Rabu, 01 Maret 2017

Masjid Soko Tunggal Cikakak

Masjid Saka Tunggal Baitussalam atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Saka Tunggal karena memang Masjid ini hanya memiliki saka tunggal (satu tiang utama) terletak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Lebih tepatnya di titik Koordinat Geografi : 7°28’26.05″S 109° 3’20.32″E.

Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak kec. Wangon berjarak 30 Km arah Barat daya kota Purwokerto. Dinamakan masjid Saka Tunggal, karena memang hanya memiliki satu pilar utama penyangga. Disekitar masjid terdapat makam seorang penyebar agama islam yang bernama Kyai Mustolih.

Masjid Saka Tunggal terletak di desaCikakak kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, provinsi Jawa Tengah. Masjid ini dibangun pada tahun 1288 seperti yang tertulis pada Saka Guru (Tiang Utama) masjid ini. Namun, tahun pembuatan masjid ini lebih jelas tertulis pada kitab-kitab yang  ditinggalkan pendiri masjid ini, yaitu Kyai Mustolih. Tetapi kitab-kitab tersebut telah hilang bertahun-tahun yang lalu.

Setiap tanggal 27 Rajab di masjid ini diadakan pergantian Jaro dan pembersihan makam Kyai Mustolih. Masjid yang berjarak ± 30 km dari kota Purwokerto ini, disebutSaka Tunggal karena tiang penyangga bangunan masjid ini, dulunya hanya satu tiang (tunggal).
Meskipun meragukan bahwa angka tahun I288 pada tiang mesjid merupakan tarikh masehi, tapi saya setuju kawasan Cikakak tetap diberdayakan sebagai salah satu aset wisata di kabupaten banyumas. Saya pribadi berpendapat cenderung bahwa itu angka bertahun Hijriyah , maka bila dihitung berarti sekitar I56 tahun yang lalu. Mengapa hijriyah, karena sesuai kondisi masyarakat di pedalaman, mereka lebih paham penanggalan hijriyah dan baca tulis hijaiyah. Di Indonesia bahan huruf Arab pernah menjadi bagian utama dari mata uang karena sebagian besar masyarakat Indonesia waktu itu belum paham sistem baca tulis latin. Maka dari hal ini, berlaku di Cikakak yang merupakan desa terpencil. Lokasi Cikakak bukan daerah pesisir.

Analisis sederhana saya :

a). Bahwa sistem kalender Masehi merupakan peninggalan bangsa Eropa ( Belanda Masuk Indonesia abad XVI) , mungkinkah Cikakak pada abad XI sudah mengenal kalender Masehi sebelum Belanda datang?  Belanda menguasai Karesidenan Banyumas baru pada pertengahan abad XIX, jadi apa mungkin saat masa kerajaan Majapahit di Cikakak sudah mengenal kalender Masehi?
b) Kalender yang berlaku di era Majapahit adalah kalender Saka. pertanyaannya, apakah kalender saka yang digunakan? Sekedar info, Di Jawa konversi kalender Saka men jadi Kalender Islam Jawa baru terjadi setelah era Sultan Agung. dan itu tejadi di Abad XVII
c) Islam aboge Cikakak berpedoman pada sistem yang dikenalkan pada abad XIV ditinggalkan oleh Raden Sayid Kuning, dan disebarluaskan oleh ulama dari Kerajaan pajang.  , mungkinkah Cikakak mengenal Aboge 2 abad sebelum penemunya? atau lebih tua dari Kerajaan Pajang yang berdiri di abad XVI?

‎Diragukan bahwa angka tahun pada tiang masjid Saka Tunggal itu mengacu pada tahun Masehi. Karena baru pada abad ke-16, Jawa bersentuhan dengan Eropa (asal penanggalan Masehi). Baru pada tahun 1502 Vasco da Gama memulai petualangan ke Timur. Portugis menaklukkan Malaka pada 1511, disusul dengan kedatangan VOC dan Inggris. Jadi pengaruh Barat baru muncul pada abad ke-16. Jan Pieterszoon Coen yang memimpin VOC pun baru menyerbu dan menduduki Jayakarta pada 1619.

Kecil kemungkinannya jika angka 1288 itu merujuk pada kalender Masehi. Jika angka itu ditoreh pada saat masjid dibuat, orang Jawa Islam saat itu tentu akan mengacu pada kalender Hijriyah, atau pada Kalender Saka.

Namun, telepas dari info tentang angka tahun, hanya sekedar meluruskan sejarah, jika perlu dikoreksi silakan para ahli sejarah, Tim Pemkab dan Universitas turun tangan sehingga bisa dicari info yang sebenarnya seperti halnya kasus Hari Jadi Banyumas. Mari kita Jadikan Cikakak khususnya kawasan Masjid saka tunggal ini , bahwa pusat wisata yang dimiliki kabupaten Banyumas bukan hanya Baturaden. ini adalah waisata alternatif yang infonya akan dikembangkan oleh Pemkab Banyumas. 

Berdasarkan cerita narasumber yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Monanta, seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002 dijelaskan bahwa sebagai berikut :
Sunan Panggung adalah salah seorang dari kelompok Wali Sanga yang merupakan murid syech Siti Jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa Sultan Trenenggono di Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun demikian dalam hukumnya tersebut ia tidak mati, bahkan saat itu mampu menulis suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung menurunkan anak bernama Pangeran Halas. Pangeran Halas menurunkan Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kyai Cikakak yang merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama “Kyai Cikakak” diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal (saka tunggal) yang masih lestari hingga saat ini.
Masjid saka tunggal di bangun di tempat suci “Agama Kuno” (agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindia Budha) yang dapat dibuktikan sekitar masjid terdapat sebuah batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : “agama kuno” dibangun pada tahun 1522 M. Disekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang dihuni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.

Saat ini masjid saka tunggal belum kehilangan sama sekali wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayudan gedek bambu yang semula menjadi dinding masjid ini telah diganti dengan tembok
Keunikan masjid ini juga terasa pada tradisionalisme keagamaan umat yang beribadah di dalamnya. Setiap akan shlat berjamaah selalu didahului dengan puji-pujian atau ura-ura yang dilagukan, seperti kidung jawa. Beberapa jemaah menggunakan udeng atau ikat kepala biru bermotif batik.

Tata cara shalat jamaah di masjid kuno ini tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya. Khusus pada jamaah shalat jumat, jumlah muazin atau orang yang mengumandangkan azan ada empat. Selain itu, semua rangkaian shalat jumat dilakukan berjamaah, mulai dari shalat tahiyatul masjid, khoblaljuma’ah, shalat jumat, ba’dla jum’ah. Shalat dhuhur, hingga ba’dal dzuhur. Semuanya muazin mengenakan baju panjang warna putih dan udeng atau ikat kepala khas jawa warna biru bermotif batik.

Dikutip dari sebuah buku sejarah, Masjid Saka Tunggal senantiasa terkait dengan Tokoh penyebar Islam di Cikakak, bernama Mbah Mustolih yang hidup dalam Kesultanan Mataram Kuno.

Itu sebabnya, tidak heran bila unsur Kejawen masih cukup melekat.

Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak sebagai “markas” dengan ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut. Beliau dimakamkan tak jauh dari masjid Saka Tunggal.

Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah empat helai sayap dari kayu di tengah saka.

Empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi.

Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.
4 Helai Sayap di tiang utama Masjid Saka Tunggal
 ‎
Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang.

Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh.

”Hidup itu harus seimbang”.

Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia.

Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah.

Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.

Ya, itulah sedikit dekripsi mengenai Soko atau Saka atau dalam bahasa Indonesia adalah tiang dari Masjid Saka Tunggal,

selanjutnya kita akan membicarakan keunikan wisata di Masjid Saka Tunggal Baitussalam ini.

Tiket masuk kawasan Masjid Saka Tunggal hanya Rp. 2000 perorang dan setiap pembelian tiket, Anda diberi satu bungkus makanan monyet untuk memberi makan monyet disekitar Masjid Saka Tunggal.

Ya, memang disekitar Masjid Saka Tunggal ini banyak sekali monyet, pasalnya kawasan Masjid Saka Tunggal masih terletak di desa terpencil yang dekat dengan hutan.
Banyak Monyet di kawasan Masjid Saka Tunggal
Selain menikmati keunikan Masjid Saka Tunggal, Anda juga bisa menjumpai beberapa bangunan-bangunan rumah tua, diperkirakan usia rumah-rumah tersebut sudah sekitar ratusan tahun, terlihat dari desain rumah yang menyerupai bangunan-bangunan jaman kerajaan dulu.

Walaupun sudah ratusan tahun, tetapi masyarakat sekitar masih tetap menjaga dan merawatnya.

Masjid Saka Tunggal biasanya ramai pada saat-saat tertentu, seperti hari Jumat masjid Saka Tunggal ini sangat ramai dikunjungi para jamaah shalat Jumat.

Pada Hari Raya Idhul Fitri, juga banyak wisatawan yang berkunjung ke mesjid ini untuk berekreasi, maupun untuk shalat Idul Fithri. Selain itu ada juga ritual Ganti Jaro, adalah ritual mengganti pagar bambu keliling Masjid Saka Tunggal, ritual ini diikuti oleh seluruh warga desa Cikakak.

TRADISI UNIK MASJID SAKA TUNGGAL BAITUSSALAM

Zikir seperti melantunkan kidung jawa
Keunikan masjid saka tunggal Banyumas, benar benar terasa di hari Jum’at. Selama menunggu waktu sholat jum’at dan setelah sholat jum’at, Jamaah masjid Saka Tunggal berzikir dan bershalawat dengan nada seperti melantunkan kidung jawa. Dengan bahasa campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura ura.

Pakaian Imam dan muazin
Imam masjid tidak menggunakan penutup kepala yang lazimnya digunakan di Indonesia yang biasanya menggunakan peci, kopiyah, tapi menggunakan udeng/pengikat kepala. khutbah jumat disampaikan seperti melantunkan sebuah kidung.

Empat muazin sekaligus
Empat orang muazim berpakaian sama dengan imam, menggunakan baju lengan panjang warna putih, menggunakan udeng bermotif batik, dan ke empat muazin tersebut mengumandangkan adzan secara bersamaan.

Semuanya dilakukan berjama’ah
Uniknya lagi, seluruh rangkaian sholat jumat dilakukan secara berjamaah, mulai dari shalat tahiyatul masjid, kobliah juma’at, shalat Jumat, ba’diah jum’at, shalat zuhur, hingga ba’diah zuhur. Semuanya dilakukan secara berjamaah.

Tanpa Pengeras Suara
Masjid Saka Tunggal Baitussalam hingga saat ini masih mempertahankan tradisi untuk tidak menggunakan pengeras suara. Meski demikian suara azan yang dilantunkan oleh empat muazin sekaligus, tetap terdengar begitu lantang dan merdu dari masjid ini.

Ritual Penjarohan
Ritual Penjarohan digelar setiap tanggal 26 Rajab di halaman Masjid Saka Tunggal, Ritual ini sebagai bentuk rasa syukur dan sekaligus haul Mbah Mustalih pendiri Masjid Saka Tunggal dan seligus perayaan ulang tahun masjid Saka Tunggal.

Penjarohan berasal dari kata “jaroh”, yang artinya ziarah. Intinya adalah penghormatan kepada leluhur yang telah mendirikan desa dan masjid Saka Tunggal yang sampai sekarang menjadi pusat kegiatan peribadatan dan sosial mereka. Dalam ritual itu, mereka juga memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan, kesehatan, dan rezeki yang melimpah.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar