Minggu, 29 Januari 2017

Bid'ah Menurut Ulama' Salaf Madzhab Maliki

Hujjah Imam Ahli Hadits Ahli Tafsir ber-Madzhab Maliki dalam 5 macam hukum hukum bid'ah;
W A R N I N G !!! Kaum yang tidak bermadzhab pasti dia anti bid'ah hasanah..
Berikut ini saya lampirkan penjelasan 5 bid'ah dari 8 Imam besar pakar ahli hadits ahli fiqih ahli tafsir terkemuka bermadzhab Maliki;‎

1. Al Imam al Hafizh Muhammad bin Ahmad al Qurthubi
Al Imam Al Hafidz Al Qurthubi berkata menanggapi ucapan ucapan Imam Syafi’i tentang pembagian bidah:‎

قُلْتُ: وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم فِي خُطْبَتِهِ: (وَشَرُّ اْلاُمُورِ مُحْدَثَاتُهاَ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) يُرِيدُ مَا لَمْ يُوَافِقْ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً، أَوْ عَمَلَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَقَدْبَيَّنَ هذَا بِقَوْلِهِ: (مَنْ سَنَّ فِي اْلاِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلاِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ). وَهذَا إِشَارَةٌ إِلَى مَا ابْتُدِعَ مِنْ قَبِيحٍ وَحَسَنٍ، وَهُوَ أَصْلُ هذَا اْلبَابِ، وَبِاللهِ اْلعِصْمَةُ وَالتَّوْفِيقُ، لاَ رَبَّ غَيْرُهُ

“Saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi: "Seburuk-buruk perkara adalah hal yang baru. Semua hal yang baru adalah Bidah, dan semua Bid’ah adalah sesat, maksudnya hal-hal yang tidak sejalan dengan al Qur an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul SAW". Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu: “Barang siapa membuat-buat satu gagasan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun dari pahalanya. Dan barang siapa membuat gagasan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”. 
Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada:
"Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam al Qurthubi 2/87)‎

2. Al Imam Al Hafidz Muhammad az Zarqoni al Maliki 
Al Imam Al Hafidz Az Zarqoni dalam kitabnya, Syarah Muwatho (1/238) menjelaskan ucapan sayidina Umar:‎

البدعة في المذهب المالكي: قال محمد الزرقاني المالكي في شرحه للموطأ (ج 1/238) عند شرحه لقول عمر بن الخطاب رضي اللّه عنه: "نعمت البدعة هذه" فسماها بدعة لأنه صلى اللّه عليه وسلم لم يسنّ الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق، وهي لغة ما أُحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعًا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده صلى اللّه عليه وسلم، ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة. انتهى

"Beliau (Sayidina Umar) menamakan tarawih (20 rakaat dengan 1 imam) dengan bid’ah karena tidak pernah dibuat di zaman Nabi SAW dan Sayidina Abu Bakar ra. Adapun bid’ah secara bahasa : perkara baru yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Bid’ah menurut istilah syariat adalah lawan dari sunnah, yaitu yang tidak ada di zaman Nabi SAW, kemudian bid’ah itu terbagi menjadi hukum yang lima (wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah).‎

3. Al Imam Al Hafidz Imam al Qarafi al Maliki
Dalam Kitab Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq (popular disebut al-Furuq), Al Imam Al Hafidz Qarafi membagi bid’ah menjadi lima, disertai dengan standar dan contoh :

وَالْحَقُّ التَّفْصِيلُ، وَأَنَّهَا خَمْسَةُأَقْسَامٍ) قِسْمٌ) وَاجِبٌ، وَهُوَ مَا تَتَنَاوَلُهُ قَوَاعِدُ الْوُجُوبِ وَأَدِلَّتُهُمِنْ الشَّرْعِ كَتَدْوِينِ الْقُرْآنِ وَالشَّرَائِعِ إذَا خِيفَ عَلَيْهَا الضَّيَاعُ )الْقِسْمُ الثَّانِي) : مُحَرَّمٌ، وَهُوَ بِدْعَةٌ تَنَاوَلَتْهَا قَوَاعِدُ التَّحْرِيمِ وَأَدِلَّتُهُ مِنْ الشَّرِيعَةِ كَالْمُكُوسِ… وَتَوْلِيَةِالْمَنَاصِبِ الشَّرْعِيَّةِ مَنْ لَا يَصْلُحُ لَهَا بِطَرِيقِ التَّوَارُثِ)الْقِسْمُ الثَّالِثُ) مِنْ الْبِدَعِ مَنْدُوبٌ إلَيْهِ، وَهُوَ مَا تَنَاوَلَتْهُ قَوَاعِدُ النَّدْبِ وَأَدِلَّتُهُ مِنْ الشَّرِيعَةِ كَصَلَاةِ التَّرَاوِيحِ)الْقِسْمُ الرَّابِعُ) بِدَعٌ مَكْرُوهَةٌ، وَهِيَ مَا تَنَاوَلَتْهُ أَدِلَّةُ الْكَرَاهَةِ مِنْ الشَّرِيعَةِ وَقَوَاعِدُهَا كَتَخْصِيصِ الْأَيَّامِ الْفَاضِلَةِ أَوْغَيْرِهَا بِنَوْعٍ مِنْ الْعِبَادَاتِ)الْقِسْمُ الْخَامِسُ) الْبِدَعُ الْمُبَاحَةُ، وَهِيَ مَا تَنَاوَلْته أَدِلَّةُ الْإِبَاحَةِ وَقَوَاعِدُهَا مِنْ الشَّرِيعَةِ كَاِتِّخَاذِ الْمَنَاخِلِ لِلدَّقِيقِالقرافي, الفروق )أنوار البروق في أنواء الفروق( 4/202-204 

Yang benar ada perincian (dalam masalah bid’ah). Bid’ah terbagi menjadi lima jenis: 
*. Jenis yang wajib yaitu yang masuk dalam kaidah wajib dan dalil wajib dari syariat seperti penyusunan al Quran dan hukum-hukum syariat ketika dikhawatirkan akan terbengkalai. 
*. Jenis yang haram yakni bid’ah berada dalam naungan kaidah haram dan dalil keharaman dari syariat seperti cukai, memberikan jabatan syariat melalui jalur turun temurun kepada orang yang tidak layak. 
*. Jenis ketiga bid’ah yang sunah, yaitu yang berada dalam naungan kaidah-kaidah sunah dan dalil-dalilnya dari syariat seperti shalat tarawih (berjamaah dalam satu imam).
*. Jenis keempat bid’ah makruh yakni yang tercakup dalam dalil-dalil makruh dari syariat dan kaidah-kaidahnya seperti mengkhususkan hari-hari utama atau lainnya dengan satu jenis ibadah. 
*. Jenis yang mubah, yakni yang di cakup dalil-dalil mubah dan kaidah-kaidahnya dari syariat seperti membuat ayakan tepung. (Kitab al Buruq fianwa`il Furuq, 4/202-204)
4. Al Imam Al Hafidz Ibnu `Asyur ‎
Ahli Tafsir Al Imam Ibnu Asyur al Maliki dalam tafsirnya menjelaskan ketika menerangkan ayat: ‎

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَاعَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآَتَيْنَاالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌمِنْهُمْ فَاسِقُونَ 

“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.” (QS al Hadid: 27) ‎

وَفِيهَا حُجَّةٌ لِانْقِسَامِ اْلبِدْعَةِ إِلى مَحْمُودَةٍ وَمَذْمُومَةٍ بِحَسَبِ انْدِرَاجِهَا تَحْتَ نَوْعٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْمَشْرُوعِيَّة فَتَعْتَرِيهَا اْلأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ كَمَا حَقَّقَهُ الشِّهَابُ الْقَرَافِي وَحُذَّاقُ اْلعُلَمَاءِ . وَأَمَّا الَّذِينَ حَاوَلُوا حَصْرَهَا فِي الذَّمِّ فّلّمْ يَجِدُوا مَصْرفاً . وَقَدْ قَالَ عُمَرُ لَمَّا جَمَعَ النَّاسَ عَلَى قَارِىءٍ وَاحِدٍ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ (نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ) . 

Dalam ayat ini terdapat dalil atas terbaginya bid’ah kepada yang baik dan yang tercela sesuai dengan tercakupnya ia di bawah naungan jenis-jenis perbuatan yang disyariatkan. Maka bid’ah diliputi oleh hukum yang lima sebagaimana telah ditahqiq oleh As Syihab al Qorofi dan para ulama yang cerdas. Adapun orang-orang yang berusaha membatasi bid’ah pada yang tercela saja mereka tidak menemukan jalan keluar. Sungguh Sayidina Umar telah berkata ketika mengumpulkan manusia dalam satu imam saat tarawih “Inilah sebaik-baiknya bidah.” (Tafsir At Tahrir wat Tanwir hal 4318)‎

5. Al Imam Al Hafidz Ibnu Abdil Barr 
Imam Abu Umar Yusuf bin Abdil Barr an Namiri al Andalusi, ahli hadits dan ahli fiqih bermadzhab Maliki. Beliau membagi bid’ah menjadi dua. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan pernyataan beliau: 


وَأَماَّ قَوْلُ عُمَر َ :نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فيِ ْ لِسَانِ الْعَرَبِ اِخْتِرَاعُ مَا لَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ خِلاَفاً لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ بِدْعَةٌ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيْعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ

“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bidah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bidah.” (Al Istidzkar, 5/152).

6. Imam Ibnu al Haj al Maliki
Dalam kitab al Madkhal, Ibnul Haj al Maliki mengatakan:

إنَّ الْبِدَعَ قَدْ قَسَّمَهَا الْعُلَمَاءُ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ : بِدْعَةٌ وَاجِبَةٌ وَهِيَ مِثْلُ كَتْبِ الْعِلْمِ فَإِنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ فِعْلِ مَنْ مَضَى لِأَنَّ الْعِلْمَ كَانَ فِي صُدُورِهِمْ وَكَشَكْلِ الْمُصْحَفِ وَنَقْطِهِ . الْبِدْعَةُ الثَّانِيَةُ : بِدْعَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ قَالُوا : مِثْلُ بِنَاءِ الْقَنَاطِرِ وَتَنْظِيفِ الطُّرُقِ لِسُلُوكِهَا وَتَهْيِئِ الْجُسُورِ وَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ وَالرُّبُطِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ .الْبِدْعَةُ الثَّالِثَةُ : وَهِيَ الْمُبَاحَةُ كَالْمُنْخُلِ وَالْأشْنَانِ وَمَا شَاكَلَهُمَا .الْبِدْعَةُ الرَّابِعَةُ : وَهِيَ الْمَكْرُوهَةُ مِثْلُ الْأَكْل عَلَى الْخوَانِ وَمَا أَشْبَهَ .الْبِدْعَةُ الْخَامِسَةُ : وَهِيَ الْمُحَرَّمَةُ وَهِيَ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ تَنْحَصِرَ .

Sesungguhnya bid’ah telah dibagi oleh ulama kepada lima jenis:

Bid’ah yang wajib seperti menyusun fan-fan ilmu, karena itu tidak termasuk perbuatan orang terdahulu, sebab ilmu mereka terjaga dalam dada mereka. Termasuk dalam hal ini, mengharokati dan memberi titik dalam al Quran.
Bid’ah yang sunnah, mereka mengatakan seperti membangun benteng-benteng, membersihkan jalan-jalan, membuat jembatan, membangun sekolah dan pesantren dan yang serupa dengannya.
Bid’ah ketiga yang mubah seperti membuat ayakan, asynan (semacam pembersih) dan yang serupa dengannya.
Bid’ah keempat yang makruh seperti makan di atas meja dan semisalnya.
Bid’ah kelima yang haram dan itu terlalu banyak untuk disebutkan. (Al Madkhal juz 2/257)

7. Syaikh Ahmad Bin Yahya al Wansyarisi al Maliki
Al Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al Muarrob juz 1 hal 357-358 menyatakan:

“وَأَصْحَابُنَا وَإِنِ اتَّفَقُوا عَلى إِنْكَارِ اْلِبدَعِ فِي الْجُمْلَةِ فَالتَّحْقِيقُ الْحـَقُّ عِنْدَهُمْ أَنَّهَا خَمْسَةُ أَقْسَامٍ”، ثُمَّ ذَكَرَ اْلأَقْسَامَ الْخَمْسَةَ وَأَمْثِلَةً عَلَى كُلِّ قِسْمٍ ثُمَّ قَالَ: “فَاْلحَقُّ فيِ اْلبِدْعَةِ إِذَا عُرِضَتْ أَنْ تُعْرَضَ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرْعِ فَأَيُّ اْلقَوَاعِدِ اقْتَضَتْهَا أُلْحِقَتْ بِـهَا، وَبَعْدَ وُقُوفِكَ عَلىَ هذَا التَّحْصِيلِ وَالتَّأْصِيلِ لاَ تَشُكَّ أَنَّ قَوْلَهُ صلى الله عليه وسلم:” كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ”، ِمنَ اْلعَامِّ الْمَخْصُوصِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ اْلأَئِمَّةُ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ”.اهـ

Sahabat-sahabat kami walaupun mereka sepakat mengingkari bid’ah secara global namun mereka mentahqiq pembagiannya. Kemudian beliau menyebutkan lima bagian dan contoh di setiap bagian dan berkata : “Sejatinya dalam hal bid’ah apabila disandingkan dengan kaidah syariat maka mana saja kaidah yang cocok dengannya maka akan dihukumi dengan kaedah tersebut. Setelah engkau mengetahui kesimpulan dan hukum asalnya maka jangan ragu lagi bahwasanya sabda Nabi SAW “Kullu bid’atin dhalalah” termasuk kata “umum yang dikhususkan” seperti yang dijelaskan oleh para imam radhiyallahu anhum.

8. ‎Al Hafizh Ibnul Arabi al Maliki.
Imam al Qadhi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi al Maliki, seorang ahli hadits, pakar tafsir dan ahli fiqih madzhab Maliki, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian. Dalam kitabnya ‘Aridhat al Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi, 10/146-147, beliau berkata:

اِعْلَمُوا عَلَّمَكُمُ اللهُ أَنَّ اْلمُحْدَثَاتِ عَلىَ قِسْمَيْنِ : مُحْدَثٍ لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ إِلاَّ الشَّهْوَةَ وَاْلعَمَلَ بِمُقْتَضَى اْلإِرَادَةِ ، فَهَذَا بَاطِلٌ قَطْعًا. وَمُحْدَثٍ بِحَمْلِ النَّظِيرِ عَلَى النَّظِيرِ، فَهذِهِ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ ، وَاْلأَئِمَّةِ الْفُضَلاَءِ، وَلَيْسَ اْلمُحْدَثُ وَاْلبِدْعَةُ مَذْمُومًا لِلَفْظ مُحْدَثٍ وَبِدْعَةٍ وَلاَ لِمَعْنَاهَا، فَقَدْ قَالَ تَعَالَى ) مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ ( وَقَالَ عُمَرُ:نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ اْلبِدْعَةِ مَا خَالَفَ السُّنَّةَ ، وَيُذَمُّ مِنَ اْلمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ وَمُخَالَفَةِ السُّنَّةِ وَأَمَّا مَا كَانَ مَرْدُودًا إِلَى قَوَاعِدِ اْلأُصُولِ وَمَبْنِيًّا عَلَيْهَا فَلَيْسَ بِدْعَةً وَلاَ ضَلاَلَةً

“Ketahuilah, semoga Allah memberikan pengajaran kepada kalian, bahwa Bid’ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah batil secara pasti. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, ini (bukan batil melainkan adalah)  jalan para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar.

Hal baru (muhdats) dan bid’ah tidak tercela hanya karena ia bernama ‘hal baru’ atau bid’ah bukan pula karena maknanya. Allah SWT berfirman:

مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka” (QS. al-Anbiya`: 2).

Dan perkataan Sayyidina `Umar RA: “Alangkah bagusnya bid’ah ini!” Yang tercela dari bid’ah hanya yang bertentangan dengan sunah. Dan hal baru yang tercela adalah yang mengajak kepada kesesatan dan menentang sunah. Adapun apa yang ada dalam naungan kaidah-kaidah ushul dan didasari padanya maka itu bukanlah bid’ah dan bukan pula termasuk kesesatan.
Imam Syihabuddin Abul Abbas Ahmad Bin Idris Al-Qarafi Al-Maliki adalah ahli fikih dalam madzhab Maliki, di tahun 684 H di Mesir. Beliau disebut al-Qarafi karena selama mencari ilmu ia menetap di Qarafah (pekuburan). Di masa itu Tahlilan sudah populer dengan istilah fidyah:

قَالَ الرَّهُونِيُّ وَالتَّهْلِيلُ الَّذِي قَالَ فِيهِ الْقَرَافِيُّ يَنْبَغِي أَنْ يُعْمَلَ هُوَ فِدْيَةُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ سَبْعِينَ أَلْفِ مَرَّةٍ حَسْبَمَا ذَكَرَهُ السَّنُوسِيُّ وَغَيْرُهُ هَذَا الَّذِي فَهِمَهُ مِنْهُ الْأَئِمَّةُ (أنوار البروق في أنواع الفروق - ج 6 / ص 105)
“ar-Rahuni berkata: Tahlil yang dikatakan oleh al-Qarafi yang dianjurkan untuk diamalkan adalah doa fidyah La ilaha illa Allahu, sebanyak 70.000 kali. Terlebih disebutkan oleh as-Sanusi dan lainnya. Inilah yang difahami oleh para imam” (Anwar al-Buruq 6/105)

Masih dalam kitab yang sama, juga dijelaskan tentang Tahlil:
لَكِنَّ الَّذِي يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ لَا يُهْمِلَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ فَلَعَلَّ الْحَقَّ هُوَ الْوُصُولُ إلَى الْمَوْتَى فَإِنَّ هَذِهِ أُمُورٌ مَغِيبَةٌ عَنَّا ، وَلَيْسَ فِيهَا اخْتِلَافٌ فِي حُكْمٍ شَرْعِيٍّ وَإِنَّمَا هُوَ فِي أَمْرٍ وَاقِعٍ هَلْ هُوَ كَذَلِكَ أَمْ لَا ، وَكَذَلِكَ التَّهْلِيلُ الَّذِي جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ يَعْمَلُونَهُ الْيَوْمَ يَنْبَغِي أَنْ يُعْمَلَ ، وَيُعْتَمَدُ فِي ذَلِكَ عَلَى فَضْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَا يُيَسِّرُهُ وَيُلْتَمَسُ فَضْلُ اللَّهِ بِكُلِّ سَبَبٍ مُمْكِنٍ وَمِنْ اللَّهِ الْجُودُ وَالْإِحْسَانُ ا هـ (أنوار البروق في أنواع الفروق - ج 6 / ص 104)

“Tetapi yang dianjurkan oleh seseorang adalah agar tidak meninggalkan masalah ini (baca al-Quran di kuburan). Semoga pendapat yang benar adalah sampainya pahala kepada orang yang telah wafat. Sebab ini adalah masalah yang tak terlihat bagi kita. Dalam masalah ini tidak ada perselisihan tentang hukum syariatnya, hanya dalam masalah realitasnya seperti itu atau tidak. Demikian halnya dengan TAHLILAN yang sudah menjadi TRADISI manusia saat ini yang mereka amalkan. Hal ini dianjurkan untuk diamalkan dan diteguhkan atas karunia Allah, kemudahan yang diberikannya....” (Anwar al-Buruq 6/105)
 
Riwayat dari Imam al-Qarafi diatas juga menguatkan fatwa Imam Ibnu Taimiyah Al-Hanbali yang memang hidup 1 masa dengan beliau:
 ‎
 مجموع فتاوى ابن تيمية - (ج 5 / ص 471)
وَسُئِلَ عَمَّنْ " هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ " حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ .
الْجَوَابُ فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .

“(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang orang yang bertahlil 70.000 kali dan menghadiahkannya kepada mayyit, supaya memberikan keringan kepada mayyit dari api neraka, haditsnya shahih ataukah tidak ? Apakah seseorang manusia yang bertahlil dan menghadiahkan kepada mayyit, pahalanya sampai kepada mayyit  ataukah tidak ?

Jawab : Apabila seseorang bertahlil sejumlah yang demikian  ; 70.000 kali atau lebih sedikit atau lebih banyak dari itu dan menghadiahkannya kepada mayyit niscaya Allah akan memberikan kemanfaatan kepada mayyit dengan hal tersebut, dan  tidaklah hadits ini shahih dan tidak pula dlaif. Wallahu A’lam”. 

مجموع فتاوى ابن تيمية - (ج 5 / ص 472)
وَسُئِلَ عَنْ قِرَاءَةِ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَصِلُ إلَيْهِ ؟ وَالتَّسْبِيحُ وَالتَّحْمِيدُ وَالتَّهْلِيلُ وَالتَّكْبِيرُ إذَا أَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهَا أَمْ لَا ؟ .
الْجَوَابُ فَأَجَابَ : يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ قِرَاءَةُ أَهْلِهِ وَتَسْبِيحُهُمْ وَتَكْبِيرُهُمْ وَسَائِرُ ذِكْرِهِمْ لِلَّهِ تَعَالَى إذَا أَهْدَوْهُ إلَى الْمَيِّتِ وَصَلَ إلَيْهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
 
"(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang keluarga al-Marhum yang membaca al-Qur’an yang disampaikan kepada mayyit ? Tasybih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila menghadiahkannya kepada mayyit, apakah pahalanya sampai kepada mayyit ataukah tidak ?

Jawab : Pembacaaan al-Qur’an oleh keluarga almarhum sampai kepada mayyit, dan tasbih mereka, takbir dan seluruh dziki-dzikir karena Allah Ta’alaa apabila menghadiahkannya kepada mayyit, maka sampai kepada mayyit. Wallahu A’lam.

Semoga Ada Manfaatnya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar