Senin, 09 Januari 2017

Imam Abu Ja'far At-Thohawi Dan Penjelasan Kitab Akidah-nya

Imam Ath-Thahawi (239-321 H) adalah Imam, pakar penghafal hadits dari Mazhab Hanafi. Penulis kitab akidah "Al-Aqidah Ath-Thahawiyah" yang diakui dan digunakan seluruh mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.‎

Nama dan Nasabnya

Dia adalah Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Abdil Malik al-Azdy al-Mishri ath-Thahawi Al-Hanafi. Al-Azdy adalah qabilah terbesar Arab, Dia adalah Al-Qahthani dari sisi bapaknya dan Al-Adnani dari sisi ibunya karena ibunya seorang Muzainah, yakni saudara al-Imam Al-Muzanni sahabat Imam Syafi’i. Dan Ath-Thahawi dinasabkan pada Thaha sebuat desa di Sha’id, Al-Mishr.

Lahir Dan Zamannya

Imam Thahawi lahir tahun 239 H. Imam ath-Thahawi adalah sezaman dengan para imam ahli Huffazh para pengarang/penyusun enam buku induk hadits (Kutubus Sittah), dan bersama-sama dengan mereka dalam riwayat hadits. Umur dia ketika imam Bukhari wafat adalah 17 tahun, ketika imam Muslim wafat ia berumur 22 tahun, ketika imam Abu Dawud wafat ia berumur 36 tahun, ketika imam Tirmidzi wafat berumur 40 tahun dan ketika Nasa’i wafat ia berumur 64 tahun, dan ketika imam Ibnu Majah wafat ia berumur 34 tahun. Imam Ath-Thahawi wafat pada bulan Dzul-Qa'idah tahun 321 H, dalam usia delapan puluh tahun lebih.

Bapaknya, Muhammad bin Salaamah adalah seorang cendekiawan ilmu dan bashar dalam syi’ir dan periwayatannya. Sedangkan ibunya termasuk dalam Ash-haab asy-Syafi’i yang aktif dalam majlisnya. Kemudian pamannya adalah Imam Al-Muzanni, salah seorang yang paling faqih dari Ash-haab asy-Syafi’i yang banyak menyebarkan ilmunya.

Sebagian besar menduga bahwa dasar kecendekiawanannya adalah di rumah, yang kemudian lebih didukung dengan adanya halaqah ilmu yang didirikan di masjid Amr bin al-‘Ash. Menghafal al-Qur’an dari Syeikhnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad bin ‘Amrus, yang diberi predikat: “Tidak ada yang keluar darinya kecuali telah hafal al-Qur’an.” Kemudian bertafaquh (belajar mendalami agama) pada pamannya –al-Muzanni, dan sami’a (mendengar) darinya kitab Mukhtasharnya yang bersandar pada ilmu Syafi’i dan makna-makna perkataannya. Dan dia adalah orang pertama yang belajar tentang itu. Ia juga menukil dari pamannya itu hadits-hadits, dan mendengar darinya periwayatan-periwayatannya dari Syafi’i tahun 252 H. Dia juga mengalami masa kebesaran pamannya, al-Muzanni. Pernah bertamu dengan Yunas bin Abdul A’la (264 H), Bahra bin Nashrin (267 H), Isa bin Matsrud (261 H) dan lain-lainnya. Semuanya adalah shahabat Ibn Uyainah dari kalangan ahlu Thabaqat.

Pindah mazhab dari Syafi’i ke Hanafi

Al-Imam ath-Thahawi belajar pada pamannya sendiri Al-Muzanni dan mendengar periwayatan pamannya dari Al-Imam Asy-Syafi'i. Tatkala dia menginjak usia 20 tahun, dia meninggalkan madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i, dan beralih ke Imam Abu Hanifah, disebabkan beberapa faktor:

Karena dia menyaksikan bahwa pamannya banyak menelaah kitab-kitab Abi Hanifah.

Tulisan-tulisan ilmiah yang ada, yang banyak disimak para tokoh madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi.

Tashnifat (karangan-karangan) yang banyak dikarang oleh kedua madzhab itu yang berisi perdebatan antara kedua madzhab itu dalam beberapa masalah. Seperti karangan al-Muzanni dengan kitabnya al-Mukhtashar yang berisi bantahan-bantahan terhadap Abi Hanifah dalam beberapa masalah.

Banyaknya halaqah ilmu yang ada di masjid Amr bin al-‘Ash tetangganya mengkondisikan dia untuk memanfaatkannya dimana di sana banyak munasyaqah (diskusi) dan adu dalil dan hujjah dari para pesertanya.

Banyak syeikh yang mengambil pendapat dari madzhab Abi Hanifah, baik dari Mesir maupun Syam dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai qadli, seperti al-Qadli Bakar bin Qutaibah dan Ibnu Abi Imran serta Abi Khazim.

Akan tetapi perlu diketahui bahwa perpindahan madzhabnya itu tidaklah bertujuan untuk mengasingkan diri dan mengingkari madzhab yang ia tinggalkan, karena hal ini banyak terjadi di kalangan ahli ilmu ketika itu yang berpindah dari satu madzhab ke madzhab lainnya tanpa meningkari madzhab sebelumnya. Bahkan pengikut Syafi’i yang paling terkenal sebelumnya adalah seorang yang bermadzhab Maliki, dan di antara mereka ada yang menjadi syeikhnya (gurunya) ath-Thahawi. Tidak ada tujuan untuk menyeru pada ‘ashabiyah (fanatisme) atau taklid, tetapi yang dicari adalah dalil, kemantapan, dan hujjah yang lebih mendekati kebenaran.

Di antaraguru-guru dia selain pamannya, Al-Muzanni, juga Al-Qadhi Abu Ja'far Ahmad bin Imran Al-Baghdadi, Al-Qadhi Abu Khazim Abdul Hamid bin Abdul 'Aziz al-Baghdadi, Yunus bin Abdul 'Ala Al-Mishri dan lain-lain.

Di antaramurid-murid dia: Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Manshur, Ahmad bin Al-Qasim bin Abdillah Al-Baghdadi yang dikenal dengan Ibnul Khasysyab Al-Hafizh, Abul Hasan Ali bin Ahmad Ath-Thahawi dan lain-lain.

Al-Imam Ath-Thahawi adalah orang berilmu yang memiliki keutamaan. Dia menguasai sekaligus Ilmu Fikih dan Hadits, serta cabang-cabang keilmuan lainnya. Baliau menjadi wakil dari Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin 'Abdah, seorang qadhi di Mesir.

Ibnu Yunus memberi pernyataan tentang dia: Dia orang yang bagus hafalannya dan terpercaya, alim, jenius dan tak ada yang menggantikan dia. Ibnul Jauzi dalam Al-Muntazham menyatakan: seorang penghafal yang terpercaya, bagus pemahamannya, alim dan jenius. Ibnu Katsir juga menyatakan dalam Al-Bidayah wa Nihayah: Dia adalah seorang penghafal yang terpercaya sekaligus pakar penghafal hadits.

Kitab-Kitab Karyanya

Ath-Thahawi telah menyusun berbagai macam dan jenis kitab, baik dalam bidang aqidah, tafsir, hadits, fiqih, dan tarikh. Sebagian ahli tarikh menyatakan lebih dari tiga puluh kitab. Diantaranya sebagai berikut: 1. Syarh Ma’ani al-Atsar 2. Ikhtilaaf al-Fiqhiyah. 3. Mukhatashar ath-Thahawi. 4. Sunan asy-Syafi’i. 5. Al-Aqidah ath-Thahawiyah, kitabnya yang terbaik.. 6. Naqdlu kitab al-Mudallisin li Faqih Baghdad al-Husain bin Ali bin Yazid al-Karabisi. 7. Taswiyatu baina Hadtsana wa Akhabarana. 8. Asy-Syurut ash-Shaqhir. 9. Asy-Syurut al-Ausath. 10. Asy-Syurut al-Kabir. 11. At-Tarikh al-Kabir. 12. Ahkamul Qur’an 13. Nawadirul Fiqhiyah. 14. An-Nawadir Wal Hikayaat. 15. Juz-un fi hukmi ardli Makkah. 16. Juz-un fi qismi al-fay`i wal Ghanaa-`im 17. Ar-Raddu ‘ala Isa bin Abbaan fi Kitaabihi alladzi sammaahu Khatha’u al-Kutub. 18. Al-Raddu ‘ala Abi Ubaid fiima Akhtha a fiihi fi Kitaabi an-Nasab. 19. Ikhtilaaf ar-Riwayaat ‘ala Madzhab al-Kuufiyiin. 20. Syarh al-Jami’ al-Kabir lil imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani. 21. Kitab al-Mahadlir wa as-Sijillaat. 22. Akhbar Abi Hanifah wa ash-haabuhu. 23. Kitab Aal-Washaya wal Faraidl. 24. Dan lain-lain.

Penjelasan Kitab Aqidah Thohawiyah

Salah satu kitab Imam ath-Tahawi yang terkenal sampai sekarang adalah Aqidah Thahawiyah, sebuah kitab yang berisi aqidah berdasarkan pemahaman Ahlus sunnah wal Jamaah. Kitab aqidah Thahawi ini berisi beberapa poin aqidah. Isi kitab Aqidah Thahawiyah sebenarnya sejalan dengan Aqidah Imam Abu Hanifah bahkan beliau sendiri membangsakan dirinya kepada aqidah Abu Hanifah, sama dengan Aqidah Maturidiyah yang juga merupakan pengembangan dari Aqidah Abu Hanifah.

Di antara yang mensyarah kitab Aqidah Thahawiyah ini adalah :

Akmaluddin al-Babari (w. 786 H)
Muhammad Ali Syaukani (1250 H)
Hibatullah bin Ahmad at-Turkistani (w. 733 H)
Ali bin Muhammad al-‘Izz al-Hanafi (w. 746 H)
Muhammad bin Ahmad alQanuni (w. 771 H)
Umar bin Ishaq al-Marginani al-Hanafi (w. 773 H)
Muhammad bn Abi Bakar al-Ghazi al-Hanafi (w.881 H)
Abi Hafash Umar bin Ishaq al-Ghaznawi
Mahmud bin Muhammad al-Qasthanthini al-Hanafi (w. 916 H)
Syeikh Zadah ar-Rumi (w.944 H)
Abdul Ghani al-Ganimi al-Hanafi (w. 1298 H)
Imam Sayuthi
Dll


‘AQIDAH ATH-THAHAWIYAH: MATAN DAN TERJEMAH

قَالَ الْعَلاَّمَةُ حُجَّةُ الْإِسْلَامِ أَبُو جَعْفَرٍ الْوَرَّاقِ الْطَّحَاوِيّ بِمِصْرَ رَحِمَهُ اللَّهُ:
هَذا ذِكْرُ بَيَانِ عَقِيْدَةِ أَهْلِ الْسُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ عَلَى مَذْهَبِ فُقَهَاءِ المَّلَّةِ: أَبِي حَنِيفَةَ الْنُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ الْكُوفِي، وَأَبِي يُوسُفَ يَعْقُوبَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الأنَّصَارِيّ، وَأَبِي عَبْدِ اللّهِ مُحْمَّدٍ بْنِ الْحَسَنِ الْشَّيبَانِي رِضْوَانُ اللّهِ عَلْيهِمْ أَجْمَعِينَ، وَمَا يَعْتَقِدُونَ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ وَيَدِينُونَ بِهِ رَبَّ الْعَالَمِينَ 

Al-‘Allamah Hujjatul Islam Abu Ja’far al-Warraq ath-Thahawi rahimahullah di Mesir berkata:
Inilah penjelasan tentang aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah menurut madzhab ahli fiqih agama ini, yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, dan Abu‘Abdillah Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani—semoga Allah meridhai mereka semuanya—dan apa yang mereka yakini tentang dasar-dasar agama yang dengannya mereka beragama kepada Rabb Semesta Alam.

نَقُولُ في تَوحِيدِ اللّهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوفِيقِ اللّهِ: إنَّ اللّهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيكَ لَهُ

[1] Kami berkata tentang Tauhidullah dengan taufik dari Allah meyakini bahwa: Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya.

وَلَا شَيءَ مِثْلُهُ

[2] Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ

[3] Tidak ada sesuatu pun yang bisa melemahkan-Nya.

وَلَا إِلَهَ غَيْرُهُ

[4] Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain-Nya.

قَدِيمٌ بِلاَ اِبتِدَاءٍ، دَائٍمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ

[5] Maha Terdahulu tanpa permulan, Maha Abadi tanpa akhir.


لا يَفنَى وَلَا يَبِيْدُ

[6] Dia tidak akan fana dan tidak akan binasa.

وَلاَ يَكُونُ إِلَّا مَا يُرِيدُ

[7] Tidak ada yang terjadi kecuali apa yang Dia kehendaki.

لَا تَبلُغُهُ الْأَوْهَامُ، وَلَا تُدْرِكُهُ الْأَفْهَامُ

[8] Allah tidak bisa dijangkau oleh angan-angan dan tidak bisa dijangkau nalar pikiran.

وَلَا يُشْبِهُ الأنَامُ

[9] Tidak ada makhluk yang serupa dengan-Nya.

حَيٌّ لَا يَمُوتُ، قَيُّومٌ لَا يَنَامُ

[10] Dia Maha Hidup tidak akan mati, Maha Berdiri (mengurus makhluk-Nya terus menerus) tidak pernah tidur.

خَاِلقٌ بِلاَ حَاجَةٍ، رَازِقٌ بِلاَ مُؤْنَةٍ

[11] Dia Maha Pencipta tanpa membutuhkan (ciptaan-Nya), Maha Pemberi rezeki tanpa berkurang (kerajaan-Nya).

مُمِيتٌ بِلَا مَخَافَةٍ، بَاعِثٌ بِلاَ مَشَقَّةٍ

[12] Dia Maha Mematikan tanpa takut, Maha Membangkitkan tanpa rasa berat.

مَا زَالَ بِصِفَاتِهِ قَدِيماً قَبْلَ خَلْقِهِ، لَمْ يَزْدَدْ بِكَوْنِهِم شَيْئاً لَمْ يَكُنْ قَبلَهُم مِنْ صِفَتِهِ، وَكَمَا كاَنَ بِصِفَاتِهِ أَزَلِيًّا، كَذَلِكَ لَا يَزَالُ عَلَيْهَا أَبَدِيًّا

[13] Dia telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum makhluk-Nya. Dengan terciptanya para makhluk, tak bertambah sedikitpun sifat-sifat-Nya. Sebagaimana sifat-sifat-Nya azali (ada sebelum selainnya ada), begitu pula Dia abadi selama-lamanya.

ليسَ مُنْذُ خَلَقَ الخَلْقَ اسْتَفَادَ اسْمَ ”الخَالِقٍ“، وَلاَ بِإِحْدَاثِ البَرِيَّةِ اسْتَفَادَ اسْمَ ”البَارِي“

[14] Bukan semenjak Dia menciptkan para makhluk disandangkan pada-Nya nama al-Khaliq (Pencipta) dan bukan karena baru menciptakan makhluk disandangkan pada-Nya nama al-Bari (Pencipta).

لَهُ مَعْنَى الرُّبُوبِيَّةِ وَلَا مَرْبُوبٍ، وَمَعْنَى الخَالِقٍ وَلَا مَخْلُوقٍ

[15] Dia memiliki sifat Rububiyah (Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemberi rezeki) bukan marbub (Yang dikenai rububiyah), dan juga memiliki sifat al-Khaliq bukan makhluk.

وَكَمَا أَنَّهُ مُحْيِ المَوْتَى بَعْدَما أَحْيَا، اسْتَحَقَّ هَذَا الاسْمَ قَبْلَ إِحْيَائِهم، كَذلِكَ استَحَقَّ اسْمَ الخَالِق قبْلَ إنْشَائِهِمْ

[16] Sebagaimana Dia yang menghidupkan segala yang mati (Al-Muhyi) setelah menghidupkannya, Dia-pun berhak atas sebutan itu sebelum menghidupkan mereka, demikian juga Dia berhak menyandang sebutan Al-Khaliq sebelum menciptakan mereka.

ذَلِكَ بِأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَيهِ فَقِيرٌ، وَكُلُّ أَمْرٍ عَلَيْهِ يَسِيرٌ  لاَ يَحْتَاجُ إِلَى شَيْءٍ، ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ﴾

[17] Hal itu karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, sementara segala sesuatu itu sangat butuh kepada-Nya. Segala urusan bagi-Nya mudah dan Dia tidak membutuhkan sesuatu.“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Asy-Syura [42]: 11)

خَلَقَ الخَلْقَ بعِلْمِهِ

[18] Dia menciptakan semua makhluk dengan ilmu-Nya.

وَقَدَّرَ لَهُمْ أَقْدَارًا

[19] Dan menentukan takdir-takdir mereka.

وَضَرَبَ لَهُمْ آجَالاً

[20] Dan menentukan ajal-ajal mereka.

وَلَمْ يَخْفَ عَلَيهِ شَيْءٌ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَهُم، وَعَلِمَ مَا هُمْ عَامِلُونَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَهُم

[21] Tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, sebelum menciptakan mereka.

وَأَمَرَهُم بِطَاعَتِهِ، ونَهَاهُمْ عَنْ مَعْصِيَتِهِ

[22] Dia memerintahkan mereka melaksanakan ketaatan dan melarang mereka melaksanakan maksiat.

وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بِتقْديرِهِ ومَشيئتِهِ، وَمَشِيئَتُهُ تَنْفُذُ، لاَ مَشِيئَةَ لِلْعِبَادِ إِلَّا مَا شَاءَ لَهُمْ، فَمَا شَاءَ لَهُمْ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ

[23] Dan segala sesuatu berjalan dengan takdir dan kehendak-Nya. Kehendaknya pasti terjadi. Tidak ada kehendak bagi para hamba kecuali apa yang Dia kehendaki bagi mereka. Maka, apa yang Dia kehendaki bagi mereka akan terjadi dan apa yang tidak Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi.

يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ، وَيَعْصِمُ ويُعَافِي فَضْلاً، ويُضِلُّ مَنْ يَشاءُ ويَخْذَلُ وَيَبْتَلِي عَدْلاً

[24] Dia memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, juga melindungi dan menjaganya dengan keutamaan-Nya. Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, menghinakan, dan mengujinya berdasarkan keadilan-Nya.

وَكُلُّهُم يَتَقَلَّبُونَ فِي مَشِيئَتِهِ بَيْنَ فَضْلِهِ وَعَدْلِهِ

[25] Seluruh makhluk berada di bawah kendali kehendak-Nya di antara karunia dan keadilan-Nya.

وَهُوَ مُتَعَالٍ عَنِ الْأَضْدَادِ وَالْأَنْدَادِ

[26] Dia mengungguli musuh-musuh-Nya dantandingan-tandingan-Nya.

لَا رَادَّ لِقَضَائِهِ، وَلَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ، وَلاَ غَالِبَ لِأَمْرِهِ

[27] Tak seorang pun mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, ataumengungguli urusan-Nya.

آمَنَّا بِذَلِكَ كُلِّهِ، وأَيْقَنَّا أنَّ كُلاًّ مِنْ عِنْدِهِ

[28] Kita mengimani semua itu, dan kita pun meyakini bahwa segalanya datang dari-Nya.

وأنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ الْمُصْطَفَى، وَنَبِيُّهُ الْمُجْتَبَى، وَرَسُولُهُ المُرْتَضَى

[29] Sesungguhnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba-Nya yang terpilih, Nabi-Nya yang terpandang, dan Rasul-Nya yang diridhai.

وَأَنَّهُ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِمَامُ الأَتْقِيَاءِ، وَسَيِّدُ الْمُرْسَلِينَ، وَحَبِيبُ رَبِّ الْعَالَمِينَ

[30] Sesungguhnya beliau adalah penutup para Nabi ‘alaihimus sallam, imam orang-orang bertakwa, penghulu para rasul, dan kekasih Rabb semesta alam.

وَكُلُّ دَعْوَى النُّبُوَّةِ بَعْدَهُ فَغَيٌّ وَهَوًى

[31] Segala pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.

وَهُوَ الْمَبْعُوثُ إِلَى عَامَّةِ الجِنِّ وَكَافَّةِ الْوَرَى بِالْحَقِّ وَالْهُدَى، وَبِالنُّورِ وَالضِّيَاءِ

[32] Beliau diutus kepada seluruh jin dan seluruh manusia dengan membawa kebenaran petunjuk,cahaya dan kemilau.

وَأَنَّ الْقُرآنَ كَلاَمُ اللّهِ، منْهُ بَدَأَ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ قَوْلاً، وَأَنْزَلَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَحْياً، وَصَدَّقَهُ الْمُؤمِنُونَ عَلَى ذَلِكَ حَقًّا، وأَيْقَنُوا أَنَّهُ كَلاَمُ اللَّهِ تَعَالَى بِالحَقِيقَةِ، لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ كَكَلاَمِ الْبَرِيَّةِ، فَمَنْ سَمِعَهُ فَزَعَمَ أَنَّهُ كَلاَمُ الْبَشَرِ، فَقَدْ كَفَرَ، وَقَدْ ذَمَّهُ اللّهُ وَعَابَهُ وَأَوْعَدَهُ بِسَقَرٍ، حَيْثُ قَالَ تَعَالَى: ﴿ سَأُصْلِيهِ سَقَرَ﴾، فَلَمَّا أَوْعَدَ اللّهُ بِسَقَرٍ لِمَنْ قَالَ: ﴿إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ﴾، عَلِمْنَا وأَيْقَنَّا أَنَّهُ قَوْلُ خَالِقِ الْبَشرِ، وَلَا يُشْبِهُ قَوْلُ الْبَشَرِ

[33] Dan sesungguhnya al-Qur’an adalah Kalamullah. Dari-Nya ia bermula tanpa mepertanyakan bagaimana hakikatnya. Dan Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu, dan orang-orang Mukmin membenarkannya dengan sebenarnya dan mereka menyakini bahwa itu adalah Kalamullahsecara hakikat, bukan makhluk seperti ucapan makhluk. Barangsiapa yang mendengarnya lalu menyangka bahwa itu adalah ucapan makhluk, maka sungguh dia telah kafir. Sungguh, Allah telah mencela, mengecam, dan mengancam orang tersebut dengan Neraka Saqar, yaitu firman-Nya, “Kelak Aku akan memasukkannya ke Neraka Saqar.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 26)
Ketika Allah  mengancam dengan Neraka Saqar seseorang yang mengatakan, “Al-Qur`an ini tidak lain adalah ucapan manusia.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 25) Maka kami mengetahui dan meyakini bahwa al-Qur`an adalah ucapan Pencipta makhluk dan tidak ada ucapan makhluk yang serupa dengannya.

وَمَنْ وَصَفَ اللّهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي الْبَشَرِ، فَقَدْ كَفَرَ، فَمَنْ أَبْصَرَ هَذَا اعْتَبَرَ، وَعَنْ مِثْلِ قَوْلِ الْكُفَّارِ انْزَجَرَ، وَعَلِمَ أَنَّهُ بِصِفَاتِهِ لَيسَ كَالْبَشَرِ

[34] Dan barangsiapa yang mensifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat makhluk, maka dia telah kafir. Maka, siapa yang memperhatikan ini akan mengerti, dan ia akan menahan diri darimenyerupai ucapan orang kafir. Dan dia mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan makhluk.

والرؤْيةُ حقٌّ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ، بِغَيْرِ إحَاطَةٍ ولَا كَيْفِيَّةٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُ رَبِّنَا: ﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ﴾، وتَفْسِيرُهُ عَلَى مَا أَرَادَهُ اللّهُ تَعَالَى وَعَلِمَهُ، وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ كَمَا قَالَ، وَمَعْنَاهُ عَلَى مَا أَرَادَ، لَا نَدْخُلُ فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا، وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهْوَائِنَا، فَإِنَّهُ مَا سَلِمَ فِي دِيْنِهِ إِلاَّ مَنْ سَلَّمَ لِلّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وردَّ علْمَ ما اشْتَبَهَ عَلَيْهِ إلى عَالِمِهِ

[35] Ar-Ru`yah (melihat Allah di Akhirat) benar adanya bagi penduduk Surga, tanpa meliputi dan membagaimanakan (difahami apa adanya), sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Kitab Rabb kita, “Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabblah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23) Tafsirnya adalah sebagaimana yang Allah kehendaki dan ketahui. Setiap hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang hal itu adalah sebagaimana yang beliau sabdakan dan maknanya sebagaimana yang beliau kehendaki. Kita tidak boleh masuk ke dalam permasalahan itu dengan mentakwilnya menggunakan akal-akal kita dan tidak pula mereka-reka menggunakan hawa nafsu kita. Sebab, sesungguhnya tidak ada yang selamat dalam agamanya kecuali orang yang pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengembalikan ilmu yang belum jelas baginya kepada yang mengetahuinya.

وَلَا تَثْبُتُ قَدَمُ الْإِسْلَامِ إِلَّا عَلَى ظَهْرِ التَّسْلِيمِ وَالِاسْتِسْلَامِ،  فَمَنْ رَامَ عِلْمَ مَا حُظِرَ عَنْهُ عِلْمُهُ، وَلَمْ يَقْنَعْ بِالتَّسْلِيمِ فَهْمُهُ، حَجَبَهُ مَرَامُهُ عَنْ خَالِصِ التَّوْحِيدِ، وَصَافِي الْمَعْرِفَةِ، وَصَحِيحِ الْإِيمَانِ، فَيَتَذَبْذَبُ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالْإِيمَانِ، وَالتَّصْدِيقِ وَالتَّكْذِيبِ، وَالْإِقْرَارِ وَالْإِنْكَارِ، مُوَسْوِسًا تَائِهًا، شَاكًّا، لَا مُؤْمِنًا مُصَدِّقًا، وَلَا جَاحِدًا مُكَذِّبًا

[36] Pijakan Islam seseorang tidak akan kokoh kecuali di atas taslim (pasrah) dan istislam (tunduk). Siapa yang menerka suatu ilmu yang ilmu tersebut tersembunyi baginya dan pemahamannya tidak merasa puas dengantaslim, maka terkaannya itu akan menghalanginya dari kemurnian Tauhid, kejernihan makrifat (mengenal Allah), dan kebenaran iman. Ia akan terkena keraguan antara kafir dan iman, membenarkan dan mendustakan, menetapkan dan mengingkari, selalu was-was, ragu, menyimpang, bukan mukmin yang membenarkan juga bukan penentang yang mendustakan.

وَلَا يَصِحُّ الْإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ لِأَهْلِ دَارِ السَّلَامِ لِمَنِ اعْتَبَرَهَا مِنْهُمْ بِوَهْمٍ، أَوْ تَأَوَّلَهَا بِفَهْمٍ، إِذْ كَانَ تَأْوِيلُ الرُّؤْيَةِ، وَتَأْوِيلُ كُلِّ مَعْنًى يُضَافُ إِلَى الرُّبُوبِيَّةِ بِتَرْكِ التَّأْوِيلِ، وَلُزُومَ التَّسْلِيمِ، وَعَلَيْهِ دِينُ الْمُسْلِمِينَ، وَمَنْ لَمْ يَتَوَقَّ النَّفْيَ وَالتَّشْبِيهَ، زَلَّ وَلَمْ يُصِبِ التَّنْزِيهَ، فَإِنَّ رَبَّنَا جَلَّ وَعَلَا مَوْصُوفٌ بِصِفَاتِ الْوَحْدَانِيَّةِ، مَنْعُوتٌ بِنُعُوتِ الْفَرْدَانِيَّةِ، لَيْسَ فِي مَعْنَاهُ أَحَدٌ مِنَ الْبَرِيَّةِ

[37] Tidak sah keimanan rukyah ‘melihat Allah’ bagi penghuni Darus Salam bagi yang suka membayangkannya dengan keraguan atau mentakwilnya dengan akal. Karena penafsiran ‎rukyah dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb adalah dengan tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah agama kaum Muslimin. Barangsiapa yang tidak menghindari penafian dan tasybih (menyerupakan-Nya dengan makhluk), dia akan tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri. Sebab, Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah (Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.

وَتَعَالَى عَنِ الْحُدُودِ وَالْغَايَاتِ، وَالْأَرْكَانِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْأَدَوَاتِ، لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ

[38] Maha tinggi diri-Nya dari batas-batas, arah-arah, anggota tubuh, anggota badan, dan perangkat-perangkat. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya.

[Ucapan “Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya” maksudnya adalah Allah tidak sebagaimana makhluk-Nya yang membutuhkan arah. Ini benar dan Imam ath-Thahawi beraqidah Ahlus Sunnah yang lurus dan berusaha dengan ungkapannya ini membantah kaum Musyabbihat (kaum yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Akan tetapi ungkapan ini tidak dikenal di kalangan Ahlus Sunnah dan ayat “Tidak ada yang serupa dengan-Nya” sudah mencukupi untuk membantah kaum Musyabbihat.]

وَالْمِعْرَاجُ حَقٌّ، وَقَدْ أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعُرِجَ بِشَخْصِهِ فِي الْيَقَظَةِ، إِلَى السَّمَاءِ. ثُمَّ إِلَى حَيْثُ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الْعُلَا وَأَكْرَمَهُ اللَّهُ بِمَا شَاءَ، وَأَوْحَى إِلَيْهِ مَا أَوْحَى، مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. فَصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ وَالْأُولَى

[39] Mi’raj (naiknya Nabi ke  Sidratul Muntaha—tempat tertinggi di langit, pent) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh jasmani dalam keadaan sadar, dan juga ke tempat-tempat yang dikehendaki Allah di atas ketinggian. Allah memuliakan beliau sesuai kehendak-Nya dan mewahyukan kepadanya apa yang hendak Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di akhirat.

وَالْحَوْضُ الَّذِي أَكْرَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ غِيَاثًا لِأُمَّتِهِ حَقٌّ

[40] Haudh (telaga) yang dijadikan Allah kemuliaan baginya sebagai  pertolongan bagiumatnya benar adanya.

وَالشَّفَاعَةُ الَّتِي ادَّخَرَهَا لَهُمْ حَقٌّ، كَمَا رُوِيَ فِي الْأَخْبَارِ

[41] Syafa’at yang disimpan beliau untuk mereka adalah benar adanya sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.

وَالْمِيثَاقُ الَّذِي أَخَذَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ آدَمَ وَذُرِّيَّتِهِ حَقٌّ

[42] Perjanjian yang diambil Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka dilahirkan)benar adanya.

وَقَدْ عَلِمَ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا لَمْ يَزَلْ عَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، وَعَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ النَّارَ، جُمْلَةً وَاحِدَةً، فَلَا يُزَادُ فِي ذَلِكَ الْعَدَدِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ.

[43] Semenjak zaman azali, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan masuk Surga dan jumlah yang akan masuk Neraka secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan ditambah dan dikurangi.

وَكَذَلِكَ أَفْعَالُهُمْ فِيمَا عَلِمَ مِنْهُمْ أَنْ يَفْعَلُوهُ، وَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، وَالْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ، وَالسَّعِيدُ مَنْ سَعِدَ بِقَضَاءِ اللَّهِ، والشَّقِيُّ مَنْ شَقِيَ بِقَضَاءِ اللَّهِ

[44] Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah Allah ketahui apa yang akan mereka perbuat itu (juga tak akan berubah). Setiap pribadi akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi takdirnya, sedangkan amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang yang bahagia adalah orang yang bahagia karena ketetapan Allah dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara karena ketetapan Allah.

وَأَصْلُ الْقَدَرِ سِرُّ اللَّهِ تَعَالَى فِي خَلْقِهِ، لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى ذَلِكَ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ، وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ، وَالتَّعَمُّقُ وَالنَّظَرُ فِي ذَلِكَ ذَرِيعَةُ الْخِذْلَانِ، وسُلم الْحِرْمَانِ، وَدَرَجَةُ الطُّغْيَانِ، فَالْحَذَرَ كُلَّ الْحَذَرِ مِنْ ذَلِكَ نَظَرًا وَفِكْرًا وَوَسْوَسَةً، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى طَوَى عِلْمَ الْقَدَرِ عَنْ أَنَامِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَرَامِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ: ﴿لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ﴾ فَمَنْ سَأَلَ: لِمَ فَعَلَ؟ فَقَدْ رَدَّ حُكْمَ الْكِتَابِ، وَمَنْ رَدَّ حُكْمَ الْكِتَابِ، كَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

[45] Asal dari takdir adalah rahasia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tak dapat diselidiki baik oleh malaikat yang dekat  dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya. Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga keharaman, dan mempercepat penyelewengan. Waspadai dengan kesungguhan dari seluruh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikan-bisikan tentang takdir tersebut karena Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya: “Allah tidak ditanya mengenai perbuatan-Nya tetapi manusialah yang akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya).” (QS. Al-Anbiya [21]: 23) Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Allah berbuat demikan?”, berarti ia menolak hukum al-Qur`an. Barangsiapa menolak hukum al-Qur`an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.

فَهَذَا جُمْلَةُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مَنْ هُوَ مُنَوَّرٌ قَلْبُهُ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهِيَ دَرَجَةُ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ؛ لِأَنَّ الْعِلْمَ عِلْمَانِ: عِلْمٌ فِي الْخَلْقِ مَوْجُودٌ، وَعِلْمٌ فِي الْخَلْقِ مَفْقُودٌ، فَإِنْكَارُ الْعِلْمِ الْمَوْجُودِ كُفْرٌ، وَادِّعَاءُ الْعِلْمِ الْمَفْقُودِ كُفْرٌ، وَلَا يَثْبُتُ الْإِيمَانُ إِلَّا بِقَبُولِ الْعِلْمِ الْمَوْجُودِ، وَتَرْكِ طَلَبِ الْعِلْمِ الْمَفْقُودِ

[46] Inilah sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang terang hatinya dari kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam ilmunya. Sebab, ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu maujud/agama) dan ilmu yang tersembunyi baginya (ilmu mafqud/ghaib). Mengingkari ilmu yang pertama adalah kekufuran. Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan tidak akan sempurna kecuali dengan menerima ilmu yang harus digapai manusia, dan menghindarkan diri dari mencari ilmu yang tersembunyi.

وَنُؤْمِنُ بِاللَّوْحِ وَالْقَلَمِ، وَبِجَمِيعِ مَا فِيهِ قَدْ رُقِمَ،  فَلَوِ اجْتَمَعَ الْخَلْقُ كُلُّهُمْ عَلَى شَيْءٍ كَتَبَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ كَائِنٌ، لِيَجْعَلُوهُ غَيْرَ كَائِنٍ - لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. وَلَوِ اجْتَمَعُوا كُلُّهُمْ عَلَى شَيْءٍ لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ، لِيَجْعَلُوهُ كَائِنًا - لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. جَفَّ الْقَلَمُ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَا أَخْطَأَ الْعَبْدَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ، وَمَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ

[47] Kita juga mengimani adanya  al-Lauh al-Mahfudz, al-Qalam (pena), dan segala yang tercatat di dalamnya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan akan terjadi untuk dibatalkannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan tidak akan terjadi untuk direalisasikannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Pena untuk mencatat apa yang akan terjadi hingga hari Kiamat telah kering. Apa yang tidak menjadi takdir seorang hamba, tidak akan menimpanya dan apa yang menjadi takdirnya, tidak akan meleset.

وَعَلَى الْعَبْدِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللَّهَ قَدْ سَبَقَ عِلْمُهُ فِي كُلِّ كَائِنٍ مِنْ خَلْقِهِ، فَقَدَّرَ ذَلِكَ تَقْدِيرًا مُحْكَمًا مُبْرَمًا، لَيْسَ فِيهِ نَاقِضٌ، وَلَا مُعَقِّبٌ وَلَا مُزِيلٌ وَلَا مُغَيِّرٌ، وَلَا نَاقِصٌ وَلَا زَائِدٌ مِنْ خَلْقِهِ فِي سَمَاوَاتِهِ وَأَرْضِهِ
وَذَلِكَ مِنْ عَقْدِ الْإِيمَانِ وَأُصُولِ الْمَعْرِفَةِ وَالِاعْتِرَافِ بِتَوْحِيدِ اللَّهِ تَعَالَى وَرُبُوبِيَّتِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ: ﴿وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا﴾ وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا﴾، فَوَيْلٌ لِمَنْ صَارَ قَلْبُهُ فِي الْقَدَرِ قَلْبًا سَقِيمًا، لَقَدِ الْتَمَسَ بِوَهْمِهِ فِي فَحْصِ الْغَيْبِ سِرًّا كَتِيمًا، وَعَادَ بِمَا قَالَ فِيهِ أَفَّاكًا أَثِيْمًا

[48] Wajib bagi setiap hamba mengetahui bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik di langit maupun di bumi yang dapat membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, mengubahnya, mengurangi, ataupun menambahnya.
Itulah ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah dan rububiyyah-Nya, sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur`an:  “ Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2)Dan firman-Nya: “Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab [33]: 38) Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya. Dan mengikutsertakan hatinya yang sakit untuk membahasnya. Karena lewat praduganya ia telah mencari-cari dan menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi. Akhirnya, karena perkataannya tentang takdir itu, ia kembali dengan membawa kedustaan dan dosa.

وَالْعَرْشُ وَالْكُرْسِيُّ حَقٌّ

[49] ‘Arsy dan Kursi-Nya adalah benar adanya.

وهُوَ مُسْتَغْنٍ عَنِ العَرْشِ وَمَا دُوْنَهُ

[50] Dia tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya dan apa yang ada di bawahnya.

مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وفَوْقَهُ، وقَدْ أعْجَزَ عَنِ الإحَاطَةِ خَلْقَهُ

[51] Dia menguasai segala sesuatu dan apa-apa yang ada di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menguasai segala sesuatu.

وَنَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا، إِيمَانًا وَتَصْدِيقًا وَتَسْلِيمًا

[52] Kita juga menyatakan dengan sepenuh iman, membenarkan, dan pasrah bahwa sesungguhnya Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai kekasih-Nya, dan mengajak Nabi Musa  ‘alaihis salam untuk berbicara dengan sebenar-benarnya.

وَنُؤْمِنُ بِالْمَلَائِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ، وَالْكُتُبِ الْمُنَزَّلَةِ عَلَى الْمُرْسَلِينَ، وَنَشْهَدُ أَنَّهُمْ كَانُوا عَلَى الْحَقِّ الْمُبِينِ

[53] Kita mengimani para Malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.

وَنُسَمِّي أَهْلَ قِبْلَتِنَا مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ، مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَرِفِينَ، وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ

[54] Kita menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum Muslimin dan kaum Mukminin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.

وَلَا نَخُوضُ فِي اللَّهِ، وَلَا نُمَارِي فِي دِينِ اللَّهِ

[55] Kita tidak mengolok Allah dan tidak membantah (debat kusir) dalam masalah agama Allah.

وَلَا نُجَادِلُ فِي الْقُرْآنِ، وَنَشْهَدُ أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّ الْعَالَمِينَ، نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ، فَعَلَّمَهُ سَيِّدَ الْمُرْسَلِينَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَهُوَ كَلَامُ اللَّهِ تَعَالَى، لَا يُسَاوِيهِ شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ الْمَخْلُوقِينَ، وَلَا نَقُولُ بِخَلْقِهِ، وَلَا نُخَالِفُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ

[56] Kita tidak menyanggah Al-Qur’an, dan kitabersaksi bahwa ia adalah Kalam Rabbul ‘Alamin, diturunkan dengan perantaraan Ruhul Amin (Malaikat Jibril), lalu diajarkan kepada Penghulu para Nabi yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa ‘ala alaihi ajma’in. Ia adalah Kalamullah yang tak akan dapat disamakan dengan ucapan makhluk-makhluk-Nya. Kita pun tidak mengatakannya sebagai makhluk dan (dengan itu) kita tidak akan menyelisihi Jama’ah kaum Muslimin.

وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ، مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ

[57] Kita tidak mengafirkan Ahli Kiblat (kaum Muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang dihalalkan.

وَلَا نَقُولُ لَا يَضُرُّ مَعَ الْإِيمَانِ ذَنْبٌ لِمَنْ عَمِلَهُ

[58] Namun kita juga tidak mengatakan bahwa dosa itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang melakukannya selama ia masih beriman.

وَنَرْجُو لِلْمُحْسِنِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَيُدْخِلَهُمُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ، وَلَا نَأْمَنُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نَشْهَدُ لهم بالجنة، ونستغفر لمسيئهم، وَنَخَافُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نُقَنِّطُهُمْ

[59] Kita berharap orang-orang baik dari kaum Mukminin diampuni dan dimasukkan Surga dengan rahmat-Nya, tidak menganggap mereka aman dan memvonis mereka dengan Surga. Kita juga berharap orang-orang yang berbuat fajir (kemaksiatan) dari kalangan Mukminin diampuni dosa-dosa mereka, mengkhawatirkan mereka dan tidak menjadikan mereka berputus asa (dari rahmat Allah).

وَالْأَمْنُ وَالْإِيَاسُ يَنْقُلَانِ عَنْ مِلَّةِ الْإِسْلَامِ، وَسَبِيلُ الْحَقِّ بَيْنَهُمَا لِأَهْلِ الْقِبْلَةِ

[60] Merasa aman (dari siksa) dan putus asa (dari ampunan Allah), keduanya dapat mengeluarkan dari Islam. Jalan yang benar bagi orang Islam adalah antara keduanya.

وَلَا يَخْرُجُ الْعَبْدُ مِنَ الْإِيمَانِ إِلَّا بِجُحُودِ مَا أَدْخَلَهُ فِيهِ

[61] Seorang hamba hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia imani.

وَالْإِيمَانُ: هُوَ الْإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالْجَنَانِ

[62] Iman adalah [pembenaran dalam hati], pengakuan dengan lidah, dan pembuktian dengan anggota badan.

وَجَمِيعُ مَا صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الشَّرْعِ وَالْبَيَانِ كُلُّهُ حَقٌّ

[63] Seluruh yang diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa syari’at dan bayan (ilmu) adalah benar adanya.

وَالْإِيمَانُ وَاحِدٌ، وَأَهْلُهُ فِي أَصْلِهِ سَوَاءٌ، وَالتَّفَاضُلُ بَيْنَهُمْ بِالْخَشْيَةِ وَالتُّقَى، وَمُخَالِفَةِ الْهَوَى، وَمُلَازِمَةِ الْأَوْلَى

[64] Iman itu satu bentuk. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya adalah sama.Keutamaan di antara mereka diukur dengan ketakwaan, rasa takut kepada Allah, menghindari hawa nafsu, dan melakukan sesuatu yang lebih utama.

وَالْمُؤْمِنُونَ كُلُّهُمْ أَوْلِيَاءُ الرَّحْمَنِ، وَأَكْرَمُهُمْ عِنْدَ الله أَطْوَعُهُمْ وَأَتْبَعُهُمْ لِلْقُرْآنِ

[65] Kaum Mukminin seluruhnya adalah wali-wali Ar-Rahman. Yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling taat dan paling ittiba’ dengan ajaran Al-Qur’an.

وَالْإِيمَانُ: هُوَ الْإِيمَانُ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِه، وَكُتُبِه، وَرُسُلِه، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَالْقَدَرِ، خَيْرِه وَشَرِّه، وَحُلْوِه وَمُرِّه، مِنَ اللَّهِ تَعَالَى

[66] Pengertian Iman adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir: baik maupun buruk, manis maupun pahit, semuanya berasal dari Allah.

وَنَحْنُ مُؤْمِنُونَ بِذَلِكَ كُلِّهِ، لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِه، وَنُصَدِّقُهُمْ كُلَّهُمْ عَلَى مَا جَاءُوا بِهِ

[67] Kita mengimani semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para Rasul. Kita membenarkan mereka semua beserta apa yang mereka bawa.

وَأَهْلُ الْكَبَائِرِ [مِنْ أُمَّة مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] فِي النَّارِ لَا يُخَلَّدُونَ، إِذَا مَاتُوا وَهُمْ مُوَحِّدُونَ وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا تَائِبِينَ بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللَّهَ عَارِفِينَ. وَهُمْ فِي مَشِيئَتِه وَحُكْمِه، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ وَعَفَا عَنْهُمْ بِفَضْلِه، كَمَا ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِه: ﴿وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ﴾، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ فِي النَّارِ بِعَدْلِه، ثُمَّ يُخْرِجُهُمْ مِنْهَا بِرَحْمَتِه وَشَفَاعَة الشَّافِعِينَ مِنْ أَهْلِ طَاعَتِه، ثُمَّ يَبْعَثُهُمْ إِلَى جَنَّتِه. وَذَلِكَ بِأَنَّ الله تعالى مَوَلَّى أَهْلَ مَعْرِفَتِه، وَلَمْ يَجْعَلْهُمْ فِي الدَّارَيْنِ كَأَهْلِ نَكَرَتِه، الَّذِينَ خَابُوا مِنْ هِدَايَتِه، وَلَمْ يَنَالُوا مِنْ وِلَايَتِه. اللَّهُمَّ يَا وَلِي الْإِسْلَامِ وَأَهْلِه، ثَبِّتْنَا عَلَى الْإِسْلَامِ حَتَّى نَلْقَاكَ بِهِ

[68] Para pelaku dosa besar [di kalangan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam] (bisa) masuk Neraka, namun mereka tak akan kekal di dalamnya asal mereka mati dalam keadaan bertauhid. Meskipun mereka belum bertaubat namun mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla: “Dan Dia mengampuni dosa(yang tingkatannya) di bawah (dosa) syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48 &116). Dan jika Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di Neraka dengan keadilan-Nya, lalu Allah akan mengeluarkan mereka dari dalamnya dengan rahmat-Nya dan syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka pun diangkat ke Surga-Nya. Hal itu karena Allah adalah Wali bagi siapa yang berma’rifah kepada-Nya, maka Dia pun tidak menjadikan keadaan mereka di dunia dan di akhirat sama seperti mereka yang tidak berma’rifah kepada-Nya. Yaitu mereka yang luput, tak mendapatkan petunjuk-Nya, dan tidak dapat memperoleh hak kewalian-Nya. Wahai Dzat yang menjadi Wali bagi Islam dan pemeluknya, teguhkanlah kami di atas Islam sampai bertemu dengan-Mu.

[Dalam tanda kurung-tutup tidak terdapat dalam sebagian cetakan lainnya dan ini yang benar karena dalil yang ada tidak mengkhususkan hanya umat Nabi Muhammad saja. Umat manapun yang bertauhid tidak akan kekal di Neraka.]

وَنَرَى الصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَة، وَعَلَى مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ

[69] Kami menganggap sah shalat (jama’ah) di belakang Imam, baik yang shalih maupun yang fasik dari kalangan Ahli Kiblat dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka.

وَلَا نُنْزِلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّة وَلَا نَارًا، وَلَا نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلَا بِشِرْكٍ وَلَا بِنِفَاقٍ، مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى

[70] Kita tak boleh memastikan mereka masuk Surga atau Neraka. Kita juga tidak boleh bersaksi bahwa mereka itu kafir, musyrik, atau munafik, selama semua itu tidak tampak nyata dari diri mereka. Kita menyerahkan rahasia hati mereka kepada Allah Ta’ala.

وَلَا نَرَى السَّيْفَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أُمَّة مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ السَّيْفُ

[71] Kita tidak boleh memerangi seorang pun dari ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali terhadap mereka yang wajib diperangi.

وَلَا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَوُلَاة أُمُورِنَا، وَإِنْ جَارُوا، وَلَا نَدْعُو عَلَيْهِمْ، وَلَا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ، وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَة اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرِيضَة، مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَة، وَنَدْعُوا لَهُمْ بِالصَّلَاحِ وَالْمُعَافَاة

[72] Kita tidak boleh memberontak pemimpin-pemimpin kita dan Ulul ‘Amri kita, meskipun mereka berbuat zhalim. Kita tidak mendoakan keburukan bagi mereka dan tidak berlepas diridengan tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kita tetap mendoakan kebaikan untuk merekaberupa kebaikan jiwa dan kesehatan.

وَنَتَّبِعُ السنة وَالْجَمَاعَة، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالْخِلَافَ وَالْفُرْقَة

[73] Kita tetap mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah, menghindari sesuatu yang aneh, perselisihan, dan perpecahan.

وَنُحِبُّ أَهْلَ العَدْلِ والأمَانَةِ، ونَبْغَضُ أَهْلَ الجَوْرِ والخِيَانَةِ

[74] Kita mencintai orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim dan khianat.

وَنَقُولُ: اللَّهُ أَعْلَمُ، فِيمَا اشْتَبَه عَلَيْنَا عِلْمُه

[75] Kita mengucapkan Allahu A’lam terhadap sesuatu yang masih samar ilmunya bagi kita.

وَنَرَى المَسْحَ عَلى الخُفَّيْنِ، في السَّفَرِ والحَضَرِ، كَما جَاءَ في الأَثَرِ

[76] Kita berpendapat disyari’atkannya mengusap khuff (sepatu) baik di waktu mukim maupun safar (bepergian), sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.

وَالْحَجُّ وَالْجِهَادُ مَاضِيَانِ مَعَ أُولِي الْأَمْرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ، إِلَى قِيَامِ السَّاعَة، لَا يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلَا يَنْقُضُهُمَا

[77] Jihad dan ibadah haji dilakukan bersama Ulul ‘Amri dari kaum Muslimin, baik yang shalih maupun yang fasik, hingga hari kiamat. Keduanya tak dapat dibatalkan dan dirusak oleh segala sesuatu.

وَنُؤْمِنُ بِالْكِرَامِ الْكَاتِبِينَ، فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ جَعَلَهُمْ عَلَيْنَا حَافِظِينَ

[78] Kita mengimani para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah telah menjadikan mereka sebagai pengawas bagi kita.

وَنُؤْمِنُ بِمَلَكِ الْمَوْتِ، الْمُوَكَّلِ بِقَبْضِ أَرْوَاحِ الْعَالَمِينَ

[79] Kita juga mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk hidup.

وَبِعَذَابِ الْقَبْرِ لِمَنْ كَانَ لَهُ أَهْلًا، وَسُؤَالِ مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ فِي قَبْرِه عَنْ رَبِّه وَدِينِه وَنَبِيِّه، عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الْأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَنِ الصَّحَابَة رِضْوَانُ الله عَلَيْهِمْ

[80] Kita pun mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan juga pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di dalam kuburnya tentang Rabb-nya, agamanya, dan Rasul-Nya berdasarkan riwayat-riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat  ridwanullahu ‘alaihim ajma’in.

وَالقَبْرُ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجنَّةِ، أَوْ حُفْرَةٌ مِنْ حُفَرِ النِّيرَانِ

[81] Alam kubur adalah taman-taman Surga atau kubangan-kubangan Neraka.

وَنُؤْمِنُ بِالبَعْثِ وَجَزَاءِ الأعْمَالِ يَوْمَ القِيَامَةِ، والعَرْضِ والحِسَابِ، وقِرَاءَةِ الكِتَابِ، والثَّوابِ والعِقَابِ، والصِّرَاطِ والميزَانِ

[82] Kita juga mengimani Hari Ba’ats(kebangkitan) dan balasan amal perbuatan pada hari Kiamat, kita juga mengimani ‘ard (ditampakkannya amal perbuatan) dan hisab, pembacaan catatan amal, pahala dan siksa, shirat (jembatan yang membentang di punggung Neraka menuju Surga), dan al-mizan (timbangan).

وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ مَخْلُوقَتَانِ، لَا تَفْنَيَانِ أَبَدًا وَلَا تَبِيدَانِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَلَقَ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ قَبْلَ الْخَلْقِ، وَخَلَقَ لَهُمَا أَهْلًا، فَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ فَضْلًا مِنْهُ، وَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى النَّارِ عَدْلًا مِنْهُ، وَكُلٌّ يَعْمَلُ لِمَا قَدْ فُرِغَ لَهُ، وَصَائِرٌ إِلَى مَا خُلِقَ لَهُ

[83] Surga dan Neraka adalah dua makhluk yangtidak akan lenyap selamanya dan tidak akanbinasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Surga dan Neraka sebelum penciptaan makhluk lain dan Allah-pun menciptakan penghuni bagi keduanya. Siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Surga maka itu karunia dari-Nya dan siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Neraka maka itu keadilan dari-Nya. Masing-masing manusia beramal sesuai takdirnya dan menjadi sesuai untuk apa penciptaannya.

وَالْخَيْرُ وَالشَّرُّ مُقَدَّرَانِ عَلَى الْعِبَادِ

[84] Kebaikan dan keburukan seluruhnya telah ditakdirkan atas para hamba.

وَالِاسْتِطَاعَةُ الَّتِي يَجِبُ بِهَا الْفِعْلُ، مِنْ نَحْوِ التَّوْفِيقِ الَّذِي لا يجوز أن يُوصَفُ الْمَخْلُوقُ بِهِ - تَكُونُ مَعَ الْفِعْلِ. وَأَمَّا الِاسْتِطَاعَةُ مِنْ جِهَةِ الصِّحَّةِ وَالْوُسْعِ، وَالتَّمْكِينِ وَسَلَامَةِ الْآلَاتِ - فَهِيَ قَبْلَ الْفِعْلِ، وَبِهَا يَتَعَلَّقُ الْخِطَابُ، وَهُوَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾

[85] Kemampuan, yang dengan wujudnya datang kewajiban amal adalah semacam taufik yang bukan merupakan kriteria mahkluk. Adapun kemampuan dalam arti kesehatan tubuh, potensi, kekuatan, dan selamatnya diri dari bermacam musibah, adalah persiapan sebelum melakukan amalan. Dengan itulah hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang difirmankan Allah: “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sebatas kesanggupannya.”(QS. Al-Baqarah: 286)

وَأَفْعَالُ الْعِبَادِ خَلْقُ اللَّهِ وَكَسْبٌ مِنَ الْعِبَادِ

[86] Perbuatan-perbuatan para hamba adalah makhluk Allah dan usaha dari para hamba.

وَلَمْ يُكَلِّفْهُمُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَّا مَا يُطِيقُونَ، وَلَا يُطِيقُونَ إِلَّا مَا كَلَّفَهُمْ. وَهُوَ تَفْسِيرُ"لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ"، نَقُولُ: لَا حِيلَةَ لِأَحَدٍ، وَلَا تَحَوُّلَ لِأَحَدٍ، وَلَا حَرَكَةَ لِأَحَدٍ عَنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، إِلَّا بِمَعُونَةِ اللَّهِ، وَلَا قُوَّةَ لِأَحَدٍ عَلَى إِقَامَةِ طَاعَةِ اللَّهِ وَالثَّبَاتِ عَلَيْهَا إِلَّا بِتَوْفِيقِ اللَّهِ

[87] Allah hanya membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Dan mereka pun memang tidak akan mampu melainkan sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka. Itulah pengertian kalimat Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kita mengatakan: tidak ada upaya bagi seorang pun,dan tidak ada gerakan bagi seorang pun, juga tidak ada daya bagi seorang pun dari (menjauhi) maksiat melainkan dengan pertolongan Allah. Dan tidak ada kekuatan bagi seorang pun untuk melaksanakan dan bertahan dalam ketaatan kepada Allah melainkan dengan taufik Allah.

وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بمَشِيئَةِ الله تعالَى وَعِلْمِهِ وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ  غَلَبَتْ مَشيئتُهُ المَشِيئَاتِ كُلَّهَا، وَغَلَبَ قَضَاؤُهُ الْحِيَلَ كُلَّهَا. يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ، وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ أَبَدًا، تَقَدَّسَ عَنْ كُلِّ سُوْءٍ وَحِينٍ، وتَنَـزَّهَ عَن كلِّ عَيْبٍ وَشَيْنٍ: ﴿لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ﴾

[88] Segala sesuatu berlaku menurut kehendakAllah, ilmu-Nya, keputusan-Nya, dan takdir-Nya.Kehendak-Nya mengalahkan seluruh kehendak. Takdirnya mengalahkan seluruh upaya. Dia berbuat sekehendak-Nya tanpa zhalim selama-lamanya. Dia tersucikan dari semua keburukan dan kejatahan, dan tersucikan dari segala aib dan kekurangan. “Tidaklah Dia ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang apa yang mereka perbuat).” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 23)

وفي دُعَاءِ الأَحْياءِ وَصَدَقَاتِهم مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَات

[89] Do’a dan sedekah orang yang hidup dapat bermanfaat bagi mereka yang sudah mati.

وَاللَّهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ الدَّعَوَاتِ، وَيَقْضِي الْحَاجَاتِ

[90] Allah Ta’ala mengabulkan segala do’a dan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya.

وَيَمْلِكُ كُلَّ شَيْءٍ، وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ. وَلَا غِنَى عَنِ اللَّهِ تَعَالَى طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَمَنِ اسْتَغْنَى عَنِ اللَّهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ، فَقَدْ كَفَرَ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الْحَيْنِ

‎[91] Dia memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejap pun (hamba-hamba-Nya) lepas dari rasa butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh kepada Allah sekejap pun, dia telah kafir dan termasuk orang yang binasa.

واللَّهُ يَغْضَبُ وَيَرْضَى، لاَ كَأَحَدٍ مِنَ الوَرَى

[92] Allah (bisa) benci dan ridha tetapi tidak seperti satu pun dari makhluk.

وَنُحِبُّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا نُفَرِّطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَلَا نَتَبَرَّأُ مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ. وَنُبْغِضُ مَنْ يُبْغِضُهُمْ، وَبِغَيْرِ الْخَيْرِ يَذْكُرُهُمْ. وَلَا نَذْكُرُهُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ. وَحُبُّهُمْ دِينٌ وَإِيمَانٌ وَإِحْسَانٌ، وَبُغْضُهُمْ كُفْرٌ وَنِفَاقٌ وَطُغْيَانٌ

[93] Kita mencintai para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antaranya. Tidak juga kita bersikap meremehkan terhadap seorang pun dari mereka. Kita membenci siapa-siapa yang membenci mereka dan siapa-siapa yang menyebutkan mereka dengan kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, keimanan, dan ihsan, sementara membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.

وَنُثْبِتُ الْخِلَافَةَ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلًا لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، تَفْضِيلًا لَهُ وَتَقْدِيمًا عَلَى جَمِيعِ الْأُمَّةِ، ثُمَّ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، ثُم لِعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، ثُمَّ لِعَلِيٍّ بن أبي طَالبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَهُمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشدُونَ والأئِمَّةُ المُهْتَدُون

[94] Kita mengakui kekhalifahan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang pertama adalah Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu karena keutamannya dan keterdahuluannya atas semua umat Islam. Kemudian ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Merekalah yang disebut dengan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para imam yang mendapat petunjuk.

وَأَنَّ الْعَشَرَةَ الَّذِينَ سَمَّاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَشَّرَهُمْ بِالْجَنَّةِ، نَشْهَدُ لَهُمْ بِالْجَنَّةِ، عَلَى مَا شَهِدَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَوْلُهُ الْحَقُّ، وَهُمْ. أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَطَلْحَةُ، وَالزُّبَيْرُ، وَسَعْدٌ، وَسَعِيدٌ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، وَهُوَ أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ

[95] Sepuluh orang sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni Surga, kita akui sebagai penghuni Surga berdasarkan persaksian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan beliau adalah benar. Mereka adalah: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah [bin ‘Ubaidillah], Az-Zubeir [bin Al-Awwam], Sa’ad [bin Abi Waqqas], Sa’id [bin Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah Al-Jarrah sebagai orang terpercaya umat ini radhiyallahu ‘anhum.

وَمَنْ أَحْسَنَ الْقَوْلَ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَزْوَاجِهِ الطَّاهِرَاتِ مِنْ كُلِّ دَنَسٍ، وَذُرِّيَّاتِهِ الْمُقَدَّسِينَ مِنْ كُلِّ رِجْسٍ، فَقَدَ بَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ

[96] Barangsiapa yang membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau yang bersih dari segala noda serta anak cucu beliau yang suci dari segala najis, maka orang itu telah selamat dari kemunafikan.

وَعُلَمَاءُ السَّلَفِ مِنَ السَّابِقِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ - أَهْلِ الْخَيْرِ وَالْأَثَرِ، وَأَهْلِ الْفِقْهِ وَالنَّظَرِ - لَا يُذْكَرُونَ إِلَّا بِالْجَمِيلِ، وَمَنْ ذَكَرَهُمْ بِسُوءٍ فَهُوَ عَلَى غَيْرِ السَّبِيلِ

[97] Para ‘ulama As-Salaf terdahulu [para sahabat] dan yang sesudah mereka dari kalangan Tabi’in adalah pelaku kebaikan dan ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul. Mereka semuanya harus disebutkan kebaikannya. Barangsiapa yang menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak berada di atas jalan mereka (para sahabat).

وَلَا نُفَضِّلُ أَحَدًا مِنَ الْأَوْلِيَاءِ عَلَى أَحَدٍ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ، وَنَقُولُ: نَبِيٌّ وَاحِدٌ أَفْضَلُ مِنْ جَمِيعِ الْأَوْلِيَاءِ

[98] Kita tidak mengutamakan salah seorang pun di antara para wali Allah di atas seorang dari para Nabi ‘Alaihimus Sallam. Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja dari para Nabi itu lebih utama dibanding seluruh para wali.

وَنُؤْمِنُ بِمَا جَاءَ مِنْ كَرَامَاتِهِم، وَصَحَّ عَنِ الثِّقَاتِ مِنْ رِوَايَاتِهِم

[99] Kita mengimani adanya karomah-karomahmereka dan segala riwayat tentang mereka yang dinukil dari para perawi yang tepercaya.

 وَنُؤْمِنُ بِأَشْرَاطِ السَّاعَةِ: مِنْ خُرُوجِ الدَّجَّال، ونُزُولِ عِيسَى بنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلامُ مِنَ السَّماءِ، وَنُؤْمِنُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَخُرُوجِ دَابَّةِ الأرْضِ مِنْ مَوْضِعِهَا

[100] Kita juga mengimani adanya tanda-tanda hari kiamat berupa keluarnya Ad-Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa ‘Alaihis Sallam dari langit. Kita juga mengimani terbitnya matahari dari barat dan keluarnya Ad-Dabbah [binatang yang dapat berbicara seperti manusia] dari kediamannya.

 وَلاَ نُصَدِّقُ كَاهِناً وَلاَ عَرَّافاً، وَلاَ مَنْ يَدَّعِي شَيْئاً يُخَالِفُ الكِتَابَ والسُّنَّةَ وإجْمَاعَ الأُمَّةِ

[101] Kita tidak mempercayai (ucapan) dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta Ijma’ kaum Muslimin.

 وَنَرَى الجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَاباً، والفُرْقَةَ زَيْغاً وَعَذَاباً

[102] Kita meyakini bahwa Al-Jama’ah adalah haq dan kebenaran, sementara pepecahan adalah penyimpangan dan siksaan.

 وَدِينُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ وَاحِدٌ، وَهُوَ دِينُ الْإِسْلَامِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ﴾، وقال تعالى ﴿وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ دِينًا﴾

[103] Agama Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu agama Islam, Allah berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 19) Dia juga berfirman: “Dan telah Aku ridlai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3).

 وَهُو بَيْنَ الغُلُوِّ والتَّقْصِيرِ، وَبَيْنَ التَّشْبِيهِ والتَّعْطِيلِ، وَبَيْنَ الجَبْرِ وَالقَدَرِ، وَبَيْنَ الأَمْنِ وَالإيَاسِ

[104] Dan Islam itu berada di antara sikap berlebih-lebihan (guluw) dan sikap meremehkan(taqshir), antara tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan ta’thil (menafikkan/meniadakan makna/lafazh sifat-sifat itu), antara Jabariyah (kaum yangberanggapan manusia dipaksa takdir) dan Al-Qadariyah (kaum yang beranggapan keburukan bukan takdir), dan antara yang merasa aman dari siksa Allah dan yang putus asa dari rahmat Allah.

فَهَذَا دِينُنَا وَاعْتِقَادُنَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَنَحْنُ بُرَآءُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ كُلِّ مَنْ خَالَفَ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ وَبَيَّنَّاهُ، وَنَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يُثَبِّتَنَا عَلَى الْإِيمَانِ، وَيَخْتِمَ لَنَا بِهِ، وَيَعْصِمَنَا مِنَ الْأَهْوَاءِ الْمُخْتَلِفَةِ، وَالْآرَاءِ الْمُتَفَرِّقَةِ، وَالْمَذَاهِبِ الرَّدِيَّةِ، مِثْلِ الْمُشَبِّهَةِ، وَالْمُعْتَزِلَةِ، وَالْجَهْمِيَّةِ، وَالْجَبْرِيَّةِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَغَيْرِهِا، مِنَ الَّذِينَ خَالَفُوا السُّنَّةَ والْجَمَاعَةَ، وَحَالَفُوا الضَّلَالَةَ، وَنَحْنُ مِنْهُمْ بُرَآءُ، وَهُمْ عِنْدَنَا ضُلَّالٌ وَأَرْدِيَاءُ. وَبِاللَّهِ الْعِصْمَةُ وَالتَّوْفِيقُ

[105] Inilah agama dan keyakinan kami lahir maupun batin. Kami berlepas diri dengan kembali kepada Allah dari setiap yang menyelisihi apa yang kami sebutkan dan kami jelaskan. Kita memohon kepada Allah untuk menetapkan dirikita di atas keimanan, mematikan kita dengan keyakinan itu, memelihara kita dari pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam, dan dari pendapat-pendapat yang beraneka ragam, dan mahdzab-mahdzab yang jelek, seperti: Mu’tazilah, Al-Jahmiyyah, Al-Jabriyyah, Al-Qadariyyah,dan lain-lain, dari kalangan mereka yang menyelisihi Al-Jama’ah dan bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari mereka. Dan mereka menurut kami adalah orang-orang sesat dan jahat. Hanya dengan Allah-lah penjangaan dan taufiq.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar