Sabtu, 22 April 2017

BERBELASUNGKAWA TERHADAP NON MUSLIM


Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak mungkin ada yang bisa menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang ini, dunia layaknya sebuah kampung kecil saja. Berhubungan dengan orang lain, meski terkadang berefek negatif, manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus ladang amal untuk memproleh pahala.

Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah mu’amalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
Salah satu dari bentuk mu’amalah tersebut adalah ta’ziyah. Atau biasa disebut melayat.

Islam tidak melarang umatnya untuk berbuat baik dan bermuamalah yang baik kepada orang-orang kafir selama mereka tidak memerangi kita dan tidak mengusir kita dari negeri kita.

Allah ta’ala berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.الممتحنة:8

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. 60:8)

Berkata Syeikh Abdurrahman As-Sa’dy:

لا ينهاكم الله عن البر والصلة، والمكافأة بالمعروف، والقسط للمشركين، من أقاربكم وغيرهم، حيث كانوا بحال لم ينتصبوا لقتالكم في الدين والإخراج من دياركم، فليس عليكم جناح أن تصلوهم، فإن صلتهم في هذه الحالة، لا محذور فيها ولا مفسدة

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil kepada orang-orang musyrik, dari keluarga kalian dan yang lain selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” (Tafsir As-Sa’dy hal 856-857)

Namun disana ada aturan-aturan yang harus kita perhatikan dalam bermuamalah dengan orang-orang kafir. Diantaranya kita tidak diperbolehkan mengorbankan agama untuk mencari ridha mereka.

Pertama:
Para ulama telah berselisih pendapat tentang hukum ta’ziyah muslim terhadap orang kafir, ada yang mengatakan boleh secara mutlak, dan ada yang mengatakan haram. Dan yang kuat wallahu a’lamu: ta’ziyah ahlul kitab adalah boleh dengan syarat-syarat, diantara syarat-syarat tersebut:

Mereka (orang kafir) tersebut tidak menganggap bahwa ta’ziyah yang kita lakukan adalah penghormatan untuk mereka.
Di dalamnya ada mashlahat, seperti mengharapkan keislaman keluarganya atau menghindari gangguan mereka terhadap dirinya atau kaum muslimin.
Tidak mengikuti upacara keagamaan mereka atau mendengarkan ceramah mereka, karena Allah berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ.الأنعام:68

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (maka larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang. orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Qs. 6:68)

Tidak ada dalil khusus tentang apa yang kita ucapkan ketika berta’ziyah kepada orang kafir, yang penting ucapan yang tidak ada larangan syar’i seperti mendoakan rahmat dan ampunan untuk orang kafir.

Allah berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ.التوبة:113

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (Qs. 9:113)

Sebagian ulama menyebutkan bahwa diantara doa yang bisa kita ucapkan ketika berta’ziyah kepada orang kafir adalah:

أخلف الله عليك ولا نقص عددك

“Semoga Allah menggantinya untukmu dan tidak mengurangi jumlahmu (yaitu supaya tetap banyak jizyahnya).” (Lihat Al-Majmu’, Imam An-Nawawy 5/275, dan Al-Mughny, Ibnu Qudamah 2/487)

Kedua:

Diperbolehkan memenuhi undangan makan orang kafir selama untuk menarik hatinya kepada islam. Namun kalau ditakutkan justru kita yang terpengaruh atau justru nanti kita merasa berhutang jasa maka tidak diperbolehkan.

Rasulullah dahulu pernah menerima undangan seorang yahudi sebagaimana dalam hadist Anas:

عن أنس : أن يهوديا دعا رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى خبز شعير وأهالة سنخة فأجابه

Dari Anas bahwasanya seorang yahudi mengundang Nabi shalallallahu alaihi wa sallam untuk makan roti dan ahalah (sejenis lauk) yang berubah baunya, maka beliau menerima undangan tersebut. (HR. Ahmad 3/270, berkata Syu’aib Al-Arnauth: Isnadnya shahih atas syarat Muslim)

Adapun memenuhi undangan pernikahan maka sebagian ulama memandang tidak diperbolehkan karena acara pernikahan orang kafir tidak terlepas dari perkara-perkara yang haram seperti: ikhtilath (campur laki-laki perempuan), musik, minuman keras, dihidangkannya makanan haram (daging babi, anjing dll)

Ketiga:

Mengucapkan selamat pada acara-acara yang bukan syiar agama mereka (seperti pernikahan, kelahiran, kedatangan) maka diperbolehkan tapi harus menghindari ucapan-ucapan yang menunjukkan keridhaan kita dengan agamanya, seperti: Semoga Allah membahagiakanmu dengan agamamu dll.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah kebolehan bertakziyah (melayat) orang kafir (non muslim). Imam Syafi’i sebagaimana di isyaratkan oleh Imam Nawawi dalam Al Majmu’ 5/275, juga Imam Abu Hanifah dalam satu riwayat beliau sebagaimana di isyaratkan dalam kitab Hasyiyah Ibnu Abidin 3/140 menyatakan bolehnya seorang muslim bertakziyah pada orang kafir, demikian pula sebaliknya.

Dalil-dalil ulama yang memperbolehkan berta’ziah kepada orang-orang kafir :

Firman Allah ta’ala :

لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil”. (QS. Al-Mumtahanah : 8 )

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، عَنْ أَسْمَاءَ -هِيَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا-قَالَتْ: قَدَمت أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدُوا، فأتيتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: "نَعَمْ، صِلِي أُمَّكَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah bintil Munzir, dari Asma binti Abu Bakar r.a. yang menceritakan, "Ibuku datang, sedangkan dia masih dalam keadaan musyrik di masa terjadinya perjanjian perdamaian dengan orang-orang Quraisy. Maka aku datang kepada Nabi Saw. dan bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku datang, ingin berhubungan dengan diriku, bolehkah aku berhubungan dengannya?' Nabi Saw. bersabda, "Ya, bersilaturahmilah kepada ibumu'."

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan pula hadis ini.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Arim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnuSabit, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Qatilah datang menemui anak perempuannya (yaitu Asma binti Abu Bakar) dengan membawa hadiah-hadiah berupa keju, obat penyamak kulit, dan minyak samin, sedangkan ibunya masih dalam keadaan musyrik. Maka Asma pada mulanya menolak menerima kedatangan ibunya, dan masuk ke dalam rumahnya, lalu bertanya kepada Aisyah r.a. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Allah tiada melarangmu terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama. (Al-Mumtahanah: 8), hingga akhit ayat. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Asma agar menerima hadiah ibunya itu dan mempersilakan ibunya masuk ke dalam rumahnya.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Mus'ab Ibnu Sabit dengan sanad yang sama.

Menurut riwayat lain, Imam Ahmad dan Ibnu Jarir, disebutkan bahwa ibu Asma bernama Qatilah binti Abdul Uzza ibnu Sa'd ibnu Bani Malik ibnu Hasal.

Ibnu Abu Hatim menambahkan pula bahwa hal itu terjadi di masa gencatan senjata antara orang-orang Quraisy dan Rasulullah Saw.

Abu Bakar alias Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Qatadah Al-Adawi, dari keponakan Az-Zuhri, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah dan Asma, bahwa keduanya pernah menceritakan, "Ibu kami datang kepada kami ke Madinah, sedangkan dia masih dalam keadaan musyrik di masa gencatan senjata yang ada antara Rasulullah Saw. dan orang-orang Quraisy. Maka kami bertanya, 'Wahai Rasulullah sesungguhnya ibu kami datang ke Madinah untuk menemui kami, bolehkah kami menghubungkan silaturahmi dengannya?' Rasulullah Saw. menjawab, 'Ya, bersilaturahmilah kamu berdua kepadanya'."

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa hadis ini kami tidak mengenalnya diriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah kecuali hanya melalui jalur ini.

Menurut hemat kami, hadis ini munkar dengan teks yang berbunyi demikian, karena sesungguhnya ibu Siti Aisyah adalah Ummu Ruman, ia seorang muslimah dan ikut berhijrah. Sedangkan ibunya Asma adalah lainnya, sebagaimana yang disebutkan namanya dalam hadis-hadis sebelumnya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Dan juga hadits Anas bin Malik Rhadiyallahu ‘anhu :

كان غلام يهودي يخدم النبي -صلى الله عليه وسلم- فمرض، فأتاه النبي -صلى الله عليه وسلم- يعوده ، فقعد عند رأسه، فقال له : ( أسلم ) ، فنظر إلى أبيه وهو عنده، فقال له : أطع أبا القاسم -صلى الله عليه وسلم- فأسلم ، فخرج النبي –صلى الله عليه وسلم- وهو يقول : ( الحمد لله الذي أنقذه من النار

“Ada seorang anak Yahudi yang selalu membantu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam datang menengoknya, lalu duduk di dekat kepalanya, seraya mengatakan, ‘Masuk Islam-lah!’ Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang berada di sampingnya, maka ayahnya berkata, ‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam).’ Maka anak itu akhirnya masuk Islam. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar seraya mengatakan, ‘Segala puji hanya milik Allah yang telah menyelamatkannya dari siksa Neraka.’” [Shahih Bukhari, No. 1356, 5657]

Adapun imam Ahmad maka Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hanbali dalam kitab beliau Al Mughni 3/486 mengatakan tentang pendapat beliau (Imam Ahmad) ;

وتوقف أحمد عن تعزية أهل الذمة وهي تُخرَّج على عيادتهم وفيها روايتان إحداهما: لا نعودهم؛ فكذلك لا نعزيهم، لقول النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ :” لا تبدؤوهم بالسلام”، وهذا في معناه؛ والثانية: نعودهم لما ورد من حديث أنس ـ رضي الله عنه ـ قال: كان غلام يهودي يخدم النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ فمرض فأتاه النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ يعوده فقعد عند رأسه فقال له:” أسلم”، فنظر إلى أبيه وهو عنده فقال له: أطع أبا القاسم ـ صلى الله عليه وسلم ـ فأسلم فخرج النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وهو يقول:”الحمد لله الذي أنقذه من النار فعلى هذا نعزيهم

“Imam Ahmad “bertawaquf” dalam masalah hukum takziah kepada ahli dzimmah (orang kafir yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin (negara Islam) yang membayar jizyah), namun itu bisa di simpulkan dari hukum menjenguk orang kafir yang sakit menurut beliau, ada dua riwayat dalam hal ini (dari Imam Ahmad) ; pertama ; kita tidak boleh menjenguk mereka, maka berarti kita juga tidak boleh bertakziyah kepada mereka, dan ini di dasarkan pada sabda Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa Sallam ;

لا تبدأوا بالسلام

“Janganlah kalian memulai salam kepada mereka (orang kafir)”

Dan riwayat yang kedua ; kita boleh menjenguk mereka, ini berdasarkan hadis Anas Radhiyallohu anhu beliau mengatakan ; Ada anak kecil yang beragama Yahudi biasa membantu Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam sakit, lalu Nabi shalallohu alaihi wa salam pun menjenguknya, beliau duduk di samping kepala anak kecil tadi, dan berkata kepadanya ; “Masuklah kamu ke dalam agama Islam,.”, lantas anak kecil tadi memandang bapaknya yang berada di sampingnya, lalu berkatalah bapaknya ; “Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad Shalallohu alaihi wa salam)”, lantas anak kecil tadi masuk Islam, dan nabi pun berkata ; “Segala puji bagi Alloh yang telah menyelamatkannya dari api neraka”. Berdasarkan hal ini maka BOLEH bagi kita untuk bertakziyah kepada mereka (orang kafir).”

Imam Nawawi dalam Raudhatu At Thalibin 2/145 mengatakan ;

ويجوز للمسلم أن يعزي الذمي بقريبه الذمي، فيقول أخلف الله عليك ولا نقص عددك

“Boleh bagi seorang Muslim bertakziyah kepada orang kafir dzimmi tetangga dekatnya, maka yang dia ucapkan adalah ; “Semoga Alloh mengganti untukmu serta tidak berkurang jumlahmu”.”

Dan sehubungan dengan hal ini kami ketengahkan sebuah hadis sahih yang menyebutkan:

"الْمُقْسِطُونَ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الْعَرْشِ، الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ، وَأَهَالِيهِمْ، وَمَا وَلُوا"

Orang-orang yang berlaku adil (kelak) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya berada di sebelah kanan 'Arasy; (yaitu) orang­ orang yang berlaku adil dalam keputusan hukum mereka, berlaku adil terhadap keluarga dan apa yang dikuasakan kepada mereka.

WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar