Selasa, 03 Januari 2017

Imam Al-Hafizh Asy-Syahrastani Dalam Pemikiran Teologi

Abu al-Fath Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad asy-Syahrastani (bahasa Arab: أبو الفتح عبد الكريم بن أبي بكر أحمد الشهرستاني), atau lebih dikenal sebagai Asy-Syahrastani adalah seorang ulama dibidang ilmu kalam, tafsir dan sejarah. Nisbat asy-Syahrastani kembali kepada Syahrastan yang merupakan bagian dari Khurasan, yang saat ini masuk kedalam wilayah negara Iran. Para penulis biografi sepakat bahwa asy-Syahrastani bukan merupakan orang Arab, ayahnya dan kakeknya berasal dari kota Syahrastan.

Kelahiran
Para peneliti telah sepakat tempat kelahiran dan kematian asy-Syahrastani, namun berbeda pendapat mengenai waktunya. Perbedaan pendapat terhadap waktu kelahirannya lebih besar daripada perbedaan pendapat waktu kematiannya. Mereka bersepakat asy-Syahrastani lahir di kota Syahrastan. Terdapat 3 pendapat ulama mengenai tahun kelahiran asy-Syahrastani, yaitu:

Tahun 476 H
Tahun 469 H
Tahun 479 H

Kematian
Para peneliti telah sepakat bahwa tempat kematian asy-Syahrastani terletak di kota Syahrastan juga, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun kematiannya, adapun pendapat yang paling kuat adalah pada tahun 548 H.

Kehidupan ilmiah
Asy-Syahrastani telah menuntut ilmu sejak masih kecil, adapun ilmu yang pertama kali ia pelajari adalah ilmu syari'at, seperti al-Qur'an, tafsir,hadis, fikih. Adapun yang paling pertama adalah al-Qur'an dan tafsirnya, kemudian pada usia lima belas tahun ia mempelajari hadis dari Abu al-Hasan al-Madini, di Naisabur, yang letaknya diluar Syahrastan.

Asy-Syahrastani adalah seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama asli Muhammad ibn Ahmad Abu al-Fatah Asy-Syahrastani Asy-Syafi’i lahir di kota Syahrastan provinsi Khurasan di Persia tahun 474 H/1076 M dan meninggal tahun 548 H/1153 M. Beliau menuntut ilmu pengetahuan kepada para ulama’ di zamannya, seperti Ahmad al-Khawafi, Abu al-Qosim al-Anshari dan lain-lain. Sejak kecil beliau gemar belajar dan mengadakan penelitian, terlebih lagi didukung oleh kedewasaannya. Dalam menyimpulkan suatu pendapat beliau selalu moderat dan tidak emosional, pendapatnya selalu disertai dengan argumentasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang menguasai masalah yang ditelitinya.

Seperti halnya ulama’-ulama’ lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama 3 tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.

Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan asy-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya.

Sifat dan akhlaknya
Ia dikenal dengan sebagai pribadi yang lemah lembut, memiliki sifat yang baik, baik dalam pergaulan, beradab dalam berdialog, baik dalam berbicara dan menulis, dapat dilihat dari karya-karyanya. Diceritakan ketika ia berdialog dan berdebat, maka ia tidak berperilaku buruk terhadap lawannya, meskipun ia mengkritisi pemikirian lawannya, ia tetap menjawabnya dengan cara yang baik dan dengan cara yang dapat diterima.

Mengajar murid-muridnya
Ketika ia mengajar dan menasehati murid-muridnya, ia menggunakan istilah yang ringan dan cara yang mudah, sehingga dapat diterima dan diakui secara umum oleh masyarakat, dan inilah menggambarkan karyanya yang digunakan dan berkualitas.

Asy-Syahrastani dan Penguasa
Asy-Syahrastani diterima oleh para sultan, penguasa, menteri dan pembesar. Ia dekat dengan Sultan Sanjar bin Mulkasyah, dan juga dekat dengan Menteri Abu al-Qasim Mahmud bin al-Muzhaffar al-Marwazi.

Kedudukan ilmiah
Keilmuannya yang tinggi diantara para ulama menjadikannya memiliki banyak gelar, antara lain:

Al-Faqih, ahli fikih
Al-Mutakallim, ahli ilmu kalam
Al-Ushuli, ahli ushul fiqh
Al-Muhaddits, ahli hadis
Al-Mufassir, ahli tafsir
Ar-Riyadhi, ahli matematika
Al-Failusuf, ahli filsafat
Shahibu at-Tashanif, penulis yang produktif
Al-'Allamah, gelar ini diberikan oleh ‎al-Hafidz adz-Dzahabi
Bahasa yang dikuasai
Bukan hanya menguasai ilmu syari'ah, ia juga menguasai bahasa Arab danbahasa Persia.

Perjalanan ilmiah
Dalam menuntut ilmu, ketia ia masih berusia lima belas tahun, ia pergi menuju kota-kota di Khurasan,Khawarizm, Mekkah dan Bagdad.

Guru-gurunya
Asy-Syahrastani memiliki banyak guru, diantaranya:

Abu al-Qasim al-Anshari, dalam ilmu tafsir dan ilmu kalam
Abu al-Hasan al-Madini, dalam ilmu hadis
Abu al-Muzhaffar al-Khawafi, dalam ilmu fikih
Abu Nashr al-Qusyairi, dalam ilmu fikih, ushul fikih dan ilmu kalam

Karya tulis
Asy-Syahrastani terkenal sebagai pribadi yang produktif dalam menulis, ia menulis dalam berbagai bidang keilmuan, seperti tafsir, fikih, ilmu kalam, filsafat, sejarah, perbandingan firqah dan perbandingan agama. Karya tulisnya mencapai dua puluh buah, diantaranya:

Al-Milal wa an-Nihal, merupakan kitabnya yang paling terkenal.
Nihayatu al-Iqdam fi Ilmi Kalam, kitab yang membahas tentang larangan terlalu menggeluti ilmu kalam dan filsafat.
Mushara'ah al-Falasifah, bantahan terhadap filsafat.
Majlis fi al-khalaq wa al-amr, dalam bahasa Persia.
Bahts fi al-Jauhar al-Fard, penelitian filsafat.
Syubuhat Aristhu wa Baraqls wa Ibnu Sina, bantahan terhadap filsafat.

Mazhab fikihnya
Asy-Syahrastani bermazhab fikih syafi'i, karena guru-gurunya merupakan orang-orang ta'ashub (yang sangat kuat berpegang teguh) terhadap mazhab syafi'i, as-Subki telah memasukkan asy-Syahrastani didalam kitabnya Thabaqat asy-Syafi'iyyah al-Kubra, dan juga al-Isnawi telah memasukkannya didalam kitabnya Thabaqat asy-Syafi'iyyah.


POKOK-POKOK PEMIKIRAN ASY-SYAHRASTANI.

Al-Shahrastānī (wafat 548 H / 1153 M) adalah seorang sejarawan dan filosof yang memeliki latar belang agama yang kuat berpengaruh agama dan heresiographer. Dia adalah salah satu pelopor dalam mengembangkan pendekatan ilmiah untuk mempelajari agama. Al-Shahrastānī ‘membedakan dirinya dengan keinginannya untuk menjelaskan dengan cara yang paling objektif sejarah agama universal kemanusiaan. Kekayaan dan orisinalitas al-Shahrastani’s filosofis dan pemikiran teologis diwujudkan dalam karya-karya besar. Kitab al-Milal wa al-Nihal (The Book of Sekte dan Kredo), merupakan sebuah karya monumental Syahrastani, menyajikan sudut pandang doktrin dari semua agama dan filsafat yang pernah ada hingga zaman ketika ia hidup.

Seperti halnya ulama’-ulama’ lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama 3 tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.

Yang mengagumkan dari al-Syahrastani adalah kejeniusannya dalam mencerna argument-argumen filosofis dan teologis yang kompleks dan rumit ke dalam bahasa yang sederhana dan kuat. Yang juga menarik adalah bahwa pemaparan sejarah pemikiran umat manusia ini selalu dikaitkan dengan teks-teks Al-Qur’an. Al-Syahrastani menggarisbawahi kecemerlangan ide-ide filosofis dan hikmah-hikmah kehidupan serta mengkritisi argumentasi rasio yang dianggap menyimpang dari aqidah Islam dengan mengutip dan mendasarkan diri dengan ayat-ayat Al-Qur’an tentang tema-tema terkait. Buku ini telah terbukti sebagai sebuah karya klasik nan abadi, yang menawarkan kearifan dan pencerahan bagi para pembacanya.

Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan asy-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya. Asy-Syahrastani mempunyai beberapa buah kerya tulis diantaranya adalah: Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Mushara’ah, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, Al-Juz’u Alladzi la yatajazzu, Al-Irsyad ila al-’Aqaid al-’ibad, Syuhbah Aristatalis wa Ibn Sina wa Naqdhiha, dan Nihayah al-Auham.

Jika dipandang dari segi pikiran dan kepercayaan, menurut Asy-Syahrastani manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan. Pemeluk agama Majusi, Nashrani, Yahudi dan Islam. Penghayat kepercayaan seperti Filosof, Dahriyah, Sabiah dan Barahman. Setiap kelompok terpecah lagi menjadi sekte, misalnya penganut Majusi terpecah menjadi 70 sekte, Nashrani terpecah menjadi 71 sekte, Yahudi terpecah menjadi 72 sekte, dan Islam terpecah menjadi 73 sekte. Dan menurutnya lagi bahwa yang selamat di antara sekian banyak sekte itu hanya satu, karena kebenaran itu hanya satu.

Asy-Syahrastani berpendapat bahwa faktor yang mendorong lahirnya sekte-sekte tersebut antara lain adalah; Pertama, masalah sifat dan keesaaan Allah. Kedua, Masalah Qada’ Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada di luar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas (badihiyah). Ketiga, masalah wa’ad (janji), wa’id (ancaman), dan Asma Allah. Keempat, Masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwwah), kehendak Allah mengenai yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan, kasih saying Allah, kesucaian para nabi dan syarat-syarat imamah. Menurutnya ada empat madzhab di kalangan ummat Muslim, yaitu Syi’ah, Qadariyah, Shifatiyah dan Khawarij. Setiap madzhab bercabang menjadi sekian banyak sekte hingga mencapai 73 sekte.

Dalam Bukunya Al-Milal wa Al-Nihal, Syahrastani juga memaparkan dengan panjang lebar tentang kepercayaan dan secara umum mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai berikut; Pertama, Mereka yang tidak mengakui adanya sesuatu selain yang dapat dijangkau oleh indera dan akal, mereka ini disebut kelompok Stoa. Kedua, Mereka yang hanya mengakui sesuatu yang dapat ditangkap oleh organ inderawi dan tidak mengakui sesuatu yang hanya dapat dijangkau oleh akal, mereka ini disebut kelompok materialis. Ketiga, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai melalui indera dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman, mereka ini disebut kelompok filosof athies. Keempat, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai oleh organ inderawi dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman juga tidak mengakui agama Islam, mereka ini disebut kelompok Ash-Shabiah. Kelima, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai indera dan akal dan mempunyai syariat, namun mereka tidak mengakui syariat Muhammad, mereka ini kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dan yang Keenam, Mereka yang mengakui semua yang disebut diatas, dan mengakui kenabian Muhammad, mereka itu disebut kelompok Muslim.

Asyahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal, banyak merekam sejarah panjang pemikiran para filosof, teolog, dan ahli hikmah termasyhur dari berbagai penjuru dunia, yang membentang luas sejak ribuan tahun lalu; mulai dari pra Sokrates ( Thales dan Phitagoras ), Plato, Aristoteles, Porphyry, hingga Ibnu Sina dan al-Farabi, dan dari tradisi pemikiran kuno hingga ke aliran Reingkarnasi dan spiritualisme.

Kajian Syahrastani banyak diarahkan pada tema-tema besar kemanusiaan yang berhubungan dengan ruh, emosi, akal, libido, ego, malaikat, dan tuhan yang menjadi kajian teologi, filsafat, psikologi, dan spiritual. Hal ini tergambar dalam pokok-pokok bahasan beliau dalam kitab al-Milal wa an-Nihal, yakni; 
1. Pluralitas agama dan kepercayaan ummat manusia. 
2. Faktor pendorong lahirnya berbagai sekte di kalangan ummat Islam. 
3. kesamaran pemikiran yang terjadi di kalangan ummat manusia, baik sumber maupun akibatnya.
4. perbedaan pendapat di kalangan ummat Islam latar belakang sebab dan akibatnya. Tema-tema tersebut diulas secara apik dengan argumentasi filosofis dan teologis dalam bahasa sederhana dan relatif mudah untuk dicerna.

Syahrastani dalam kajiannya, “menggarisbawahi” kecemerlangan ide- ide filosofis dan hikmah-hikmah kehidupan, serta mengkritisi argumentasi rasional yang dianggap menyimpang dari dari akidah Islam dengan mengutip dan mendasarkan diri pada ayat-ayat al-qur’an tentang tema-tema terkait.

1.Pluralitas agama dan kepercayaan ummat manusia.

Menurut Syahrastani, Ummat manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat berbagai kepercayaan. Pemeluk agama,diantaranya Pemeluk agama majusi, Nasrani, Yahudi dan Islam. Penghayat kepercayaan terbagi dalam sekian banyak aliran, seperti filosof, Dahriyah, Sabiyah, dan Brahmana.

Penganut agama majusi, Yahudi, Nasrani, masing-masing terpecah menjadi tujuh puluh sekte, dan penganut agama Islam terpecah menjadi tujuh puluh tiga sekte, dan yang selamat hanya satu karena kebenaran itu hanya satu. Dalam menyikapi pluralitas agama dan kepercayaan umat manusia, Syahrastani membangun argumen dasar bahwa;dua buah proposisi yang kontradiktif tidak mungkin benar keduanya. Demikian pula dalam ajaran agama; dua ajaran agama yang bertentangan tentu salah satunya ada yang benar dan yang lain pasti sesat.

2. Faktor pendorong lahirnya berbagai mazhab di kalangan ummat Islam.

Asy-syhrastani memandang bahwa faktor pendorong lahirnya berbagai sekte pemikiran dalam Islam, terdiri dari : 
a. faktor politik, terkait dengan imamah ( Khalifah ) yang menggantikan posisi rasulullah sebagai pemimpin ummat dalam hal kenegaraan dan kemasyarakatan.
b. faktor teologi, terkait dengan empat masalah dasar yakni : pertama, masalah sifat dan keesaan Allah, kedua, Qadha, Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang diluar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas,ketiga, masalah wa’ad ( Janji), wa’id (ancaman), dan asma Allah, keempat, masalah wahyu, akal, kenabian, kebaikan dan keburukan kasih sayang Allah, kesucian para nabi, dan syarat-syarat imamah.

3. kesamaran pemikiran yang terjadi di kalangan ummat manusia, baik sumber maupun akibatnya.

Kekeliruan pertama yang terjadi di kalangan mahluk Allah adalah kekeliruan yang dilakukan oleh Iblis. Sumber kekeliruan ini adalah karena Iblis dikuasai oleh nafsu martabat asal kejadiannya. 

Dalam hal mengkritisi kemahakuasaan Allah, Iblis mengajukan tujuh pertanyaan.

1. Dia maha tahu segenap yang akan aku perbuat dan akibatnya sebelum dia menciptakan aku, tapi mengapa dia masih menciptakan aku?

2. Allah menciptakan diriku dengan kehendak dan kekuasaannya, mengapa aku masih diperintahkan untuk mengenal dan mentaatinya, padahal ketaatan itu sedikitpun tidak meringankan kemaksiatanku bagi Allah.

3. Karena Allah telah menciptakan diriku dan memerintahkan aku mentaatinya, maka aku telah memenuhi perintahnya. Tapi mengapa aku diperintahkan lagi bersujud pada adam? Maka apa hikmahnya perintah khusus ini dia tahu tidak ada gunanya pengenalanku dan ketaatanku kepadanya.

4. Allah menciptakan dan memerintahkanku secara umum, kenapa aku dibebani perintah husus dan kalau aku tidak bersujud kepada adam kenapa aku dikutuk dan dikeluarkan dari surga, apa hikmahnya sedang aku tak pernah berbuat jahat kecuali aku hanya mengatakan tidaka akan sujud melainkan kepada Allah semata.

5. Allah telah menciptakan diriku, kenapa aku dikutuk dan tidak diberi kesempatan seperti yang diberikan kepada adam masuk ke dalam surga untuk kedua kali, aku akan memperdayanya seperti aku telah berhasil mempedayanya dengan memakan buah kayu yang terlarang dan dikeluarkan dari surga bersama dengan aku. Apa hikmahnya aku dilarang masuk surga sehingga Adam terhindar dari gangguanku dan kekal di dalam surga.

6. Allah telah menciptakan diriku, mengutuk dan mengeluarkan aku dari surga karenanya terjadi permusuhan antara aku dan adam, kenapa kepadaku diberi kekuasaan, untuk mengganggunya, sehingga aku melihatnya dan dia tidak dapat melihatku, aku dapat memperdayinya dan dia tak dapat memperdayai aku. Apa hikmahnya mereka diciptakan dalam keadaan suci dan mereka hidup suci, menaati Allah dan sangat berhati-hati padahal aku lebih layak menerima semua itu.

7. Aku menerima semua itu, Allah menciptakan diriku dan kalau aku tidak menaatinya aku dikutuk dan diusir, karena itu berikan kesempatan kepadaku untuk masuk surga, tetapi kalau aku mengerjakan sesuatu kesalahan maka aku dikeluarkan dari surga dan dibangkitkan permusuhan abadi dengan manusia. Apa hikmahnya aku dikutuk dan adam hidup tenang, apakah keberadaanku menjadi bencana bagi alam semesta? Apakah hukum alam berlaku atas kebaikan dan kejahatan.

Kekeliruan Iblis tersebut dalam pandangan Syahrastani, kemudian menjadi pangkal dari segenap kerancuan pemikiran manusia yang mengadopsi cara Iblis mengkritisi eksistensi tuhan. 

Dengan argumen ini Syahrastani mengkritisi pandangan mazhab teologi seperti Qadariyah,dan Jabariyah, sebagai mazhab teologi yang bermanhaj Iblis. Mu’tazilah dalam pandangannya menyamakan Allah dengan manusia dari aspek perbuatan, sementara golongan musyabahah menyamakan Allah dengan manusia dari aspek sifat. Kedua mazhab tersebut menurutnya tercela. Mazhab Mu’tazilah berlebihan di dalam bidang tauhid, sehingga meniadakan sifat Allah. Mazhab Masyabahah terlalu picik sehingga memberikan sifat yang ada pada khalik sama dengan sifat yang ada pada semua benda. Sedang Rafidhah terlalu berlebihan dalam teori nubuwah dan imamah yang sampai pada Hulul dan mazhab Khawarij lebih sempit lagi sampai menolak kepemimpinan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar