Selasa, 30 Mei 2017

Makan Sahur Ketika Adzan Subuh

Makan atau minum setelah tanda imsak berbunyi, tak diragukan lagi sebagai tanda peringatan hati-hati.

Tujuannya, agar orang yang sedang sahur tidak kaget dengan azan subuh. Dengan adanya tanda imsak, orang yang sedang sahur bisa segera menghabiskan makanannya. Demikian juga orang yang belum sahur, bisa segera untuk makan sahur.

Setiap negara punya kebijakan sendiri soal tanda imsak. Di Indonesia, tanda imsak yang disepakati ulama yakni 10 menit sebelum waktu subuh. Sedangkan untuk daerah Timur Tengah biasanya 15 menit sebelum waktu subuh. Penghitungannya tergantung kesepakatan ulama setempat melihat Kondisi masyarakat yang ada.

Dan imsak ternyata sudah ada juga di zaman Ibnu hajar Al-asqalanirahimahullah, beliau mengingkarinya dan berkata,

من البدع المنكرة ما أحدث في هذا الزمان من إيقاع الأذان الثاني قبل الفجر بنحو ثلث ساعة في رمضان واطفاء المصابيح التي جعلت علامة لتحريم الأكل والشرب على من يريد الصيام زعما ممن أحدثه أنه للاحتياط في العبادة ولا يعلم بذلك الا آحاد الناس وقد جرهم ذلك إلى أن صاروا لا يؤذنون الا بعد الغروب بدرجة لتمكين الوقت زعموا فاخروا الفطر وعجلوا السحور وخالفوا السنة فلذلك قل عنهم الخير وكثير فيهم الشر والله المستعان

“Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang terjadi di zaman ini (zaman Ibnu Hajar) yaitu adanya pengumandangan adzan kedua tiga perempat jam sebelum waktu fajar bulan Ramadhan. Serta memadam lampu-lampu sebagai pertanda telah datangnya waktu haram untuk makan dan minum bagi yang berpuasa keesokan harinya. Orang yang berbuat seperti ini beranggapan bahwa hal itudimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang mengetahui persis batas akhir sahur hanya segelintir manusia. Sikap hati-hati yang demikian, juga menyebabkan mereka tidak diijinkan untuk berbuka puasa kecuali setelah matahari terbenam beberapa saat agar lebih memastikan waktu. Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka menyegerakan waktu sahur, dan suka menyelisihi Sunnah. Oleh sebab itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak mendapatkan keburukan.” [fathul barri 4/199]

Namun bagaimana jika azan subuh sudah berkumandang? Apakah masih diperbolehkan menghabiskan sisa makanan yang ada? Menjadi suatu dilema, jika sisa makanan harus dibuang karena waktu subuh telah masuk.

Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.

Al-Imaam Abu Daawud rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, dari Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2350].

Diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Al-Musnad 2/423 no. 9473 & 2/510 no. 10629, Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/526 no. 3015, Ad-Daaruquthniy no. 2182, Ibnu Abi Shaabir dalam Al-Fawaaid no. 2, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/203 & 1/205 & 1/426, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/218 no. 8018; dari 5 jalan (Ghassaan bin Ar-Rabii’, Rauh bin ‘Ubaadah, ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, ‘Affaan, dan ‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats); semuanya dari Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sanad riwayat ini hasan, dan shahih dengan penguat yang akan disebut setelahnya.

Berikut keterangan para perawinya :

a.‘Abdul-A’laa bin Hammaad bin Nashr Al-Baahiliy, Abu Yahyaa Al-Bashriy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bih)’. Termasuk thaqabah ke-10, dan wafat tahun 236 H/237 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 561 no. 3754].

b.Ghassaan bin Ar-Rabii’. Ad-Daaruquthniy telah mendla’ifkannya. Di tempat lain ia berkata : “Shaalih”.  Al-Khathiib berkata : “Ia seorang yang mulia, mempunyai keutamaan, dan wara’”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Wafat tahun 226 H [lihat : Taariikh Baghdaad, 14/285-286 no. 6723 dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imaam Ahmad, hal. 285 no. 175].

c.Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan bin ‘Amr bin Martsad Al-Qaisiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 205 H/207 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah[lihat : Al-Mu’jamush-Shaghiir li-Ruwaati Al-Imam Ibni Jariir Ath-Thabariyno. 1167 dan Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].

d.‘Affaan bin Muslim bin ‘Abdillah Al-Baahiliy, Abu ‘Utsmaan Ash-Shaffaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun kadang ragu. Termasuk thabaqah ke-10, wafat setelah tahun 219 H di Baghdaad. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 681 no. 4659].

e.‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats Al-Mariidiy Al-Bashriy, Abu Bahr Ash-Shairafiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 631 no. 4275].

f.Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah; seorang yang tsiqah, lagi ‘aabid, orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Tsaabit (Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 167 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara muallaq, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507].

g.Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 144 H/145 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth :shaduuq[Tahriirut-Taqriib, 3/299 no. 6188].

h.Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqahlagi banyak haditsnya. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 94 H dalam usia 72 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1155 no. 8203].

i.Abu Hurairah Ad-Dausiy Al-Yamaaniy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masyhuur dan mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 57 H/58 H/59 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1218 no. 8493].

Khusus periwayatan ‘Affaan dari Hammaad bin Salamah, Ibnu Rajab rahimahumullah berkata :

قال عبد الله بن أحمد : سمعتُ يحيى بن معين يقول : من أراد أن يكتب حديث حماد بن سلمة، فعليه بعفان بن مسلم

“Telah berkata ‘Abdullah bin Ahmad : Aku mendengar Yahyaa bin Ma’iin berkata : ‘Barangsiapa yang ingin menulis hadits Hammaad, maka wajib baginya berpegang pada ‘Affaan bin Muslim” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/707].

Artinya, hadits ‘Affaan bin Muslim dari Hammaad adalah shahih, karena ia meriwayatkan sebelum ikhtilaath-nya. Selain itu, periwayatannya diunggulkan di kalangan ashhaab Hammaad bin Salamah. Wallaahu a’lam.

Diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Al-Musnad 2/510 no. 10630, Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/527 no. 3016, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/218 no. 8019; semuanya dari jalan Rauh bin ‘Ubaadah, dari Hammaad bin Salamah, dari ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal hadits sebelumnya, dengan tambahan lafadh dari perawi:

وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ

“Dan muadzdzin mengumandangkan adzan apabila fajar telah terbit”.

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja tidak diketahui apakah Rauh mendengar riwayat Hammaad sebelum atau setelah masa ikhtilaath-nya. Akan tetapi, riwayatnya berkesesuaian dan dikuatkan oleh riwayat sebelumnya.

Ammaar bin Abi ‘Ammaar, Abu ‘Umar/Abu ‘Abdillah Al-Makkiy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-3 [Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 709 no. 4863].

Diriwayatkan pula oleh Ahmad 2/423 : Telah menceritakan kepada kami Ghassaan : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Yuunus, darii Al-Hasan, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Riwayat ini lemah dengan sebab mursal.

Hadits di atas dishahihkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/205, serta dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 1394 dan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadii’iy dalam Al-Jaami’ush-Shahiih 2/374.

Ada yang mengatakan riwayat ini ma’lul berdasarkan perkataan Ibnu Abi Haatim rahimahullah:

وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ". قُلْت لأَبِي: وَرَوَى رَوْحٌ أَيْضًا عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ، وَزَادَ فِيهِ: " وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ ". قَالَ أَبِي: هَذَانِ الْحَدِيثَانِ لَيْسَا بِصَحِيحَيْنِ، أَمَّا حَدِيثُ عَمَّارٍ فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَوْقُوفٌ، وَعَمَّارٌ ثِقَةٌ، وَالْحَدِيثُ الآخَرُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ

Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits Rauh bin ‘Ubaadah, dari Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)’. Aku berkata kepada ayahku : “Dan Rauh juga meriwayatkan dari Hammaad, dari ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisalnya, dan terdapat tambahan padanya : ‘Dan muadzdzin mengumandangkan adzan apabila fajar telah terbit”. Ayahku berkata : “Kedua hadits ini tidak shahih. Adapun hadits ‘Ammaar, maka ia berasal dari Abu Hurairah secara mauquuf, dan ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqah. Sedangkan hadits yang lain, tidaklah shahih” [Al-‘Ilal, 2/235-236 no. 240. Juga pada 2/137-138 no. 759].

Jawab : Perkataan Abu Haatim rahimahullah perlu ditinjau kembali, sebab ia tidak menjelaskan apa alasan pendla’ifannya tersebut. Sebagaimana yang kita lihat sanad riwayat Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hasan; dan inilah riwayat jama’ah yang meriwayatkan dari Hammaad bin Salamah. Adapun perkataannya bahwa riwayat ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar adalah mauquuf, maka fakta yang ada menyatakan riwayat tersebut marfuu’. Al-Arna’uth dalam takhriij-nya atas Musnad Ahmad (16/368) tidak menemukan riwayat mauquuf yang dimaksudkan oleh Abu Haatim.

Ringkasnya, ta’lil Abu Haatim ini tidaklah diterima.

Ada yang mengatakan bahwa Hammaad bin Salamah mengalami idlthiraab dalam periwayatan.

Jawab : Perkataan ini tidak diterima.  Idlthiraab terjadi jika jalan riwayat sampai ke Hammaad bin Salamah sama kuat dan tidak bisa ditarjih. Namun di atas telah dijelaskan bahwa riwayat paling kuat adalah riwayat jama’ah yang di antaranya adalah riwayat ‘Affaan bin Muslim. Selain itu, tidak ada halangan bagi Hammaad meriwayatkan dari beberapa jalan selain riwayat jama’ah [lihat : Al-Jaami’ush-Shahiih oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy, 2/373-374].

Ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut bertentangan dengan ayat :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [QS. Al Baqarah: 187].

Jawab : Hadits tersebut tidaklah bertentangan dengan ayat, karena hadits tersebut merupakan rukhshah pada makanan/minuman yang sedang dikunyah atau yang ada ditangan yang belum terselesaikan (untuk dimakan atau diminum). Tentu lain halnya dengan orang yang telah selesai makan sahur (atau bahkan belum sahur sama sekali), kemudian nampak baginya fajar shaadiq dalam keadaan ia tahu waktu itu merupakan batas larangan untuk makan/minum; ia tidak boleh makan atau minum. Bahkan jika ia makan dan minum dengan sengaja berdasarkan pengetahuannya tersebut di atas, maka batal puasanya, dan wajib ia mengqadla di hari lain. Dua hal ini tentu berbeda.Rukhshah ini seperti yang terdapat dalam hadits :

وَحَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ اللَّيْثِيُّ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ، فَلا يَعْجَلْ عَنْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ ".

Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin ‘Iyaadl Al-Laitsiy, dari Muusaa bin ‘Uqbah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila kalian sedang makan, maka janganlah tergesa-gesa hingga ia menyelesaikan hajatnya, meskipun shalat telah ditegakkan (iqaamah)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1986; shahih].

Ada yang mengatakan bahwa hadits di atas dibawa pada pengertian masih bolehnya makan dan minum saat dikumandangkan adzan yang pertama, sebagaimana penjelasan Al-Baihaqiy rahimahullah :

وَهَذَا إِنْ صَحَّ فَهُوَ مَحْمُولٌ عِنْدَ عَوَامِّ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُ -صلى الله عليه وسلم- عَلِمَ أَنَّ الْمُنَادِىَ كَانَ يُنَادِى قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ بِحَيْثُ يَقَعُ شُرْبُهُ قُبَيْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَقَوْلُ الرَّاوِى وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ خَبَرًا مُنْقَطِعًا مِمَّنْ دُونَ أَبِى هُرَيْرَةَ أَوْ يَكُونَ خَبَرًا عَنِ الأَذَانِ الثَّانِى وَقَوْلُ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :« إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ». خَبَرًا عَنِ النِّدَاءِ الأَوَّلِ لِيَكُونَ مُوَافِقًا لِمَا أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو الْفَضْلِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أنبأ جَرِيرٌ، وَالْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَن رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا يَمْنَعَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلالٍ مِنْ سُحُورِهِ، فَإِنَّمَا يُنَادِي لِيُوقِظَ نَائِمَكُمْ، وَيَرْجِعَ قَائِمُكُمْ "

“Jika hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar (shubuh) dan beliau minum dekat dengan terbitnya fajar. Sedangkan perkataan perowi bahwa muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar dipahami bahwa hadits tersebut sebenarnya munqothi’ (terputus dalam sanad) di bawah Abu Hurairah. Atau boleh jadi hadits tersebut dimaksudkan untuk adzan kedua. Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (piring) masih ada di tangannya …”, maka yang lebih tepat hadits ini dimaksudkan untuk adzan pertama sehingga berkesesuaianlah dengan riwayat : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-haafidh : Telah memberitakan kepada Abul-Fadhl bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Salamah : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah memberitakan Jariir dan Al-Mu’tamir bin Sulaimaan, dari Sulaimaan At-Taimiy, dari Abu ‘Utsmaan An-Nahdiy, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah adzan Bilaal menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan sahurnya, karena Bilaal mengumandangkannya untuk membangunkan orang yang masih tidur dan mengingatkan orang yang sedang shalat” [As-Sunan Al-Kubraa, 4/218].

Jawab : Hadits tersebut memang shahih. Namun membawa hadits di atas pada adzan pertama, maka itu musykil, karena dhahir hadits yang dimaui dengan adzan adalah adzan kedua (telah masuk waktu Shubuh, terbit fajaf shaadiq). Apalagi dalam riwayat ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar telah dijelaskan bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan kedua. Selain itu, ada beberapa syawaahid hadits yang menguatkan, yang menafikkan apa yang dikatakan oleh Al-Baihaqiy rahimahullah :

1.Hadits Abu Umaamah radliyallaahhu ‘anhu.

حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، قَالَ: ثَنَا يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، قَالَ: ثَنَا الْحُسَيْنُ، وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ، قَالا جَمِيعًا، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: " أُقِيمَتِ الصَّلاةُ وَالإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ، قَالَ: أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَشَرِبَهَا "

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Waadlih, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq, ia berkata : Aku mendengar ayahku berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Waaqid; keduanya (Yahyaa bin Waadlih dan ‘Aliy bin Al-Hasan dari jalur Al-Husain) dari Abu Ghaalib, dari Abu Umaamah, ia berkata : ““Pernah iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di tangan Umar (bin Khaththab) radliyallaahu ‘anhu. Ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : ‘Apakah aku boleh meminumnya?’. Beliau menjawab : ‘Boleh’. Maka Umar pun meminumnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir 3/527 no. 3017].

Riwayat ini terdiri dari dua jalan dari Al-Husain bin Waaqid. Pertama, dari jalan Ibnu Humaid, dan yang kedua, dari jalan Muhammad bin ‘Aliy bin Syaqiiq. Akan tetapi jalan pertama yang berasal dari Ibnu Huimaid adalah lemah atau bahkan sangat lemah. Ibnu Humaid namanya : Muhammad bin Humaid bin Hayyaan, Abu ‘Abdillah Ar-Raaziy; termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 248 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 839 no. 5871]. Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadits, dan bahkan ada yang mendustakannya.

Adapun jalan riwayat yang lain, maka sanadnya hasan. Berikut keterangan perawinya :

a.Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, shaahibul-hadiits. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 250 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6190].

b.‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqahlagi haafidh. Termasukthabaqahke-10, dan wafat tahun 215 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 692 no. 4740].

c.Al-Husain bin Waaqid Al-Marwaziy, Abu ‘Abdillah Al-Qurasyiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “Tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (lahu auhaam). Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 157 H/159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim (dalam mutaba’ah kitab Shahih-nya), Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 251 no. 1367]. Namun yang tepat, ia seorang yang shaduuq, hasanul-hadiits, karena beberapa kritikan para ulama tentang dirinya.

Ibnu Hajar memasukkan Al-Husain dalam jajaran perawi mudallis dalam Thabaqaatul-Mudallisiin no. 8, yaitu pada thabaqah pertama. Artinya, tadlis yang ia lakukan amatlah jarang, sehingga ‘an’anah riwayatnya tidak membahayakan – kecuali ada qarinah yang kuat bahwa ia melakukan tadlis pada riwayat yang ia bawakan.

d.Abu Ghaalib Al-Bashriy, shaahibu Abi Umaamah; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “Shaduuq, namun sering keliru”. Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1188 no. 8362]. Namun yang raajih, haditsnya adalah hasan, dan ia sendiri seorang yang shaduuq.

2.Hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنِ الرَّجُلِ يُرِيدُ الصِّيَامَ، وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ لِيَشْرَبَ مِنْهُ، فَيَسْمَعُ النِّدَاءَ، قَالَ جَابِرٌ: كُنَّا نُحَدَّثُ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لِيَشْرَبْ "

Telah menceritakan kepada kamu Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Abuz-Zubair, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Jaabir tentang seseorang yang bermaksud puasa sedangkan ia masih memegang gelas untuk minum, kemudian ia mendengar adzan. Jabir menjawab : “Kami pernah mengatakan hal seperti itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda : ‘Hendaklah ia minum’”  [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/348].

Diriwayatkan juga oleh Thaahir bin Muhammad dalam An-Nuskhah no. 23 : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, selanjutnya seperti riwayat di atas.

Sanad riwayat ini lemah, karena faktor Ibnu Lahii’ah. Namanya adalah : ‘Abdullah bin Lahii’ah bin ‘Uqbah Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Nashr Al-Mishriy; seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya setelah kitabnya terbakar. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 174 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 538 no. 3587].

Jika yang meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah itu adalah salah satu dari Al-‘Abadillah (empat orang yang bernama ‘Abdullah), maka riwayat itu diterima (karena mereka meriwayatkan sebelum kitab-kitab Ibnu Lahi’ah terbakar). Al-‘Abaadillah tersebut adalah : ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim, ‘Abdullah bin Al-Mubarak, ‘Abdullah bin Yazid Al-‘Adawiy Al-Makkiy, dan ‘Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabiy. Keempat orang ini termasuk para perawi Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahiih-nya.

Adapun Abuz-Zubair, namanya adalah : Muhammad bin Muslim bin Tadrus Al-Qurasyiy Al-Asadiy, Abuz-Zubair Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, namun sering melakukan tadlis.Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 126 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 895 no. 6331].

3.Hadits mursal Al-Hasan.

عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ أَبِي مُوسَى، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِي، وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ، قَالَ: اشْرَبْ "

Dari Ibnu ‘Uyainah, dari Israaiil Abu Muusaa, dari Al-Hasan, ia berkata : Telah berkata seorang laki-laki : “Wahai Rasulullah, muadzdzin telah mengumandangkan adzan sedangkan gelas masih ada di tanganku dan aku berniat untuk berpuasa ?”. Beliau bersabda : “Minumlah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf 4/172-173 no. 7369].

Sanad riwayat di atas adalah lemah dikarenakan mursal, namun semua perawinya tsiqaat :

a.Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Kuufiy Al-Makkiy; seorang yangtsiqah, haafidh, faqiih, imaam,dan hujjah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 107 H, dan wafat tahun 198 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].

b.Israaiil bin Muusaa, Abu Muusaa Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [taqriibut-Tahdziib, hal. 134 no. 404].

c.Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy Al-Anshaariy, Abu Sa’iid atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah,faqiih,faadlil, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H dalam usia 88/89 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1237].

Ada kemungkinan perantara Al-Hasan tersebut adalah Jaabir bin ‘Abdillah sebagaimana riwayat yang kedua, karena Al-Hasan Al-Bashriy dikenal mempunyai periwayatan darinya. Matan yang dibawakannya pun berdekatan. Jika memang benar perantara tersebut adalah Jaabir, maka hadits tersebut adalah shahih.

Tiga hadits di atas menjelaskan makna hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan kedua, bukan adzan pertama. Dan berikut terdapat beberapa atsar shahabat selaras dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, di antaranya :

1.Atsar Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ جُمَيْعٍ، قَالَ: ثَنَا أَبُو الطُّفَيْلِ أَنَّهُ تَسَحَّرَ فِي أَهْلِهِ فِي الْجَبَّانَةِ، ثُمَّ جَاءَ إلَى حُذَيْفَةَ وَهُوَ فِي دَارِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ، فَوَجَدَهُ: فَحَلَبَ لَهُ نَاقَةً فَنَاوَلَهُ، فقَالَ: إنِّي أُرِيدُ الصَّوْمَ، فقَالَ: وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ فَشَرِبَ حُذَيْفَةُ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَدَفَعَ إلَى الْمَسْجِدِ حِينَ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ "

Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Jumai’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abuth-Thufail : Bahwasannya ia pernah sahur bersama keluarganya di Al-Jabbaanah. Kemudian ia mendatangi Hudzaifah yang waktu itu berada di rumah Al-Haarits bin Rabii’ah. Ia pun mendapatinya, lalu diperaskan untuknya susu onta betina, dan diberikan kepadanya. Abuth-Thufail berkata : “Sesungguhnya aku berniat akan berpuasa”. Hudzaifah berkata : “Aku pun berniat akan berpuasa”. Kemudian Hudzaifah meminumnya dan ia (Abuth-Thufail) mengambilnya dengan tangannya (ikut minum). Lalu mereka pun berjalan menuju masjid ketika shalat telah ditegakkan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/10 no. 9028].

Sanad riwayat ini hasan, semua perawinya tsiqaat, kecuali Al-Waliid bin Jumai’. Selengkapnya, berikut keterangan para perawinya :

a.Al-Fadhl bin Dukain – ‘Amru bin Hammaad bin Zuhair Al-Qurasyiy At-Taimiy Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 129/130 H, dan wafat tahun 218 H/219 H.Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 782 no. 5436].

b.Al-Waliid bin ‘Abdilah bin Jumai’ Az-Zuhriy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh Al-BukhaariydalamAl-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,dan An-Nasaa’iy [Tahriirut-Taqriib,4/63no.7432].

c.‘Aamir bin Waatsilah bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Jahsy, Abuth-Thufail Al-Laitsiy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Wafat tahun 110 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 478 no. 3128].

Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu makan sahur bersamaan dengan terbitnya fajar, dan kemudian melanjutkannya hingga selesai, lalu mendatangi masjid dalam keadaan shalat telah ditegakkan. Ada kisah lain yang menguatkan dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu :

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، وَأَبُو السَّائِبِ، قَالا: ثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ حُذَيْفَةَ إِلَى الْمَدَائِنِ فِي رَمَضَانَ، فَلَمَّا طَلَعَ الْفَجْرُ، قَالَ: هَلْ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ آكِلٍ، أَوْ شَارِبٍ؟ قُلْنَا: أَمَّا رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يَصُومَ فَلا. قَالَ: لَكِنِّي، قَالَ: ثُمَّ سِرْنَا حَتَّى اسْتَبْطَأْنَا الصَّلاةَ، قَالَ: هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يُرِيدُ أنْ يَتَسَحَّرَ؟ قَالَ: قُلْنَا أَمَّا مَنْ يُرِيدُ الصَّوْمَ فَلا. قَالَ: لَكِنِّي ! ثُمَّ نَزَلَ فَتَسَحَّرَ، ثُمَّ صَلَّى "

Telah menceritakan kepada kami Hannaad dan Abus-Saaib, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya, ia berkata : Aku pernah keluar safar bersama Hudzaifah ke negeri Madaain pada bulan Ramadlaan. Ketika fajar terbit, ia berkata : “Apakah ada di antara kalian yang hendak makan atau minum ?”. Kami menjawab : “Adapun orang yang hendak berpuasa, maka tidak ada”. Ia berkata : “Akan tetapi aku (akan makan dan minum)”. Kemudian kami melanjutkan perjalanan hingga melambatkan shalat. Hudzaifah kembali berkata : “Apakah ada di antara kalian yang hendak sahur ?”. Kami berkata : “Adapun orang yang hendak berpuasa, maka tidak ada”. Ia berkata : “Akan tetapi aku mau makan sahur”. Kemudian ia berhenti dan makan sahur, lalu melaksanakan shalat” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 3/518 no. 2999].

Sanad riwayat ini shahih, perawinya tsiqaat :

a.Hannaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah.Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 152 H, dan wafat tahun243 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1025 no. 7370].

b.Abus-Saaib namanya adalah : Salm bin Junaadah bin Salm bin Khaalid bin Jaabir bin Samurah As-Suwaa’iy Al-‘Aamiriy, Abus-Saaib Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, namun kadang menyelisihi. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 174 H, dan wafat tahun 254 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 396 no. 2477].

c.Abu Mu’aawiyyah namanya adalah : Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah, dan orang yang paling hapal hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].

d.Al-A’masy namanya adalah : Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqah,haafidh, lagi 'aalim terhadap qira’aat, wara’, akan tetapi sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].

e.Ibraahiim bin Yaziid bin Syariik At-Taimiy, Abu Asmaa’ Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, namun ia sering melakukan irsaal dan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 152 H, dan wafat tahun 192 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 118 no. 271]. Namun penghukuman Ibnu Hajar bahwa Ibraahiim sering melakukan tadliis perlu ditinjau kembali, sebab tidak ada ulama mutaqaddimiin yang mensifati Ibraahiim dengan tadliis. Bahkan Ibnu Hajar tidak memasukkannya dalam Thabaqaatul-Mudallisiin [Tahriirut-Taqriib, 1/102-103 no. 269].

f.Ayah Ibraahiim namanya : Yaziid bin Syariik bin Thaariq At-Taimiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat pada masa kekhilafahan ‘Abdul-Malik. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal.1076no.7780].

Catatan : Dalam riwayat Ath-Thabariy yang lain (3/518-519 no. 3000), Al-A’masy telah menjelaskan penyimakan riwayatnya dari Ibraahiim :

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ: ثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: رُبَّمَا شَرِبْتُ بَعْدَ قَوْلِ الْمُؤَذِّنِ يَعْنِي فِي رَمَضَانَ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاةُ.قَالَ: وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَفْعَلَ لَهُ مِنَ الأَعْمَشِ، وَذَلِكَ لَمَّا سَمِعَ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ التَّيْمِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ.....

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : “Kadang-kadang aku minum – dalam bulan Ramadlaan - setelah muadzdzin berkata : qad qaamatish-shalaah”. Ia (Abu Bakr) berkata : “Dan aku tidak pernah melihat seorang pun yang melakukannya kecuali Al-A’masy. Hal tersebut disebabkan ketika ia mendengar (riwayat) : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya, ia berkata : “……(al-atsar)…” [selesai].

Sanad riwayat ini hasan. Berikut keterangan perawinya :

a.Abu Kuraib namanya adalah : Muhammad bin Al-‘Alaa’ bin Kuraib Al-Hamdaaniy, Abu Kuraib Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 247 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,hal. 885 no. 6244].

b.Abu Bakr bin ‘Ayyaasy bin Saalim Al-Asadiy Al-Kuufiy Al-Muqri’ Al-Hanaath; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, namun ketika beranjak tua, hapalannya berubah/jelek, dan kitabnya adalah shahih. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 95 H/96 H/100 H, dan wafat tahun 194 H atau dikatakan setahun atau dua tahun sebelum itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1118 no. 8042].

2.Atsar Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ مَطَرٍ، قَالَ: " أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ فِي دَارِهِ فَأَخْرَجَ لَنَا فَضْلَ سُحُورِهِ فَتَسَحَّرْنَا مَعَهُ فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَخَرَجْنَا فَصَلَّيْنَا مَعَهُ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Asy-Syaibaaniy, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Aamir bin Mathar, ia berkata : “Aku mendatangi ‘Abdullah di rumahnya, lalu ia menyuguhi kami kelebihan makan sahurnya, lalu kami pun sahur bersamanya. Setelah itu shalat diiqamati, maka kami pun keluar dan shalat bersamanya”  [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/10 no. 9024].

Atsar ini hasan. Berikut keterangan para perawinya :

a.Abu Mu’aawiyyah namanya adalah : Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah, dan orang yang paling hapal hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].

b.Asy-Syaibaaniy namanya adalah : ‘Uraif bin Dirham Al-Jammaal, Abu Hurairah Al-Kuufiy. Abu Ahmad Haakim berkata : “Tidak kokoh (laisa bil-matiin)”. Yahyaa bin Sa’iid mengatakan ia meriwayatkan hadits munkar dari Jabalah. Al-‘Uqailiy menyebutkan hadits munkar yang diingkari oleh Yahyaa bin Sa’iid adalah dari Jabalah dari Ibnu ‘Umar tentang onta. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits, tidak mengapa dengannya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 7/44 no. 246 dan Lisaanul-Miizaan, 5/430 no. 5198].

c.Jabalah bin Suhaim At-Taimiy/Asy-Syaibaaniy, Abu Suwairah/Abu Sariirah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 125 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 194 no. 905].

d.‘Aamir bin Mathar Al-Bakriy Al-Kuufiy Asy-Syaibaaniy. ‘Abdurrahmaan bin Al-Hakam berkata tentangnya : “Seorang laki-laki yang mempunyai kedudukan di kalangan kaum muslimin”. Ibnu Sa’d berkata : “Sedikit haditsnya”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, sedangkan sejumlah perawi tsiqaat meriwayatkan darinya, di antaranya : Asy-Sya’biy, Jabalah bin Suhaim, dan Sulaimaan Asy-Syaibaaniy. Al-Haakim menshahihkan haditsnya. Oleh karena itu, ia seorang yang shaduud, hasanul-hadiits [Al-Mustadrak 4/459, Al-Jarh wat-Ta’diil 5/328 no. 1825 dan Lisaanul-Miizaan 4/381 no. 4057].

Asy-Syaibaaniy mempunyai mutaba’ah dari :

a.Mis’ar sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7619 dan dari jalannya Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 9/314-315 :

عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ مَطَرٍ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ، ثُمَّ خَرَجْنَا فَأُقِيمَتِ الصَّلاةُ "

Dari Abu Sufyaan, dari Mis’ar, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Aamir bin Mathar Asy-Syaibaaniy, dari ayahnya, ia berkata : Kami pernah makan sahur bersama ‘Abdullah, kemudian kami keluar, lalu shalat pun diiqamati”.

Penyebutan perantara ‘dari ayahnya’ adalah keliru, karena ‘Aamir dalam periwayatan dari Ibnu Mas’uud tidaklah melalui perantaraan ayahnya, sebagaimana dikenal dalam kitab-kitab taraajim.

b.Abu Ishaaq Asy-Syaibaaniy sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam At-Talkhiish 2/648-649.

Diriwayatkan pula secara marfuu’, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 5220, dan ia mengkritiknya :

حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمٍ، ثنا سَهْلُ بْنُ زَنْجَلَةَ، ثنا وَكِيعٌ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ، عَنْ  عَامِرِ  بْنِ  مَطَرٍ ، قَالَ: " تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاةِ "، كَذَا قَالَ سَهْلٌ، عَنْ وَكِيعٍ، وَرَوَاهُ غَيْرُهُ عَنْ وَكِيعٍ، فَقَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin Hayyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Sulaim : Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Zanjalah : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Mis’ar, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Aamir bin Mathar, ia berkata : “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami berdiri untuk melakukan shalat (Shubuh)”. Abu Nu’aim berkata : “Begitulah yang dikatakan Sahl dari Wakii’. Dan telah diriwayatkan dari selainnya dari Wakii’, dan ‘Aamir berkata : ‘Kami pernah makan sahur bersama Ibnu Mas’uud’ – inilah yang benar” [selesai].

Atsar ini menjelaskan kepada kita bahwa Ibnu Mas’uud tetap menyelesaikan makan sahurnya hingga kemudian ia mendatangi masjid yang ketika itu shalat telah dimulai.

فالصوم المشروع هو الإمساك عن المفطرات من طلوع الفجر الثاني (الصادق) إلى غروب الشمس. قال تعالى (وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل )[ البقرة:187] وعن عائشة وابن عمر رضي الله عنهم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :”إن بلالاً يؤذن بليل فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم” وكان رجلاً أعمى لا ينادي حتى يقال له : أصبحت أصبحت ” متفق عليه. وفي لفظ للبخاري :”فإنه لا يؤذن حتى يطلع الفجر” وفيه دليل على أن قوله: أصبحت أصبحت دخلت في وقت الصبح.

Puasa yang disyariatkan adalah menahan dari segala yang membatalkannya dari terbit fajar yang kedua (Fajar Shadiq) sampai terbenamnya matahari. Allah berfirman (makan dan minumlah sampai jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari waktu fajar kemudian sempurnakan puasa hingga waktu malam) [albaqarah :187].
Aisyah dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum meriwayatkan bahwasanya Nabi saw bersabda : “Sungguh Adzan yang dikumandangkan Bilal masih menunjukkan waktu malam, karena itu makan dan minumlah kalian hingga adzan dikumandangkan oleh Ibnu Ummu Maqtum.” Beliau sahabat yang buta, dan tidaklah beradzan kecuali setelah dikatakan kepadanya : “Telah subuh, telah subuh”. Muttafaqun ‘Alaihi. Dalam lafadz Bukhari disebutkan, “Sungguh ia tidaklah mengumandangkan adzan kecuali tampak fajar.

وعن ابن عباس رضى الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :” الفجر فجران: فجر يحرم الطعام وتحل فيه الصلاة، و فجر تحرم فيه الصلاة ويحل فيه الطعام “رواه ابن خزيمه والحاكم وصححاه.

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata : Rasulullah saw bersabda : “Waktu Fajar itu ada dua: waktu fajar dimana makan diharamkan dan shalat subuh dibenarkan pada saat itu. dan waktu fajar dimana shalat subuh diharamkan dan makan dibenarkan pada saat itu.” diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dan Hakim mensohihkan hadits ini.

 قال أبو بكر ابن خزيمة :”قوله : فجر يحرم فيه الطعام يريد على الصائم” فإذا كان المؤذن يؤذن لطلوع الفجر وجب الإمساك بمجرد سماع الأذان، إلا إذا كان يعلم أن المؤذن يؤذن قبل الوقت بقليل فلا حرج في الأكل والشرب حال الأذان، وعلى ذلك يحمل قوله صلى الله عليه وسلم :”إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي منه حاجته ” رواه أحمد وأبو داود والحاكم وقال صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه.

Abu Bakar bin Khuzaimah mengatakan, “Perkataan Nabi, “Waktu fajar yang diharamkan makan pada saat itu”… maksudnya adalah bagi orang yang berpuasa”. Maka jika muadzin beradzan karena terbitnya matahari (adzan subuh) maka wajib bagi yang berpuasa memulai imsak (menahan) meskipun hanya mendengar adzan. kecuali diketahui bahwa muadzin beradzan lebih cepat sedikit dari waktunya, maka tidak ada larangan makan dan minum saat adzan tengah dikumandangkan. Hal inilah yang menjadi maksud perkataan Nabi saw, “Jika salahseorang kalian mendengar adzan sedang gelas berada ditangannya, maka janganlah meletakkan gelas tersebut sampai dia memenuhi hajatnya (meminumnya lebih dahulu). diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Hakim, dan hadits ini memenuhi syarat kesohihan ang dipersyaratkan Imam Muslim.

 قال البيهقي : ” وهذا إن صح فهو محمول عند عامة أهل العلم على أنه صلى الله عليه وسلم علم أن المنادي كان ينادي قبل طلوع الفجر بحيث يقع شربه قبيل طلوع الفجر” .
وعلى هذا فيجب عليك القضاء إن كان المؤذن متقيداً بالوقت ولا يؤذن قبله ، ولاشيء عليك إذا كان يؤذن قبل الوقت بقليل ، عملاً بالحديث السابق. والله أعلم.

Al-Baihaqi mengatakan :”Kondisi minum saat terdengar adzan berlaku sekiranya memang benar (adzan lebih cepat dari waktunya), karena itulah para ulama mengkondisikan hadits di atas bahwa Nabi saw mengetahui pada saat itu Muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar, sehingga aktivitas minum itu dibolehkan karena tetap dilakukan sebelum terbitnya fajar.”
Atas dasar inilah tetap wajib bagi anda al-Qadhau (mengganti puasa di hari yang lain) sekiranya muadzin betul-betul adzan berdasarkan waktu, dan tidak adzan sebelum benar-benar masuk waktunya. dan tidak mengapa bagimu (makan atau minum) sekiranya muadzin mengumandangkan adzan sebelum waktunya, dalam rangka mengamalkan hadits Nabi saw tsb. Wallahu a’lam.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name

    BalasHapus