Kamis, 02 Februari 2017

Ibnu Al-Muqoffa' Sastrawan Yang Terlupakan

Di kalangan pondok pesantren nama Ibn al-Muqaffa’ adalah nama yang asing. Meskipun   sosok yang satu ini penuh dengan kontroversi dan dipersoalkan ke-Islaman-nya oleh sebagain orang. Dalam catatan sejarah peradaban Islam, Ibn al-Muqaffa’ dianggap oleh sebagian intelektual Muslim sebagai orang yang pertama kali menerjemahkan buku-buku logika karya Ariestoteles, yang dipersembahkan untuk khalifah al-Manshur yang kelak menjadi orang yang memerintahkan membunuhnya.

Ibn al-Muqaffa’ lahir di Irak pada tahun 106 H/742 M sebagai pemeluk agama Majusi. Sebelum masuk Islam namanya ialah Ruzabah dan sering dipanggil (kuniyyah) dengan sebutan Abu Amr. Ia masuk Islam di bawah tangan Isa bin Ali, paman as-Saffah dan al-Manshur, yaitu dua khalifah awal Abbasiyah. 

Menurut Ibn Khalikan, ia termasuk dari orang-orang yang dituduh Zindiq. Dan pada akhirnya, dengan restu khalifah al-Manshur, ia dieksekusi mati pada tahun 142 H/759 M. [Untuk lebih jelas lihat, Ibn Khalikan,Wafayat al-A’yan wa Anba`u Abna` az-Zaman, Bairut-Dar Shadir, jilid, II, h. 151].Tuduhan zindiq yang dialamatkakan kepada Ibn al-Muqaffa’ merupakan salah satu alasan kenapa ia harus dieksekusi mati. Tragis memang, tetapi itulah sejarah yang ada. 

Ibn al-Muqaffa' adalah  "insiator"  taqnin hukum Islam. Pengkajian dan pendalaman gagasan  Ibn al-Muqaffa tidak dimaksudkan untuk mengeliminir peran para khalifah yang telah berupaya membuat "keputusan politik" untuk menyelamatkan ajaran-ajaran agama sebagai telah disinggung dalam taqnin dari sisi sejarah hidup sahabat.

Nama lengkap Ibn al-Muqaffa' adalah Abu Muhammad Abdillah  Ibn Al-Mubarok al-Muqaffa'; beliau lahir pada tahun 102 H/720 M. di Persia. Oleh karena itu, Ia dikenal pula sebagai "penulis Arab berkebangsaan Persia." Beliau meninggal pada tahun 139 H/756 M. karena hukuman mati atas keputusan Abu Ja‘far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbas yang memerintah pada periode 137-159 H/754-775 M). Usia Ibn al-Muqaffa sangat singkat, yaitu hanya 37 tahun (102-139 H).

Ibn Muqaffa hidup sezaman dengan  Imam Malik  di Madinah (93-179 H). Akan tetapi, belum ditemukan literatur  yang  menginformasikan pertemuan secara fisik dua ulama besar tersebut. Mungkin ketidakbertemuan mereka disebabkan oleh jarak yang berbeda, Imam Malik di Madinah; sementara Ibn al-Muqaffa di Kirman (Irak); ketika Ibn al-Muqaffa meninggal, usia Imam Malik sudah paruh baya, yaitu 43 tahun. Banyak pertanyaan mengenai beliau, sebab beliau memiliki nama "kurang lazim" untuk ukuran seorang sekretaris Gubernur Kirman (di Irak) pada zaman Dinasti Bani Abbas. Al-muqaffa secara bahasa berarti "orang yang dipotong tangannya." Pertanyaan mengenai nama ini dapat dijawab melalui sejarah yang menceritakan dia dengan bapaknya.

Ibn al-Muqaffa memiliki ayah yang bernama al-Mubarak. Al-Mubarak bertugas  sebagai pemungut pajak di daerah Irak dan Iran ketika Hajjaj Ibn Yusuf al-Saqafi menjadi Gubernur Irak dan Iran (41–95 H atau 661-714 M) pada masa kekuasaan Dinasti Bani Umayah. Al-Mubarak melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya, yaitu menggelapkan sebagian hasil pungutan pajak; oleh karena itu, ia dijatuhi hukuman potong tangan (sanksi pencurian adalah potong tangan seperti terdapat dalam Quran). Sejak saat itulah al-Mubarak digelari al-muqaffa‘ (orang yang terpotong tangannya). Gelar ini kemudian dilekatkan pada nama anaknya, Abu Muhammad Ibn al-Muqaffa. Secara harfiah, Ibn al-Muqaffa berarti  "anak orang yang tangannya terpotong."

Ibn al – Muqaffa adalah penulis Arab yang berasal dari Persia. Dialah yang pertama kali melakukan penerjemahan dalam sejarah dan sastra Arab, baik dari segi isi maupun dari gaya ungkapnya. Penerjemahan itu mengakibatkan dua hal yang sangat penting : yaitu pindahnya bangsa Arab dari kehidupan bergaya Badui kepada kehidupan Modern dan keterlibatan orang bukan Arab dalam bidang penulisan sastra Arab.

Para pengikut nasionalisme yang menganggap bangsa bukan Arab lebih unggul dari bangsa Arab, telah gagal memberikan kesan bahwa kedudukan bahasa Arab sangat rendah. Mereka juga mengakui bahwa bahasa Al – quran milik orang muslim (apapun bahasa asli mereka) dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat Islam. Akan tetapi, mereka menolak bahwa kaidah – kaidah bahasa Arab didasarkan atas apa yang dipakai oleh orang Arab badui. Karena tidak ada sama sekali bukti yang memperkuatnya, misalnya seorang penyair yang bersal dari mereka. Jeleknya, orang badui malah dijadikan penghujat bagi masalah yang muncul dalam bahasa. Bukti yang paling nyata, menurut mereka, adalah adanya penulis atau pelajar yang mengatakan bahwa dirinya telah berbicara seperti halnya orang badui. Meskipun demikian, kehidupan umat-khususnya sejak awal kekhalifahan Abbasiyah telah jauh dari kehidupan badui. Orang – orang yang berpengaruh dalam daulah itu, sebagian besar berasal dari Persia, tidak merasakan adanya hubungan emosional dengan kehidupan Arab, bahkan watak, nilai – nilai etika dan estetika pun berbeda. Orang – orang dinasti Abbasiyah, berkat kemampuan mereka sendiri, mampu berbicara seperti halnya orang badui. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengisi pikiran mereka yang modern dan kaya itu dengan gaya ungkap bahasa lama. Oleh sebab itu meski diadakan perubahan yang sangat mendasar bagi model ungkapan bahasa Arab. Bahasa Arab harus dikembangkan sesuai perubahan yang terjadi dkehidupan umat. Itulah salah satu perubahan yang mungkin saja menyangkut pemikiran dan makna yang belum pernah terbertik dalam pikiran bangsa Arab terdahulu. 

Ibn Al – Muqaffa adalah pakar dalam bidang yang satu ini. Dia menyisihkan bahasa Arab kuno, dan membangun gaya ungkap bahasa arab yang benar, mudah dan sederhana yang dapat mengungkapkan makna dan muatan katanya. Dia mengadakan revolusi besar besaran dalam bahasa Badui kuno, berikut kosakata yang sesuai dengan dunia modern. Dia melakukan penyederhanaan ( langsung kepada maksud ), penyusunan gramatikal yang jelas, selain menghindari pemakaian kata yang mengandung banyak arti, mengatur struktur pembicaraan, menghilangkan bentuk ungkapan takjub dan permintaan tolong serta memilih kata yang mudah dipahami dan menghindari setiap musykil yang terdapat dalam bahasa orang badui.

Ibn Al – Muqaffa berpendapat bahwa peniruan terhadap orang – orang terdahulu menjadi batu penghalang yang besar dalam perkembangan pemakaian ungkap baru. Karena itu dia memilih gaya ungkap yang bagus dan menarik, jelas, mudah dipahami dan gampang disampaikan. Dia menghindarkan diri dari tabiat kasar dan rumit orang – orang arab kuno, kemudian menggantinya dengan bahasa – bahaswa yang mudah, teratur dan jelas. Gaya bahasanya biasa, tetapi mudah dipahami. Dengan cepat, gaya bahasa Ibn Al – Muqaffa diikuti oleh banyak orang dan dipakai dalam dunia sastra oleh para sarjana, penulis di dunia Islam.

Kerena pendidikan Ibn Al – Muqaffa banyak diperoleh dari Persia, dia sendiri sangat condong kepada Persia dan ingin menghidupkan umatnya dengan menyebarkan sastra, politik dan sejarah mereka, maka tidak aneh bila buku – buku Ibn Al – Muqaffa adalah buku yang mula – mula dipengaruhi oleh sastra asing, dengan memperluas makna dan konsepnya.

Dia banyak menerjemahkan buku dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dialah yang pertama kali menyerukan penyatuan pemikiran yang tumbuh dari kerja sama, tanggung jawab, dan saling pengertian antar generasi, lintas waktu, diantara umat timur yang bermacam – macam. Hal yang sama kemudian direalisasikan oleh peradaban Islam dengan sangat baik setelah dia tiada yaitu, ketika peradaban Islam mulai hidup, kuat, dan sangat berpengaruh dalam kehidupan berbagai umat dan bangsa.

Keelokan hasil terjemahannya dapat dikatakan belum pernah ada pada jaman sebelum ataupun sesudahnya yang mampu menerjemahkan karya sastra kedalam bahasa Arab, yang tidak sama sekali bahwa karya sastra itu berasal dari bahasa Asing. Karya terjemahannya pertanda bahwa kedalaman bahasa Arab mudah dicerna dan enak dibaca.

Buku penting yng dia terjemahkan ialah Kalilah dan daminah yang mampu memasuki ruang kesadaran bangsa Arab dan mampu mempengaruhi pikiran mereka, sebuah kemampuan yang tidak dimiliki oleh buku – buku lainnya, selain Al – Quran dan buku Alf Laylah wa laylah. Buku itu di cetak berkali kali di dunia Arab sejak cetakan pertama hingga jaman kita sekarang ini. Di beberapa Negara, buku ini dijadikan sebagai buku wajib di sekolah, sehingga tidak ada satupun cendikiawan atau pelajar yang belum pernah menelaah atau membaca buku itu, sebagian atau keseluruhannya.

Buku kalilah dan daminah telah diterjemahkan kedalam lebih dari dua puluh bahasa. Semuanya kebanyakan diterjemahkan dari terjemahan dari bahasa Arab yang dilakukan oleh Ibn Al – Muqaffa. Banyak penulis yang sangat terpengaruh oleh ghaya sastra arab karena mengikuti Ibn Al – Muqaffa, baik dari segi gaya ungkap maupun cara mengkritik kondisi politik dan ketimpangan social pada masa itu, saat kebebasan mengungkapkan pendapat sudah tidak ada tempatnya.

Ibn Al – Muqaffa menginginkan agar dirinya memiliki kesempatan untuk mengungkapkan kondisi social politik yang bobrok pada masa pemerintahan Abbasiyah dengan cara membandingkannya dengan tatanan politik yang sangat bagus di Persia. Pemikirannya yang asli ini banyak membawa hasil yang baik. Dialah orang yang pertama kali menjelaskan bahwa kemuliaan Akhlak kadang kala datang dari pemikiran dan filsapat, selain datang dari agama. Menurut pendapatnya, orang – orang yang berakhlak, tingkah lakunya pasti sesuai dengan agama dan filsapat dia sangat bangga bahwa dia berakhlak karena berfilsafat ansich. Jika seseorang mau melakukan perbuatan yang mulia, pasti dirinya akan mencapai derajat yang tinggi dan terhormat. Kalaulah perbuatan mulia itu tidak dianjurkan oleh agama, manusia tetap harus melakukan perbuatan yang mulia.

Ibn Al – Muqaffa adalah cendikiawan yang beradab, bukan seorang ahli agama atau ulama. Jikapun tulisannya menyinggung persoalan berbicara tentang akhlak, dia memberi penjelasan dan uraian secara rasional saja. Hamper tidak pernah mempertahankan pendapatnya dengan memakai dalil dari ayat al – Quran ataupun hadist.

Ibn Al – Muqaffa dihukum mati pada saat khalifah Al – Manshur, karena dituduh ‘Zindiq’. Ada juga yang mengatakan bahwa dihukum mati akibat suratnya yang dikirim kepada khalifah yang dikenal dengan nama ‘ Risalah al shahabah’. Surat itu mengkritik tatanan hukum yang berlaku saat itu, selain menunjukan jalan keluar untuk memperbaiki tatanan yang abruk itu. Dia dijatuhi hukuman mati ketika berusia 36 tahun. Masih muda.

Ibn al-Muqaffa bukan ahli hukum (fikih atau usul fikih). Oleh karena itu, nama beliau dalam sejarah fikih atau hukum Islam jarang sekali (untuk mengatakan tidak pernah) ditulis sebagai penghargaan terhadap gagasannya. Beliau adalah "politisi" yang ditandai dengan jabatannya sebagai sekretaris Gubernur Kirman. Beliau dikenal sebagai sosok yang cerdas dan responsif yang sangat besar perhatiannya terhadap perbaikan (islah) masyarakatnya.

Karena kecerdasan tersebut, Ibn al-Muqaffa pernah diminta oleh khalifah Abu Ja‘far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbas) untuk menyusun konsep perjanjian damai antara khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan dengan saudaranya, Abdullah Ibn Ali, yang melakukan makar (pemberontakan). Tetapi dalam "draft" perjanjian tersebut terdapat pernyataan-pernyataan yang menyinggung  khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Abu Ja‘far al-Mansur marah dan  curiga terhadap Ibn al-Muqaffa dan menuduhnya sebagai pendukung pemberontak. Karena murka, Abu Ja‘far al-Mansur memerintahkan kepada Gubernur Kirman keatika itu, Sufyan Ibn Mu‘awiyah al-Muhalibi, untuk memecat Ibn al-Muqaffa dari jabatannya sebagai sekretaris gubernur, sekaligus menjatuhkan hukuman mati terhadapnya karena ia dianggap sebagai pemberontak. Hukuman mati dijalaninya pada tahun 139 H/756 M.

Ibn al-Muqaffa dikenal sebagai ulama yang kritis dan cerdas dalam memperhatikan praktek hukum yang hidup dan berkembang pada zamannya. Ibn Muqaffa mencetuskan gagasan taqnin al-ahkam berkaitan dengan "kesenjangan" hukum dengan putusan hakim yang terjadi pada zamannya. Idenya dituangkan dalam Risalah al-Sahabat; surat tersebut kemudian diterbitkan dengan judul Rasa’il al-Bulaga setelah diedit oleh Ibn Taifur. Secara garis besar, risalah itu berisi tentang kritik dan saran perbaikan hukum dalam empat bidang: militer, peradilan, rekrutmen pegawai pembantu khalifah, dan pajak tanah (al-kharaj). Selain itu, ia pun memberikan saran kepada khalifah. Kritik yang paling banyak dialamatkan pada militer. Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada militer adalah:

Seharusnya dibuat peraturan perundang-undangan khusus mengenai prajurit tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan peraturan, prajurit akan mengetahui mana yang halal dan mana yang haram dilakukan. Hal ini berkaitan dengan doktrin militer ketika itu yang menyatakan bahwa "kalau amir al-mu’minin (khalifah) menginstruksikan agar salat membelakangi Ka’bah, pasti instruksi tersebut akan didengar dan ditaati.

Seharusnya dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang "pemisahan" administrasi militer dan administrasi keuangan pemerintahan. Hal ini berkaitan dengan militer yang ditugaskan di daerah yang dinyatakan dalam status "darurat militer" yang mengambil alih sistem keuangan di daerah tersebut dengan bertindak arogan. Padahal tugas utamanya adalah mengamankan daerah, bukan mengambil alih keuangannya.

Jabatan panglima dan komandan militer hendaknya dipegang oleh prajurit yang terbaik atas dasar prestasi (bukan atas dasar yang lain).

Prajurit hendaknya dibekali ilmu pengetahuan dan agama, khususnya berkaitan dengan moral (akhlak), amanah (accountable), iffah (terpelihara dari perbuatan-perbuatan tercela), rendah hati (tawadu), dan kesederhanaan.

Seharusnya prajurut mendapatkan imbalan (baik berupa gaji maupun honor) tepat waktu, agar dapat menjalankan tugas dengan baik dan semangat.

Khalifah seharusnya selalu memperhatikan fisik dan mental prajurit; sehingga ia dapat memberikan bantuan pada saat yang tepat dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan peradilan berkaitan dengan "kepastian hukum." Ibn al-Muqaffa menyarankan agar khalifah menyusun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim di pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan sengketa. Peraturan dapat menjamin kepastian hokum sepanjang ia dapat mengikuti perubahan zaman. Secara implisit, Ibn al-Muqaffa memberikan ruang kepada khalifah dan hakim untuk melakukan ijtihad demi tereliminirnya "kesenjangan" antara hukum dalam ide (maqasid) dan hukum dalam teks peraturan perundang-undangan. Kritik ini berkaitan dengan ragamnya putusan hakim karena tidak ada pedoman keputusan yang disepakati.

Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan rekruitmen pegawai berkaitan dengan kriteria dan profesionalisme pegawai. Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar pegawai yang diangkat untuk menjadi para pembantu khalifah harus memiliki standar atau kriterai tertentu; calon pegawai haruslah adil, amanah, dan berasal dari keturunan orang baik-baik. Pegawai seharusnya dibebani tugas yang jelas (fokus), dan tidak dibenarkan memegang banyak pekerjaan (seperti rangkap jabatan).

Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan pajak tanah berkaitan dengan administrasi pertanahan. Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar administrasi tanah ditertibkan; terutama berkaitan dengan pajak dan batas-batas kepemilikan tanah. Kejelasan aturan administrasi dan pajak tanah serta batas-batas tanah akan memudahkan pegawai pemungut pajak dan petugas yang menyalahgunakan kewenangannya agar diberi sanksi.

Ibn al-Muqaffa juga meyarankan kepada para khalifah agar benar-benar menjadi suri tauladan (uswah hasanah) bagi masyarakat. Saran ini tentu saja berkaitan dengan moralitas para khalifah Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah yang cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai dan mempertahaknkan kekuasaan; dan di antara mereka dianggap jauh dari nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.‎

Ketika Ibn al-Muqaffa masih hidup, gagasannya yang tertuang dalam kitab Risalat al-Sahabah yang kemudian diterbitkan juga dengan judul Risalat al-Bulaga, tidak mendapat perhatian dari para aparat hukum ketika itu. Apalagi, akhir hayat Ibn al-Muqaffa dilalui dengan tragis; ia dituduh sebagai pemberontak dan karenanya ia dipecat (dari sekretaris gubernur) dan dihukum mati. 

Setelah  Ibn al-Muqaffa meninggal, sebagian mujtahid merasa perlu mempertimbangkan gagasan Ibn al-Muqaffa, terutama yang berkaitan dengan "kodifikasi" hukum. Hal yang sama juga dirasakan oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Oleh karena itu, ketika menunaikan ibadah haji (tahun 163 H/760 M), kira-kira empat belas tahun setelah kematian Ibn al-Muqaffa, Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan sengaja menemui Imam Malik guna memintanya menyusun sebuah kitab fikih dengan menetapkan hukum dari sumber-sumber primer, dengan mempertimbangkan prinsip kemudahan dalam melaksanakan hukum. Ketika itu  Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur meminta Imam Malik agar memilih pendapat yang sederhana, menengah, dan disepakati oleh para sahabat sehingga buku itu dapat dijadikan pegangan di seluruh negeri.

Menanggapi permintaan khalifah Abu Ja‘far al-Mansur, Imam Malik menjawab dengan mengatakan bahwa sesungguhnya penduduk Irak tidak menerima pendapatnya, bahkan penduduk Irak menganggap bahwa pendapatnya tidak benar (salah). Jawaban ini mengisyaratkan akan keberatan Imam Malik untuk melakukan kodifikasi hukum.

Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur menanggapi jawaban Imam Malik dengan mengatakan bahwa beliau akan menjamin hukum yang sudah dikodifikasi nanti untuk diberlakukan di seluruh negeri; hakim yang tidak mau menerapkannya akan berhadapan dengan hukuman khalifah. Pada musim haji tahun depan, lanjut Abu Ja‘far al-Mansur,  akan diutus al-Mahdi (pengganti khalifah Abu Ja‘far al-Mansur berikutnya) untuk mendatangi Imam Malik yang telah menyiapkan buku tersebut yang bernama al-Muwatta. Gagasan Ibn al-Muqaffa juga kemdian dipraktekan oleh Kerajaan Turki Usmani yang telah melakukan kodifikasi hukum yang kemudian dinamai Majallat al-Ahkam al-Adliyyah.

Khalifah yang telah memvonis Ibn al-Muqaffa sebagai pemberontak dan menjatuhi hukuman mati terhadapnya, ternyata masih memerlukan gagasannya. Khalifah Abu Ja‘far al-Mansurlah yang menuduh beliau "bersekongkol" dengan pemberontak; karenanya ia dipecat dari jabatannya dan dihukum mati; dan Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur pula yang meminta Imam Malik untuk mengimplementasikan gagasan Ibn al-Muqaffa. Ini bukti bahwa gagasan atau pemikiran tetap dihargai, meskipun penggagasnya belum tentu dihargai.‎
KITAB KALILAH WA DIMNAH.

Hikayat pancatantra (lima cerita fabel/dongeng perumpamaan yang digubah dalam bentuk cerita berbingkai) dalam versi Arab, terjemahan seorang sastrawan muslim kenamaan, Ibnu al-Muqaffa. Buku ini mengandung pelajaran dan nilai-nilai akhlak yang tinggi. Sebagian besar ajaran tersebut diungkapkan dalam bentuk dialog antara sesama binatang yang menjadi tokoh-tokohnya.                   

Kalilah dan Dimnah adalah dua ekor anak serigala yang menjadi tokoh utama dalam cerita pertama. Mereka pintar dan bijaksana. Nama kedua tokoh telah berubah. Dalam buku aslinya yang ditulis dalam bahasa Sanskerta, keduanya bernama Karataka dan Damanaka. Dalam terjemahan bahasa Suriah kuno menjadi Kalilag dan Damnag. 

Karya asli hikayat ini terdiri dari lima cerita, yaitu “Hikayat Singa dan Lembu”, “Hikayat Burung Tekukur”, “Hikayat Burung Hantu dan Burung Gagak”, “Hikayat Kera dan Buaya”, dan “Hikayat Seorang Alim dan Istrinya”. Kelima hikayat ini ditulis oleh seorang brahmana bernama Baidaba. Kemudian atas perintah Raja Khusraw Anusyirwan (531-579) dari Dinasti Sasanid, Barzawaih (sastrawan Persia nonmulism) menerjemahkannya ke dalam bahasa Persia (Iran) dengan menambahkan beberapa judul cerita. Tiga di antaranya dikutip dari kitab Mahabharata XXI. Selebihnya adalah karyanya sendiri, antara lain berjudul “Pendahuluan”, “Tabib Barzawaih”, “Seorang Alim dan Tamunya”, “Sebuah Kaca dan Seorang Brahmana”, “Seorang Pelancong dan Tukang Emas”, serta “Anak Seorang Raja dan Kawan-kawannya”. Karya Barzawaih diterjemahkan oleh Ibnu al-Muqaffa ke dalam bahasa Arab dengan menambahkan lagi sembilan judul tulisannya sendiri. 

Dalam pengantarnya, Ibnu al-Muqaffa menguraikan latar belakang Baidaba menulis karya ini. Setalh ditaklukkan oleh raja Macedonia, Alexander Agung, India diperintah oleh seorang raja yang zalim. Karena merasa prihatin terhadap penderitaan rakyat, Baidaba menghadap raja dan menasihatkan agar ia bersikap adil dan bertindak manusiawi. Raja murka lalu memenjarakannya. Namun raja kemudian menyesali tindakannya. Sebagai gantinya, Baidaba diangkat menjadi wazir (perdana menteri)-nya setelah ia dibebaskan. Baidaba memerintah dengan adil, sehingga membuat raja kagum. Lalu raja memintanya untuk menulis buku pedoman dalam hal pemerintahan. Oleh karena itu, secara keseluruhan tema tulisannya adalah nasihat-nasihat kepada penguasa dalam memerintah rakyat, dengan bahasa yang ringkas dan jelas.          

Karya ini pertama kali diterbitkan di Paris pada tahun 1816 dan di Mesir pada tahun 1248 H yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1249 H dan 1251 H. Salah satu versi naskah diterbitkan oleh Louis Syaikhu (penerbit buku-buku sastra) di Beirut pada tahun 1904 dan dicetak ulang pada tahun 1908, 1922, 1923, dan 1960. Versi lainnya diterbitkan oleh Muhammad Hasan Na’il (penulis dan penerbit buku-buku sastra) di Cairo pada tahun 1912, 1927, dan 1934. Sementara itu pada tahun 1941 Dr. Abdul Wahhab (sastrawan Arab) menerbitkan satu versi yang lebih tua. Selanjutnya, karya ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, antara lain bahasa Yunani, bahasa Spanyol, bahasa Turki, bahasa Italia, bahasa Rusia, bahasa Inggris, bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Latin.

Karya Ibnu al-Muqaffa ini berpengaruh besar dalam sejarah perkembangan kesusastraan Islam, baik dalam bahasa Arab, Persia, Turki, maupun Urdu. Sejak itu gaya penulisan prosa yang menggunakan dialog dan kehidupan binatang sebagai latar belakangnya tumbuh dan berkembang membawa pesan yang bertujuan memperbaiki perilaku manusia dengan semangat dan nilai-nilai keislaman.

Pada zaman Khalifah al-Ma’mun, Sahl bin Harun (sastrawan Arab) menulis cerita dengan judul Anak Serigala dan Menjangan dan pada masa Harun ar-Rasyid, Ali bin Daud (sastrawan Arab) menulis cerita dengan judul Macan dan Musang. Abu al-Ala’ al-Ma’arri (w. 499 H/1059 M; penyair Arab yang termahsyur) juga menulis beberapa judul, di antaranya al-Qaif. Penulisan dengan gaya tersebut juga dijumpai dalam karya sastra Arab modern. Ahmad Syauqi, bapak sastra Arab modern, menulis asy-Syauqiyyat (yang memuat syari Ahmad Syauqi) yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1898. Ibrahim al-Arabi (sastrawan Arab) juga menulis prosa dengan judul Adab al’Arab (Sastra Arab) yang diterbitkan pada tahun 1911 dan 1913.

Ia juga menerjemahkan kita Khudainama dari bahasa Pahlavi, yang dalam bahasa Arabnya diberi judul Siyar Muluk al-‘Ajam (Kehidupan Raja-Raja Non-Arab). Di samping karya terjemahan, Ibnu al-Muqaffa juga mempunyai karya-karya orisinal sebagai ide dan pemikirannya sendiri. Di antara karya orisinal tersebut adalah kitab ad-Durrah al-Yatimah fi Ta’ah al-Muluk (Mutiara Terbaik dalam Mematuhi Raja), al-Adab as-Sagir (Sastra Kecil), al-Adab al-Kabir (Sastra Besar), dan beberapa risalah kecil lainnya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar