Kamis, 22 Desember 2016

Sayyidah Maimunah Binti Al-Harits Ra Umul-Mukminin Terakhir

Maimunah binti Harits adalah perempuan terakhir yang dinikahi Nabi Muhammad SAWpada tahun ketujuh Hijriyah. Nama lengkapnya Maimunah binti Al-Harits bin Hazn bin Bujair bin Al-Huzm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir. Ibunya bernama Hindun binti Auf bin Zuhair bin Al-Harits.

Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah SAW, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu Fadhal, dan Asma’.” 

Beliau adalah Maimunah binti al-Harits bin Hazn bin Bujair bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal. Ia dilahirkan pada tahun 29 sebelum hijrah dan wafat pada 51 H bertepatan dengan 593-671 M. Ibunya adalah Hindun binti Auf bin Zuhair bin al-Harits bin Hamathah bin Hamir.

Ummul Mukminin Maimunah binti al-Harits memiliki saudara-saudara perempuan yang luar biasa. Mereka adalah Ummul Fadhl Lubabah Kubra binti al-Harits, istri dari al-Abbas bin Abdul Muthalib. Kemudian Lubabah Sughra Ashma binti al-Harits, istri dari al-Walid bin al-Mughirah, ibunya Khalid bin al-Walid. Saudarinya yang lainnya adalah Izzah bin al-Harits. Ini saudari-saudarinya se-ayah dan se-ibu. Adapun saudarinya seibu adalah Asma binti Umais, istri dari Ja’far bin Abi Thalib (Muhibuddin ath-Thabari dalam as-Samthu ats-Tsamin, hal: 189).‎
‎Maimunah dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah, enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummu Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.

Rasulullah ﷺ pernah memujinya dan saudari-saudarinya dengan sabda beliau ﷺ,

الأَخَوَاتُ مُؤْمِنَاتٌ: مَيْمُونَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ، وَأُمُّ الْفَضْلِ بنتُ الْحَارِثِ، وسَلْمَى امْرَأَةُ حَمْزَةَ، وَأَسْمَاءُ بنتُ عُمَيْسٍ هِيَ أُخْتُهُنَّ لأُمِّهِنَّ

“Perempuan-perempuan beriman yang bersaudara adalah Maimunah istri Nabi, Ummul Fadhl binti al-Harits, Salma istrinya Hamzah (bin Abdul Muthalib), Asma binti Umais. Mereka semua saudara seibu.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 12012, al-Hakim dalam al-Mustadrak 6801 dan ia mengatakan shahih berdasarkan syarat Muslim. Al-Alabani juga mengomentari shahih dalam as-Silsilah ash-Shahihah 1764).

Dari sini dapat kita ambil pelajaran, untuk mendapatkan jodoh yang baik, perlu kita berkaca dengan kedudukan dan kualitas diri. Maimunah ditahbiskan Rasulullah ﷺ sebagai wanita beriman. Ia juga memiliki lingkar keluarga yang luar biasa. Terdiri dari tokoh-tokoh para sahabat dan pemuka umat Islam. Maaf, kadang sebagian orang mengidamkan pasangan shaleh dan shalehah, tapi mereka tidak berusaha menjadikan diri mereka berkualitas.‎

Penyerahan diri kepada Rasulullah

Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya, Ummul Fadhal, istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya, Maimunah menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah. Ummul Fadhal menyampaikan berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun mengabarkannya kepada Rasulullah.

Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang Maimunah. Betapa gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan Rasulullah menikahi dirinya.

Pada tahun berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum Muslimin memasuki Makkah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk menetap di sana selama tiga hari.

Namun orang-orang Quraisy menolak permintaan Nabi dan kaum Muslimin untuk berdiam di sana lebih dari tiga hari. Kesempatan itu digunakan Rasulullah SAWuntuk melangsungkan pernikahan dengan Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau dan kaum Muslimin meninggalkan Makkah.

Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau menempatkannya di kamar tersendiri. Maimunah memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata.

Ummul Mukminin Maimunah adalah janda dari Abi Ruhm bin Abdul Uzza. Saat “proses” dengan Rasulullah ﷺ, Al-Abbas bin Abdul Muthalib menjadi comblang keduanya. Al-Abbas menawarkannya kepada Rasulullah ﷺ di Juhfah. Pernikahan digelar pada tahun 7 H (629 M) dan sekaligus menjadi pernikahan terakhir Rasulullah ﷺ.

Ada yang menyebutkan bahwa Maimunah radhiallahu ‘anha lah yang menawarkan diri kepada Nabi. Karena prosesi lamaran Nabi berlangsung saat Maimunah berada di atas tunggangannya. Maimunah berkata, “Tunggangannya dan apa yang ada di atasnya (dirinya) adalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Lalu Allah ﷻ menurunkan ayat,

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS:Al-Ahzab | Ayat: 50).

Disebutkan bahwa nama sebelumnya adalah Barrah. Lalu Rasulullah ﷺ menggantinya menjadi Maimunah.

Hikmah Pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Maimunah

Pernikahan ini memberi berkah luar biasa bagi bani Hilal, keluarga Ummul Mukminin Maimunah. Bani Hilal lebih termotivasi dan tertarik memeluk Islam. Nabi Muhammad ﷺ menjadi bagian dari keluarga besar mereka. Hal ini menjadi dorongan besar untuk duduk dan mendengar sabdanya. Hingga mereka pun menyambut dan membenarkan risalahnya. Mereka memeluk Islam karena taat dan pilihan, bukan karena paksaan (Muhammad Fatahi dalam Ummahatul Mukminin, hal: 206).

Rasyid Ridha mengatakan, “Diriwayatkan bahwa paman Nabi, al-Abbas, yang menawarkan Maimunah kepada Nabi. Dan dia adalah saudari dari istri al-Abbas, Ummul Fadhl Lubabah Kubra. Atas permintaan Ummul Fadhl, al-Abbas meminangkannya untuk Nabi. Al-Abbas melihat maslahat luar biasa dari pernikahan ini, jika tidak tentu ia tak akan menaruh perhatian sedemikian besarnya” (Muhammad Rasyid Ridha dalam Nida’ lil Jinsi al-Lathif fi Huquqil Insan fil Islam, hal: 84).‎

Rumah Tangga Maimunah dan Nabi

Ummul Mukminin Maimunah menyerahkan urusan pernikahannya kepada saudarinya, Ummul Fadhl. Lalu Ummul Fadhl mengajukannya kepada al-Abbas. Kalau dalam dunia percomblangan era sekarang, al-Abbas lah yang memegang biodata Maimunah lalu ia tawarkan kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ menyambut tawaran pamannya. Lalu menikahi Maimunah dengan mahar 400 dirham (Ibnu Katsir dalam as-Sirah an-Nabawiyah, 3/439). Pelajaran dari sini, comblang seseorang juga menjadi faktor kualitas calon yang ia pilihkan. Comblang Maimunah adalah paman Rasulullah ﷺ, tidak tanggung-tanggung, manusia terbaik jadi calon yang ia pilihkan.

Dengan masuknya Maimunah binti al-Harits radhiallahu ‘anha dalam lingkar ahlul bait, menjadi salah seorang istri Nabi ﷺ, maka ia memiliki peran besar dalam meriwayatkan kabar perjalanan hidup Rasulullah ﷺ. Sebagaimana firman Allah ﷻ,

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS:Al-Ahzab | Ayat: 34).

Al-Baghawi mengatakan, “Maksud dari firman Allah ‘Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah’ adalah Alquran. Sedangkan ‘Hikmah’ menurut Qatadah adalah as-Sunnah. Dan Muqatil mengatakan, ‘Hukum-hukum dan wasiat-wasiat yang terdapat dalam Alquran’.” (al-Baghawi dalam Ma’alim at-Tanzil, 6/351).

Inilah di antara hikmah besar berbilangnya pernikahan Rasulullah ﷺ. Semakin banyak periwayat (dalam hal ini istri Nabi) yang meriwayatkan ucapan dan perbuatan Nabi ﷺ di dalam rumah tangganya, maka semakin kuat riwayat tersebut. Banyak hadits-hadits yang tidak kita temui dalam muamalah Nabi dengan para sahabat dan masyarakat, tapi kita dapati dalam muamalah Rasulullah ﷺ bersama para istrinya. Tentang mandi, wudhu, dan apa yang beliau lakukan di rumah. Tentang sunnah beliau saat hendak tidur, saat tidur, dan terjaga dari tidur. Tentang masuk dan keluar rumah. dll. Tidak ada yang bisa menceritakannya dengan detil, kecuali Ummahatul Mukminin radhiallahu ‘anhunna.
Keutamaan Maimunah binti Harits 

Tentang Maimunah, Aisyah pernah berkata.“Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturrahmi di antara kami.” 

Dia dikenal dengan kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah. Ia juga diriwayatkan memiliki ilmu pengetahuan yang luas.

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Maimunah adalah seorang wanita pemberani dan berjiwa patriotik. Bahkan dia tak segan-segan bersikap tegas serta keras kepada para pelaku kemaksiatan.

Keutamaan Maimunah binti Al-Harits tidak terbatas pada kekuatan iman, takwa, wara’, zuhud, dan kejujuran saja. Lebih dari itu, dia adalah seorang sahabat wanita yang memiliki kontribusi banyak dalam ranah jihad fi sabilillah. Maimunah ikut membantu mengobati tentara Islam yang terluka, membawa air dan menuangkannya ke mulut para mujahid yang kehausan di medan tempur. Tak hanya itu, dia juga membawakan untuk mereka perbekalan makanan. Ada yang mengatakan bahwa Maimunah adalah sahabat wanita pertama yang membentuk kelompok perempuan pemberi pertolongan kepada orang-orang terluka, atau orang-orang yang berjihad.

Dalam jihadnya di jalan Allah, dia pernah terkena panah musuh ketika sedang membawakan air untuk prajurit Islam yang telah lemah. Kalau bukan karena pertolongan Allah, hampir saja panah tersebut membunuhnya.‎

Wafatnya Maimunah binti Harits

Pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan, bertepatan dengan perjalanan kembali dari haji—di suatu tempat dekat Saraf—Maimunah merasa ajalnya sudah tiba. Ketika itu dia berusia 80 tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 Hijriyah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan.

Maimunah meriwayatkan sekitar 76 hadits dari Nabi Muhammad SAW. Beberapa hadits yang diriwayatkannya telah ditakhrij dalam kitab hadits Bukhari-Muslim sekitar 13 hadits; 7 hadits sama-sama disepakati oleh kedua imam (muttafaq ‘alaih), satu hadits lainnya ditulis oleh Bukhari, dan 5 hadits lainnya ditulis oleh Muslim.

Riwayat Pernikahan Sayyidah Maimunah Ra Yang Diperdebatkan
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh syaikhoi Al-Muhadditsin (2 sheikh ahli hadits), dari sahabat Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi saw menikahi Mainumah, dan Nabi pada saat itu dalam keadaan ihram.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
"Dari sahabat Ibnu Abbas ra, beliau berkata: Nabi saw menikahi Sayyidah Maimunah dan beliau saw dalam keadaan ihram" (HR Al-Bukhori dan Muslim)

Hadits ini derajatya shahih, diriwayatlan oleh Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim pula. Tidak ada yang meragukan hadits ini, toh perawinya Al-Bukhori dan Muslim kok. Kandungan hadits ini, bahwa Nabi saw menikah dengan Sayyidah Maimunah dalam keadaan Ihram, artinya boleh menikah walaupun dengan keadaan muhrim, atau sedang ber-ihram.

Tapi sayangnya, hadits ini justru tidak diamalkan oleh para ahli fiqih. Fuqaha' tidak menjadikan ini sebagai hujjah, dan malah mengatakan sebaliknya, bahwa haram hukumnya menikah dalam keadaan ihram.

Ini kan akhirnya menjadi rancu bagi sebagian kalangan yang –biasanya- kalau haditsnya sudah shahih, apalagi bukhori dan muslim, ya berarti itu HARUS diamalkan. Tapi nyatanya hadits ini malah tidak dilirik oleh para ahli fiqih.

Tapi justru para fuqaha mengamalkan hadits yang –sepertinya- derajat kesahihannya kurang dibanding hadits di atas, yaitu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

عَنْ مَيْمُونَةَ - أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ
"Dari Sayyidah Maimunah ra, bahwasanya Nabi saw menikahinya dan beliau saw dalam keadaan halal (bukan sedang ihram)" (HR Muslim)

2 Hadits Bertentangan

Jadi, ada 2 hadits yang makna dan kandungan hukumnya saling kontradiksi, yang kalau dalam istilah fuqaha serta ushuliyun, disebut sebagai ‎Al-Ta'arudh [التعارض].

Satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Muslim itu mengandung hukum bahwa boleh menikah walaupun dalam keadaan ‎muhrim (sedang ihram). Hadits kedua yang hahnya diriwayatkan oleh Muslim, itu mengandung hukum bahwa sebaliknya. Tidak ada pernikahan dalam keadaan ihram.

Dalam ilmu ushul, jika terjadi kontradiksi antara 2 sumber hukum, -dalam hal ini hadits-, maka kalau memang memungkinkan untuk diambil keduanya, dan dikumpulkan, ini yang disebut dengan Al-jam'u [الجمع]. Tapi itu kalau mungkin, dan kedua hadits ini tidak mungkin untuk disatukan.

Maka mesti dilakukan tarjiih [ترجيح],yaitu mengunggulkan salah satu dalil dari 2 dalil yang bertentangan untuk diketahui mana yang lebih kuat dan diamalkan.

Tarjiih

Nah, kalau dilihat dari derajatnya, tentu hadits Ibnu Abbas lah yang unggul, karena hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim. Sedangkan hadits kedua, hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim seorang. Bahwa memang banyaknya jalurnya periwayatan itu menjadikan hadits tersebut menjadi lebih kuat dibanding yang sedikti periwayatannya.

Normalnya begitu. Yang banyak jalurnya, tentulah ia yang lebih kuat, karena banyak jalur menunjukkan banyaknya perawi. Hadits yang diriayatkan banyak itu lebih kuat dari yang sedikit. Normlanya begitu, tapi ulama justru tidak mengambil hadits Ibnu Abbas tersebut.

Perawinya Adalah Tokoh Cerita

Para ulama fiqih lebih mengunggulkan hadits kedua yang hanya diriwayatkan oleh Imam muslim dari Sayyidah Maimunah dibanding hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Kenapa?

Karena hadits riwayat Imam Muslim itu diambil dari si empunya cerita itu sendiri, yaitu Sayyidah Maimunah. Masalah ini sedang berbicara tentang pernikahan Nabi dengan ASayidah Maimunah, yang kalau versi Ibnu Abbas itu terjadi ketika Nabi dalam keadaan ‎Ihram, sedangkan versi Sayidah Maimunah sendiri yang beliau adalah si pengantin, itu terjadi ketika Nabi sedang tidak ihram.

Secara akal pun bisa diunggulkan, bahwa kisah yang diceritakan oleh si empunya kisah itu jauh lebih dipercaya, walaupun ia sendiri, dibanding kisah yang diceritakan orang lain yang tidak punya peran dalam cerita, walaupun banyak yang bercerita.

Nah, ini adalah salah satu metode ‎tarjiih antara 2 hadits yang saling kontradiksi yang disepakati oleh ulama ‎ushul. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tokoh cerita atau dalam istilah ‎mustholah hadits, disebut dengan ‎shohibul-waqi'ah [صاحب الواقعة], itu lebih diunggulkan dibanding hadits yang diriwayatkan oleh bukan tokoh cerita.  

Ini adalah salah satu metode tarjiih ‎yang dikenal dalalm ilmu ushul-fiqh, disamping metode-metode yang masih banyak, yang tidak cukup untuk disebutkan semuanya dalam forum ini.

Jadi bukan cuma modal shahih Bukhori Muslim doing! Untuk bisa dijadikan hujjah. 
Para ulama’ fiqih berbeda pendapat terkait dengan nikahnya orang yang sedang berihrom. Mayoritas ulama’ (jumhur) dari kalangan Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nikahnya orang yang sedang berihrom itu tidak sah. Baik dia sebagai suami, istri maupun wali yang melakukan akad pernikahan terhadap orang yang dijadikan perwaliannya atau wakil yang melakukan akad nikah kepada orang yang diwakilkannya. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

( لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ ) رواه مسلم (1409)

“Orang yang sedang berihrom tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh melamar.” HR. Muslim, 1409.

Sementara Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dan Hanafiyah berpendapat, sah nikahkan orang yang sedang berihrom haji atau umroh. Sampai meskipun keduanya (suami istri) dalam kondisi berihrom. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menikahi Maimnah sementara beliau dalam kondisi berihrom.” HR. Bukhori, 1837. Muslim, 1410. Selesai dari ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 41/349-350.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1843 dari Yazid bin Al-Ashom dari Maimunah radhiallahu’anha berkata,

" تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ حَلَالَانِ بِسَرِفَ "

“Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menikahiku sementara kami dalam kondisi halal di ‘Saraf’.

ورواه مسلم (1411) عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَتْنِي مَيْمُونَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ . قَالَ : وَكَانَتْ خَالَتِي وَخَالَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ

Dan diriwayatkan oleh Muslim, 1411 dari Yazid bin Al-Ashom, Maimunah binti Harits memberitahukan kepadaku , sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menikahinya sementara beliau dalam kondisi halal. Beliau berkata, ‘Dimana (Maimunah) adalah bibiku dan bibi Ibnu Abbas.

وروى أحمد (26656) عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ حَلَالًا وَبَنَى بِهَا حَلَالًا وَكُنْتُ الرَّسُولَ بَيْنَهُمَا .
صححه ابن القيم في "الزاد" (3/373)

Dan diriwayatkan oleh Ahmad, 26656 dari Abu Rafi’ budak Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam kondisi halal. Dan digauli dalam kondisi halal. Dahulu saya adalah sebagai utusan diantara keduanya. Dishohehkan oleh Ibnu Qoyyim, dalam kitab Az-Zad, 3/373.
Syeikhul Islam rahimahullah mengomentari, “Yang terkenal menurut kebanyakan orang bahwa beliau (sallallahu’alaihi wa sallam) menikahi (Maimunah) dalam kondisi halal.” Selesai dari ‘Majmu’ Fatawa, 18/73.

Apa yang disebutkan oleh Syeikhul Islam, merupakan pendapat mayoritas shahabat dan mayoritas ahli ilmu. Bahwa Nabi sallallahu’alai wa sallam menikahi Maimunah radhiallahu’anha dalam kondisi halal. Dan mereka mempunyai banyak jawaban terkait dengan hadits Ibnu Abbas, yang paling kuat adalah hal itu merupakan kelengahan beliau radhiallahu’anhuma. Dimana beliau menyangka bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallah menikahinya sementara beliau dalam kondisi berihrom.

Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Beliau sallallahu’alaihi wa sallam diperselisihkan, apakah ketika menikahi Maimunah dalam kondisi halal atau berihrom? Ibnu Abbas mengatakan, “Menikahinya sementara beliau dalam kondisi berihrom. Sementara Abu Rafi’ mengatakan, “Menikahinya sementara beliau dalam kondisi halal. Dan dahulu saya adalah utusan diantara keduanya. Perkataan Abu Rafi’ lebih kuat dari beberapa sisi,

Salah satunya, Waktu itu beliau sudah dalam kondisi balig. Sementara Ibnu Abbas waktu itu belum mencapai baligh. Bahkan waktu itu beliau baru berumur sepuluh tahun. Sehingga Abu Rafi’ waktu itu lebih hafal darinya.

Kedua, bahwa beliau sebagai utusan. Antara Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dan Maimunah. Di tangannya terjadi perbincangan. Dan dia lebih mengetahui dari (Ibnu Abbas) tanpa diragukan lagi. Hal itu telah diisyaratkan sendiri dengan penuh kebenaran dan keyakinan tanpa menukil dari yang lainnya. Bahkan beliau sendiri yang melakukannya.

Ketiga, Ibnu Abbas waktu itu tidak bersamanya dalam umroh tersebut. Karena umroh qodo’. Sementara Ibnu Abbas waktu itu termasuk orang-orang lemah yang Allah berikan uzur dari kalangan anak-anak. Dan beliau mendengarkan cerita (dari orang lain) tanpa kehadirannya.

Keempat, Sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika masuk Mekkah, beliau mulai dengan towaf di Ka’bah. Kemudian sa’I antara shafa dan marwah, menggundul kemudian tahallul. Telah diketahui bahwa beliau tidak menikahinya di jalan. Tidak juga memulai menikah dengannya sebelum towaf di Ka’bah. Tidak menikah juga sewaktu towaf. Hal ini telah diketahui tidak terjadi. Maka pendapat Abu Rofi’ yang kuat secara meyakinkan.

Kelima, bahwa para shahabat radhiallahu’anhu menyalahkan Ibnu Abbas dan tidak menyalahkan Abu Rafi’.

Keenam, perkataan Abu Rafi’ sesuai dengan larangan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tentang menikahnya orang yang sedang berihrom. Sementara perkataan Ibnu Abbas menyalahinya. Hal itu ada dua kemungkinan, bisa karena dinaskh (dihapus) atau ditakhsis (dihususkan) oleh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dengan memperbolehkan nikahnya orang yang sedang berihrom. Keduanya menyalahi dari asalnya dan tidak ada dalil (yang menguatkan). Maka tidak dapat diterima.

Ketujuh, bahwa anak saudara perempuan yaitu Yazid bin Al-Ashom memberi persaksian bahwa Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menikahinya sementara beliau dalam kondisi halal. Dan beliau mengatakan,  dia dahulu adalah bibiku dan bibinya Ibnu Abbas. Hal itu disebutkan oleh Muslim. Selesai dari ‘Zadul Ma’ad, 5/112-124.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Al-Atsram mengatakan, saya bertanya kepada Ahmad, bahwa Abu Tsaur mengatakan, dengan apa menolak hadits Ibnu Abbad –padahal shoheh- beliau berkata, “Allahul musta’an. Ibnu Musayyab mengatakan, Ibnu Abbas lengah. Padahal Maimunah berkata, saya dinikahi sementara beliau dalam kondisi halal.” Selesai

Ibnu Abdul Bar mengatakan, “Periwayatan bahwa beliau menikahinya dalam kondisi halal, telah ada dari berbagai macam jalan. Sementara hadits Ibnu Abbas, shoheh dari sisi sanad. Akan tetapi kelengahan seorang (rowi) itu lebih dekat dibandingkan kelengahan kelompok. Kondisi minimal keduanya bertentangan. Sehingga diminta dalil dari selain keduanya. Dan hadits Utsman yang shoheh tentang pelarangan nikah orang yang sedang muhrim, dan itu yang menjadi sandaran.” Selesai

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Maimunah lebih mengetahui tentang dirinya dan Abu Rafi’ pelaku kisah dan dia adalah utusan dalam kisah tersebut. Keduanya lebih mengetahui akan hal itu dibandingkan Ibnu Abbas dan lebih didahulukan kalau sekiranya Ibnu Abbas sudah dewasa. Bagaimana lagi dia (Ibnu Abbas) waktu itu masih kecil. Belum mengetahui hakekat masalah dan belum mendalaminya. Dan pendapat ini telah diingkari. Said bin Musayyab mengatakan, ‘Ibnu Abbas lengah. Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah menikah kecuali dalam kondisi halal. Bagaimana mengamalkan hadits ini sementara kondisinya seperti ini? Ada kemungkinan pendapat dalam ucapan ‘Dia dalam kondisi haram’ adalah di bulan haram. atau di negeri haram. sebagaimana ungkapan, “Ibnu Affan dibunuh dalam kondisi haram (di negeri haram).” selesai dari Al-Mugni, 3/318.

Kesimpulan, yang benar bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menikahi Maimunah radhiallahu’anha dalam kondisi bukan berihrom. Dan ini yang kuat dan ditegaskan. Kalau sekiranya tidak ada hadits Ibnu Abbas. Kebanyakan ahli ilmu menguatkan bahwa Ibnu Abbas lengah dalam hadits ini. Dimana beliau mengira bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menikahinya sementara beliau dalam kondisi berihrom. Dan pendapat ini beliau pegang berdasarkan berbagai macam penguat yang beliau dapatkan. Pendapat seperti ini tidak dapat mengalahkan hadits yang kuat dari Maimunah dan Abu Rafi’ radhiallahu’anhuma bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menikahinya dan beliau dalam kondisi halal bukan berihrom.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar