Senin, 16 Januari 2017

Keilmuan Imam Sa'id Bin Musyayib Al-Madani

Said bin al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb al-Makhzumi al-Quraisy (bahasa Arab: سعيد بن المسيب بن حزن بن أبي وهب المخزومي القرشي, lahir 15 H/636, wafat 94 H/715 M; umur 79 tahun) adalah salah seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih dari ‎Madinah. ‎Ia termasuk golongan tabi'in, dan merupakan salah seorang dari Tujuh Fuqaha Madinah. ‎Di antara ketujuh tokoh Madinah tersebut, Said sering dianggap sebagai yang paling berpengaruh.

Ayahnya Musayyib bin Hazn Al-Makhzumi dan kakeknya Hazn Al-Makhzumi adalah dua orang sahabat radhiyallahu ‘anhuma yang berhijrah ke kota Madinah.

Kakeknya Hazn Al-Makhzumi gugur sebagai syahid dalam pasukan Khalid bin Walid Al-Makhzumi saat memerangi nabi palsu Musailamah Al-Kadzab dan pengikutnya di wilayah Yamamah pada tahun 12 H.

Beliau adalah Sa’id bin al-Musayyib bin Hazn bin Abu Wahab bin Amru bin ‘Aidz bin Imran bin Makhzum al-Qurasy al-Makhzumi al-Madani, mendapat panggilan Abu Muhammad al-Madani dan beliau merupakan salah satu pembesar para tabi’in pada masanya, faham akan hadits, ilmu fikih, dan seorang yang zuhud, taat beribadah, dan sangan wara’ terhadap suatu hal. Beliau bertemu dengan banyak dari sahabat ‎Radhiyallahu ‘anhum  dan banyak mendengar hadits dari mereka, dan juga menemui para istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam lalu mengambil hadits dari mereka, namun  beliau lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ‎Radhiyallahu ‘anhu serta menjadi  menantu bagi Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

Beliau dilahirkan dua tahun setelah berjalannya kekhilafahan Umar bin al-Khattab, Ibnu Abi Hatim berkata telah bercerita kepadaku Ali bin Hasan dari Ahmad bin Hanbal dari Sufyan dari Yahya, aku mendengar Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Aku dilahirkan dua tahun setelah berjalannya khilafah Umar.”

Sebelum wafat beliau mengalami sakit yang sangat keras, sebagai mana yang disebutkan oleh Abdurrahman bin Harmalah, “Aku menemui Sa’id bin al-Musayyib tatkala beliau sakit keras dan ternyata beliau sedang melaksanakan salat Dzuhur, aku mendengar beliau membaca surah asy-Syams.”

Setelah menjalani masa sakitnya, akhirnya beliau wafat pada tahun 94 Hijriyah di Madinah, tepatnya pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. Ini sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Hakim bin Abdullah bin Abi Farwah, “Aku melihat  Sa’id bin al-Musayyib pada hari wafatnya beliau yakni pada tahun 94, dan tahun diwaktu beliau wafat dinamakan dengan sannah al-fuqaha’ dikarenakan pada tahun itu banyak ahli fiqih yang meninggal dunia.

Adapun umur beliau ketika wafat adalah berumur 79 tahun lebih namun belum mencapai 80 tahun, Ibnu Hajar berpendapat apabila kelahirannya adalah pada tahun kedua setelah berjalannya pemerintahan Umar sedangkan hadits yang menerangkan tentang ini sanadnya adalah sahih, sehingga dapat disimpulkan bahwa umur beliau dapat diperkirakan kurang dari 80 tahun.

Keilmuannya

Sa’id bin Musayyib adalah tokoh yang terkemuka di Madinah dan termasuk yang sangat dihormati dalam bidang fatwa. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah imam para ulama’fiqih.

Qudamah bin Musa berkata, “Ibnu al-Musayyib mengeluarkan fatwa sedangkan para sahabat masih hidup”. Qatadah mengutarakan bahwa apabila al-Hasan mendapat suatu kesulitan maka ia bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib, dan Sa’id merupakan seorang yang sangat bersegera terhadap ilmu dan amal, serta kami mendapati pada beberapa keluarganya hadits-hadits beliau.”‎

Muhammad bin Yahya bin Habban berkata, “Adalah yang diutamakan fatwanya pada masa beliau adalah Sa’id bin al-Musayyib, dan dikatakan bahwa ia adalah yang paling faqih dari para fuqaha’ .“

Ja’far bin Burqan mengatakan bahwa Maimun bin Mihran berkata, “Aku mendatangi Madinah, lalu aku bertanya kepada penduduknya tentang siapakah yang paling faqih di Madinah, lalu aku ditunjukkan kepada Sa’id bin al-Musayyib.”
Ma’n bin Isa dari Malik ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz tidak mau memberikan keputusan suatu hukum sedang ia menjabat sebagai khalifah, sampai ia bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib.”

Ibadahnya

Beliau adalah seorang yang rajin dan tidak pernah meninggalkan salat jamaah, Maimun bin Mihran berkata, “Aku mendapati bahwa Sa’id bin al-Musayyib selama empat puluh tahun tidak menghadiri masjid dan mendapati para jamaah telah selesai melaksanakan salat”, dengan kata lain bahwa Sa’id tidak pernah tertinggal salat berjamaah selama empat puluh tahun.

Manna’ al-Qattan menyebutkan bahwa  Sa’id bin al-Musayyib adalah seorang yang tekun beribadah, ia berhaji sebanyak empat puluh kali, dan beliau sangat bersegera menuju masjid guna melaksanakan salat secara berjamaah.

Sa’id sendiri pernah berkata bahwa ia tidak pernah tertinggal dari takbir yang pertama selama lima puluh tahun, dan ia berkata, “Aku memuliakan ibadah dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan aku tidak menghinakannya dengan bermaksiat kepada Allah.”

Ibnu Hiban berkata, “Tidaklah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id sudah berada di dalam masjid.”

Al-‘Attaf bin Khalid dari Abi Harmalah bahwa Ibnu Musayyib berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan salat berjamaah selama empat puluh tahun.”

Sufyan ats-Tsauri dari  Utsman bin Hakim aku mendengar Sa’id berkata, “Tidaklah muadzin mengumandangkan adzan selama tiga puluh tahun, kecuali aku sudah berada di masjid.” Sanad ini kuat.

Hammad bin Zaid dari Yazid bin Hazim berkata, “Sesungguhnya Sa’id senantiasa melakukan shaum.”

Dari Abdurrahman bin Harmalah ia berkata, “Aku mendengar Ibnu al-Musayyib mengatakan, ‘Aku telah berhaji sebanyak empat puluh kali.”‎

Said dikenal sangat tekun beribadah, telah melakukan haji lebih dari tiga puluh kali, dan selama empat puluh tahun tidak pernah meninggalkan salat berjamaah di baris (shaf) pertama di masjid. ‎Imam Ahmad merawikan dari 'Imran al-Jauni bahwa "Sa'id bin al-Musayyib tidak pernah ketinggalan salat (berjamaah) dalam semua salatnya selama 40 tahun, dan tidak pula melihat tengkuk para jamaah (karena berada di shaf pertama), dan para jamaah juga tidak pernah mendapatinya keluar dari masjid (karena ia pulang paling terakhir)." Abu Sahal Utsman bin Hakim berkata, "Aku mendengar Sa'id bin al-Musayyib berkata, 'Sejak 30 tahun yang lalu, setiap kali mu'adzin mengumandangkan adzan, aku pasti sudah berada di masjid.'"‎

Said adalah orang yang paling hapal atas berbagai hukum dan keputusan yang dikeluarkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, sehingga mendapat julukan ‎Rawiyatul Umar (periwayat Umar). ‎Hadits ‎mursal yang berasal dari Said bin al-Musayyib dianggap hasan oleh Imam Syafi'i. ‎Walau demikian, Imam Ahmad juga selainnya berkata, "Mursalat (kumpulan hadits mursal) yang diriwayatkannya adalah shahih kesemuanya."‎

Said bermata-pencaharian sebagai sebagai penjual minyak, dan ia tidak pernah mau menerima berbagai pemberian. Ia menikah dengan anak perempuan dari Abu Hurairah. Ia mempunyai seorang putri bernama Ribab, yang meskipun dilamar oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan bagi anaknya Al-Walid, namun dinikahkannya dengan muridnya Abdullah bin al-Wada'ah.
Untuk menjelaskan luasnya wawasan dan ilmu pengetahuannya, cukuplah dengan sebuah kisah tentang Ibnu Umar yang pernah bertanya kepada Said tentang satu keputusan yang telah dikeluarkan ayahnya Umar bin Al-Khathab karena Said adalah orang yang paling tahu tentang keputusan-keputusan yang telah diambil Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab dan Utsman bin Affan Ridhwanullah Alaihim Ajma’in.
Dia juga seorang perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah sehingga Abu Hurairah pun menikahkan Said dengan puterinya.

Dia tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah selama 40 atau 50 tahun, juga tidak pernah melihat punggung orang-orang yang sedang shalat karena dia selalu di barisan terdepan.

Dari Amr bin Dinar, dia berkata, “Ketika Zaid bin Tsabit meninggal dunia, Ibnu Abbas berkata, “Beginilah hilangnya ilmu pengetahuan.” Mendengar itu, Said berkata, “Begitu juga dengan meninggalnya Ibnu Abbas.” Mendengar itu, Ibnu Abbas mengatakan, “Begitu juga dengan meninggalnya Said bin Al-Musayyib.”

Dalam kitab, Ats-Tsiqat-nya, Ibnu Hibban mengatakan, “Dia termasuk pembesar tabi’in karena kefakihan, kewara’an, ibadah dan kemuliaannya. Dia merupakan ulama fikih paling terkenal di negeri Hijaz dan yang paling bisa diterima pendapatnya oleh khalayak umum. Selama 40 tahun, dia selalu menunggu datangnya panggilan adzan di masjid untuk melakukan shalat berjamaah.”‎

Disamping terkenal tegas dan tidak mudah tunduk pada kemauan para penguasa, dia adalah seorang yang lembut dan mengedepankan rasa persaudaraan dalam pergaulan dengan sesama, apalagi dengan orang-orang yang saleh dan bertakwa.

Dia tidak mau keluar dari masjid jika hanya untuk memenuhi panggilan Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang ingin berbincang dengannya, begitu juga kepada puteranya, Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Bahkan, Said menolak lamaran Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk puteranya Al Walid, sehingga Said pun menerima hukuman dan siksaan. Dia menikahkan putrinya dengan salah satu muridnya yang bernama Ibnu Wada’ah dengan maskawin uang dua atau tiga dirham.

Selain itu dia juga menolak untuk membaiat (menyatakan ketaatan dan kesetiaannya) kepada kedua putera Abdul Malik yaitu Al-Walid dan Sulaiman bin Abdul Malik menjadi putera mahkota untuk menggantikannya kelak. Semoga Allah ta’ala memberikan rahmat yang luas kepadanya dan memberikan tempat di surga-Nya yang paling tinggi.

Guru-guru Beliau

Dikarenakan beliau adalah salah satu dari Kibarut tabi’in, maka tidak heran apabila beliau banyak berguru dengan pembesar-pembesar sahabat dan mendengarkan ilmu darinya, diantara guru-gurunya  adalah: Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Muawiyah bin Abi Shafyan, Abu Darda’, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Musa al-Asy’ari, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Musayyib bin Hazn (bapaknya), Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Bilal, Zaid bin Tsabit, Sarakah bin Malik, Abi Tsa’labah al-Husni Radhiallahu ‘anhum,  dan masih banyak lagi. Disamping itu beliau juga berguru atau mengambil hadits kepada istri nabi, seperti ‘Aisyah dan Ummu Salamah ‎Radhiallahu ‘anhuma.
Murid-murid Beliau

Sedangkan untuk murid, beliau memiliki banyak sekali, dan di sini kami hanya akan menyebutkan sebagiannya saja. Diantaranya : Muhammad (anaknya), Salim bin Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Ibrahim, Dawud bin Abi Hind, Zaid bin Aslam, Shafwan bin Salim, Thariq bin Abdurrahman, Basir bin Muharrar, Idris bin Shahib al-Auda, Usamah bin Zaid al-Laisi, Ismail bin Umayah, Abdullah bin Muhammad bin Uqail, Abdullah bin Qayyis at-Tajibi, Shafwan bin Salim, dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang tidak kami sebutkan di sini.

Suatu tahun, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan berhasrat untuk menunaikan haji ke Baitullah al-Haram dan berziarah ke Haramain yang mulia dan mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.‎‎

Sampailah bulan Dzulqa’dah, beliau berangkat menuju ke bumi Hijaz disertai tokoh-tokoh Bani Umayah, para gubernurnya, pejabat pemerintah, dan sebagian anaknya. Rombongan bertolak dari Damaskus ke Madinah al-Munawarah tanpa tergesa-gesa. Setiap kali singgah di suatu tempat atau wilayah, mereka beristirahat sambil mengadakan majelis ilmu dan saling memberikan peringatan agar bertambah pengetahuannya tentang agama dan mengisi jiwa dengan mutiara hikmah dan nasihat yang baik.

Sampailah rombongan tersebut di Madinah al-Munawarah, Amirul Mukminin menuju tempat suci untuk memberi salam kepada penghuninya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau melakukan shalat di Raadhah asy-Syarifah. Beliau merasakan kesejukan, ketenangan, dan ketentraman jiwa yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Ingin rasanya beliau memperpanjang waktu kunjungannya di kota Rasulullah itu seandainya ada waktu luang.

Pemandangan yang paling mengesankan dan menarik perhatiannya di Madinah al-Munawarah itu adalah banyaknya halaqah ilmu yang memakmurkan masjid Nabawi. Di sana berkumpul para ulama besar dan tokoh-tokoh tabi’in bagaikan bintang-bintang bercahaya di ufuk langit. Ada halaqah Urwah bin Zubair, ada halaqah Sa’id bin Musayyab, dan ada halaqah Abdullah bin Utbah.

Suatu hari Amirul Mukminin terbangun dari tidur siangnya dengan tiba-tiba, tidak seperti biasanya. Lalu dipanggilnya penjaga, “Wahai Maisarah!” Maisarah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin.” Beliau berkata, “Pergilah ke Masjid Nabawi dan undanglah salah satu ulama yang berada di sana untuk memberikan peringatan kepada kita.”

Maisarah bersegera menuju Masjid. Dia melihat seluruh sudut-sudut masjid namun tidak melihat kecuali satu halaqah yang dipimpin oleh seorang syaikh yang telah tua. Usianya tampak sudah lebih dari 60 tahun, wajahnya kelihatan memancarkan kewibawaan seorang ulama. Orang-orang nampak menaruh hormat dan takjub kepadanya.

Maisarah menghampirinya hingga dekat dengan halaqah tersebut lalu menunjukkan jarinya kepada syaikh tersebut. Akan tetapi orang itu menghiraukannya, sehingga akhirnya Maisarah mendekat dan berkata, “Tidakkah Anda melihat bahwa saya menunjuk Anda?”

Sa’id: “Anda menunjuk saya?”

Maisarah: “Benar.”

Sa’id: “Apa keperluan Anda?”

Maisarah: “Amirul Mukminin terbangun dari tidur lalu berkata kepadaku. ‘Pergilah ke Masjid Nawabi dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadis untukku, bawalah kemari’.”

Sa’id: “Aku bukanlah orang yang beliau maksud.”

Maisarah: “Tetapi beliau menginginkan seseorang untuk diajak bicara.”

Sa’id: “Barangsiapa menghendaki sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas jika dia menginginkan hal itu. Lagipula hadis lebih layak untuk didatangi, akan tetapi dia tidak mau mendatangi.”

Utusan itu kembali dan melapor kepada amirul mukminin, “Saya tidak menemukan kecuali seorang syaikh tua. Saya menunjuk kepadanya, tapi dia tak mau berdiri. Saya mendekatinya dan berkata, “Amirul Mukminin terbangun dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadis untukku, bawalah kemari.” Tetapi dia menjawab dengan tenang dan tegas, “Aku bukan yang dia maksud dan masjid ini cukup luas kalau dia menginginkan hadis.”

Abdul Malik menghela nafas panjang. Dia bangkit lalu masuk ke rumah sambil bergumam, “Pasti dia adalah Sa’id bin Musayyab. Kalau saja engkau tadi tidak menghampiri dan mengajaknya bicara…”

Ketika Abdul Malik telah meninggalkan majlis dan masuk kamar, putranya yang bungsu bertanya kepada kakaknya, “Siapakah orang yang berani menentang Amirul Mukminin dan menolak untuk menghadap itu, sedangkan dunia tunduk kepadanya dan raja-raja Romawi gentar oleh wibawanya?”

Maka berkatalah saudaranya yang paling besar, “Dia adalah orang yang putrinya pernah dipinang oleh ayah untuk saudara kita, al-Walid, tetapi dia menolak menikahkannya.”

Adiknya berkata heran, “Benarkah ia tidak mau menikahkan putrinya dengan al-Walid bin Abdul Malik? Apakah dia mendapatkan pasangan untuk putrinya yang lebih layak dari calon pengganti Amirul mukminin dan khalifah? Atau dia seperti orang-orang yang menghalangi putrinya untuk menikah dan tinggal menganggur di dalam rumah?”

Berkatalah sang kakak, “Sebenarnya aku tidak mengetahui berita tentang mereka.” Seorang dari pengasuh mereka, yang berasal dari Madinah berkata, “Sekiranya diizinkan, saya akan menceritakan seluruh kisah itu.”

“Gadis itu telah menikah dengan seorang pemuda di kampung saya bernama Abu Wada’ah. Kebetulan dia adalah tetangga dekat kami.  Pernikahannya menjadi suatu kisah yang sangat romantis seperti yang diceritakan Abu Wada’ah sendiri kepada saya.” Orang-oarng berkata, “Ceritakanlah kepada kami.”

SAID BIN MUSAYYAB MENIKAHKAN PUTRINYA DENGAN ABU WADA’AH

Diapun berkata, “Abu Wada’ah bercerita kepada saya, ‘Sebagaimana Anda ketahui, aku adalah seorang yang tekun hadir di Masjid Nawabi untuk menuntut ilmu. Aku paling sering menghadiri halaqah Sa’id bin Musayyab dan suka mendesak orang-orang dengan siku bila mereka saling berdesakan dalam majelis itu. Namun pernah berhari-hari saya tidak menghadiri majelis tersebut. Beliau menduga saya sedang sakit atau ada yang menghalangiku untuk hadir. Beliau bertanya kepada beberapa orang di sekitarnya namun tidak pula mendapat berita tentang diriku.

Beberapa hari kemudian aku menghadiri majelis beliau kembali. Beliau segera memberi salam lalu bertanya,

Sa’id: “Kemana saja engkau, wahai Abu Wada’ah?”

Aku: “Istriku meninggal sehingga aku sibuk mengurusnya.”

Sa’id: “Kalau saja engkau memberi tahu aku wahai Abu Wada’ah, tentulah aku akan takziyah, menghadiri jenazahnya dan membantu segala kesulitanmu.

Aku: “Jazakallahu khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda.”

Aku bermaksud pulang, namun beliau memintaku untuk menunggu sampai semua orang di majelis itu pulang, lalu beliau berkata,

Sa’id: “Apakah engkau saudah berfikir untuk menikah lagi wahai Abu Wada’ah?”

Aku: “Semoga Allah merahmati Anda, siapa gerangan yang mau menikahkan putrinya dengan aku, sedang aku hanyalah seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam keadaan fakir. Harta yang kumiliki tak lebih dari dua atau tiga dirham saja.

Sa’id: “Aku akan menikahkan engkau dengan putriku.”

Aku: (terkejut dan terheran-heran) “Anda wahai Syaikh? Anda akan menikahkan putri Anda denganku padahal Anda telah mengetahui keadaanku seperti ini?”

Sa’id: “Ya, benar. Bila seseorang datang kepada kami dan kami suka kepada agama serta akhlaknya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau di mata kami termasuk orang yang kami sukai agama dan akhlaknya.

Lalu beliau menoleh kepada orang yang berdekatan dengan kami berdua, dan beliau memanggilnya. Begitu mereka datang dan berkumpul di sekeliling kami, beliau bertahmid dan bershalawat, lalu menikahkan aku dengan putrinya, maharnya uang dua dirham saja.

Aku berdiri dan tak mampu berkata-kata lantaran heran bercampur gembira, lalu akupun bergegas untuk pulang. Saat itu aku sedang shaum hingga aku lupa akan shaumku. Kukatakan pada diriku sendiri: “Celaka wahai Abu Wada’ah, apa yang telah kau perbuat atas dirimu? Kepada siapa engkau akan meminjam uang untuk keperluanmua? Kepada siapa engkau akan meminta uang itu?”

Aku sibuk memikirkan hal itu hingga Maghrib tiba. Setelah ku tunaikan kewajibanku, aku duduk untuk menyantap makanan berbuka berupa roti dan zaitun. Selagi saya mendapatkan satu atau dua suapan, mendadak terdengar olehku ketukan pintu. Aku bertanya dari dalam, “Siapa?” Dia menjawab, “Sa’id.”

Demi Allah, ketika itu terlintas di benakku setiap nama Sa’id yang kukenal kecuali Sa’id bin Musayyab, sebab selama 20 tahun beliau tidak pernah terlihat kecuali di tempat antara rumahnya sampai dengan Masjid Nabawi.

Aku membuka pintu, ternyata yang berdiri di depanku adalah Imam asy-Syaikh Ibnu Musayyab. Aku menduga bahwa beliau mungkin menyesal karena tergesa-gesa dalam menikahkan purtinya lalu datang untuk membicarakannya denganku. Oleh sebab itu aku segera berkata:

Aku, “Wahai Abu Muhammad, mengapa Anda tidak menyuruh seseorang untuk memanggilku agar aku menghadap Anda?”

Sa’id: “Bahkan, engkaulah yang lebih layak didatangi.”

Aku: “Silakan masuk!”

Sa’id: “Tidak perlu, karena aku datang untuk suatu keperluan.”

Aku: “Apa keperluan Anda wahai Syaikh? Semoga Allah merahmati Anda?”

Sa’id: “Sesungguhnya putriku sudah menjadi istrimu berdasarkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala sejak tadi pagi. Maka aku tidak ingin membiarkanmu berada di tempatmu sedangkan istrimu di tempat yang lain. Oleh sebab itu kubawa dia sekarang.”

Aku: “Aduh, Anda sudah membawanya kemari?”

Sa’id: “Benar.”

Aku melihat ternyata istriku berdiri di belakangnya. Syaikh menoleh kepadanya lalu berkata, “Masuklah ke rumah suamimu dengan nama Allah dan berkah-Nya!”

Pada saat istriku hendak melangkah, tersangkut gaunnya sehingga nyaris terjatuh. Mungkin karena dia malu. Sedangkan aku hanya bisa terpaku di depannya dan tidak tahu harus berkata apa. Setelah tersadar, segera akan aku ambil piring berisi roti dan zaitun, kugeser ke belakang lampu agar dia tidak melihatnya.

Selanjutnya aku naik jendela atas rumah untuk memanggil para tetangga. Mereka datang dengan kebingungan sambil bertanya, “Ada apa wahai Abu Wada’ah?” Aku bertanya, “Hari ini aku dinikahkan oleh Syaikh Sa’id bin Musayyab, sekarang putrinya itu telah dibawa kemari. Kuminta kalian agar menghibur dia sementara aku hendak memanggil ibuku sebab rumahnya jauh dari sini.”

Ada seseorang wanita tua di antara mereka berkata, “Sadarkah engkau dengan apa yang engkau ucapkan? Mana mungkin Sa’id bin Musayyab menikahkan engkau dengan putrinya, sedangkan pinangan al-Walid bin Abdul Malik putra Amirul Mukminin telah ditolak.”

Aku katakan, “Benar, Engkau akan melihatnya di rumahku. Datanglah dan buktikan.”

Beberapa tetanggaku berdatangan dengan rasa penasaran hampir tak percaya, kemudian mereka menyambut dan menghibur istriku itu. Tak lama kemudian ibuku datang. Setelah melihat istriku, dia berpaling kepadaku seraya berkata, “Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai pengantin yang terhormat.”

Aku katakan, “Terserah ibu.”

Istriku dibawa oleh ibuku. Tiga hari kemudian dia diantarkan kembali kepadaku. Ternyata istriku adalah wanita yang paling cantik di Madinah, paling hafal Kitabullah, dan paling mengerti soal-soal hadis Rasulullah, juga paham akan hak-hak suami.

Sejak saat itu dia tinggal bersamaku. Selama beberapa hari ayah maupun keluarganya tidak ada yang datang. Kemudian aku datang lagi ke halaqah Syaikh di masjid. Aku memberi salam kepadanya. Beliau menjawab, lalu diam. Setelah majelis sepi, tinggal kami berdua, beliau bertanya,

Sa’id: “Bagaimana keadaan istrimu, wahai Abu Wada’ah?”

Aku: “Dia dalam keadaan disukai oleh kawan dan dibenci oleh musuh.”

Sa’id: “Alhamdulillah.”

Sesudah kembali ke rumah, kudapati beliau telah mengirim banyak uang untuk membantu kehidupan kami…”

Mendengar kisah itu, putra-putra Abdul Malik berkomentar, “Sungguh mengherankan orang itu.” Orang yang bercerita itu berkata, “Apa yang mengherankan wahai tuan? Dia memang manusia yang menjadikan dunianya sebagai kendaraan dan perbekalan untuk akhiratnya. Dia membeli untuk diri dan keluarganya, akhirat dengan dunianya. Demi Allah, bukan karena beliau bakhil terhadap putra Amirul Mukminin dan bukannya beliau memandang bahwa al-Walid tidak sebanding dengan putrinya itu. Hanya saja beliau khawatir putrinya akan terpengaruh oleh fitnah dunia ini.

Beliau pernah ditanya oleh seorang kawannya, “Mengapakah Anda menolak pinangan Amirul Mukminin lalu kau nikahkan putrimu dengan orang awam?” Syaikh yang teguh itu menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya.”

Beliau ditanya, “Apa maksud Anda wahai Syaikh?”

Beliau berkata, “Bagaimana pandangan kalian bila misalnya dia pindah ke istana Bani Umayah lalu bergelimang di antara ranjang dan perabotnya? Para pembantu dan dayang mengelilingi di sisi kanan dan kirinya dan dia mendapati dirinya sebagai istri khalifah. Bagaimana kira-kira keteguhan agamanya nanti?”

Ketika itu ada seseorang dari Syam berkomentar, “Tampaknya kawan kalian itu benar-benar lain dari yang lain.” Lalu laki-laki itu berkata, “Sungguh aku mengatakan yang sebenarnya. Beliau suka shaum di siang hari dan shalat di malam hari. Sudah hampir 40 kali beliau melaksanakan haji dan tak pernah ketinggalan melakukan takbir pertama di masjid Nabawi sejak 40 tahun yang silam. Juga tak pernah melihat punggung orang dalam shalatnya selama itu, karena selalu menjaga shaf pertama.

Kendati ada peluang bagi beliau untuk memilih istri dari golongan Quraisy, tetapi beliau lebih mengutamakan putri Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu daripada wanita lain. Karena kedudukannya di sisi Rasulullah dan memiliki kekayaan mengenai riwayat hadis, yang beliau ingin juga mengambilnya. Sejak kecil beliau telah bernadzar untuk mencari ilmu.

Beliau mendatangi rumah istri-istri Rasulullah untuk memperolah ilmu dan berguru pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas. Beliau mendengar hadis dari Utsman, Ali, Suhaib dan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang lain. Beliau berakhlak dengan akhlak mereka dan berperilaku seperti mereka. Beliau selalu mengucapkan suatu kalimat yang menjadi slogannya setiap hari: “Tiada yang lebih menjadikan hamba berwibawa selain taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tiada yang lebih membuat hina seorang hamba dari bermaksiat kepada-Nya.”‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar