Tubagus Mustafa (Kyai Tapa) adalah saudara seayah dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin,  sedangkan Ratu Bagus Buang sampai 1757 masih tetap mengadakan perlawanan di Banten. Karena adanya perlawanan rakyat itu pulalah, enam bulan kemudian, Sultan Abul Ma’ali Muhammad Wasi Zainul Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Maka pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi Sultan dengan Gelar Abu’l Nasr Muhammad Arif Zainul Asiqin. makam Tubagus Buang berada di kompleks pemakaman Pagutan Jasinga. Ada pula yang menunjukkan makamnya terletak di pemakaman Kampung Kandang (kurang lebih 500 meter dari Pagutan).‎

5 komentar:

  1. setahu saya bahwa makam TUBAGUS BUANG ..berada di kota Tomohon kelurahan kampug jawa sarongsong ..makam beliau berada sekitar 500 meter dari desa tersebut dan dulunya kampung tersebut di namakan kampung kayu payung ..keturunan dari TB BUANG masih ada di kampung tersebut ..dan memakai nama tubagus berada dibelakang nama aslinya ..dan gelar tubagus di jadikan fam atau marga oleh keturunannya,,,

    BalasHapus
  2. sudah sepatutnya pemerintah pusat memberikan gelar pahlawan nasional pada TUBAGUS BUANG .mengingat jasa jasa beliau dalam mengusir dan melawan penjajah yang bercokol di INDONESIA ini..

    BalasHapus
  3. Yg saudara se ayah se ibu dengan sultan banten yaitu zaenul arifin bukan ki tapa nya/tb mustafa,melainkan ayah ki tafa yaitu pangeran ardiKusuma beliau adalah adik dari pada sultan zaenul arifin.

    Sultan ageng Tirtayasa
    Bin
    Sultan haji
    Bin
    Sultan abul mahasin
    Bin
    Sultan zaenul arifin
    _____________________

    Sultan ageng Tirtayasa
    Bin
    Sultan haji
    Bin
    Sultan abul mahasin
    Bin
    Pangeran ardiKusuma
    Berputra:
    1.tb mustofa/ki tafa/syeh subkhan/pangeran adikertanegara

    2.tb hasan

    3.tb muhya

    _________________


    Sultan ageng tirTirtay
    Bin
    Sultan haji
    Bin
    Pangeran ksatrian/pangeran abdul alim
    Bin
    Tb Burhanuddin/tb buang

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus