Rabu, 31 Mei 2017

Hakikat Amal Ibadah Puasa Tidak Dicatat Malaikat

Puasa adalah menyifati diri dengan sifat yang tidak kita miliki; yaitu menyifati diri dengan sifat yang berlawanan dengan sifat diri kita (tawashuf bikhilafi ma nahnu fihi). Hakekat kita adalah zat dengan sifat yang membutuhkan (al-faqir). Dengan puasa, sebenarnya kita lagi menyifati diri [Tawashuf bukan tasybih/tamtsil, sebab yangtawashuf dalam lingkup sifat-sifat maknawi, sementara tasybih/tamtsil dalam lingkup sifat-sifat jusmani] kita dengan  sifat yang tidak sesuai dengan zat diri kita, yaitu sifat tidak membutuhkan (al-ghaniy), karena al-ghaniy adalah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Inilah yang dimaksudkan orang-orang sufi dengan

 تخلقوا بأخلاق الله

 “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”,

Maksudnya adalah bersifatlah kamu dengan sifat Allah seperti sayang, kasih, pemberi, pemaaf dan penolong.

Ketika berpuasa kita  tidak membutuhkan makanan yang mengisi perut dan minuman yang membasahi tenggorokan kita. Bukankah Allah tidak membutuhkan makan dan minum?!

Jangan heran! Bukan kita saja yang sering menyifati diri kita dengan sifat Allah, Allahpun juga terkadang suka menyifati diri-Nya dengan sifat hamba-Nya. Contohnya pada ayat berikut ini Allah lagi menyifati dirinya dengan makhluk yang lagi membutuhkan.

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا

“Siapakah yang mau meminjamkan Allah (uang atau harta) dengan pinjaman yang baik?!” (Al-Baqarah: 245)

Juga pada hadits ini, Allah lagi menyifati dirinya dengan sifat kita.

يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي … يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي… يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي


“Wahai anak Adam, aku sakit tapi kamu tidak menjengukku... Wahai anak Adam, aku lapar tapi kamu tidak memberiku makan… Wahai Anak Adam, aku haus tapi kamu tidak memberiku minum” (Riwayat Muslim)
Lebih lengkapnya hadits tersebut adalah:

يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي

Di alquran Allah juga menyifati diri-Nya dengan penyabar (ash-Shobur), sementara sabar tidak terjadi kecuali jika ada kesusahan (masyaqqah), sementara Allah tidaklah mungkin tertimpa kesusahan.

Dari ayat dan hadits di atas, jangan dipahami secara zhohir bahwa Allah butuh uang, Allah sakit, Allah lapar dan Allah haus, tetapi Allah lagi bertanazul dengan para hamba, yaitu Allah lagi mendekati hambanya dengan menurunkan sifat-Nya kepada sifat hamba dan pada saat yang bersamaan Allah juga mendekatkan hamba-Nya kepada-Nya dengan menaikkan sifatnya kepada sifat-Nya.

Tanazul tidak sama dengan tasybih yang dilakukan oleh orang-orang mujassimah. Karena tanazul adalah dalam lingkup sifat-sifat maknawi seperti penyayang, pengasih, pemaaf dan penolong sementara tasybih adalah dalam lingkup jusmani seperti berwajah, bermata, bertangan dan berkaki. Maha suci Allah daripada penyerupaan terhadap makhluk.

Tanazul ini saya umpamakan ketika kita menyapa anak-anak kita yang sedang bermain di atas pasir, kita ikut turun ke atas pasir, memperlakukan anak-anak kita bukan dengan sifat kita; sifat orang dewasa, tetapi dengan sifat anak-anak yang lagi bermain di atas pasir. Ini terjadi secara otomatis jika kita mencintai anak-anak kita. Begitu pulalah Allah ketika Allah mensifatkan diri-Nya dengan sifat hamba sebenarnya Allah lagi mendekati hamba-Nya (taqarruban), merealisasikan cinta-Nya (tahabbuban) dan menyentuh hamba dengan merasakan kelembutan sifat-Nya (talathufan).

Di antara sifat Allah adalah puasa (shoum)karena puasa adalah imsak, yaitu imtina’ (tidak makan dan minum). Ketika Allah menyuruh kita berpuasa, sebenarnya Allah menyuruh kita untuk bersifat dengan sifat Allah, untuk berakhlak dengan akhlak Allah.

Begitu pula puasa adalah istighna’; yaitu tidak membutuhkan segala sesuatu. Istighna’ adalah sifat Allah, dimana Allah tidak membutuhkan segala sesuatu. Jadi ketika puasa, kita sebenarnya lagi melatih diri untuk bersifat dengan sifat Allah, walaupun pada hakekatnya kita membutuhkan segala sesuatu. Namun Allah ingin membiasakan kepada kita: “Berpuasalah kamu, bersifatlah dengan sifat-Ku walaupun hanya sekali-sekali kamu bersifat dengan sifat-Ku, contohlah Aku hingga kamu mengenal dan mencintai Aku."

Puasa adalah ibadah agung untuk bertakhalluq dengan akhlak Allah, tasyakkul  dan tanazul dengan sifat Allah Ta’ala secara majaziah karena sifat-sifat itu pada hakekatnya bukanlah sifat kita.

Jadi hakekat puasa adalah sifat Allah, oleh karena itulah tak ada malaikat yang mampu mencatat pahalanya. Berbeda dengan sedekah, sholat, berbuat baik kepada orang tua, baca alquran dan semuanya ditentukan rinci pahalanya, ada yang sepuluh kali lipat, ada yang tujuh puluh kali lipat, ada yang tujuh ratus kali lipat dan seterusnya. Sementara puasa, Allah tidak memberi tahu. Allah hanya mengatakan dalam hadits:

وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا... (رواه البخاري)

“…dan Aku yang akan membalasnya dan sementara kebaikan selain puasa itu pahalanya sepuluh kali lipat…”

Hadits di atas adalah sebuah isyarat yang agung bahwa Allah ingin mengatakan pada kita; Takhalluq (bersifat) dengan sifat Allah tidak bisa ditimbang pahalanya, bahkan pada hari kiamatpun pahala puasa ini tidak bisa ditimbang dengan mizan sementara amal-amal yang lain semuanya dapat ditimbang. Siapakah yang dapat menimbang beratnya sifat Allah?! Tak mungkin, itu mustahil. Tak ada satu makhlukpun yang dapat mengukur seberapa besar beratnya timbangan sifat Allah. Mustahil!!!

Oleh karena itulah Allah mensifati orang-orang yang bersifat dengan sifat-Nya sebagai Rabbaniyun:

وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ...(آل عمران: 79)

“Akan tetapi jadilah kamu seorang hamba yang bersifat dengan sifat-sifat Rabbmu.”

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

1 komentar: