Rabu, 25 Januari 2017

Imam Zainuddin Al-'Iraqi Pentarjih Kitab Ihya'

Al-Imam Al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadhl Abdurrahim bin Al-Husain bin Abdurrahman bin Abi Bakr bin Ibrahim al-Iraqi asy-Syafi'i Al-Mishri Syaikh al-Hadits (Bahasa Arab:الإمام الحافظ زين الدين أبو الفضل عبد الرحيم بن الحسين بن عبدالرحمن بن أبي بكر بن إبراهيم العراقي الشافعي المصري شيخ الحديث) atau yang biasa disebut dengan nama Al-Iraqi saja (lahir: Mehran, pinggir sungai Nil, Mesir, 5 Mei 1325 /21 Jumadal Ula 725 H – wafat: 24 Februari 1404/ 8 Sya'ban 806 H).
Biografi
Beliau Dilahirkan pada hari ke dua puluh satu dari bulan Jumada al-Ula tahun 725 H. Dari sumber-sumber sejarah menerangkan bahwa pada hari Rabu tanggal 9 Sya’ban tahun 806 H ruh al-Hafizh al-‘Iraqi meninggalkan jasadnya (beliau wafat), setelah beliau keluar dari kamar mandi. Beliau wafat pada umur 81 tahun, jenazah beliau masyhur dan beliau dishalati oleh Syaikh Syihabuddin adz-Dzahabi, dan beliau dimakamkan di luar kota Kairo.‎

Masa menuntut Ilmu Zainuddin (al-‘Iraqi) telah hafal al-Qur’an, kitab at-Tanbih dan al-Hawi (kitab fiqh madzhab Syafi’i karangan Imam al-Mawardi) ketika umur beliau depan tahun. Lalu beliau menyibukkan diri memulai menuntut ilmu dalam ilmu qira’at (ilmu tentang riwayat-riwayat bacaan al-Qur’an). Lalu beliau memulai menuntut ilmu, beliau mendengarkan riwayat hadits dari ‘Abdurrahim bin Syahid al-Jaisy dan Ibnu ‘Abdil Hadi. Beliau membaca hadits di hadapan Syaikh Syihabudiin bin al-Baba. Kemudian mengalihkan semangatnya untuk belajar ilmu takhrij, dan beliau sangat tekun dalam mentakhrij kitab ”al-Ihyaa’” (Ihyaa ‘Ulumuddin).

Al-Hafiz al-Iraqi pada awal menuntut ilmu, memulainya dengan mendalami ilmu bahasanya khusunya pada struktur (nahwu sharaf) bahasa Arab, kemudian beliau melanjutkan dengan mendengarkan riwayat hadits dari ‘Abdurrahim bin Syahid al-Jaisy dan Ibnu ‘Abdil Hadi. Beliau membaca hadits di hadapan Syaikh Syihabudiin bin al-Baba. Kemudian mengalihkan semangatnya untuk belajar ilmu takhrij, dan beliau sangat tekun dalam mempelajari tentang takhrij al ahadits. Saat umur beliau dua puluh tahun, beliau melakukan rihlah (pengembaraan) untuk menuntut ilmu ke sebagian besar kota di negeri Syam. 

Beliau mengajar di banyak Madrasah (sekolah) di negeri Mesir dan Kairo, seperti: Darul Hadits, al-Kamilah, azh-Zhairiyyah al-Qadimah, al-Qaransiqriyah, Jami’ Ibnu Thulun, dan al-Fadhilah. Beliau juga pernah tinggal di dekat al-Haramain dalam beberapa waktu, sebagaimana beliau pernah menjabat sebagai hakim di Madinah an-Nabawiyah, berkhutbah dan menjadi Imam di sana.
Guru-gurunya

Al-Muqri' Muhammad bin Abi al-Hasan bin Abdul Malik bin Sam'un
Al-Ushuli Muhammad bin Ishaq bin Muhammad al-Balbisi
Al-Ushuli Abdurrahim bin al-Hasan bin 'Ali al-Isnawi
Al-Ushuli Muhammad bin Ahmad bin Abdul Mu'min al-Mishri, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Lubban
Al-Muhaddits Abdurrahim bin Abdullah bin Yusuf, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syahid al-Jaisy
Al-Muhaddits Muhammad bin Muhammad bin Ibrahim Al-Maidumi
Al-Muhaddits Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Sayyid an-Nas
Al-Muhaddits Muhammad bin Ismail bin Abdul Aziz
Al-Amir Sanjar bin Abdullah Al-Jawali
Al-Faqih Ali bin Ahmad bin Abdul Muhsin Ibnu ar-Rif'ah
Al-Muhaddits Abdurrahman bin Muhammad bin Abdul Hadi al-Maqdisi
Al-Muhaddits Ali bin Abdul Kafi As-Subuki
Al-Muhaddits Khalil bin Kaikaldi al-'Alai
Al-Muhaddits Abdullah bin Ahmad bin Muhammad ath-Thabari
Al-Muhaddits Yahya bin Abdullah bin Marwan al-Fariqi
Al-Muhaddits Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad al-Mardawi
Murid-muridnya‎
Anaknya, Abu Zur'ah Ahmad bin Abdurrahim al-Iraqi
Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-'Asqalani
Al-Hafidz Ali bin Abu Bakar Al-Haitsami
Al-Faqih Muhammad bin Musa Ad-Dumairi
Al-Muhaddits Ibrahim bin Hajjaj al-Abnasi
Al-'Allamah Ali bin Ahmad bin Ismail Al-Qalqasyandi
Al-'Allamah Muhammad bin Zhahirah asy-Syafi'i
Al-Muhaddits Ibrahim bin Muhammad bin Khalil
Karya-karyanya‎

Takhrij Hadits Ihya Ulumuddin, yang dinamakan Ikhbar al-Ahya bi Akhbar al-Ihya, dan mukhtasarnya Al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij Ma Fi al-Ihya min al-Akhbar 
(Imam al-Iraqi mengatakan dalam takhrij kitab Ihyanya :

 إنه من أجل كتب الإسلام في معرفة الحلال والحرام، جمع فيه بين ظواهر الأحكام، ونزع إلى سرائر دقت عن الأفهام، لم يقتصر فيه على مجرد الفروع والمسائل، ولم يتبحر في اللجة بحيث يتعذر الرجوع إلى الساحل، بل مزج فيه علمي الظاهر والباطن، ومرج معانيها في أحسن المواطن، وسبك فيه نفائس اللفظ وضبطه، وسلك فيه من النمط أوسطه، مقتدياً بقول علي كرم الله وجهه: خير هذه الأمة النمط الأوسط يلحق بهم التالي ويرجع إليهم الغالي

“ Kitab Ihya Ulumuddin adalah termasuk kitab Islam paling agung dalam mengetahui halal dan haram, menghimpun hukum hakam zahir, dan mencabutnya kepada rahasia-rahasia yang sangat dalam pemahamannya. Tidak cukup hanya masalah furu’ dan persoalannya, dan tidak pula membiarkan mengarungi lebih dalam ke dasar samudera sehingga tidak mampu kembali ke tepian, akan tetapi beliau mengumpulkan antara ilmu zahir dan ilmu bathin, menghiasai makna-maknanya dengan sebaik-baik tempatnya. Menuturkan mutiara-mutiara lafaz dan dhabtntya. Menggunakan manhaj tengah-tengah (adil) karena mengikuti ucapan imam Ali, “ Sebaik-baik urusna umat ini adalah  yang tengah-tengah, yang diikuti generasi selanjutnya dan orang yang berlebihan kembali padanya “.(Ta’rif al-Ahya bi Fadhail al-Ihya : 9)
Membuat syair dan syarh ilmu hadits dari Ibnu Shalah
Kitab al-Marasil
Taqrib al-Isnad
At-Tabshirah wa at-Tadzkirah
Naktu Manhaj al-Baidhawi (dalam ilmu ushul fikih)
At-Tahrir fi Ushuli al-Fiqh
Nazhmu ad-Durar as-Sunniyah (Alfiyah as-Siyar an-Nabawiyyah)
Al-Alfiyah fi Gharib al-Qur'an
At-Tafsir wa al-Idhah fi Mushthalah al-Hadits
Tharh at-Tatsrib fi Syarh at-Tatsrib
Syarh at-Tirmidzi
Kitab al Tabshirah wa al Tadzkirah dan Pemikiran al-Iraqi dalam Bidang Hadis.

Sejauh penelusuran, penulis mendapat banyak kesulitan dalam mengkaji pemikiran al Iraqi, salah satunya kurang sumber yang bisa dijadikan rujukan dalam menelaah pemikiran beliau terkait dalam bidang ulumul hadis, dan kurangnya penelitian tentang karya-karya beliau, berbeda halnya dengan buku-buku ulumul hadis ulama sebelum dan setelah beliau seperti: Al Ramahurmuzy, Ibn Shalah, Ibn Hajar, dll.

Perlu diketahui bahwa buku Al-Tabshirah Wa Al-Tadzkirah mempunyai banyak nama atau julukan, kitab tersebut juga dikenal dengan sebutan alfiyah al-Iraqi fi ulum al-Hadits, juga dikenal dengan nama Nadham al durar fi ‘ilmi al-asrar. Dan kitab ini sebenarnya adalah sebuah ulasan ulang atau ringkasan dari apa yang telah dipaparkan oleh Ibn Shalah sebelumnya yang kemudian oleh Al-Iraqi disajikan dalam bentuk nadham. Di dalamnya, al-Iraqi juga banyak menambahkan pendapat beliau. Seperti pengakuan al-Iraqi sendiri dalam Al-Tabshirah Wa Al-Tadzkirah:
لَخَّصْتُ فيهَا ابْنَ الصَّلاحِ أَجْمَعَهْ     وَزِدْتُهَا عِلْماً تَرَاهُ مَوْضِعَهْ

Dr. Mahir Yasin Fahl, pen-tahqiq dan pen-syarah kitab Al-Tabshirah Wa Al-Tadzkirah setidaknya telah memberikan sedikit gambaran metode penulisan buku Alfiyah Al-Iraqi,‎serta pemikiran beliau tentang ulum hadis:
a.      Al-‘Iraqi memulai metode pembahasaanya dengan menjelaskan kosakata bahasa yang jelas dan dapat dimengerti dengan bentuk nadham.
 

نَظَمْتُهَا تَبْصِرَةً لِلمُبتَدِيْ     تَذْكِرَةً لِلْمُنْتَهِيْ وَالْمُسْنِدِ

b.     Sangat Memperhatikan tatanan bahasa Arab yang benar, dengan meletakan susunan bait-baitpantun/nadham dengan kehati-hatian. Karenadengan adanya perubahan tiap letaknya ataupun adanya perubahan secara ‘irabi, akan merubah harakatnya.
c.      Menindak lanjuti sebagian pendapat Ulama-ulama, dengan menguatkan pendapat tersebut atau menambahkan dengan pendapatnya sendiri, serta mengkritiknya jika hal tersebut dianggapnya keliru.
d.     Adapun dari  segi alpahabet atau huruf  dari kutipan yang dinukilnya, Al-Iraqi terkadang menghapus atau menambahkan harf. Jika dianggap perlu. Jadi tidak ada aturan khusus mengenai tatanan harf atau huruf-hurufnya dari kitab yg dinukilnya.
e.      Al-hafid Al-’Iraqi tidak meninggalkan suatu pembahasaan tanpa adanya dalil atau alasan yang tepat. Dan beliau adalah seorang yang cakap dalam membahas atau menjelaskan suatu makna dengan kepiawaiannya.

Dari beberapa penjelasan Mahir Yasin Fahl diatas, maka penulis kembali melihat background pendidikan al-Iraqi yang memulainya dengan mendalami ilmu kebahasaan, maka tidak salah bahwa al-Iraqi menggunakan ilmunya dalam menyusun kitab hadis dalam bentuk nadham-nadham atau pantun, beliau meramunya kedalam nadham-nadham yang indah didengar dan mudah dipahami, al-Iraqi menyusun ulum al hadits kedalam kurang  lebih 1000 bait nadham atau pantun.‎

Dalam menyusun kitabnya, Al-’Iraqi sangat memperhatikan sekali faidah atau nilai yang dapat diambil oleh para pembacanya. Sebagaimana Ia, ingin menjelaskannya dengan penjelasan yang sangat luas namun dapat diringkas secara tepat tanpa adanya perpanjangan kata yang tidak berfaidah. Kefahamannya yang sangat dalam ketika men-syarh kitab Ibnu Sholah. Serta menambahkan hal hal yang baru dalam keilmuwan. Yang memberikan kontribusi yang besar bagi khazanah kekayaan keilmuwan dengan kitabnya tersebut.

Penulis melihat bahwa syekh Zainuddin al Iraqi adalah seorang ulama yang ulung dalambidang ulum hadis khusunya dalam bidang takhrij al hadis, itu dapat dilihat  dalam kitab “al-Tabshirah wa al-Tadzkirah”. Dimana Al Iraqi lebih menekankan pada hal-hal yang terkait diri seorang perawi (al-tajrih wa al-ta’dil)nya daripada pembahasan defenisi hadis itu sendiri, seperti pada kitab Ibn Shalah, al-Hafiz al-Iraqi merangkum apa yang dibahas oleh Ibn Shalah dan ulama-ulama lain al-Turmudzi, al-Nawawi, al-Ramahurmuzy, Ibn Abi Hatim. Seperti pembahasan tentang tawarikh al ruwat wa al wafiyat (تَوَارِيْخُ الرُّوَاةِ وَالوَفَيَاتِ), authan al ruwat wa buldanuhum (أَوْطَانُ الرُّوَاةِ وَبُلْدَانُهُمْ), ma’rifah man ikhtalatha min al tsiqah  (مَعْرِفَةُ مَنِ اخْتَلَطَ مِنَ الثِّقَاتِ), yang juga telah dibahas oleh Ibn Shalah. Kemudianmaratib al-ta’dil (مراتبِ التعديلِ), maratib al-jarh (مراتب التجريح), yang juga telah dibahas oleh Ibn Abi Hatim. Dan lain-lain

Kritikan al-Hafiz al-Iraqi terhadap ulama hadis sebelumnya

Hasil penilaian kritikus atas setiap unit hadis amat strategis, karena padanya bertumpu kemantapan pakai oleh setiap pelaku ijtihad. Cukup beralasan apabila kegiatan kritik hadis dipandang mencerminkan ijtihad. Secara eksplisit Imam al-Hakim (w.405) dalam kitab al-Ma’rifah dan al-Madkhal menetapkan prinsip ijtihad dalam menentukan maqbul dan mardud-nya suatu hadis.

Untuk generasi setelah masa atau priode tokoh-tokoh kolektor hadis terkemuka yang telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengaplikasikan kaidah seleksi mutu hadis, muncul fatwa pelarangan dilakukan kritik hadis. Diantara ulama yang tegas menyatakan pelarangan dimaksud adalah syekh Taqiyuddin Abu Amr bin Shalah al-Syahrazuri (w.643) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Shalah.

Fatwa Ibnu Shalah tentang pelarangan dilakukan kritik hadis oleh siapapun selepas kodivikasi oleh kolektor yang kredibel, agaknya sejalan dengan fatwa beliau yang menegaskan bahwa pintu ijtihad di bidang fiqhi telah tertutup pada akhir abad keempat hijriah.

Fatwa pelarangan kritik hadis sesudah masa kolektor hadis standar sangat tepat, setidaknya sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan dilakukan oleh orang-orang yang tidak beri’tikad baik, indikasi tidak menguasai seluk-beluk hadis dan sistem pembinaan syariat, atau berspekulasi dengan penerapan kaidah kritik rsional (naqd ‘aqly) yang tidak dikenal oleh tradis muhaddisin masa lalu.

Terhadap fatwa Ibnu Shalah. Muncul keberatan dari kalangan ulama generasi sesudahnya, dan yang masyhur dari kritikan itu datang dari al-Hafiz al-Iraqi. Diantara alasan beliau aas keberatan terhadap fatwa Ibnu Shalah adalah bahawa volume perbendaharaan hadis yang telah terseleksi matannya teramat kecil bila dibandingkan dengan jumlah cadangan hadis yang beredar luas dikalangan muhaddisin.

Jadi, apabila fatwa Ibnu Shalah itu disikapi dengan harga mati, akan berakibat pada tersia-siakannya sejumlah besar perbendaharaan sumber ajaran Islam yang amat potensial bagi kelengkapan doktrinalnya.

Oleh sebab itu, Zainuddin al-Iraqi serta ulama yang sependapat dengan beliau berpendapat bahwa pintu ijtihad terbuka bagi orang yang kapasitas wawasan pengetahuannya dalm bidang hadis cukup memadai, dan benar-benar menempuh langkah metodologis penelitian sanad serta pengujian gejala ‘illat hadis, untuk menganalisa hadis sehingga pengambilan keputusan shahih-dha’if-nya.‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar