Senin, 26 Desember 2016

Sejarah Bujuk Napo (As-Syaikh Abdul Jabbar)

Pangeran Gunung Badoeng dikuburkan di Desa Banyusangkah Kabupaten Bangkalan, yang asalnya dari tanah Arab, mempunyai Putra Bupati Santri Nepa, Bupati Nepa mempunyai putra Pangeran Sadjadja, Pangeran Sadjadja sendiri mempunyai putra Pangeran Guesti Santri, Pangeran Gusti Santri Sendiri adalah Saudara dari Ratu Pamekasan berdiam di Desa Sogian Kabupaten Sampang, mempunyai turunan Pangeran Sogiyan ( Bujuk Ahmad Holili Sogian ) yang diambil mantu oleh Ratu Pamekasan, lalu mempunya putra satu laki-laki di beri nama Raden Sogian disebut Bujuk Napo Wali atau Raden Abdul Jabbar, lalu Raden Abdul Jabbar mempunyai putra laki-laki yaitu  Kyai Napo Geddi ( Bujuk Raja Tapa) terus turun sampai ke Kyai Hodari.

Raden Kabul yang biasa disebut Bujuk Aji Gunung Sampang, Mempunyai pangkat waliyullah, saat ini pesareannya berada di Kampung Aji Gunung Kelurahan Gunung Sekar, Kabupaten Sampang. 

Beliau mempunyai beberapa santri diantaranya : 
I) syeh Maulana Abdul Djabbar (Bujuk Napo) yang mempunyai julukan Pangeran Jimat, 
2) Bujuk Abdul Alam Prajjan, Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang, 
3). Bujuk Agung Rabah, Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan.

Ketiga santri bujuk Aji Gunung Sampang ini mempunyai pangkat waliyullah, ilmunya tinggi, juga mempunyai kesaktian dan karisma. tapi diantara santrinya hanya bujuk napo yang bisa mengambil Al-Qur'an si Jimat yang ada di Mekah.

Ada cerita lain, bahwa bujuk Napo mengambil al-Qur'an si Jimat ke Kabupaten Bangkalan, waktu itu dimana Bujuk aji Gunung Sampang mau melaksanakan sholat magrib berjemaah bersama santrinya, yang berjumlah 40 santri, bujuk aji gunung memerintahkan kepada santrinya, siapa yang bisa mengambil al-qur'an si jimat ke Bangkalan, yang mana al-qur'an tersebut harus dipasrahkan atau diberikan setelah sholat magrib, ke 40 santrinya tidak ada yang sanggup, maka bujuk aji gunung memerintahkan untuk memanggil raden abdul jabbar (bujuk Napo) yang waktu itu berada di belakang pondok, yang sedang mengembala kambing gurunya, aji gunung. 

Ketika bujuk napo diperintahkan gurunya untuk mengambil al-qur'an si jimat itu yang ada di Bangkalan, maka bujuk napo mengajukan permintaan, supaya membakar pohon kettan hitam ( romanah etem : bahasa maduranya) ketika pohon kettan hitam di bakar, maka bujuk napo menghilang mengikuti asap akibat pohon kettan hitam tersebut yang di bakar.ketika gurunya selaesai menunaikan sholat magrib, maka bujuk napo memasrahkan al-qur'an si jimat tersebut kepada gurunya, ada cerita yang lain, ketika bujuk napo melaksanakan ibadah haji, ditengah perjalanan, bujuk napo menanam biji mangga, setelah pulang dari mekah bujuk napo mengambil buah mangga yang telah di tanamnya, yang saat ini biji mangga tersebuat masih ada dan berukuran sangat besar. ketika bujuk napo mengambil al-qur'an si jimat ke mekah, bagi bujuk napo perjalanan ke mekah sangat mengasikkan, dengan menaiki raja ikan yaitu ikan paus. menurut cerita tutur, ikan paus itu bernama raja menah. dengan kuasa Allah SWT raja ikan itu menghampiri bujuk napo yang saat itu berada ditepi pantai, dan syeh maulana abd djabbar menaiki raja ikan, dengan tak terasa maka sampailah di tepi pantai Negara Arab. setelah sampai dimekah dan al-qur'an si jimat telah diperoleh maka sang syeh pergi ke jabal Nur untuk mengambil batu sebagai kendaraan pulang ke madura. 

Batu itu awalnya berwarna Hitam, tapi karena sering terkena sinar matahari akhirnya sekarang berwarna putih dan bentuknya bundar dengan garis tengah -+ 0,5 m dan Tebal -+ 15 cm, batu itu dinaiki oleh syeh maulana abd Djabbar, terbang tanpa diketahui oleh siapapun dan dalam waktu yang singkat sang Syeh sudah sampai di Sampang. setibanya kembali di sampang, al-qur'an si Jimat itu langsung diserahkan kepada gurunya bujuk aji gunung sampang, beliaupun menerimanya dengan senang hati, sedangkan batu yang dikendarainya di lemparkan oleh sang guru kearah timur daya, secara kebetulan jatuh di suatu kampung dan kena pada sebatang pohon besar, pohon itu patah berkeping-keping, akhirnya kering dan lapok. masyarakat biasa menyebut " TANAPO" (bahasa : madura) bermulai dari kejadian itulah maka kampung tersebut di namakan TANAPO di perpendek menjadi " NAPO". 

Desa Napo dulu menjadi Desa Mardikan yaitu desa yang bebas bayar pajak pada zaman Cakraningrat II, raja bagian barat Madura, krn Bujuk Napo pernah berjasa terhadap Pangeran Cakraningrat II pada waktu disekap di Hutan Ludoyo kediri oleh Pangeran Trunojoyo akibat tipu daya Raja Mataram waktu itu. setelah Pangeran Cakraningrat kembali ke Madura setelah aman, maka Pangeran Cakraningrat II memberikan hadiah Desa Mardikan terhadap Kiai Napo (bujuk Napo). Raden Abdul Djabbar (bujuk Napo) masih keturunan  Sunan Giri. 

Hingga saat ini, batu yang pernah dikendarai oleh Bujuk Napo, sekarang masih ada dan di simpan di musholla (samping Masjid Napo) dan beberapa pusaka peninggalan syeh masih lengkap yang konon sebagian pernah di gunakan untuk berjuang melawan penjajah Belanda. 

Kepala desa yang pernah memimpin Desa Napo adalah : 
KH.R. Abd Djabbar (Bujuk Napo), 
R. Keddi ( Bujuk Raja Tapa), 
R. Tonjung, 
R. Raksa Jaya, 
R. Ahmad, 
R. Subun, 
R. Tirta, 
R. Bunduk. 
Pada masa R. Bunduk inilah Desa Napo di bagi menjadi dua, Napo Laok dan Napo Daya. kepala desa napo laok setelah R. Bunduk adalah : 
1. R. Sagara (1940-1956), 
2. R. Arli ( 1950-1978), 
3. R. Hodari ( 1978), 
4. Abdul Bari ( 1978-2000), 
5. Abd Wasik ( 2000-2008), 
6. Abdul Basid, S.Pd.I < cicit Raden Arli > ( 2008-2014), 
7. Abdul Basid, S.Pd.I ( 2015-2021).


Dan beberapa peningggalan kuno di Napo adalah

Biji mangga (Pelok, bahasa Madura)
Batu hitam (karena setiap hari terkena sinar matahari, sekarang batu itu berwarna keputih-putihan, batu ini pernah terbang menjadi kendaraan Buyut Napo).
Dua buah pecut
Se Kelap
Se Bentar Alam
Lima buah tombak
Si Nonggososro
Si Mendolo
Si Drajan
Si Omben
Si Buntut  ‎

2 komentar: