Sabtu, 04 Maret 2017

Kisah Sunan Nyamplungan Dengan Tongkat Kalimosodo

Kayu Kalimosodo adalah salah satu tumbuhan langka yang biasa tumbuh didaerah rawa-rawa maupun daratan.
Pohon ini cepat tumbuh/besar, berdaun lebar dan berbuah (Seperti Jambu Kluthuk-Jawa).

Karakter kayu kering, ringan, berwarna cenderung hitam/belang dan berserat nggedibel dengan bagian keras kayu terletak pada pinggir batang.

Kayu kalimasada mempunyai warna yang cenderung hitam,kayunya ringan berserat dan belang  mirip sono keling.Semua bagian kayu kalimosodo berwarna ABU-ABU kehitaman namun tak ada pada bagian  kayu berwarna putih. Fisik kayu ringan tentu terapung di air baik yang tua atau yang muda.Karimun jawa memang pulau mistik yang banyak menyimpan keanekaragaman jenis kayu langka bertuah termasuk kayu kalimasada yang biasa digabungkan dengan setigi maupun dewadaru atau kayu-kayu bertuah lainya. Pohon kalimosodo cenderung lebih cepat tumbuh atau besar mempunyai daun yang lebar dan berbuah orang pulau menyebut pentil kembang kalimosodo. 

Pohon ini biasa tumbuh didaerah rawa maupun di daratan namun mempunyai karakter kayu yang kering dan agak beserat nggedibel atau kasar.Pohon kalimasada mempunyai karakter mirip pohon waru. Bagian terbaik kayu kalimosodo adalah dari pinggir batangnya yang keras dan belang hitamnya rapat  bukan tengah batangnya, semakin ke tengah kayu ini akan semakin muda warnanya dan semakin lunak. Kebanyakan kayu kalimosodo tua dalam bentuk bahan tengah batangnya cenderung krowak atau bolong dikarenakan tengahnya yang berkarakter semakin lunak.‎

Dari namanya dalam bahasa jawa KALIMASADA ATAU KALIMOSODO mepunyai arti kalimah sahadad cocok dengan namanya jenis kayu ini untuk bertasbih,dzikir atau membaca aurad lelaku dapat meningkatkan energi spiritualis seseorang serta mempunyai kelebihan untuk menyimpan energi aurad yang dibaca.Khowas kayu kalimasada yang sejuk beraura ungu atau biru digunakan sebagai campuran atau peyeimbang energi campuran beberapa kayu bertuah seperti campuran setigi,dewadaru yang digabungkan dengan kalimasada.
Ciri keaslian kayu kalimosodo adalah, ringan tua muda kayunya akan terapung, berserat rapat ulet, motif hitam belang dan berkilau kalau diamplas halus teknik sangkling. 
KAYU KALIMOSODO ASLI BAGIAN KAYU  TERBAIK KEKERASAN DAN WARNA LEBIH GELAP ADALAH BAGIAN PINGGIR KAYU BUKAN DI TENGAH (HATI KAYU).  ‎

Fadhilah kayu kalimasada dari pandangan surnatural metafisika ;

Meningkatkan energi spiritualis seseorang
Menyimpan energi wirid
Orang yang temperamental menggunakan kayu ini sebagai pendingin
Dipakaikan pada bayi sebagai pelindung (sambetan)
Mempunyai energi pengasih
Cocok untuk bisnisman maupun pejabat yang sering bersosialisai dengan masa untuk meningkatkan wibawa,kharisma
Cocok untuk dipakai wanita sebagai dinding dari guna-guna atau pelet
Dalam hal kegunaan Kayu Kalimosodo banyak dibuat sebagai barang seni kerajinan seperti : Tongkat Komando, Rangka Keris, Tasbih, Papan Nama dan lain-lain, selain menghasilkan karya seni yang indah juga diyakini mempunyai pancaran energi supranatural yang bertuah untuk :

- Meningkatkan Kharisma dan Kewibawaan yang sangat cocok untuk para pejabat dan usahawan yang sering bersosialisasi dengan masyarakat luas.
- Meningkatkan energi spiritualis seseorang dan menyimpan energi wirid/rapalan.
- Anti daya negatif dan pelindung wanita dari guna-guna dan pelet.
- Mempunyai energi pengasih untuk mendinginkan orang yang temperamental.
- sebagai penyeimbang dan memperkuat pancaran energi kayu bertuah lain bila dipasangkan.

Kelangkaan pohon ini memang sangat sulit ditemukan dan melegenda, dalam butiran tasbih mempunyai motif yang indah hitam dan terdapat belang-belang melingkar di dapat dari motif serat pada batang yang belang-belang lurus.Dan dari segi penyelidikan ilmiah khasiat mistik kayu jenis inipun telah ada yang menyelidikinya.

SUNAN NYAMPLUNGAN DAN TONGKAT KALIMOSODO
Raden Amir Hasan (11 tahun) bikin ulah di pasar. Bermula ketika ia melihat seorang pengemis yang minta sedekah sama penjudi sabung ayam tapi dibentak-bentak dan diusir.
Amir Hasan kasihan pada pengemis itu, sekaligus kesal pada penjudi sabung ayam yang menyiksa hewan. Amir Hasan lalu mencopet pundi uang milik penjudi itu dan dikasih ke pengemis. Pengemis sangat girang dan mendoakan keselamatan Amir Hasan. Setelah itu, Amir Hasan segera lepasin ayam-ayam jago yang mau diadu dari kandangnya, sehingga ayam jago lari berhamburan. Para pemilik ayam jago pada panik dan marah, mengejar-ngejar Amir Hasan. Namun Amir Hasan gesit bagai belut. Para penjudi yang mau menangkap malah dikerjain dengan nibanin bambu, lemparin tampah, dll hingga barang-barang dagangan di pasar jadi berantakan. Pasarpun jadi gaduh. Namun keamanan pasar berhasil menangkap Amir Hasan. Para penjudi yang marah hendak memukuli Amir Hasan namun dicegah, karena Kepala Keamanan Pasar mengenali Amir Hasan sebagai putra Sunan Muria. Kepala Keamanan Pasar memutuskan membawa Amir Hasan pulang sambil mengadukan kenakalannya pada Sunan Muria di Puncak Gunung Muria.

Sunan Muria (35 tahun) jadi malu dan marah atas kelakuan putranya. Tapi istrinya (Dewi Sujinah, 33 tahun) malah membelanya, dengan alasan Amir Hasan membela pengemis dan judi sabung ayam adalah perbuatan yang melanggar agama. Sunan Muria menegur Kepala Keamanan Pasar itu agar jangan lagi menggelar perjudian di pasar. Karena judi memang kerap menimbulkan pertengkaran. Dan lagi mengadu ayam itu menyiksa binatang, dilarang oleh Allah. Kepala Keamanan Pasar berjanji akan menutup judi sabung ayam dan sejenisnya di pasar itu. Tapi Sunan Muria tetap tidak enak hati, berniat mengganti semua kerugian di pasar yang diakibatkan oleh Amir Hasan. Namun Keamanan Pasar itu segan menerimanya, menolak dengan halus dan berpamitan pulang.

Karena terus dimarahi oleh Sunan Muria, Amir Hasan ngambek dan pergi. Dewi Sujinah khawatir dan hendak mengejarnya. Tapi Sunan Muria mencegah dan menegur istrinya, agar tidak terlalu memanjakan Amir Hasan yang sudah kelewat nakal itu. Tapi Dewi Sujinah makin khawatir sehingga tetap mengejar Amir Hasan yang menuju tempat paling puncak di gunung Muria. Dengan muka merengut, Amir Hasan duduk di bawah pohon nyamplung yang tinggi dan besar. Tiba-tiba kepalanya ketiban buah nyamplung yang sudah kering dan rontok. Amir Hasan memegangi buah nyamplung yang niban kepalanya itu dan memegang-megangnya. Karena penasaran, Amir Hasan segera memanjat pohon Nyamplung itu. Dari atas pohon itu Amir Hasan dapat melihat laut yang luas membentang. Amir Hasan tertegun melihat gugusan pulau di tengah lautan yang menurutnya seperti sesuatu yang “krimun-krimun” (berkerumun).

Dewi Sujinah datang menyuruh Amir Hasan turun. Tapi Amir Hasan malah tanya ke ibunya “apa yang krimun-krimun di tengah laut itu”. Ibunya menjawab itu pulau-pulau. Amir Hasan tanya, ada penduduknya apa tidak. Ibunya bilang tidak tahu, karena belum ke sana. Amir Hasan bilang ingin pergi ke pulau krimun-krimun itu. Ibunya jadi khawatir dan mengingatkan Amir Hasan agar jangan pergi ke manapun tanpa seijinnya. Ibunya membujuk Amir Hasan agar turun dengan diiming-imingi sudah membuatkan pecek lele dan nasi liwet kesukaannya. Amir Hasan senang dan segera turun karena memang lapar.

Saat makan bersama ibu dan bapaknya, Amir Hasan terus dinasehati oleh Sunan Muria agar jangan kelewat nakal. Amir Hasan jadi kesal, bawa piring makannya dan bilang mau makan di luar rumah saja biar adem dan tidak ada yang ngomelin. Sunan Muria hendak marah namun dicegah oleh istrinya. Sunan Muria jadi marah pada istrinya dan bilang, kalau Amir Hasan terus dimanjakan, bisa tidak benar nanti saat dewasa. Istrinya bilang, kakeknya Amir Hasan (Sunan Kalijogo) dulu kecilnya juga nakal dan bandel ndak ketulungan, tapi besarnya malah jadi Wali Allah, disegani dan dihormati banyak orang. Sunan Muria hanya bisa istighfar atas pembelaan istrinya itu.

Sementara itu, Amir Hasan makan sambil berjalan. Malah butiran nasinya dibagi-bagi pada ayam dan kepala lele bakar diberikan pada kucing yang lagi berkeliaran di dekatnya. Hal itu menjadi perhatian Sunan Kalijogo (65 tahun) yang baru datang berkunjung ke Gunung Muria dengan memakai tongkat kayu berlekuk lima. Sunan Kalijogo tercenung melihat pancaran cahaya di hati Amir Hasan. Sunan Kalijogo segera menghampiri Amir Hasan, menyapa dengan tersenyum dan mengucap salam, sambil memuji kalau Amir Hasan anak yang berhati baik, mau berbagi makanan pada ayam dan kucing sekalipun. Amir Hasan girang melihat kakeknya dan langsung memeluknya.

Amir Hasan mengajak Sunan Kalijogo ke pohon Nyamplung. Amir Hasan bilang kalau naik ke atas pohon Nyamplung dapat melihat laut dengan pemandangan pulau yang “krimun-krimun”. Amir Hasan mengajak kakeknya naik memanjat pohon. Sunan Kalijogo menyuruh Amir Hasan naik duluan. Amir Hasan segera memanjat. Tapi Amir Hasan tercengang melihat Sunan Kalijogo sudah ada di atas pohon duluan, tanpa ia ketahui kapan naiknya. Amir Hasan tanya, bagaimana cara kakeknya sudah ada di atas pohon. Sunan Kalijogo bilang, nanti kalau Amir Hasan sudah besar dan dapat karomah dari Allah, akan bisa melakukan hal yang sama seperti dirinya.

Sunan Kalijogo bilang, di pulau yang krimun-krimun itu banyak binatang buas dan ular berbisa. Penghuninya adalah orang-orang Jawa pelarian dari Majapahit waktu terjadi perang dengan kerajaan Demak Bintoro. Amir Hasan bilang “berarti di sana itu krimun-krimunannya orang Jawa...?” Sunan Kalijogo hanya tersenyum dan mengangguk. Amir Hasan bilang ingin pergi ke pulau itu. Sunan Kalijogo bilang, Amir Hasan boleh ke sana tapi nanti kalau sudah besar dan punya iman yang kuat. Sunan Kalijogo memegang pundak Amir Hasan dan menyuruhnya memejamkan mata sambil mengucap bismillah. Amir Hasan nurut. Saat Sunan Kalijogo menyuruhnya membuka mata, tau-tau ia sudah ada di bawah pohon. Amir Hasan makin takjub pada kesaktian kakeknya.

Sunan Kalijogo berbincang dengan putranya (Sunan Muria) dan menantunya (Dewi Sujinah). Dewi Sujinah kawatir Amir Hasan nekat pergi ke pulau yang dibilang “krimun-krimun” itu. Sunan Kalijogo bilang, kalau pulau itu memang menarik hati Amir Hasan. Sunan Muria bilang, ia makin kawatir dengan kenakalan Amir Hasan yang sulit diarahkan. Sunan Kalijogo bilang tidak usah terlalu khawatir. Menurutnya, Amir Hasan sangat mirip dengan dirinya waktu kecil. Kenakalan Amir Hasan karena pikiran dan hatinya belum berkesinambungan. Sunan Kalijogo bilang, Insya Allah Amir Hasan kelak akan menjadi Wali Allah. Sunan Muria dan Dewi Sujinah mengamini. Sunan Kalijogo menyarankan pada mereka, agar Amir Hasan diserahkan pada bimbingan Sunan Kudus. Dewi Sujinah agak berat kalau harus berpisah dari anaknya. Tapi Sunan Kalijogo bilang, jangan pernah memberatkan anak pergi menimba ilmu ke jalan Allah. Dewi Sujinah akhirnya menyetujui. Sunan Kalijogo memberikan tongkatnya pada Dewi Sujinah. Tongkat itu bernama Tongkat Kalimosodo (berasal dari kata “kalimat syahadat”). Kalau Amir Hasan kelak sudah besar dan sudah selesai nyantri dari Sunan Kudus, agar tongkat Kalimosodo itu diberikan pada Amir Hasan.

Dengan bujukan Dewi Sujinah, Amir Hasan akhirnya mau pergi mengikuti Sunan Muria yang membawa buntalan, walau tidak diberitahu tujuannya mau ke mana. Di perjalanan, Amir Hasan melihat anak-anak yang kelaparan dengan pakaian penuh tambalan, tengah berkelahi memperebutkan buah maja. Amir Hasan melerai perkelahian. Tapi anak-anak itu tetap ngotot. Amir Hasan menghempaskan mereka ke tanah dan mengambil buah maja. Anak-anak itu jadi takut dengan kekuatan Amir Hasan. Karena penasaran Amir Hasan mencicipi buah maja itu dan merasakan sangat pahit. Amir Hasan bilang, kenapa anak-anak itu berkelahi cuma untuk memperbutkan buah maja yang pahit. Anak-anak itu bilang karena lapar, tidak tahu kalau buah itu pahit karena belum pernah memakannya. Amir Hasan iba hatinya. Ia meminta buntalan yang dibawa Sunan Muria. Buntalan yang berisi bekal makanan dan pakaian itu diberikan pada anak-anak miskin itu. Sunan Muria tercenung haru melihat budi baik anaknya.

Sampai di Pesantren Kudus, Amir Hasan baru sadar kalau Sunan Muria hendak menyerahkannya sebagai santri Sunan Kudus. Walau Sunan Kudus adalah pamannya sendiri, namun Amir Hasan kesal pada Sunan Muria dan kabur. Sunan Muria hendak mengejar tapi dilarang oleh Sunan Kudus. Sunan Kudus bilang, Amir Hasan tidak akan bisa keluar dari halaman masjid Pesantren Kudus. Benar saja, Amir Hasan cuma muter-muter di lokasi pesantren seakan tidak bisa keluar dari lokasi pesantren. Akhirnya Amir Hasan bertemu dengan anak-anak santri yang sedang menumbuk padi. Suara tumbukan padi membuat Amir Hasan tertarik dan mencobanya. Amir Hasan yang supel cepat akrab dengan anak-anak santri itu. Sunan Muria lega melihatnya. Sunan Kudus menyuruh Sunan Muria pulang, dan tidak usah khawatir dengan Amir Hasan. Insya Allah ia bisa membimbing Amir Hasan dengan baik.

Suatu pagi, Sunan Kudus mengajak Amir Hasan dan beberapa santri Anak-anak pergi sawah melihat tanaman padi yang sudah menguning. Sunan Kudus berfatwa pada mereka “agar kelak mereka meniru tanaman padi. Makin tua, makin berisi, makin menunduk”. Artinya, manusia makin dewasa dan makin berilmu, agar jangan congkak dan sombong, tapi selalu rendah hati kepada sesama, dan selalu menundukkan diri pada Allah.

Sunan Kudus lalu membawa Amir Hasan dan anak-anak santri ke tempat lain. Sunan Kudus menunjuk tembok masjid, di mana ada barisan semut. Sunan Kudus berfatwa agar mereka meniru semut. Saling bergotong royong, saling betegur sapa satu sama lain ketika bertemu walau disela kesibukan apapun. Sebagai seorang muslim, bertegur sapanya harus dengan Assalamualaikum. Bertegur sapa dengan Assalamualaikum adalah bentuk silaturrahmi yang membuat manusia akan diberi selamat dan rahmat oleh Allah.

Waktu terus berlalu... 12 tahun terlewati. Amir Hasan tumbuh sebagai pemuda yang tampan, kharismatik, murah senyum dan menawan. Banyak para santri wanita suka curi pandang mengagumi ketampanannya. Namun Amir Hasan selalu menundukkan kepala, atau mengalihkan pandangan ke tempat lain, tidak berani melihat para santri wanita. Santri wanita yang sedang mengupas kentang, karena memandangi ketampanan Amir Hasan, tangannya malah kena pisau. Santri wanita yang lagi menampi beras, karena terus melihat ketampanan Amir Hasan, beras yang ditampinya malah tumpah dari tampahnya. Santri wanita lain yang sedang membuat ketupat untuk lebaran, tangannya malah kebelit-belit janur kuning. Amir Hasan hanya menyapa mereka dengan salam, dan bilang kalau hari itu akan menjadi hari puncak kemenangan, karena sudah 30 hari menunaikan puasa Ramadhan. Nanti malam akan bergema takbir menyambut hari kemenangan itu.

Usai Maghrib... terdengar suara beduk bertalu-talu dengan takbir yang menggema di seantero Kudus, menyambut Hari Raya Idul Fitri. Amir Hasan memimpin takbir dengan suara yang merdu, membuat yang mendengarnya sampai meneteskan air mata. Sunan Kudus menghampiri Amir Hasan dan bilang kalau sudah waktunya Amir Hasan pulang untuk sungkem dan meminta maaf pada kedua orang tuanya di Hari Raya Idul Fitri. Amir Hasan meneteskan air mata terbayang wajah ibunya yang sangat menyayanginya. Sunan Kudus bilang, Amir Hasan sangat luar biasa karena sudah mampu menghafal Al Qur’an dengan baik berikut tafsirnya. Sunan Kudus berpesan agar Amir Hasan menyebarkan ajaran Allah di suatu tempat / wilayah yang belum tersentuh agama Islam. Amir Hasan mengamini. Setelah meminta maaf dan saling mengucapkan Selamat Idul Fitri, Amir Hasan berpamitan. Kepergian Amir Hasan diiringi tatapan sedih para santri, hingga ada yang meneteskan air mata.

Fajar menyingsing di atas Gunung Muria yang bergema oleh suara takbir. Dewi Sujinah yang hendak menunaikan sholat Ied, tengah menangis sedih mendengar gema takbir. Sudah 12 kali Hari Raya Idul Fitri ia tidak bersama Amir Hasan. Tiba-tiba terdengar suara salam dari Amir Hasan. Sunan Muria dan Dewi Sujinah gembira melihat kepulangan Amir Hasan. Amir Hasan langsung sungkem pada kedua orang tuanya. Dewi Sujinah memeluk Amir Hasan dan menangis haru penuh kebahagiaan. Sunan Muria merangkul Amir Hasan dan mengajak Sholat Ied bersama.

Usai sholat Ied, Amir Hasan naik ke pohon Nyamplung. Ia melihat laut luas dengan pulau yang “krimun-krimun” mengepulkan asap hitam. Sunan Muria mendatanginya. Amir Hasan bilang, ia hendak pergi ke pulau itu untuk melakukan syiar ajaran Islam. Sunan Muria mengamini. Tapi Dewi Sujinah jadi sedih, baru saja bertemu Amir Hasan sudah mau pergi lagi. Sunan Muria bilang, Amir Hasan hendak melakukan syiar agama Allah di pulau itu, harus diikhlaskan demi Allah. Dewi Sujinah ingat pesan Sunan Kalijogo. Dewi Sujinah segera menyerahkan tongkat Kalimosodo (tongkat berlekuk lima milik Sunan Kalijogo) kepada Amir Hasan. Dewi Sujinah bilang, sebelum Amir Hasan pergi, ia akan membuatkan pecel lele kesukaannya sebagai bekal. Ia akan mengantar Amir Hasan hingga ke pantai. Amir Hasan hanya mengangguk.

Ketika Dewi Sujinah sedang sibuk memasak pecel lele, Sunan Muria bilang agar Amir Hasan segera pergi. Nanti kalau ibunya sampai ikut mengantar ke pantai, malah akan memberatkan hatinya pergi ke jalan Allah. Sunan Muria memberikan tasbih besar dari buah nyamplung dan dikalungkan ke leher Amir Hasan. Jumlah tasbih buah nyamplung berjumlah 99, menunjukkan jumlah Asmaul Husnah (99 Nama Allah) agar ia pakai untuk penghitung dzikir. Sunan Muria juga memberikan 6 buah nyamplung yang menandakan rukun Iman agar di tanam di pulau itu. Dengan sedih, Amir Hasan segera pergi cuma berbekal tongkat Kalimosodo, tasbih nyamplung dan 6 buah nyamplung, diikuti doa dan dzikir Sunan Muria yang meminta kesalamatan pada Allah bagi putranya.

Mengetahui Amir Hasan sudah pergi, Dewi Sujinah yang sudah membawakan buntalan bekal pecel lele jadi sedih. Walau Sunan Muria mencoba menjelaskan, namun Dewi Sujinah tak peduli. Ia lari menuruni gunung Muria untuk menyusul dan memberikan bekal buntalan pecel lele kepada Amir Hasan. Sunan Muria khawatir segera mengikutinya. Sesampainya di Pantai, Dewi Sujinah sangat sedih karena Amir Hasan sudah berada jauh di tengah laut dengan menaiki perahu nelayan. Dengan rasa kecewa akhirnya bungkusan pecel lele dan di larung ke laut sambil berdoa kepada Allah agar makanan kesukaan anaknya itu bisa sampai ke tangan anaknya. Atas kehendak Allah, sesampainya Amir Hasan di pantai bagian timur pulau yang paling besar, sampai pula bungkusan pecel lele dari ibunya yang dilarung dan terbawa ombak. Amir Hasan terharu pada kecintaan ibunya mengirimkan bekal pecel lele itu untuknya. Untuk mengenang kecintaan ibunya itu, tempat itu diberi nama Legon Lele. Tapi nelayan yang mengantarnya itu buru-buru pergi, karena takut bertemu perompak Barakuda yang terkenal ganas yang menghuni salah satu pulau.

Melihat pulau yang tampak sepi, Amir Hasan segera masuk ke dalam pulau. Sampai di sebuah dataran, mendadak ia diserang oleh ular bertubuh pendek, berwarna hitam dan sangat berbisa. Ular itu berusaha menggigit Amir Hasan. Amir Hasan yang tidak ingin membunuh ular itu menunjuk dengan tongkat Kalimosodo sambil berucap “hai ular, matamu tidak melihatku...!” Keajaiban terjadi. Ular itu mendadak kebingungan karena matanya tidak bisa melihat Amir Hasan lagi alias buta. (Sampai sekarang jenis ular Karimun Jawa yang dikenal dengan nama 'Ular Edor' ini, matanya buta dan umumnya tidak mampu untuk bergerak di siang hari).

Amir Hasan berjalan menyusuri pantai untuk mencari penduduk di pulau itu yang mungkin tinggal di pesisir pantai. Tak berapa lama kemudian, tau-tau ia sudah dikepung oleh orang-orang yang merupakan penduduk pulau itu. Amir Hasan mengucapkan “Bismillah” membuat lingkaran di pasir pantai dengan tongkatnya. Aneh bin Ajaib, orang-orang itu tidak bisa melewati lingkaran itu, seperti terhalang oleh kaca. Pentungan yang hendak dipukulkan malah mental semua. Orang-orang itu langsung bersujud, menganggap Amir Hasan sebagai Dewa. Amir Hasan bilang, kalau ia manusia biasa seperti mereka dan tidak patut disembah. Yang patut disembah hanya Allah SWT. Orang-orang itu jadi kaget mengenalnya. Mereka tahu yang suka menyebut nama Allah adalah pengikut Walisongo. Amir Hasan bilang, ia adalah murid Sunun Kudus, putra dari Sunan Muria dan cucu dari Sunan Kalijogo.

Orang-orang itu jadi ketakutan dan kabur masuk ke hutan. Amir Hasan penasaran dan mengejarnya. Amir Hasan kehilangan jejak mereka. Mendadak sebatang kayu jebakan meluncur dengan tali dari salah satu pohon menuju ke arahnya. Dengan mengucap “Allahu Akbar” Amir Hasan memukulkan tongkat Kalimosodo pada batang kayu yang hendak menghantamnya. BLAR...! Batang kayu itu hancur berkeping-keping. Orang-orang tadi yang memang sengaja membuat jebakan itu kaget dan panik. Mereka segera melemparkan tombak ke arah Amir Hasan. Namun dengan kibasan tongkat Kalimosodo, tombak-tombak itu bermentalan kembali ke arah mereka, menancap menjadi lingkaran pagar yang mengurung mereka. Mereka makin ketakutan dan gemetaran bersujud.

Amir Hasan bilang, “Saya datang bukan untuk mencari musuh. Tapi mencari sahabat dan saudara yang bisa se-Iman. Kenapa jenengan menyerang saya...?”

Orang-orang itu mengira kalau Amir Hasan adalah panglima kerajaan Demak yang hendak menangkapnya. Mereka ternyata adalah pelarian perang dari kerajaan Majapahit ketika berperang melawan kerajaan Demak. Amir Hasan jadi teringat ucapan Sunan Kalijogo waktu bicara di atas pohon Nyamplung, bahwa ada pasukan Majapahit yang lari ke pulau itu karena kalah perang melawan prajurit Demak.

Amir Hasan lalu bilang kalau ia tidak ada sangkut pautnya dengan kerajaan Demak. Mereka jangan takut dipaksa masuk ke agama Islam olehnya. Ia bilang, kalau sejak kecil sudah penasaran dengan pulau itu dan ingin berkunjung untuk melihat-lihatnya. Kalau mungkin cocok akan tinggal selamanya di pulau itu bersama mereka, tapi kalau mereka mengijinkan.

Karena takut mereka mengijinkan Amir Hasan tinggal di pulau, tapi tidak mengijinkan masuk ke kampungnya. Amir Hasan bilang tidak apa-apa. Dari kecil ia suka tidur di atas pohon atau tidur di mana saja. Ia tidak perlu rumah untuk tempat berlindung, karena tempat berlindung yang maha sempurna adalah Allah. Orang-orang itu segera pulang ke kampungnya, meninggalkan Amir Hasan di hutan.

Amir Hasan kembali ke pantai, menyusuri tepian pantai. Ia melihat –anak anak kecil sedang memancing di tepi pantai. Anak-anak kecil itu tampak kesal, karena belum mendapatkan ikan. Amir Hasan mendekati anak-anak itu dengan ramah dan mengajak berbincang. Amir Hasan akan membantu mereka mencari ikan yang banyak, asalkan setelah mereka mendapatkan ikan nanti, mereka mau menjadi sahabatnya. Anak-anak itu setuju. Dengan mengucap doa, Amir Hasan menunjuk laut dengan tongkat Kalimosodo. Tak berapa lama, ratusan jenis ikan menghampirinya ke tepian pantai. Anak-anak takjub melihatnya. Amir Hasan menyuruh anak-anak itu menangkap ikan sesukanya. Tapi anak-anak itu tidak bisa menangkap ikan yang ternyata licin dan gesit. Amir Hasan bilang, sebelum menangkapnya harus membaca Bismillahirrohamirrohim. Anak-anak mengikuti membaca Bismillahirrohamirrohim dan ternyata ikan-ikan itu jadi jinak dan dapat ditangkap dengan mudah.

Anak-anak girang mendapat ikan yang banyak. Amir Hasan menagih janji, soal mereka mau bersahabat dengannya. Anak-anak menjawab mau. Tapi sebagai bukti kalau anak-anak itu mau bersahabat dengannya, harus membaca dua kalimat syahadat. Anak-anak itupun bersedia membaca syahadat dengan dituntun oleh Amir Hasan. Amir Hasan bilang, setiap hari akan menunggu anak-anak di tepi pantai untuk membantu menangkap ikan. Anak-anak itu senang, lalu mengajak Amir Hasan pulang ke kampungnya membawa ikan yang banyak.

Waktu itu, orang-orang kampung sedang melakukan penyembahan terhadap sebatang pohon besar di tengah kampung yang mereka sebut sebagai pohon “Dewodaru”. Mereka meminta pada pohon Dewodaru agar melindunginya dari ancaman para perompak Barakuda yang menyembah api. Mereka juga meminta diberikan rejeki yang melimpah karena mereka tidak bisa melaut lagi sejak perahunya dirampas semua oleh perompak Barakuda.

Tiba-tiba anak-anak mereka datang dengan gaduh. Mereka girang melihat anak-anak itu membawa ikan yang banyak, berarti doanya pada pohon Dewodaru terkabul. Tapi Anak-anak itu bilang kalau menangkap ikan dibantu oleh teman barunya yang bernama Amir Hasan yang punya tongkat sakti. Orang-orang itu jadi kesal melihat Amir Hasan yang dianggap melanggar janji karena sudah berani masuk ke kampungnya tanpa seijin mereka. Amir Hasan bilang, ia hanya berkunjung saja, karena diajak oleh anak-anak. Tapi mereka tetap khawatir Amir Hasan akan mempengaruhi anak-anaknya, apalagi Amir Hasan menyinggung soal pohon Daru yang disembahkanya tidak akan bisa menolong mereka dari semua kesulitan. Karena kesal, Amir Hasan diusir keluar dari kampung.

Pada suatu malam, orang-orang kampung diam-diam menuju pantai dengan jaring dan pentungan. Mereka menemukan Amir Hasan tengah sholat di pantai. Mereka segera menjaring Amir Hasan. Amir Hasan tetap khusuk melakukan sholat dalam keadaan terjaring hingga selesai. Orang-orang itu hendak mengambil tongkat Kalimosodo yang digeletakkan di tanah, namun tongkat itu tidak bisa diangkat, terasa berat seperti sebatang pohon yang sangat besar. Ketika Amir Hasan usai bersolat dan mengucap salam, jaring yang membelit tubuhnya mendadak terputus seperti memutus benang. Orang-orang itu jadi bingung. Amir Hasan mengambil tongkatnya dengan enteng dan bertanya. “Selama Allah berhendak melindungi saya, jenengan tidak akan bisa mencelakai saya. Tapi jika Allah yang berkehendak, dengan sebutir pasirpun saya akan bisa celaka....” Mereka menyergah, Allah itu seperti apa sebenarnya.

Dengan sabar dan bijaksana, sambil tersenyum Amir Hasan bertanya, “Apakah jenengan ingin melihat kebesaran Allah...?” Mereka menjawab “Iya. Saya ingin tahu sebesar apa Allah itu...!”
Amir Hasan segera berdoa, lalu menunjuk laut dengan tongkatnya. Tiba-tiba gelombang laut dari kejauhan bergulung tinggi menuju pantai seperti gelombang tsunami. Orang-orang itu ketakutan dan hendak lari. Namun kakinya amblas ke pasir pantai hingga sebatas lutut. Mereka makin ketakutan tak bisa lari, hingga sampai kencing di celana melihat ombak besar mendekati. Amir hasan menahan ombak itu dengan tongkatnya, sehingga ombak hanya bergulung di atas kepala. Amir Hasan bertanya “Jika Allah berkehendak, ombak besar ini akan menggulung kita semua.... Apa kalian masih tidak percaya akan kebesaran Allah...?” Mereka dengan ketakutan menjawab percaya. Amir Hasan menurunkan tongkatnya, gelombang lautan mereda. Orang-orang itu insyaf dan mau menjadi murid Amir Hasan. Amir Hasan senang, orang-orang itu mengajak ke kampungnya.
Tapi mereka sangat panik, melihat kampungnya telah porak poranda. Para perempuan menangis meratap sambil bilang, kalau kampungnya baru diserang gerombolan perompak Barakuda. Anak-anak mereka diculik. Semua warga kampung menangis sedih karena gerombolan perompak Barakuda pasti akan mempersembahkan anaknya pada api yang menjadi sesembahan mereka. Salah seorang warga kesal, masuk rumah dan membawa kapak besar. Ia hendak menebang pohon Dewodaru yang selama ini mereka sembah, tapi tidak bisa menolong kampungnya dari serangan Perompak Barakuda yang menyembah api. Karena tidak berguna, pohon itu hendak ditebang. Tapi Amir Hasan mencegahnya dan berkata, kalau pohon Dewodaru itu tidak bersalah apa-apa. Ia hanya pohon. Yang salah itu mereka kenapa menyembah pohon ciptaan Allah. Harusnya mereka menyembah yang menciptakan pohon, yaitu Allah.

Mereka bersedia menyembah Allah asalkan Amir Hasan bisa menyelamatkan anak-anaknya yang akan dijadikan tumbal api. Amir Hasan tanya di mana sarang perompak Barakuda. Mereka bilang, di pulau kecil seberang. Amir Hasan meminta mereka mengantar ke pulau itu. Tapi orang kampung bilang, mereka tidak punya perahu, karena perahu mereka sudah dirampas oleh perompak Barakuda.

Amir Hasan lalu duduk berdzikir pakai tasbih buah nyamplung dan berdoa meminta petunjuk pada Allah. Amir Hasan lalu pergi menuju pantai lagi. Orang-orang mengikutinya. Mereka heran, Amir Hasan mau pergi ke pulau markas perompak Barakuda pakai apa. Amir Hasan tidak menjawab, melainkan memberikan 6 buah nyamplung pada mereka. Mereka tanya itu buah apa. Amir Hasan menjawab buah nyamplung agar di tanam di pinggiran pantai dan mereka diminta membacakan doa “La ila ha illallah...” dengan khusyuk penuh rasa percaya pada Allah. Jika buah nyamplung itu tumbuh dan bersemi, maka anak mereka akan selamat berkat kekuasaan Allah.

Mereka jadi takjub, ternyata Amir Hasan menggunakan tongkat Kalimosodo sebagai rakit dan meluncur cepat menuju pulau kecil yang mengepulkan asap hitam. Mereka segera menanam 6 buah nyamplung di daratan tepian pantai dan membaca “La ila ha illallah...” demi keselamatan anak-anaknya.

Dalam waktu singkat, Amir Hasan sampai di pulau kecil yang angker itu, makin jelas asap tebal dari pembakaran api. Di tengah pulau kecil itu, tampak api unggun yang besar. Anak-anak tampak terikat sebagai tumbal. Dan para porompak Barakuda tampak menyembah api. Dengan tongkat Kalimosodo, tali yang mengikat anak-anak itu terputus. Para perompak jadi marah. Amir Hasan tanya kenapa mereka menyembah api. Mereka bilang, karena api adalah kekuatan besar yang bisa membakar apa saja. Jadi layak disembah. Amir Hasan bertanya, “Bagaimana kalau api yang kalian sembah ini tidak bisa membakar tongkatku...?” Para perompak tertawa. Kalau api tidak bisa membakar tongkat Amir Hasan, berarti Amir Hasan lebih hebat dari api. Mereka akan menyembah tongkat Amir Hasan. Amir Hasan bilang, tongkat hanya benda biasa yang tidak patut disembah. Tapi sembahlah Allah yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta raya termasuk air dan api juga kayu yang dijadikan tongkat. Mereka meminta Amir Hasan membuktikan kebesaran Allah.

Amir Hasan berdoa pada Allah dengan membaca doa Nabi Ibrahim ketika dibakar oleh kakeknya Raja Namrudz. Amir Hasan lalu melemparkan tongkat Kalimosodo ke dalam kobaran api. Tongkat itu tegak berdiri di antara kobaran api. Semua terbelalak tak percaya. Api itu tidak membakar tongkat. Api malah pelahan mengecil dan akhirnya padam. Para Perompak ketakutan dan bersujud minta ampunan dan meminta untuk menjadi murid Amir Hasan.

Para orang tua yang tetap berdzikiir “La ila ha illallah...” takjub, melihat buah nyamplung yang ditanam tumbuh dan bersemi hingga sejengkal. Mereka girang melihat Amir Hasan kembali bersama anak-anak diantar perahu perompak Barakuda. Mereka senang karena para perampok Barakuda sudah bertobat.

Waktu terus berlalu... pohon Nyamplung sudah tumbuh 2 meter. Di tengah pulau yang belum bernama itu sudah di dirikan masjid sebagai tempat ibadah. Masjid itu diberi nama masjid Nyamplungan. Para Santri sepakat, bahkan menyebut Amir Hasan sebagai Sunan di Nyamplungan dengan sebutan Sunan Nyamplungan. Amir Hasan lalu menyuruh mereka agar mengisi 5 pulau yang ada di kepulauan itu dan tinggal di sana untuk menyebarkan dakwah Islam bagi pendatang baru yang kemungkinan akan menetap di pulau, atau kepada nelayan dan saudagar yang kebetulan singgah. Maka mereka dibagi 5 kelompok yanga akan menyebar di 5 pulau. 5 menunjukkan rukun Islam. Yang 1 kelompok menetap di pulau itu, yang 4 kelompok segera berangkat. Tapi mereka punya tugas yang sama, mengajak orang-orang yang seiman dari luar pulau untuk menetap di pulau dengan hak dan kewajiban yang sama. Dan setiap Jumat, wajib datang ke Masjid Nyamplungan untuk melakukan sholat Jumat bersama.

Sebelum 4 kelompok pergi ke pulau yang lain, Amir Hasan bercerita tentang pulau yang membuatnya penasaran sejak kecil. Pulau yang dilihat dari atas pohon nyamplung di gunung Muria kala itu tampak seperti pulau yang ber “krimun-krimun”. Karena kepulauan itu belum diberi nama, dan karena penghuninya adalah orang Jawa semuanya, maka Amir Hasan memberi nama kepulauan itu “Kepulauan Karimun Jawa” yang artinya, orang Jawa yang ada di pulau “krimun-krimun”. Semua mengamininya. Amir Hasan lalu menancapkan tongkat Kalimosodo tidak jauh dari pohon Dewodaru sambil berkata, bahwa tongkat Kalimosodo akan tumubuh menjadi pohon pendamping dari pohon Dewodaru, sebagai penanda persaudaraan dan keimanan di antara mereka. Mereka diminta berdzikiir. Ajaib, dzikir mereka membuat tongkat itu bersemi dan tumbuh ranting-ranting dan dedaunan yang lebat. Pohon itupun diberi nama Pohon Kalimosodo....

CATATAN
Karimunjawa adalah kepulauan yang terletak di utara pulau Jawa sekitar Jepara Jawa Tengah. Makam Sunan Nyamplungan terletak di Puncak Gunung Karimunjawa sebelah utara. Di pintu gerbang pemakaman itu terdapat dua buah pohon besar. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai "Kayu Dewadaru" dan “Kayu Kalimosodo”.‎

2 komentar: