Minggu, 23 April 2017

HUKUM MEMINTA BANTUAN KAUM KAFIR DALAM KEADAAN PERANG

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman

لَا تَرْكَنُوا إَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَالَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak memiliki seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Hud : 113)

Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa kalimat tarkanu dalam ayat ini berarti tunduk dan bersandar serta ridho kepada mereka. Begitu juga menurut Ibnu Juraij bahwa makna  tarkanu yaitu condong dan ridho.

 يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang diluar keluargamu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dihati mereka lebih jahat. Sungguh, telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti (Al-Imran : 118).

Imam al-Qurtubi mengomentari ayat ini dalam kitabnya, “Sesungguhnya Allah melarang kaum mukminin dengan ayat ini menjadikan orang-orang kafir baik dari Ahli Kitab atau pengikut hawa nafsu sebagi tamu dan sahabat karib, lalu megadukan perkara kepada mereka, meminta bantuan kepada mereka dan menyandarkan seluruh urusannya kepada mereka”.

Imam al-Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, “Janganlah engkau menjadikan orang-orang non muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang pilihan, karena mereka tidak segan-segan melakukan apa-apa yang membahayakanmu.”

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ

“Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kalian menjadikan pemimipnmu orang-orang  yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan,(yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab seblummu, dan orang-orang kafir (orang musyrik)”  (Al-Maidah: 57)

Perselisihan Pendapat Para Ulama

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai permasalahan ini. Sebagian ulama melarangnya, dan sebagian yang lain membolehkannya.

Pendapat yang Melarangnya

Para ulama yang tergabung dalam pendapat ini berpegang pada beberapa hadits, diantaranya adalah :

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها قالت خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل بدر فلما كان بحرة الوبرة أدركه رجل قد كان يذكر منه جرأة ونجدة ففرح أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم حين رأوه فلما أدركه قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم جئت لأتبعك وأصيب معك قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم تؤمن بالله ورسوله قال لا قال فارجع فلن أستعين بمشرك قالت ثم مضى حتى إذا كنا بالشجرة أدركه الرجل فقال له كما قال أول مرة فقال له النبي صلى الله عليه وسلم كما قال أول مرة قال فارجع فلن أستعين بمشرك قال ثم رجع فأدركه بالبيداء فقال له كما قال أول مرة تؤمن بالله ورسوله قال نعم فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم فانطلق

Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar menuju Perang Badar. Setelah sampai di Harratul-Wabarah (yaitu daerah yang terletak 4 mil dari Madinah sebelum Dzul-Hulaifah) beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang terkenal pemberani. Maka para shahabat Rasulullah merasa senang ketika melihat laki-laki itu. Setelah dia menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dia berkata kepada beliau : “Saya datang untuk mengikuti Anda dan memenangkan perang di pihak Anda”. Rasulullah bertanya : “Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ?”. Dia menjawab : “Tidak”. Beliau berkata :“Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik”. Kemudian laki-laki itu menyingkir. Setelah sampai di sebuah pohon, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ditemui lagi oleh laki-laki itu. Lalu, dia mengatakan seperti apa yang dikatakan sebelumnya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya seperti apa yang beliau tanyakan sebelumnya. Kata beliau :“Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik”. Kemudian laki-laki itu menyingkir. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ditemui lagi oleh laki-laki itu di Baidaa’, lalu beliau bertanya kepadanya sebagaimana pertanyaan beliau sebelumnya :“Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ?”. Laki-laki itu menjawab : “Ya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada laki-laki itu : “Pergilah turut berperang” [HR. Muslim no. 1817].

عن خبيب بن عبد الرحمن عن أبيه عن جده رضى الله تعالى عنه قال خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في بعض غزواته فأتيته أنا ورجل قبل أن نسلم فقلنا إنا نستحيي أن يشهد قومنا مشهدا فقال أأسلمتما قلنا لا قال فإنا لا نستعين بالمشركين على المشركين فأسلمنا وشهدنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم

Dari Hubaib bin ’Abdirrahman dari ayahnya, dari kakeknya radliyallaahu ta’ala ’anhu ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam keluar untuk sebuah peperangannya. Maka aku mendatangi beliau bersama seorang laki-laki sebelum kami masuk Islam. Kami berkata (kepada beliau) : ”Sesungguhnya kami sangat malu ketika kaum kami menghadiri (ikut serta) dalam peperangan sedangkan kami tidak ikut bersama mereka”. Maka beliau menjawab :”Apakah kalian berdua telah masuk Islam ?”. Kami menjawab : ”Belum”. Beliau bersabda :”Sesungguhnya kami tidak meminta bantuan kepada orang-orang musyrik untuk memerangi orang-orang musyrik”. Maka kami pun masuk Islam, dan kemudian ikut serta dalam peperangan bersama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam..” [HR. Hakim no. 2563 dan Ahmad no. 15801; dla’if karena perawi yang bernama ’Abdurrahman bin Khubaib – ia majhul ’ain – dan adanya inqitha’ antara dia dengan ayahnya].

Para ulama yang memegang pendapat ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Malik bin Anas, Ibnul-Mundzir, Al-Juazajani, dan yang lainnya.

Pendapat yang Membolehkannya (dalam Keadaan Diperlukan/Dlarurat)

Para ulama yang berpegang pada hadits ini berpegang pada banyak nash, diantaranya :

Firman Allah ta’ala :

وَقَدْ فَصّلَ لَكُمْ مّا حَرّمَ عَلَيْكُمْ إِلاّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Sungguh telah dijelaskan untuk kalian semua perkara yang diharamkan atas kalian, kecuali hal-hal yang kamu dalam keadaan terpaksa (darurat)” [QS. Al-An’am : 119]

عن ذي مخبر رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ستصالحون الروم صلحا آمنا فتغزون أنتم وهم عدوا من ورائكم فتنصرون وتغنمون وتسلمون ثم ترجعون حتى تنزلوا بمرج ذي تلول فيرفع رجل من أهل النصرانية الصليب فيقول غلب الصليب فيغضب رجل من المسلمين فيدقه فعند ذلك تغدر الروم وتجمع للملحمة

Dari Dzu Mihbar, seorang laki-laki dari kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Kalian pasti akan melakukan perdamaian dengan Romawi dengan aman. Kalian bersama mereka akan memerangi satu musuh dikemudian hari. Kemudian kalian akan ditolong dan berhasil mendapatkan ghanimah (memenagkan pertempuran) serta selamat. Kemudian kalian kembali pulang hingga kalian singgah di sebuah daerah yang tinggi. Tiba-tiba seorang laki-laki dari kaum Nashrani mengangkat salib seraya berkata : “Telah menang salib”. Hingga marahlah seorang dari kaum muslimin dan mendorongnya. Maka ketika itu mulailah tentara Romawi berkhianat serta menyiapkan pasukannya untuk pertempuran besar” [HR. Abu Dawud no. 4292; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2767].

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وإن الله يؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya Allah (bisa jadi) menolong agama ini melalui perantaraan orang fajir” [HR. Bukhari no. 2897 dan Muslim no. 111].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata : { والذي يظهر أن المراد بالفاجر أعم من أن يكون كافرا أو فاسقا } “Yang nampak adalah bahwa maksud dari kata Al-Faajir lebih umum daripada sekedar makna kafir dan fasiq saja” [Fathul-Baari juz 7 no. 3970].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah meminjam baju besi kepada Shafwan bin Umayyah ketika ia masih kafir sebagaimana riwayat :

عن صفوان بن أمية أن رسول الله صلى الله عليه وسلم استعار منه أدراعا يوم حنين فقال أغصب يا محمد فقال لا بل عارية مضمونة

Dari Shofwan bin Umayyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah meminjam darinya beberapa baju besi sewaktu perang Hunain. Ia bertanya : “Apakah ia rampasan ya Muhammad ?”. Maka beliau menjawab : “Tidak, ia pinjaman yang ditanggung” [HR. Abu Dawud no. 3562; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 631].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah meminta bantuan kepada Bani Tsaqif yang masih kafir ketika tekanan dari kaum kafir Quraisy semakin menjadi-jadi setelah meninggalnya Abu Thalib yang senantiasa melindungi beliau (walaupun akhirnya beliau tidak mendapatkan bantuan sebagaimana yang diharapkan).

Dan yang lebih jelas adalah ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersepakat dengan Kaibilah Khuza’ah (dari kalangan musyrikin) untuk saling tolong menolong ketika peristiwa Perjanjian Hudaibiyyah.

Dan lain-lain hadits yang menunjukkan bahwa beliau pernah meminta tolong kepada kaum musyrikin.

Ulama yang berpegang pada pendapat ini diantaranya adalah Imam Asy-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Al-Hafidh Ibnu Hajar, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Ash-Shan’ani dan lain-lain.

Yang kuat dengan melihat keseluruhan dalil yang ada adalah pendapat yang mengatakan boleh meminta bantuan kepada kaum musyirikin dalam kondisi yang dibutuhkan. Pendapat yang mengatakan tidak boleh ber-isti’anah kepada orang musyrik kafir secara mutlak adalah tertolak karena pada kenyataannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam banyak riwayat pernah ber-isti’anah kepada mereka. Oleh karena itu, para ulama berusaha menggabungkan beberapa pemahaman dari hadits-hadits tersebut di atas (antara hadits yang melarang dan membolehkan). Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :

ويجمع بينه وبين الذي قبله بأوجه ذكرها المصنف منها وذكره البيهقي عن نص الشافعي أن النبي صلى الله عليه وسلم تفرس فيه الرغبة في الإسلام فرده رجاء أن يسلم فصدق ظنه وفيه نظر من جهة التنكير في سياق النفي ومنها أن الأمر فيه إلى رأي الإمام وفيه النظر بعينه ومنها أن الاستعانة كانت ممنوعة ثم رخص فيها وهذا أقربها وعليه نص الشافعي

“Dipadukan antara keduanya – yaitu hadits ‘Aisyah yang mengandung pelarangan dan hadits Shafwan bin Umayyah yang mengandung pembolehan serta hadits mursal Az-Zuhri – dengan beberapa bentuk pemaduan yang disebutkan oleh Penulis. Diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baihaqi dari pernyataan Asy-Syafi’i bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berharap di balik penolakan tersebut agar orang tersebut mau masuk Islam. Dan ternyata perkiraan beliau tersebut adalah benar. Diantara bentuk pemaduan yang beliau sebutkan pula adalah : Bahwasannya penentuan perkara tersebut adalah kembali pada kebijakan imam/penguasa. Bentuk pemaduan yang ketiga adalah : Bahwasannya Al-Isti’anah (meminta pertolongan kepada orang musyrik/kafir) pada awalnya dilarang, kemudian akhirnya diijinkan. Kemungkinan (yang terakhir) inilah yang saya (Ibnu Hajar) dukung, dan atas pendapat inilah Asy-Syafi’i menegaskan” [At-Talkhiisul-Habiir juz 4 no. 1856].

Al-Imam An-Nawawi berkata :

وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَآخَرُونَ : إِنْ كَانَ الْكَافِر حَسَن الرَّأْي فِي الْمُسْلِمِينَ , وَدَعَتْ الْحَاجَة إِلَى الِاسْتِعَانَة بِهِ اُسْتُعِينَ بِهِ , وَإِلَّا فَيُكْرَه

”Asy-Syafi’i dan yang lainnya telah berkata : ’Apabila orang kafir tersebut mempunyai pandangan bagus terhadap kaum muslimin (bisa dipercaya) dan kondisi sangat membutuhkan pada pertolongan orang kafir tersebut, maka diperbolehkan meminta pertolongan kepadanya. Jika tidak, maka hal itu dibenci” [Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi].

Pandangan Imam Madzhab Terhadap Masalah Ini

Perlu diketahui bahwa permasalahan ini termasuk yang diperselisihkan oleh para ulama maka sangat tepat sekali jika kita melihat bagaimana para ulama terkhusus kalangan empat Imam Madzhab memandang permasalahan ini apakah mereka sepakat atau tidak. untuk lebih jelasnya kami paparkan masing-masing pendapat sebagai berikut:

1.        Hanafiyah: diriwayatkan dalam kitab Al-bahr dari Al-Atrah dan Imam Abu Hanifah bahwa mereka membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir. Mereka berhujjah dengan hadits Nabi Salallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi Salallahu Alaihi wasallam pernah meminta bantuan kepada Shofwan bin Umayyah pada perang Hunain sedangkan ia ketika itu masih dalam keadaan musyrik.

Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Dzu Al-Mukhbir bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam bersabda:

 عن ذي مخبر رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ستصالحون الروم صلحا آمنا فتغزون أنتم وهم عدوا من ورائكم فتنصرون وتغنمون وتسلمون ثم ترجعون حتى تنزلوا بمرج ذي تلول فيرفع رجل من أهل النصرانية الصليب فيقول غلب الصليب فيغضب رجل من المسلمين فيدقه فعند ذلك تغدر الروم وتجمع للملحمة

Dari Dzu Mukhbir, seorang laki-laki dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wasallam, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wasallam bersabda: “Kalian pasti akan melakukan perdamaian dengan Romawi dengan aman. Kalian bersama mereka akan memerangi satu musuh dikemudian hari. Kemudian kalian akan ditolong dan berhasil mendapatkan ghanimah (memenagkan pertempuran) serta selamat. Kemudian kalian kembali pulang hingga kalian singgah di sebuah daerah yang tinggi. Tiba-tiba seorang laki-laki dari kaum Nashrani mengangkat salib seraya berkata : “Telah menang salib”. Hingga marahlah seorang dari kaum muslimin dan mendorongnya. Maka ketika itu mulailah tentara Romawi berkhianat serta menyiapkan pasukannya untuk pertempuran besar”

Diriwayatkan bahwa Nabi Salallahu Alaihi Wasallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyewa Abdullah bin Uraiqit sebagai penunjuk jalan untuk berhijrah ke Madinah.

Robi’ bin Hadi al-Madkholi menyebutkan dalam kitabnya bahwa hadits ini menunjukan bolehnya meminta bantuan kepada orang kafir baik dalam jihad atau yang lainnya.

Dan yang mendekati pendapat ini adalah pendapatnya Abu Ya’la, Abdurrahman bin Jauzi dan Ibnu Hazm, beliau berkata: ”Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang kafir yang lainnya”

2.      Malikiyah:  mereka berpendapat bahwa tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan secara mutlak, kecuali orang kafir dzimmi, ini sebagaimna yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Bari dalam kitabnya.

Dalil yang mereka jadikan sebagai landasan adalah sebagai berikut:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha., dia berkata, “Sebelum perang Badar, Rasulullah Salallahu alaihi Wasallam melakukan suatu perjalanan. Sesampainya di Harrah Al-Wabarah_sebuah tempat berjarak 4 mil dari Madinah_ beliau ditemui oleh seorang laki-laki yang disebut-sebut sebagai pemberani. Para sahabat terlihat gembira melihat orang tersebut. setelah menemui beliau laki-laki itu berkata, “Aku datang untuk ikut denganmu dan bergabung dengan pasukanmu.” Rasulullah Salallahu alaihi Wasallam lantas bertanya, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya?” Dia menjawab, “Tidak”. Belaiu kembali bersabda, “Kalau begitu pulanglah karena aku tidak mau meminta bantuan kepada seorang yang musyrik.” Laki-laki itupun pergi, sehinga sesampinya Rasulullah diSyajarah, beliau kembali ditemui oleh laki-laki tersebut. Dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya dan Nabipun mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, orang itu menjawab, “Tidak”. Maka Nabipun bersabda, “Kalau begitu, pulanglah, karena aku tidak mau meminta bantuan kepada orang musyrik.” Laki-laki itupun pulang, tetapi kemudian menemui Nabi kembali di Baida’, dia mengutarakan hal yang sama seperti sebelumnya. Lalu Rasulullah bertanya, “Apakah egkau beriman kepada Allah dan rasul-Nya?” dia menjawab, “Ya” beliau bersabda lagi kepadanya, “Ikutlah engkau bersama kami,”

Dari Abu Hamid as-Saidi beliau berkata: suatu ketika Rasulullah keluar untuk berperang tatkala sampai di Tsaniyati al-Wada tiba-tiba ada sekelompok pasukan, maka beliau berkata “siapa mereka”? para sahabat menjawab “mereka adalah Bani Qoinuqo’”, lalu Nabi bertanya kembali “apakah mereka sudah masuk islam”? para sahabat menjawab “mereka belum masuk islam”, maka Nabi bersabda: katakan kepada mereka “pulanglah karena aku tidak mau meminta bantuan kepada orang kafir”

3.        Syafi’iyah: disebutkan dalam sebuah riwayat dari Imam as-Syafi’i bahwa beliau tidak membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir kecuali dengan beberapa syarat, karena itu sama saja dengan menjadikan jalan bagi  mereka, sedangkan Allah Ta’ala melarang yang demikian. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam al-Qurtubi. Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang sudah disebutkan di atas, diantaranya :

Firman Allah:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبالاً وَدُّوا ما عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآياتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

 “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang yang diluar keluargamu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena)mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka megharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dihati mereka lebih jahat. Sungguh, telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat kami jika kamu mengerti.”  (al-imran : 118).

4.      Hanabilah: mereka terbagi menjadi dua pendapat tentang boleh atau tidaknya meminta bantuan kepada orang kafir, tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang tidak membolehkan, karena pendapat yang membolehkanpun memberikan syarat, hal ini sebagaimana disebutkan dalamal-Mughni bahwa Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir  dengan adanya syarat.

Dalil yang mereka gunakan adalah sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.” (Al-Maidah:57)

Secara garis besar dari pendapat imam madzhab diatas hanya terdapat dua pandangan, yaitu pendapat yang tidak membolehkan secara mutlak dan yang membolehkan dengan adanya syarat.

Pendapat yang tidak membolehkan secara mutlak (mereka adalah Syafi’iyah , Malikiyah dan Hanabilah) berpandangan bahwa hujjah kelompok yang membolehkan itu tidak kuat, karena tidak adanya lafadz yang sorih bahwa Nabi meminta bantuan kepada orang kafir, seperti hadits tentang Shofwan bin Umayyah, hadits ini tidak menunjukan bolehnya meminta bantuan kepada orang kafir, karena Nabi tidak meminta Shofwan untuk ikut berperang bersamanya, akan tetapi Shofwan sendiri yang ikut bersama Nabi.

Kemudian dalam hadits Aisyah disebutkan secara shorih penolakan Nabi terhadap seorang musyrik ketika menawarkan dirinya untuk berperang bersama Nabi.

Adapun pendapat yang membolehkan, mereka berpandangan bahwa penolakan Nabi terhadap seorang musyrik dalam hadits Aisyah itu bukanlah penolakan untuk tidak bolehnya berperang bersama beliau, akan tetapi penolakan tersebut mengandung harapan agar orang tersebut masuk islam terlebih dahulu. hal ini dibuktikan bahwa orang tersebut akhirnya masuk islam.


Maka atas dasar pendapat-pendapat terbimbing dari para ulama atas keseluruhan dalil yang ada, maka pembolehan ber-isti’anah kepada kaum musyrik/kafir itu tergantung ijtihad imam/waliyyul-amri untuk kemaslahatan terhadap apa-apa yang dipimpinnya. Yang demikian ini tidak mengapa selama tidak menimbulkan mudlarat yang lebih besar terhadap kaum muslimin. Bahkan, hukum beristi’anah kepada musyrikin/kafirin ini bisa menjadi wajib jika memang kondisi darurat mengharuskan demikian untuk menghindarkan diri dari kebinasaan atas kedhaliman/kejahatan musuh, sementara kaum muslimin dalam keadaan lemah. Namun jika pertolongan mereka malah menimbulkan kemudlaratan serta makar yang lebih besar pada kaum muslimin, maka hukumnya menjadi haram. Semoga Allah memberikan bimbingan kepada para pemimpin kaum muslimin agar mereka selalu berada di atas petunjuk-Nya. Amien.

WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar