Minggu, 26 Februari 2017

Sholawat Thibil Qulub

Shalawat Thibbul Qulub Syaikh Ahmad al-Dardir al-Khalwatiy
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا . وَعَافِيَةِ اْلأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا . وَنُوْرِ اْلأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا . وَقُوْتِ اْلأَرْوَاحِ وَغِذَائِهَا . وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ .
Artinya:”Ya Allah, limpahkanlah rahmat yang disertai ta’zhim kepada Nabi Muhammad sebagai penyembuh semua hati dan menjadi obatnya, keafiatan badan dan kesembuhannya, cahaya segala penglihatan dan menjadi sinarnya, menjadi makanan jiwa santapannya. Dan semoga terlimpahkan pula shalawat dan salam kepada keluarga  dan sahabat beliau.”

Dalam kitab Saadah al-Darain Fi Shalat Ala sayyid al-kaunain, syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhani menisbahkan shalawat ini kepada Syaikh Abu al-Barakat Ahmad al-Dardir.

Ada sedikit perbedaan redaksi dari shalawat Thibb al-Qulub atau yang disebut juga shalawat al-Thibbiyyah ini, dalam redaksi Syaikh Ahmad al-Shawiy tidak ada tambahan (وَقُوْتِ اْلأَرْوَاحِ وَغِذَائِهَا). Tambahan tersebut disebutkan oleh Syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhaniy dalam kitab Saadah al-Darain Fi Shalat Ala Sayyid al-Kaunain. Kemudian Sayyid Muhammad Ibn Alawiy al-Maliky mengukuhkan kembali dalam kitab ‎Abwab al-Faraj dan Sawariq al-Anwar Min Ad’iyah al-Sadah al-Akhyar.

Habib Abu Bakar Ibn Abdullah Ibn Alawiy al-Atthas pengarang kitab Risalah al-Kautsar, menamakan shalawat Thibb al-Qulub dengan sebutan shalawat Nur al-Abshar.

Syaikh al-Hasan ad-Daymainiy at-Tijaniy membuat gubahan nazham dari redaksi shalawat Thibbul Qulub sebagai berikut:

^ صلاة طب القلوب ^

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا . وَعَافِيَةِ اْلأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا . وَنُوْرِ اْلأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا . وَقُوْتِ اْلأَرْوَاحِ وَغِذَائِهَا . وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ :

اللـهمّ صلينْ وســلمن على * سيدنا محــــمد الذي علا
طب القلوب ودوا عــلتها       * شفاء الابـــدان وعافيتها
ونور الابصار الذي أيضا به * ضــياؤها وآله وصحبه

Biografi Syaikh Ahmad al-Dardir
Imam Abu al-Barakat Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Adawiy al-Malikiy al-Khalwatiy yang dikenal dengan Syaikh al-Dardir, seorang ulama shufi, pakar fiqh, teologi, tafsir, hadis, gramatika dan lain-lain. Pendidikannya dimulai sejak beliau menghafal al-Qur’an pada masa kecilnya. Kemudian melanjutkan ke al-Azhar dengan mengikuti perkuliahan para ulama terkemuka di sana seperti Syaikh Muhammad al-Dafariy dan lain-lain.
            
Dalam studi hadis, Syaikh al-Dardir banyak belajar kepada Imam al-Shabbagh dan Syamsuddin al-Hifniy. Dalam studi fiqh, beliau belajar kepada Imam Ali al-Shaidi yang merupakan ulama terkemuka dalam mazhab Maliki. Lalu beliau menjalani kehidupan shufi di bawah bimbingan Imam al-Hifniy. Setelah Imam Ali al-Shaidi meninggal, Syaikh al-Dardir menggantikan posisinya sebagai mufti dan guru besar dalam mazhab Maliki di Mesir, baik ilmu-ilmu zhahir maupun ilmu bathin (tashawuf).
            
Syaikh al-Dardir dilahirkan  pada tahun 1127 H/1715 M. Beliau wafat pada tahun 1201 H/1786 M. beliau termasuk ulama produktif, meninggalkan sejumlah karangan yang populer hingga kini. Karangannya meliputi bidang studi fiqh, gramatika, tashawuf, teologi, tafsir dan lain-lain. Diantara karangannya dalam bidang fiqh adalah Aqrab al-Masalik Li Mazhab al-Imam Malik, Syarh Mukhtashar Khalil dan lain-lain. Dalam bidang gramatika beliau menulis Tuhfah al-Ikhwan Fi ilm al-bayan. Dalam bidang teologi, karyanya yang popular dan menjadi kajian para pelajar adalah al-Kharidah al-Bahiyyah, sebuah kitab yang menguraikan teologi al-Asy’ariyah dalam bentuk Nazham.

Karamah Syaikh Ahmad al-Dardir
Syaikh Hasan al-Adawiy pernah mengalami ujian berat yang dilakukan oleh penguasa Mesir. Kemudian beliau teringat akan pesan gurunya, Syaikh Muhammad al-Siba’iy yang pernah mengabarkan kepada beliau, bahwa engkau akan mendapatkan Futuh dari Syaikh al-Dardir. Sejak saat itu Syaikh Hasan al-Adawiy melakukan ziarah ke maqam Syaikh al-Dardir dan selalu bertawassul kepadanya. Sehingga pertolongan dan kemenangan, Allah berikan kepada Syaikh Hasan al-Adawiy.

Keutamaan Shalawat Thibb al-Qulub
Syaikh Ahmad Ibn Muhammad al-Shawiy al-Malikiy berkata; “Apabila shalawat Thib al-Qulub dibaca sebanyak 400 kali atau 2000 kali, diniatkan buat orang sakit, maka dengan izin Allah, penyakit apapun akan sembuh.”
            
Dihikayatkan ada orang mendatangi Habib Ahmad Ibn Hasan al-Atthas di kota Huraidhah, ia mengadukan perihal matanya yang telah mengalami gangguan penglihatannya. Kemudian Habib Ahmad mengusap kedua mata orang tersebut dan beliau memerintahkan agar ia memperbanyak membaca shalawat Thibb al-Qulub. Habib Ahmad lalu berkata: “Habib Muhammad Ibn Zain Baabud telah mengabarkan diriku bahwa ia berkata; mataku pernah mengalami ganguan penglihatan sehingga aku minta solusi kepada Habib Shalih Ibn Abdullah al-Atthas kemudian beliau mengusap kedua mataku dan beliau memerintahkan agar aku membaca shalawat Thibb al-Qulub setiap hari sebanyak 300 kali, maka aku amalkan shalawat itu sehingga aku diberikan kesembuhan yang segera.
            
Selain shalawat Thibb al-Qulub, syaikh Ahmad al-Dardir memilki beberapa kumpulan shalawat diantaranya;

Shalawat al-Ridhaiyyah

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةً الرِّضَا وَارْضَ عَنْ أَصْحَابِهِ رِضَاءَ الرِّضَا .

Artinya: “Ya Allah, berikan rahmat yang disertai Ta’zhim kepada Nabi Muhammad, sebenar-benar shalawat sempurna yang Engkau ridha dan Engkau berikan keridhaan kepadanya, dan berikanlah keridhaan yang tinggi kepada para sahabatnya.”
            
Para ulama mengatakan; “Keutamaan shalawat al-Ridhaiyyah, apabila dibaca 70 kali, akan mengabulkan segala doa kebaikan.”

Shalawat al-Wishal

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ صَلاَةً تَلِيْقُ بِجَمَالِهِ وَجَلاَلِهِ وَكَمَالِهِ وَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَذِقْنَا بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ لَذَّةَ وِصَالِهِ .

Artinya: “Ya Allah, berikan rahmat yang disertai Ta’zhim kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebenar-benar shalawat yang pantas dengan keagungan, kebesaran dan kesempurnaannya. Berikanlah pula shalawat dan salam kepada beliau dan keluarganya. Anugrahkanlah kami kelezatan bertemu dengan beliau dengan keberkahan bershalawat kepadanya.”

Dinamakan shalawat al-Wishal lantaran menurut keterangan para ulama, siapa saja yang lazim membacanya, akan Allah sampaikan dirinya bertemu dengan makhluk yang paling mulia yakni Nabi Muhammad.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Senin, 06 Februari 2017

Ki Gede Kejiwan

Pada zaman kerajaan, setelah berdirinya kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, dibawah pimpinan Sunan Gunungjati tepatnya pada tahun 1406 M, tersebutlah salah seorang murid dia bernama Taka Bin Talab (‎Ki Mertabumi) yang di kenal dengan Ki Beyot meminta izin untuk membuka pedukuhan (Desa), yang berada di perbatasan Kerajaan Indramayu dengan Rajanya Prabu Indra Wijaya (Arya Wiralodra), yang pada tahun 1528 M kerajaan ini menggabungkan diri dengan Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.

Setelah memperoleh izin dari Sunan Gunungjati, maka Ki Beyot mulai membuka hutan (Babad Alas) bersama Nyi Gede Susukan yaitu Nyi Tosa. Ki Beyot membuka hutan dengan cangkul dan pedang, wilayah yang terdapat hasil cangkulan (tebalan) termasuk wilayah kekuasaan Ki Beyot, sedangkan karena Nyi Tosa seorang perempuan yang tidak bisa mencangkul, maka ia menandai daerahnya dengan membakar hutan dengan api, wilayah yang terdapat bekas bakaran (Obar-obaran) termasuk daerah kekuasaan Nyi Tosa.

Berhari-hari kegiatan membuka hutan itu dilakukan, sampailah Ki Beyot di daerah Bundermire. Setelah pembukaan hutan sampai didaerah tersebut, Ki Beyot menghentikan kegiatannya karena sempat tergoda dengan Nyi Tosa Yang berwajah Cantik, berbadan kuning dan suka nginang, sehingga disaat demikian, Nyi Tosa tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia memperluas wilayahnya hingga ke daerah ‎Pucuk Sawit. Oleh karena itu wilayah Susukan lebih luas hingga mencapai daerah Pucuk Sawit, sedangkan Kejiwan hanya sampai daerah Bundermire.

Setelah selesai membuka hutan, Ki Beyot menamakannya desa Kejiwaan, yang berarti pembukaannya dengan jiwa (tenaga), selain itu karena sifat Ki Beyot sendiri yang mempunyai Kejiwaan yang kuat, walaupun dicaci, dihina dan diremehkan dia tidak membalasnya. Karena logat Orang Jawa yang cepat, kata Kejiwaan disebut menjadi KEJIWAN. Hingga sekarang desa kita ini disebut Kejiwan.

Sedangkan wilayah Nyi Tosa dinamakan Yangtanjung (desanya berada di tengah sawah), kearah timur dari desa itu merupakan sebuah kebun yang subur, yang memiliki sebuah kalen (sungai kecil)yang selalu disusuk (dijeroi) agar airnya dapat mengalir dengan lancar, sehingga daerah tersebut disebut ‎Susukan. Karena kesuburannya dan letaknya yang strategis, banyak penduduk desa Yangtanjung berpindah ke Susukan. Hingga sekarang Susukan menjadi desa yang besar, sedangkan Yangtanjung sudah di tinggalkan oleh penduduknya.‎

Ki Mertabumi (Ki Taka bin Talab) adalah salah seorang Ki Gede dan abdi dalem kesultanan Cirebon. Pada suatu hari ketika Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang mengadakan kenduri dalam rangka syukuran hajat walimah, ternyata persediaan air untuk keperluan kenduri tersebut kurang. Maka oleh Kanjeng Sinuhun Ki Taka diperintahkan untuk mencari air. Namun aneh Ki Taka berangkat hanya membawa keranjang wadah rumput, tidak membawa ember untuk wadah airnya. Keranjang yang sudah diisi air itu dibawanya ke keraton. Orang-orang yang melihatnya, geleng-geleng kepala tanda kagum. Kok bisa-bisanya air diwadahi keranjang, bahkan sampai penuh (luber, Cirebon). Melihat kejadian itu Kanjeng Sinuhun tersenyum, juga sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sejak itu Ki Taka dijuluki Ki Luber, karena Ki Mertabumi dapat membawa air diwadahi keranjang yang berlubang sampai luber. Luber juga ilmunya, Kanjeng Sinuhun membatin.‎

Seusai kenduri, Kanjeng Sunan Jati  Purba memerintahkan kepada para Ki Gede untuk membuka hutan di wilayah cakrahannya masing-masing. Wilayah cakrahan Ki Luber adalah dari ujung sebelah barat berbatasan dengan wilayah Indramayu.

Ki Luber adalah seorang sakti mandraguna, terpelihara jiwanya, kepribadiannya sangat terpuji, lemah lembut, berbudi luhur, rendah hati dan murah hati terhadap sesama. Ketika ia membuka hutan tidak bersusah payah menebang pohon-pohon. Atas ridho Allah, dengan ilmu yang dimiliki, hanya dengan tudang-tuding saja pepohonan di hutan itu roboh rata dengan tanah. Kemudian dijadikanlah pedukuhan untuk tempat tinggal Ki Luber dan keluarganya. Karena Ki Taka seorang yang berjiwa yang luhur dan terpuji, maka Ki Taka dijuluki Ki Kejiwantaka dan pedukuhan yang dibangunnya dinamakan Pedukuhan Kejiwan dan sekarang menjadi Desa Kejiwan dalam Wilayah Kecamatan Susukan. Sejak saat itu Ki Luber (Ki Taka) disebut orang Ki Gede Kejiwantaka. Pada setiap kesempatan ia selalu mengajarkan ilmu agama Islam, lama kelamaan banyak santrinya. Kemudian dibangun sebuah pesantren dan sumur untuk mandi, minum, dan berwudlu para santrinya dan masyarakat sekitarnya. Sumur itu diberi nama Sumur Kejiwantaka. Sumur itu sampai sekarang masih ada dan banyak dikunjungi masyarakat baik masyarakat setempat maupun dari luar daerah untuk mandi dan minum, mereka senantiasa mengharapkan karomahnya. Konon katanya setelah mandi dan minum air sumur itu maka tenaganya menjadi kuat. Wallahu A’’lam.

Suatu waktu Kanjeng Sunan Gunung Jati bersama para petinggi keraton berkunjung ke daerah-daerah dengan mengendarai pedati (glebeg) dan membawa perbekalan secukupnya tidak lupa membawa serta Ki Mertabumi. Setiap daerah yang dikunjungi selalu saja para sesepuhnya mempersembahkan kepada Kanjeng Sinuhun barang-barang hasil bumi antara lain: padi, jagung, waluh, ketimun, kacang tanah dan lain-lain sebagai buah tangan. Karena saratnya barang-barang bawaan yang dimuat, maka sampai di daerah Kedung Ngengeng wilayah Ligung, tiba-tiba pedati itu ambles ke tanah, sehingga susah untuk diangkat. Maka Kanjeng Sinuhun memerintahkan para petinggi keraton untuk mengadakan sayembara; Barang siapa yang bisa mengangkat pedati itu akan diberi hadiah 1 Ha tanah.

Banyak para Ki Gede yang mengikuti sayembara, antara lain: Ki Gede Tegal Gubug, Ki Gede Rawagatel, Ki Gede Bojong, Ki Gede Jungjang, Ki Gede Mejasri, Ki Gede Bunder, Ki Gede Jatianom dan Ki Gede Ujunggebang. Namun tidak ada yang kuat mengangkat pedati itu, walaupun dengan menggunakan kerbau piaraannya masing-masing. Melihat kenyataan itu Ki Gede Kejiwan pulang mengambil kerbaunya ingin coba-coba ikut sayembara. Setelah kembali dengan membawa seekor kerbau para Ki Gede mentertawakan sambil mengejek, karena yang mereka lihat adalah seekor kerbau yang kecil, begitu pula badan Ki Kejiwantaka kecil dan kurus, menurut mereka tidak mungkin bisa untuk mengangkat pedati yang sangat berat itu. Pelaksanaan sayembara dihentikan karena waktu sudah malam, para Ki Gede tertidur pulas karena kelelahan. Pada saat para Ki Gede tertidur, Ki Kejiwantaka secara diam-diam dengan kerbaunya mencoba mengangkat pedati itu, kerbaunya yang menarik dan Ki Kejiwantaka dengan kesaktiannya mengangkat pedati itu hanya dengan ibu jari sebelah kakinya saja. Setelah terangkat kerbaunya dilepas dan diikat di sebuah pohon disamping kerbau-kerbau lainnya milik para Ki Gede. Kemudian Ki Kejiwantaka tidur pula disamping para Ki Gede. Gusti Kanjeng Sinuhun tahu, dan pada saat Ki Gede Kejiwantaka tertidur, oleh Kanjeng Sinuhun diberi ciri (tanda) dengan melilitkan benting (sabuk dari kain) warna hitam di perut Ki Kejiwantaka dan leher kerbaunya.

Pada keesokan harinya para Ki Gede kebingungan karena melihat pedati itu sudah terangkat, setelah ditanyakan oleh petinggi keraton siapa yang telah mengangkat pedati itu, mereka tidak ada yang mengaku. Kemudian Kanjeng Sinuhun menyatakan, bahwa barang siapa diantara para Ki Gede yang perutnya ada tanda “benting warna hitam” dan juga di leher kerbaunya, maka ialah yang telah berhasil mengangkat pedati itu. Ternyata yang ada tanda tersebut adalah Ki Gede Kejiwantaka.

Para Ki Gede terkejut, mereka merasa malu karena telah mengejek Ki Gede Kejiwantaka. Walupun kerbaunya kecil dan postur tubuh Ki Gede Kejiwantaka kecil dan kurus, namun memiliki kekuatan yang luar biasa. Sehingga oleh Kanjeng Sinuhun Ki Gede Kejiwantaka dianugerahi nama Ki Beyot (Beyot artinya kecil tapi kuat). Kemudian hadiah yang dijanjikan yaitu tanah seluas 1 Ha di daerah Kedung Ngengeng diserahkan kepada Ki Beyot.

Perjalanan kunjungan ke daerah-daerah dilanjutkan dengan menggunakan pedati yang ditarik oleh kerbaunya Ki Beyot, hingga sampai di Desa Krangkeng wilayah Indramayu. Sesampainya di sana pedati yang ditumpangi Kanjeng Sinuhun, Ki Beyot dan para petinggi keraton itu rusak, akhirnya diputuskan untuk ditinggal di Desa Krangkeng, sedangkan kerbaunya dibawa lagi pulang. Sampai sekarang pedati itu masihada di pendopo Balai Desa Krangkeng dan dirawat oleh seorang Juru Kunci. Pedati itu dikenal dengan Pedati Ki Luber. Menurut ceritera masyarakat setempat bahwa setiap malam Jum’at Kliwon kerbau Ki Luber suka nampak di sekitar bangunan pendopo.

Sumur Kejiwan
Sumur Kejiwan adalah sumur yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan sumur-sumur lain. Unjungan Desa sering dipusatkan di lokasi ini. Sejarah Sumur Kejiwan adalah:
Ketika wilayah Cirebon kekeringan, saat itu di keraton Pakungwati Cirebon ada kegiatan tahunan Sunan Gunungjati mengundang Ki Gede Kejiwan ke Kraton sambil membawa air dari sumur Kejiwan. Ki Beyot mematuhi perintah guru dia Sunan Gunungjati, datang ke Cirebon dengan memikul air dari sumur Kejiwan, anehnya air itu dibawa dalam keranjang tetapi tidak bocor. Sesampainya di Cirebon Ki Beyot menumpahkan air dari keranjang itu ke paso-paso penduduk, anehnya lagi puluhan paso dapat terpenuhi hingga luber padahal air yang di bawa hanya dua keranjang. Oleh karena itu Ki Beyot di beri julukan Ki Luber.

Ki Lamun (Ki Buyutan)
Ki Lamun adalah salah satu Ki Gede Kejiwan, Ia memperistri putri dari Ki Gede Kedongdong sehingga desa Kejiwan dengan desa Kedongdong ada hubungan mertua. Ki Gede Ki Lamun mempunyai 25 anak keturunan yang semuanya menjadi Ki Gede yang tersebar ke berbagai daerah luar desa Kejiwan seperti ada yang berada di Sumber, Bongas, Ligung dan lain-lain. Sedangkan sebagian lagi berada di Kejiwan seperti Ki Gede Kirawuh, Ki Suwala, Ki Gede Sikepel dan lain-lain.‎

Ki Muaji
Ki Gede Ki Muaji merupakan santri dari Ki Gede Gagarsari, saat Ki Muaji bekerja di sawah (meluku) Weluku yang dia gunakan patah menjadi dua, Ki Muaji mencoba mengganti weluku itu dengan yang baru tetapi Gurunya (Ki Gede Gagarsari) menolak, ia ingin agar welukunya itu kembali seperti semula tidak diganti dengan uang atau dengan yang baru. Hal ini dimaksudkan menguji sejauh mana kemampuan muridnya itu untuk bertanggung jawab dan menunjukkan kemampuan (Kesaktian) kepada Gurunya.
Ki Muaji terus berfikir bagaimana caranya agar weluku itu kembali seperti semula, akhirnya dia berpuasa dan menempelkan weluku yang patah itu dengan tanah liat dan mengelus-elusnya sehingga atas izin Allah SWT weluku yang patah itu kembali tersambung seperti semula, dan dari kemampuan inilah Ki Muaji dapat menyembuhkan penyakit.

Ki Gede - Ki Gede Kejiwan
1. Ki Beyot (Kejiwan Taka)
Dimakamkan di kompleks makam Gunung Sembung Desa Astana Kec. Gunung Jati Kab. Cirebon. (Makam dia berdampingan dengan Ki gede Bojong Kulon)
2. Ki Lamun (Ki Buyutan)
Makamnya di Desa Kejiwan bagian Selatan
3. Ki Muaji
Makamnya terletak di Desa Kejiwan bagian Timur di tengah sawah, berbatasan dengan Desa Bojongkulon.
4. Ki Gagarsari
Makamnya terletak di Desa Kejiwan bagian Timur di pinggir jalan beberapa meter dari makam Ki Muaji.
5. Ki Mertabumi
Makamnya terletak di Desa Kejiwan bagian Utara di tengah sawah.
6. Ki Gede Bajangan
Makamnya terletak di Desa Kejiwan bagian Barat Laut, beberapa meter dari makam Ki Mertabumi kearah barat
7. Ki Gede Sikepel
Makamnya terletak di Desa Kejiwan blok Sikepel sebelah selatan dari rumah Bapak Rasmin
8. Ki Gede Singkil
Makamnya terletak di Desa Kejiwan blok Karanganyar, sebelah timur Kalen Gotroks, atau dari rumah Bapak H.Muqit ke arah utara.
9. Ki Gede Kirawuh
Makamnya terletak di Desa Kejiwan blok Ki Rawuh.
10. Ki Wiyasih
Makamnya berada di blok 5, berbatasan dengan Desa Kedongdong, tepatnya sebelah barat Kalen Sendok.
11. Ki Suwala
Makamnya berada di Kejiwan bagian Tenggara tepatnya dari rumah Bapak Umar Kearah tenggara (Ngetan-Ngidul).
12. Ki Rengon
Makamnya berdekatan dengan makam Ki Suwala.
13. Ki Gede Cilunglung
Makamnya berada di pusat Desa Kejiwan (Lebuh).
14. Nyi Tosa (Nyi Gede Susukan)
Makamnya berada di pinggir sawah sebelah timur rumah Bapak Jimong, di Kejiwan bagian Utara.‎

Minggu, 05 Februari 2017

Candi Jiwa Karawang Lebih Tua Dari Borobudur

Karawang sebagai salah satu kota di pesisir utara Jawa Barat selama bertahun-tahun telah dikenal sebagai lumbung beras nasional, Namun sebenarnya prestasi kota ini tidak sekadar sebagai penghasil beras semata. Pada zaman perang kemerdekaan, kota ini mengukir sejarah ketika sekelompok pemuda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan membawa Soekarno Ke Rengas Dengklok. Dan hasilnya, sehari setelah peristiwa tersebut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kini rumah ketika Soekarno pernah diungsikan tersebut masih dapat ditemukan tidak jauh dari pasar Rengas Dengklok. Dalam perkembangannya ternyata Karawang juga menyimpan potensi sumberdaya arkeologi yang sangat besar sejak masa prasejarah, klasik sampai masa Islam tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Dua situs dari masa klasik yakni Batujaya dan Cibuaya, sampai saat ini setidaknya memiliki 30 buah lokasi yang diduga merupakan bangunan candi dari masa Kerajaan Tarumanagara sampai Sunda. Satu jumlah yang berlum tertandingi oleh daerah lain di Jawa Barat dan tentu tidak berlebihan jika Karawang mendapat julukan sebagai Lumbung Candi di Jawa Barat.
‎‎
Masyarakat di daerah ini pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Oleh karena itu, sebagian besar lahan di daerah Batujaya digunakan untuk areal persawahan irigasi. Pola tanam padi sebanyak dua kali setahun dan pola tata air yang baik menyebabkan daerah ini subur dan menjadi tulang punggung bagi penyediaan beras. Tak heran jika wilayah Karawang yang mempunyai luas wilayah sekitar 3120 Km ini dikenal sebagai lumbung padi nasional.

Di samping bercocok tanam, masyarakat yang tinggal di daerah pantai umumnya hidup sebagai nelayan tradisional. Tampaknya dua jenis pekerjaan ini merupakan keahlian yang telah dilakukan secara turun temurun dari leluhur mereka. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian arkeologi di Komplek Percandian Batujaya yang menemukan bandul jaring dan sisa-sisa kulit kerang pada bata - bata candi.

Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684 M daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 M atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan. Artinya, sejak runtuhnya Komplek Percandian Kegiatan menanam padi dengan latar belakang candi Blandongan Batujaya, daerah ini menjadi tidak berarti dan baru mendapat perhatian kembali pada akhir abad ke-17 M.

Lokasi Situs

Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang).Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.

Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada.
Penelitian
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.

Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar. Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara. Juru kunci situs batujaya ini yang sekaligus menjadi pengurus bernama Pak Kaisin Kasin.

Candi Jiwa
Candi Jiwa yang dikenal sebagai Unur Jiwa, terletak di tengah areal persawahan berupa gundukan tanah yang berbentuk oval setinggi 4 meter dari permukaan tanah. Bangunan yang berukuran 19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter ini tidak mempunyai tangga masuk dan di bagian permukaan atas terdapat susunan bata yang melingkar dengan garis tengah sekitar 6 meter yang diduga merupakan susunan dari bentuk stupa. Nama Candi Jiwa diberikan penduduk karena setiap kali mereka menambatkan kambing gembalaannya di atas reruntuhan candi tersebut, ternak tersebut mati. Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Ketika umat Budha melakukan ritual ditempat ini mereka mengitari candi jiwa seturut dengan perputaran arah jarum jam.‎

Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata pada masa lampau yang lebih terlihat gosong ‎dibandingkan dengan batu batu masa sekarang yang dibakar menggunakan oven, walaupun suhu bakaran kedua-duanya berkisar 45 derajat celcius. Dan yang menjadi keunikan, batu bata didaerah batujaya itu berukuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata di daerah Jakarta dan sekitarnya. 
Candi Blandongan

Candi Blandongan adalah candi yang termasuk kedalam Situs Batujaya. Secara administratif candi ini terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Beberapa orang yang berkunjung ke tempat ini, sering menyebut sebagai situs percandian.

Hal ini karena situs Candi Blandongan terdiri dari berbagai candi yang tersebar di berbagai tempat dan titik. Lokasi percandian ini adalah danau yang dimana candi dibangun di berbagai tepi danau. Hal tersebut beralasan adanya nama desa yang ada, yaitu Segaran dan Telagajaya. Arti dari kedua kata tersebut adalah laut atau kolam, seperti halnya danau dalam bahasa Sanskerta.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di situs, berbagai macam benda purbakala terdapat di sekitar gundukan yang ada di tengah sawah. Sejak awal penelitian sampai tahun 2013, ditemukan setidaknya 39 sisa bangunan purbakala yang merupakan bagian dari struktur candi. Sisa bangunan tersebut dibangun menjadi dua kelompok sesuai tempatnya, yakni di Desa Segaran dan Desa Telagajaya.

Informasi Mengenai Candi Blandongan Karawang

Situs Batujaya diteliti oleh tim arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1984. Pada tahun 1989, Ditlinbinjarah dengan Badan Koordinasi Survei, Pemetaan Nasional, Fakultas Geografi dari Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Tarumanegara melakukan penelitian ditempat ini.

Sedangkan pada tahun 1992, Bidang Arkeometri Pusat Penelitian Arkeologi Nasional meneliti Batujaya untuk mengetahui lingkungan geologis, arkeologis, geomorfologis, dan hidrologis yang ada didalamnya. Pada Bulan September 1992, Bidang Arkeologi Klasik Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan penelitian untuk mempelajari pola sebaran situs.‎

Sementara itu, situs Segaran V atau ‎Candi Blandongan, secara khusus diteliti tahun 1993. Ekskavasi tersebut dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang berhasil menampakkan kaki bangunan di barat laut. Tahun 1995, penelitian dilanjutkan dengan hasil menampakkan struktur bangunan yang sepanjang 21,6 m dengan 9 anak tangga.

Karena luas dan banyaknya situs Batujaya, membuatnya dijadikan lahan okupasi penelitian, baik dari peneliti dalam maupun luar negeri. Sedangkan tahun 2004, penelitian yang dilakukan bersama Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan  Ecole Francaise d’Extreme-Orient di situs Batujaya.

Candi Blandongan adalah bangunan yang paling lengkap untuk menyimpan berbagai situs purbakala. Teknologi dan arsitektural yang ada di candi ini lebih rumit dari yang lainnya. Di keempat sisi candi tersebut, terdapat pintu masuk tangga dengan 8 anak tangga.

Penemuan Penting di Candi Blandongan Karawang

Pemugaran di Candi Blandongan terjadi pada tahun 1999/2000 hingga tahun 2010. Di Candi Blandongan ditemukan amulet dan materai (votive tablet). Amulet adalah salah satu atribut dalam agama Buddha. Amulet digunakan sebagai aktivitas ziarah. Hasil analisis morfologis berpendapat bahwa amulet Candi Blandongan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu amulet 6 arca tanpa tulisan, serta amulet 6 arca dengan tulisan. Dalam kepercayaan agama Buddha, cerita tersebut menggambarkan tentang sravasvat.

Temuan lain yang tidak kalah penting adalah prasasti yang berupa lempengan logam mulia. Lempengan yang ditemukan di selasar tangga dan satu lempengan yang ditemukan di sisi luar candi. Kemudian ada tiga fragmen kaki arca yang merupakan fragmen kaki arca Budha dari bahan tembaga.
Di barat daya Candi Blandongan ada lapisan tanah di bawah pondasi candi. Ditemukan rangka manusia dengan posisi tegak lurus dengan bangunan candi. Di dekat temuan rangka manusia inilah ada lapisan tanah yang sama. Temuan gerabah adalah salah satunya. Untuk sementara diduga adalah benda magis yang digunakan sebagai alat upacara dan bekal kubur. Gerabah Batujaya adalah gerabah yang secara khusus ditemukan di Candi Blandongan.

Temuan lain yang sangat unik di Candi Blandongan adalah gerabah Arikamedu yang dipercAya dari abad keempat. Gerabah Arikamedu memiliki berbentuk seperti wadah uang terdapat slip merah sebagai hiasan motifnya. Diantaranya ada ragam hias garis-garis vertical dan lingkaran yang tersusun secara teratur, seperti menyerupai pola hias rolet.

Keberadaan temuan dari masa prasejarah yang ada di Candi Blandongan adalah bukti adanya keterkaitan budaya dari masa prasejarah hingga pengaruh Hindu-Budha terjadi.

Itulah tadi wisata sejarah Candi Blandong di Karawang yang wajib anda kunjungi. Selamat berwisata di Karawang dan terimakasih sudah berkunjung.‎

Sabtu, 04 Februari 2017

Raden Soedirman Jenderal Perang Yang Teguh Pendirian

Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dan Jenderal RI yang pertama dan termuda. Saat usia Soedirman 31 tahun ia telah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit tuberkulosis paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI. Pada tahun 1950 ia wafat karena penyakit tuberkulosis tersebut dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.‎

Jenderal Besar Raden Soedirman (‎Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun‎) adalah seorang perwira tinggi ‎Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga,Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah ‎Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara ‎Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di ‎Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah ‎Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk ‎upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton Yogyakarta‎, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat ‎Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. ‎Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna ‎Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan Awal Pak Dirman

Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo.

Menurut catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh pamannya –lahir pada Minggu pon di bulan Maulud dalam ‎penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa. ‎Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun. ‎Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar.‎Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.‎

Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama priyayi, ‎serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat jelata. ‎Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar; Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu ‎shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamat. ‎Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch inlandsche school). ‎Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit Singer.‎

Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah; permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah. ‎Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo ‎setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar. ‎Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. ‎Soedirman belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua di saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran ‎kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia. ‎Soedirman juga menjadi semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain. ‎Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai bek.

Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun. ‎Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari Hadits‎ dan doa. ‎Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.‎

Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik. Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi ‎Kepanduan Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo; ‎tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di seluruh Jawa. ‎Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan ‎tentang sejarah Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer.‎

Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool ‎(sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena kekuarangan biaya. ‎Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo. ‎Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. ‎Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.‎

Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional. ‎Salah seorang muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di kalangan muridnya. ‎Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru. ‎Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari tiga gulden ‎menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan demokratis. ‎Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.‎

Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota; ia juga berdakwah di masjid setempat.

Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah ‎dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri. ‎Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.

Masa Penjajahan Jepang 

Ketika Perang Dunia II pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah bergerak mendekati Cina daratan, akan berupaya menginvasi Hindia. Sebagai tanggapan, pemerintah kolonial Belanda –yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi pribumi – mulai mengajari rakyat cara-cara menghadapi serangan udara. Menindaklanjuti hal ini, Belanda kemudian membentuk tim Persiapan Serangan Udara. Soedirman, yang disegani oleh masyarakat, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain mengajari warga setempat mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi serangan udara, Soedirman juga mendirikan pos pemantau di seluruh daerah. Ia dan Belanda juga menangani pesawat udara yang menjatuhkan material untuk mensimulasikan pengeboman; hal ini bertujuan untuk mempertinggi tingkat respon.‎

Jepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal ‎Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah. Peristiwa ini menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara dan dan semakin memperburuk kualitas hidup warga non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang. ‎Di Cilacap, sekolah tempat Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer; ‎ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta. ‎Setelah Soedirman berhasil meyakinkan Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru lainnya terpaksa menggunakan perlengkapan standar. Selama periode ini, Soedirman juga terlibat dalam beberapa organisasi sosial dan kemanusiaan, termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa Indonesia. ‎Hal ini membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap.

Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di dewan karesidenan yang dijalankan oleh Jepang (Syu Sangikai), ‎Soedirman diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA pada Oktober 1943 untuk membantu menghalau invasi Sekutu, ‎dan berfokus dalam merekrut para pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda. ‎Meskipun sempat ragu-ragu, terutama karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja, Soedirman akhirnya setuju untuk memulai pelatihan di Bogor, Jawa Barat. Sehubungan dengan posisinya di masyarakat, Soedirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama. Di Bogor, ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang, para taruna dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tidak jauh dari Cilacap.‎

Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal 21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut, Soedirman setuju untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan Jepang, dan Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak. Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun mundur. Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April.

Peristiwa ini meningkatkan dukungan terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan anak buahnya kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih; namun sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan dibunuh.

Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. ‎kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin menyerang tentara Jepang, Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya untuk kembali ke kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu dengan Presiden Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945. ‎Di saat yang bersamaan, pasukan Sekutu sedang dalam proses merebut kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda, ‎tentara Inggris pertama kali tiba pada tanggal 8 September 1945.‎

Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). ‎BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan Heihō. ‎Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP. ‎Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. ‎BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian, ‎terutama karena pemimpin politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih ada di nusantara.‎

Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain.‎

Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang professional, pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekret pembentukanTentara Keamanan Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar personelnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan Heihō. ‎Dekret mengangkat Soeprijadi ‎sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul, ‎dan kepala staff Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin sementara. ‎Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang ‎Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang, Soedirman –yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari ‎Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang. ‎Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V ‎setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda.‎

Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan divisi Sumatera semuanya memilih Soedirman. ‎Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff. Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal. ‎Setelah pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu. ‎Rakyat Indonesia khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan ‎pertempuran besar telah terjadi di ‎Surabaya pada akhir Oktober dan awal November. ‎Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman, ‎menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin TKR.‎

Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman; kota itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang. 

Soedirman kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan ‎katana sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. ‎Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat tentara gerilya ‎menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang.

Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat nasional, dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah. ‎Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945. ‎Posisinya sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro. ‎dan mulai berfokus pada masalah-masalah strategis. ‎Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik dan militer. ‎Oerip sendiri menangani masalah-masalah militer.‎

Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan rasa ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa tentara tidak bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti komandan batalion pilihan mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua kali pada Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat, kemudian diganti lagi menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI). Pergantian nama ini diakhiri dengan membentuk secara resmi angkatan laut dan angkatan udara ‎pada awal 1946.

Sementara itu, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta – sekarang di bawah kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir ‎melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil. ‎Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan militer. ‎Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan." ‎Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, Amir Sjarifuddin, memperoleh kekuasaan yang lebih besar setelah reorganisasi militer. Ia mulai mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis di bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh berbagai partai politik. ‎Sjarifuddin melembagakan program pendidikan politik di tubuh angkatan perang, yang bertujuan untuk menyebarkan ideologi sayap kiri. Memanfaatkan militer sebagai alat manuvering politik tidak disetujui oleh Soedirman dan Oerip, yang pada saat itu disibukkan dengan penerapan perlakuan yang sama bagi tentara dari latar belakang militer berbeda. ‎Namun, rumor yang beredar mengabarkan bahwa Soedirman sedang mempersiapkan sebuah kudeta; ‎upaya kudeta tersebut terjadi pada awal Juli 1946, dan peran Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat dipastikan. ‎Pada bulan Juli, Soedirman mengonfirmasi rumor ini melalui pidato yang disiarkan di ‎Radio Republik Indonesia (RRI), menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat Indonesia, adalah abdi negara, ‎dan jika dirinya ditawari jabatan presiden, ia akan menolaknya.‎ Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa militer tidak memiliki tempat dalam politik, begitu juga sebaliknya.

Negosiasi Dengan Belanda

Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn, dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di Stasiun Gambir pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan besar.‎ Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan ‎Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia.‎ Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia,‎ namun menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah.‎

Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini, Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar,‎ yang berhasil dirangkul Soedirman setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik.‎ Namun, gencatan senjata yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka – melancarkan ‎Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatera. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta tetap tak tersentuh.‎ Soedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan "Ibu Pertiwi memanggil!,‎ dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang melawan Belanda.‎ Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan cepat.

‎Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan.‎ Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan hijrah, merujuk pada perjalanan nabi Muhammad ‎ke Madinah pada tahun 622 M, dan meyakinkan bahwa mereka akan kembali.‎ Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal laut. ‎Perbatasan ini diresmikan melalui ‎Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948; penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri.‎ Di saat yang bersamaan, Sjarifuddin mulai ‎merasionalisasi TNI (Program Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan.‎Pada saat itu, tentara reguler terdiri dari 350.000 personel, dan lebih dari 470.00 terdapat di laskar.‎

Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan ‎Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil adalah pelaksana taktis operasional.

Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27 Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu Djenderal Major‎ A.H. Nasution. Angkatan perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.

Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam mosi tidak percaya atas keterlibatannya dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru,Muhammad Hatta, berupaya untuk menerapkan program rasionalisasi.‎ Hal ini menimbulkan perdebatan di antara kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan pendorong semangat bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang program rasionalisasi. Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni 1948. Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Djenderal Major Soesalit Djojoadhiningrat (mantan PETA dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL) dan Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat Martaatmadja, menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera.‎

Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari Partai Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia untuk mengobarkan revolusi proletar di Madiun, Jawa Timur, yang berlangsung pada tanggal 18 September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk memadamkan revolusi;‎ Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai ‎antena perdamaian sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk berdamai,‎ Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September. ‎Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang terjadi.

Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk berperang melawan Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan. Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November,‎ dan persiapannya ditangani oleh Nasution.‎ Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948.‎

Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada tanggal 17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara Indonesia dan Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan; ia juga memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya – yang gagal – untuk meyakinkan Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk diserang.‎ Dua hari kemudian, diumumkan bahwa mereka tak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Pada 19 Desember, Belanda melancarkan ‎Agresi Militer Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, lapangan udara diMaguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih – sebagai gerilyawan.‎

Perintah Kilat
No. 1/PB/D/48
Kita telah diserang.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.‎
Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Pidato radio Soedirman, dari Imran (1980)
Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial. Soedirman mendesak presiden dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak. Meskipun dokter melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atas desakan Sultan Hamengkubuwono IX, namun mereka tertangkap dan diasingkan.‎

Perang gerilya
Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda. Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, ‎Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana, mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju ‎Wonogiri.‎ Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer. ‎Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di Kraton. ‎Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ‎ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.‎

Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion 102.‎ Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak untuk melepaskan Soedirman dan kelompoknya;‎ mereka mencurigai konvoi Soedirman yang membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-mata. ‎Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana untuk menyerang Kediri.‎

Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan dengan Soedirman. Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.‎

Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya.‎ Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran.‎ Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.‎

Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil. ‎Pertemuan ini menghasilkan rencana ‎Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI ‎ ‎berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam belas jam, menjadi ‎unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas. ‎Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto dan Hamengkubuwono IX ‎sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan serangan tersebut.‎

Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya;‎ Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan.‎ Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana. ‎Wartawan Rosihan Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik".

Pasca-perang dan kematian Sang Jenderal ‎

Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang sama. Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat, dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.
Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih.‎ Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem. ‎Akibat penyakitnya ini, Soedirman jarang tampil di depan publik. ‎Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember. ‎Di saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. ‎Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada 28 Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara.

Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI. Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan bermotor, ‎dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.

Jenazah Soedirman disemayamkan diMasjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri Abdul Halim, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Johannes Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold Mononutu, Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata. ‎Jenazah Soedirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer (1.2 mi) mengiringi di belakang. ‎Ia dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya, ‎lalu diikuti oleh para menteri.

Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang ‎sebagai tanda berkabung di seluruh negeri, ‎dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh. ‎Djenderal Major Tahi Bonar Simatupang terpilih sebagai pemimpin angkatan perang yang baru. ‎Memoar Soedirman diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada tahun 1970.‎

Sebab-Sebab Wanita Banyak Yang Masuk Neraka

Rasulullah Saw bersabda:

أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, disebabkan mereka kufur“. Ditanyakan: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau bersabda: “Mereka kufur kepada suami, kufur terhadap kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu.“(HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasa`i dan Ahmad)

Bagi kaum feminis (penganut faham feminisme; bahwa perempuan harus setara dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan, termasuk rumah tangga), ajaran Islam dinilai banyak memandang rendah kaum perempuan (misogini). Salah satunya hadits di atas yang dinilai merendahkan perempuan karena memastikan perempuan sebagai penghuni neraka paling banyak. Ini tidak ubahnya pandangan negatif Barat Kristen yang menilai wanita sebagai setan penggoda karena menyebabkan Adam dikeluarkan dari surga. Penilaian seperti itu jelas tidak benar, karena justru Islam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dan menempatkannya pada posisi yang utama. Misalnya, al-Qur`an membela hak-hak perempuan yang biasa ditindas oleh bangsa Arab Jahiliyyah dalam hal pernikahan, rumah tangga, waris, sebagaimana terekam dalam surat an-Nisa` (perempuan) dan al-Mujadilah (wanita yang menyampaikan gugatan).
Nabi saw juga menyatakan bahwa seorang ibu harus lebih didahulukan penghormatannya daripada penghormatan kepada seorang ayah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ r فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw lalu bertanya: “Wahai Rasulullah saw, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baikku?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Kemudian ayahmu.”

(Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab man ahaqqun-nas bi husnis-shuhbah no. 5971; Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah wal-adab bab birril-walidain wa annahuma ahaqqu bihi no. 6664)

Berkaitan dengan hadits ini, Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari, menguraikan penjelasan dari para ulama yang mengarah pada satu kesimpulan bahwa hak penghormatan terhadap ibu tiga kali lipat melebihi ayah disebabkan ibu yang mengandung, melahirkan, dan menyusui anak. Tiga hal yang tidak dilakukan oleh ayah. Berbagai ayat al-Qur`an yang menyinggung keharusan berbakti kepada orang tua sering menyebut jasa ibu dalam ketiga hal tersebut (Lihat misalnya QS. Al-Ahqaf ayat 15 dan Luqman ayat 14).

Terkait hadits di awal, Ibn Hajar dalam kitabnya, Fathul-Bari, mengutip penjelasan al-Qadli Abu Bakar ibn al-’Arabi sebagai berikut:

Hadits ini mengisyaratkan adanya jenis kekufuran lain yang berbeda dari kufur kepada Allah swt dan dikategorikan non-muslim. Kufur kepada suami, dikhususkan dalam hadits ini dibanding jenis-jenis dosa lainnya disebabkan adanya rahasia yang tersembunyi, sesuai dengan hadits Nabi saw:

لَوْ أَمَرْت أَحَدًا أَنْ يَسْجُد لِأَحَدٍ لَأَمَرْت الْمَرْأَة أَنْ تَسْجُد لِزَوْجِهَا

Seandainya aku hendak memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, pasti aku akan perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya. (Hadits shahih diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam kitab ar-radla’ bab haqqiz-zauj ‘alal-mar`ah no. 1159)

Hadits di atas menegaskan bahwa suami dari segi hak yang harus dipenuhi oleh seorang istri berada pada level kedua di bawah Allah swt. Kalau seorang istri mengabaikan hak seorang suami, padahal suaminya sudah memenuhi hak istri tersebut, berarti ini merupakan pertanda bahwa istri mengabaikan hak Allah. Oleh karena itu diungkapkan oleh Nabi saw dengan pernyataan “kufur”, meskipun kufurnya tidak sampai keluar dari Islam (Fathul-Bari kitab al-iman bab kufranil-’asyir).

Perlu diingat kembali, dalam konteks rumah tangga, Islam telah mengatur bahwa suami harus menjadi pemimpin bagi istrinya. Kepemimpinan dalam Islam tidak berarti diskriminasi atau penindasan seperti sering dipahami kaum feminis. Kepemimpinan dalam Islam identik dengan keadilan. Tanpa keadilan, kepatuhan kepada pemimpin tidak berlaku. Tetapi jika pemimpin memang adil adanya, siapapun wajib untuk mematuhinya. Seperti inilah juga berlakunya ketaatan istri kepada suami, yakni selama suami memimpin dengan adil, maka istri wajib taat. Kewajiban taat tersebut tidak jauh beda dengan kepatuhan anak kepada orangtuanya atau seorang rakyat kepada pemerintahnya. Selama orangtua tidak menyuruh musyrik ataupun kemaksiatan lainnya, maka anak wajib patuh tanpa terkecuali. Demikian juga, selama pemerintah tidak memerintahkan maksiat, maka rakyat wajib taat tanpa pengecualian.

Dalam konteks rumah tangga, suami berada satu level di bawah Allah swt. Dalam konteks keluarga, orangtua berada satu level di bawah Allah swt. Dan dalam konteks pemerintahan/kenegaraan, pemerintah berada satu level di bawah Allah swt/Rasul-Nya. Oleh karena itu banyak juga ayat al-Qur`an dan hadits yang memerintahkan taat secara mutlak kepada orangtua dan pemerintah.

Hadits di atas yang menyatakan bahwa perempuan menjadi penghuni neraka yang paling banyak sama sekali tidak boleh dipahami sebagai hadits yang misoginis dengan alasannya berikut:

Pertama, prasangka misoginis serupa pernah muncul pada zaman shahabat (pasca Nabi saw wafat) dan memancing perdebatan di antara kaum lelaki dan perempuan saat itu, yakni apakah kebanyakan penghuni neraka itu memang perempuan atau laki-laki? Muhammad ibn Sirin sampai menyatakan bahwa sebagian laki-laki ada yang sampai berbangga diri dan sombong karena merasa diri lebih unggul dari wanita dalam hal masuk surga. Permasalahan ini kemudian dibawa kepada Abu Hurairah, dan beliau malah membenarkan bahwa wanita lebih banyak yang menjadi penghuni surga daripada lelaki, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim berikut ini:

إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَالَّتِى تَلِيهَا عَلَى أَضْوَإِ كَوْكَبٍ دُرِّىٍّ فِى السَّمَاءِ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ زَوْجَتَانِ اثْنَتَانِ يُرَى مُخُّ سُوقِهِمَا مِنْ وَرَاءِ اللَّحْمِ وَمَا فِى الْجَنَّةِ أَعْزَبُ

Sesungguhnya golongan pertama yang masuk surga wujudnya seperti bulan di malam purnama, golongan selanjutnya wujudnya seperti bintang paling terang di langit dan setiap lelaki di antara mereka memiliki dua istri, tulang betis keduanya terlihat dari balik daging, dan di surga tidak ada orang bujang.(Shahih Muslim kitab al-jannah wa shifati na’imiha bab awwal zamrah tadkhulun-nar no. 7325-7326. Hadits semakna diriwayatkan juga dalam Shahih al-Bukhari kitab bad`il-khalq bab ma ja`a fi shifatil-jannah wa annaha makhluqah no. 3245-3254)

Berkaitan dengan dua hadits yang tampaknya bertentangan di atas, Ibn Hajar menyatakan, tidak mesti ketika disebutkan bahwa wanita penghuni neraka paling banyak, menjadi paling sedikit di surga. Sebab mungkin kedua-duanya, yakni wanita paling banyak di neraka, juga paling banyak di surga, disebabkan jumlahnya lebih banyak. Atau mungkin yang dimaksud hadits pertama wanita menjadi penghuni neraka paling banyak, itu terjadi sebelum syafa’at. Sesudah syafa’at, dan mereka yang sebatas kufur kepada suami (maksiat yang tidak sampai kufur pindah agama) dipindahkan ke dalam surga, maka jadilah penghuni surga pun kebanyakannya wanita (Fath al-Bari kitab bad`il-khalq bab ma ja`a fi shifatil-jannah wa annaha makhluqah).

Kedua, penegasan kebanyakan penghuni neraka wanita hanya sebatas peringatan dini saja untuk kaum wanita agar lebih berhati-hati. Sebab pada riwayat lain, Nabi saw juga menyatakan bahwa kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang miskin. Tentu ini tidak berarti bahwa Nabi saw merendahkan orang-orang kaya yang banyak ke neraka, melainkan sebatas peringatan dini kepada orang kaya agar mereka tidak terlena dengan kekayaannya.

اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ

Aku melihat sejenak surga, ternyata aku lihat kebanyakan penghuninya orang-orang miskin. Dan aku lihat sejenak neraka, ternyata aku lihat kebanyakan penghuninya wanita. (Shahih al-Bukhari kitab bad`il-khalq bab ma ja`a fi shifatil-jannah wa annaha makhluqah no. 3241; Shahih Muslim kitab ar-riqaq bab aktsar ahlil-jannah al-fuqara no. 7114)

Menurut Imam al-Qurthubi, Nabi saw menyatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka wanita merupakan peringatan dini yang sesuai dengan fakta yang ada. Yakni bahwa kaum wanita secara umum mudah terlena dengan dunia dan sangat emosional sehingga mudah sekali tersinggung dalam urusan dunia dan harta (at-Tadzkirah 1: 369). Artinya, tidak jauh beda dengan orang kaya yang rentan dengan sikap angkuh, sombong, dan pelit untuk shadaqah. Walau tentunya bukan berarti kedua-duanya; wanita dan orang kaya, direndahkan oleh Islam, dipandang sebelah mata oleh Allah swt. Tidak sama sekali.

Ketiga, hadits di atas menyebutkan sifat yang menjadi penyebab masuk neraka. Sebagaimana halnya ayat dan hadits lainnya yang sering menyinggung tentang sifat dan sikap yang akan memasukkan ke neraka, berarti yang harus diperhatikan sifatnya itu sendiri, bukan jenis kelaminnya. Ini diperkuat oleh riwayat lain yang menitikberatkan pada sifat wanita yang menjadi penyebab masuk nerakanya, bukan jenis kelaminnya.

وَأَكْثَر مَنْ رَأَيْت فِيهَا مِنْ النِّسَاء اللَّاتِي إِنِ اؤْتَمِنَّ أَفْشَيْنَ وَإِنْ سُئِلْنَ بَخِلْنَ وَإِنْ سَأَلْنَ أَلْحَفْنَ وَإِنْ أُعْطِينَ لَمْ يَشْكُرْنَ

Kebanyakan penghuni neraka yang aku lihat adalah wanita yang jika diberi amanah untuk dijaga, mereka membocorkannya; jika diminta, mereka bakhil; jika mereka minta, mereka memaksa; dan jika mereka diberi, tidak pandai bersyukur. (Fathul-Bari abwabil-kusuf bab shalatil-kusuf jama’atan)

Dengan kata lain, maksud hadits perempuan banyak menghuni neraka itu adalah: Penghuni neraka dari kalangan perempuan kebanyakannya yang kufur pada kebaikan suaminya. Jadi titik tekannya bukan pada perempuannya, tetapi pada sifat kufur terhadap kebaikan suaminya.

Dalam hal ini, maka berlaku juga kebalikannya. Seorang lelaki, jika ia memang mempunyai sifat yang akan menjadi penyebab ia masuk neraka, maka ia akan masuk neraka. Walau disebut lelakinya, bukan berarti merendahkan jenis kelaminnya, karena hadits hanya menyatakan sifatnya:

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

Siapa yang memiliki dua istri, tetapi ia lebih cenderung kepada salah satunya, maka pada hari kiamat nanti ia akan datang dengan sebelah badan yang condong

(Sunan Abi Dawud kitab an-nikah bab fil-qism bainan-nisa` no. 2135; Sunan an-Nasa`i kitab ‘isyratin-nisa` bab mailer-rajul ila ba’dli nisa`ihi duna ba’dlin no. 3942; Sunan Ibn Majah kitab an-nikah bab al-qismah bainan-nisa` no. 1969. Hadits shahih).

Hadits ini jika dikaitkan dengan firman Allah swt dalam QS. an-Nisa` [4] : 129, dapat diketahui bahwa jumlah lelaki yang tidak adil kepada istri-istrinya lebih banyak daripada yang adil. Tetapi tidak berarti bahwa status lelakinya kemudian menjadi rendah, atau juga lelaki yang bersitri lebih dari satu harus dipandang secara misoginis (dinilai rendah dan negatif). Tidak sama sekali.

Penyebab Wanita Masuk Neraka

Kufur Terhadap Suami dan Kebaikan-Kebaikannya
Rasulullah s.a.w menjelaskan hal ini pada sabda di atas tadi. Kekufuran seumpama ini terlalu banyak kita dapati di tengah-tengah keluarga kaum muslimin, yaitu seorang isteri yang mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya dengan sikap suami yang tidak sesuai dengan kehendak isteri sebagaimana kata pepatah,’panas setahun dihapus oleh hujan sehari’. Padahal yang harus dilakukan oleh seorang isteri ialah bersyukur terhadap apa yang diberikan suaminya, janganlah ia mengkufuri kebaikan-kebaikan suami karena Allah s.w.t. tidak akan melihat isteri seperti ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah s.a.w :

“Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.”(HR. An-Nasai)

Hadis di atas adalah peringatan bagi kaum wanita muslimah yang menginginkan keridhaan Allah s.w.t. dan Surga-Nya. Maka tidak layaklah bagi wanita yang mengharapkan akhirat untuk mengkufuri kebaikan-kebaikan suaminya dan nikmat-nikmat yang diberikannya atau meminta dan banyak mengadukan hal-hal kekurangan yang tidak sepatutnya untuk diperbesar-besarkan.

Cukuplah kiranya isteri-isteri Rasulullah s.a.w dan para sohabiyah sebagai suri tauladan bagi isteri-isteri kaum muslimin dalam mensyukuri kebaikan-kebaikan yang diberikan suaminya kepadanya.

Durhaka Terhadap Suami‎
Kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya pada umumnya berupa tiga bentuk kedurhakaan yang sering kita jumpai pada kehidupan masyarakat kaum Muslimin. Tiga bentuk kedurhakaan itu adalah :

a. Durhaka dengan ucapan.

b. Durhaka dengan perbuatan.

c. Derhaka dengan ucapan dan perbuatan.

Bentuk pertama ialah seorang isteri yang biasanya berucap dan bersikap baik kepada suaminya serta segera memenuhi panggilannya, tiba-tiba berubah sikap dengan berbicara kasar dan tidak segera memenuhi panggilan suaminya. Atau ia memenuhinya tetapi dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak senang atau lambat mendatangi suaminya. Kedurhakaan seperti ini sering dilakukan seorang isteri ketika ia lupa atau memang sengaja melupakan ancaman-ancaman Allah terhadap sikap ini.

Termasuk bentuk kedurhakaan ini ialah apabila seorang isteri membicarakan perbuatan suami yang tidak ia sukai kepada teman-teman atau keluarganya tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’. Atau ia menuduh suaminya dengan tuduhan-tuduhan yang bermaksud untuk menjatuhkan dan merusak kehormatannya sehingga suaminya dipandang hina di mata orang lain. Begitu juga apabila seorang isteri meminta talak atau di khulu’ (dicerai) tanpa sebab syar’i. Atau ia mendakwa telah dianiaya atau dizalimi suaminya atau lain-lainnya.

Permintaan cerai biasanya di awali dengan pertengkaran antara suami dan isteri karena ketidakpuasan isteri terhadap kebaikan dan usaha suami. Atau yang lebih menyedihkan lagi bila hal itu dilakukannya karena suaminya berusaha mengamalkan syari’at-syari’at Allah s.w.t. dan sunnah-sunnah Rasulullah s.a.w. Sungguh hina sekali apa yang dilakukan isteri seperti ini terhadap suaminya.

Ingatlah sabda Rasulullah s.a.w :

“Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang syar’ie) maka haram baginya mencium wangi Surga.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi)

Bentuk kedurhakaan kedua yang dilakukan para isteri terjadi apabila seorang isteri tidak mau melayani keperluan batiniyah suaminya atau bermuka masam ketika melayaninya atau menghindari suami ketika hendak disentuh dan dicium atau menutup pintu ketika suami hendak mendatanginya dan yang seumpamanya.

Termasuk dari bentuk ini ialah apabila seorang isteri keluar rumah tanpa izin suaminya walaupun hanya untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Tindakan ini sebenarnya adalah seakan-akan seorang isteri lari dari rumah suaminya tanpa sebab syar’ie. Demikian pula jika isteri enggan untuk bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya (aurat), menerima tamu tanpa izin suaminya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau atau berbicara lemah-lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya dan yang lain-lain.

Begitu juga apabila seorang isteri tidak mau berdandan atau mempercantikkan diri untuk suaminya padahal suaminya menginginkan hal-hal itu, melakukan puasa sunat tanpa izin suaminya, meninggalkan hak-hak Allah seperti sholat atau puasa Ramadhan.

Maka setiap isteri yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti tersebut adalah isteri yang durhaka terhadap suami dan telah melakukan maksiat kepada Allah s.w.t. Jika kedua bentuk kedurhakaan ini dilakukan sekaligus oleh seorang isteri maka ia dikatakan sebagai isteri yang durhaka dengan ucapan dan perbuatannya.

Sungguh rugi wanita yang melakukan kedurhakaan ini. Mereka lebih memilih jalan ke Neraka daripada jalan ke Surga karena memang biasanya wanita yang melakukan kedurhakaan-kedurhakaan ini tergoda oleh angan-angan dan kesenangan dunia yang menipu.

Jalan menuju Surga tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga yang indah, melainkan dipenuhi dengan rintangan-rintangan yang berat untuk dilalui oleh manusia kecuali orang-orang yang diberi ketegaran iman oleh Allah. Tetapi ingatlah di ujung jalan ini ada Surga yang Allah sediakan untuk hamba-hambaNya yang sabar menempuhnya.

Ketahuilah pula bahawa jalan menuju ke Neraka memang indah, penuh dengan syahwat dan kesenangan dunia yang setiap manusia tertarik untuk menjalaninya. Tetapi ingat dan sedarlah bahwa Neraka menanti orang-orang yang menjalani jalan ini dan tidak mau berpaling darinya semasa ia hidup di dunia.

Hanya wanita yang bijaksanalah yang mahu bertaubat kepada Allah s.w.t. dan meminta maaf kepada suaminya dari kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah ia lakukan. Ia akan kembali berusaha mencintai suaminya dan sabar dalam mentaati perintahnya.

Tabarruj
Yang dimaksud dengan tabarruj ialah seorang wanita yang menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang wajib ditutupnya dari pandangan lelaki bukan mahramnya.

Hal ini kita dapati pada sabda Rasulullah s.a.w tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang disebabkan pakaian yang mereka pakai tipisnya, ketat menampakkan bagian-bagian tubuh tertentu, tidak menutup aurat seperti yang berlaku di dalam masyarakat kita. Sebagaimana yang diuraikan oleh Ibnul ‘Abdil Barr ketika menjelaskan sabda Rasulullah s.a.w tersebut. Ibnul ‘Abdil Barr menyatakan :

“Wanita-wanita yang dimaksudkan Rasulullah s.a.w adalah yang memakai pakaian yang tipis yang menampakkan tubuhnya atapun yang menunjukkan bentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah wanita-wanita yang berpakaian pada zahirnya dan telanjang pada hakikatnya … .”

Mereka adalah wanita-wanita yang suka dan amat gembira apabila bias menampakkan perhiasan mereka, padahal Allah s.w.t. telah melarang hal ini dalam firmanNya yang artinya:

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan mereka.” (An-Nur: 31)

Imam Adz-Dzahabi menyatakan di dalam kitab Al Kabair :

“Termasuk dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka dilaknat ialah menampakkan hiasan emas dan permata yang dipakai oleh mereka, memakai minyak wangi dengan yang seumpanya jika mereka keluar rumah … .”

Dengan perbuatan seperti ini bererti mereka secara tidak langsung menyeret kaum lelaki ke dalam Neraka, karena pada diri kaum wanita terdapat daya tarik syahwat yang sangat kuat yang dapat menggoncang keimanan yang kukuh sekalipun, apa lagi iman yang lemah yang tidak dikuatkan dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Rasulullah sendiri menyatakan di dalam hadis yang sahih bahwa :

“ Fitnah yang paling besar yang paling ditakutkan atas kaum lelaki adalah fitnahnya wanita.”

Hindarilah tabarruj dan berhiaslah dengan pakaian yang diperintahkan oleh Islam yang akan menyelamatkan kaum wanita dari dosa di dunia ini dan azab di akhirat kelak. Jangan ikuti pemikiran sekuler pemimpin-pemimpin wanita Islam yang mencoba mempertikaikan hukum-hukum Allah dan mempertikaikan hak-hak wanita yang telah dinyatakan di dalam al-Qur’an.

Allah s.w.t. berfirman yang artinya:

“Dan tinggallah kamu di rumah-rumah kamu dan janganlah kamu bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama dahulu.” (al-Ahzab: 33)

Masih banyak sebab-sebab lainnya yang menyebabkan wanita menjadi penghuni Neraka. Tetapi cukuplah dengan tiga sebab ini saja yang dijelaskan di sini karena memang tiga perkara inilah yang sering kita dapati di dalam kehidupan masyarakat kita.

Rasulullah s.a.w pernah menerangkan satu amalan yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari azab Neraka. Ketika Rasulullah Saw selesai berkhutbah hari raya yang berisikan perintah untuk bertakwa kepada Allah s.w.t. dan anjuran untuk mentaatiNya. Beliau Saw pun bangkit mendatangi kaum wanita, beliau menasihati mereka dan mengingatkan mereka tentang akhirat kemudian baginda bersabda:

“Bersedekahlah kamu semua. Karena kebanyakan kamu adalah kayu api Jahanam!”

Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, diapun bertanya: “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:

“Karena kamu banyak mengeluh dan kamu kufur terhadap suami!” (HR. al-Bukhari)‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎