Jumat, 11 Agustus 2017

Upacara Hari Kemerdekaan

Para Ulama dan para pendahulu bangsa telah banyak yang gugur sebagai Syahid. Kemenangan dan selamatnya bangsa dari penjajahan abadi adalah nikmat besar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Khatib al-Syirbini al-Syafii:

حُدُوْثُ ” نِعْمَةٍ ” كَحُدُوْثِ وَلَدٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ مَالٍ أَوْ قُدُوْمِ غَائِبٍ أَوْ نَصْرٍ عَلَى عَدُوٍّ ” أَوِ انْدِفَاعِ نِقْمَةٍ ” كَنَجَاةٍ مِنْ حَرِيْقٍ أَوْ غَرَقٍ (مغني المحتاج – ج 1 / ص 214)

“Nikmat yang baru datang adalah seperti lahirnya anak, naik jabatan, harta, datangnya saudara, pertolongan dari musuh. Juga selamat dari siksa, seperti selamat dari terbakar dan tenggelam” (Mughni al-Muhtaj 1/214)

Maka sudah menjadi kesepakatan bersama bagi umat Islam bahwa peringatan (Sambutan) Hari Kemerdekaan adalah boleh. Peringatan ini masuk dalam firman Allah:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات/55]

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfa`at bagi orang-orang yang beriman.” (al-Dzariyat: 55)

Makna ayat ini dijelaskan oleh ahli Tafsir, Syaikh Fakhruddin al-Razi:

يَحْتَمِلُ وُجُوْهاً : أَحَدُهَا : أَنْ يُرَادَ قُوَّةُ يَقِيْنِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى : لِيَزْدَادُوْاْ إِيْمَانًا [ الفتح : 4 ]  …ثَانِيْهَا : تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ بَعْدَكَ (تفسير الرازي – ج 14 / ص 326)

“Makna ayat ini meliputi beberapa makna. Pertama, maksudnya adalah bertambahnya keyakinan mereka, seperti firman Allah yang artinya: “supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)” [al-Fath: 4]. Yang kedua: Peringatan bermanfaat bagi orang-orang setelah kamu” (Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib 14/326)

Berdasarkan analisa al-Razi ini jika kita kontekstualisasikan dalam peringatan kemerdekaan saat ini adalah (1) menambah keimanan kita dalam hidup berbangsa, dan (2) memberi pendidikan sejarah kepada generasi bangsa yang akan datang, bahwa negara telah mendapat nikmat berupa kemerdekaan.

Fatwa Ulama al-Azhar Tentang “Peringatan”

Hukum sebuah perayaan yang disebut dengan Ihtifal (peringatan / sambutan) hukumnya adalah boleh seperti yang difatwakan oleh para ulama al-Azhar, Mesir:

وَالْاِحْتِفَالُ بِهَذِهِ الْأَعْيَادِ مَعْنَاهُ الْاِهْتِمَامُ بِهَا ، وَالْمُنَاسَبَاتُ الَّتِى يُحْتَفَلُ بِهَا قَدْ تَكُوْنَ دُنْيَوِيَّةً مَحْضَةً وَقَدْ تَكُوْنُ دِيْنِيَةً أَوْ عَلَيْهَا مَسْحَةٌ دِيْنِيَّةٌ، وَالْإِسْلَامُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا هُوَ دُنْيَوِىٌّ لَا يَمْنَعُ مِنْهُ مَا دَامَ الْقَصْدُ طَيِّبًا ، وَالْمَظَاهِرُ فِى حُدُوْدِ الْمَشْرُوْعِ ، وَبِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا هُوَ دِيْنِىٌّ قَدْ يَكُوْنُ الْاِحْتِفَالُ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ كَعِيْدَىِ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى، وَقَدْ يَكُوْنُ غَيْرَ مَنْصُوْصٍ عَلَيْهِ كَالْهِجْرَةِ وَالْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَالْمَوْلِدِ النًّبَوِى ، فَمَا كَانَ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ فَهُوَ مَشْرُوْعٌ بِشَرْطِ أَنْ يُؤَدَّى عَلَى الْوَجْهِ الَّذِى شُرِعَ ، وَلَا يَخْرُجَ عَنْ حُدُوْدِ الدِّيْنِ ، وَمَا لَمْ يَكُنْ مَنْصُوْصًا عَلَيْهِ ، فَلِلنَّاسِ فِيْهِ مَوْقِفَانِ ، مَوْقِفُ الْمَنْعِ لِأَنَّهُ بِدْعَةٌ ، وَمَوْقِفُ الْجَوَازِ لِعَدَمِ النَّصِّ عَلَى مَنْعِهِ

فَالْخُلَاصَةُ أَنَّ الْاِحْتِفَالَ بِأَيَّةِ مُنَاسَبَةٍ طَيِّبَةٍ لَا بَأْسَ بِهِ مَا دَامَ الْغَرَضُ مَشْرُوْعًا وَالْأُسْلُوْبُ فِى حُدُوْدِ الدِّيْنِ ، وَلَا ضَيْرَ فِى تَسْمِيَةِ الْاِحْتِفَالاتِ بِالْأَعْيَادِ ، فَالْعِبْرَةُ بِالْمُسَمَّيَاتِ لَا بِالْأَسْمَاءِ (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 160)

“Peringatan dengan hari-hari perayaan maknanya adalah mementingkan hari-hari tersebut. Kegiatan yang dilakukan perayaan ada kalanya murni agama, ada kalanya murni duniawi dan ada kalanya bersifat agama yang ada sentuhan duniawi. (Sikap) Islam terhadap hal yang bersifat duniawi adalah tidak melarang, selama tujuannya baik, pelaksanaannya juga dalam batas-batas syariat. Dan sikap Islam terhadap hal yang bersiafat agama, maka peringatan tersebut ada kalanya (1) memiliki nash dalam agama seperti Idul Fitri dan Idul Adlha, dan (2) tidak ada nash dalam agama, seperti hijrah Nabi, Isra’-Mi’raj, dan Maulid Nabi. Peringatan yang memiliki nash hukumnya adalah disyariatkan dengan syarat melaksanakannya sesuai syariat dan tidak keluar dari batas-batas agama. Sedangkan peringatan yang tidak ada nash, maka ulama ada 2 pendapat, yaitu kelompok yang melarang karena menilainya bid’ah dan kelompok yang mengatakan boleh, karena tidak ada dalil yang melarangnya.

Kesimpulannya bahwa peringatan dengan apa pun bentuknya yang baik adalah boleh, selama tujuannya dibenarkan oleh agama dan pelaksanaannya berada dalam batas-batas agama. Tidak ada pengaruh dalam penamaan  peringatan dengan Hari Raya. Karena yang dinilai adalah konten isi, bukan nama” (Fatawa al-Azhar 10/160)

Bahkan peringatan yang berkaitan dengan Sungai Nil di Mesir hukumnya tidak dilarang:

إِنَّ الْاِحْتِفَالَ بِوَفَاءِ النِّيْلِ يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ احْتِفَالًا بِنِعْمَةٍ مِنْ أَكْبَرِ نِعَمِ اللهِ عَلَى مِصْرَ، وَذَلِكَ بِشُكْرِهِ سُبْحَانَهُ وَحُسْنِ اسْتِخْدَامِ هَذِهِ الْمِيَاهِ فِى خَيْرِ النَّاسِ ، وَالْبُعْدِ عَنْ تَلْوِيْثِهَا وَالْإِسْرَافِ فِيْهَا (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 371)

“Perayaan Sungai Nil wajib dijadikan sebagai perayaan atas bentuk nikmat terbesar dari Allah bagi bangsa Mesir. Caranya adalah dengan bersyukur kepada Allah, menggunakan air tersbut untuk kebaikan bersama, tidak mengotorinya dan tidak berlebihan dalam penggunaannya” (Fatawa al-Azhar 10/371)

Peringatan Kemerdekaan Setiap Tahun

Mengapa kami memperingati kemerdekaan setiap tahun? Saya kutipkan metode istidlal ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii tentang bolehnya mengamalkan amaliah Maulid setiap tahun sebagai nikmat dan anugerah lahirnya seorang Nabi Muhammad Saw.

Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَسَأَلَهُمْ ؟ فَقَالُوْا هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيْهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَى مُوْسَى فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى

“Ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah, beliau menjumpai kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram), kemudian Nabi menanyakan kepada mereka? Mereka menjawab: Asyura’ adalah hari dimana Allah menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa pada hari Asyura’ sebagai bentuk syukur kepada Allah”

al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii berkata:

فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيْرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ وَالشُّكْرُ لِلهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُوْدِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ (الحاوي للفتاوي للسيوطي – ج 1 / ص 282)

“Dari hadis ini bisa diambil satu faidah diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dari-Nya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulang kali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah dan membaca al Quran.” (al-Hawi li al-Fatawi, al-Hafidz al-Suyuthi, 1/282)

Dengan demikian, berdasarkan istidlal ini dan diperkuat bahwa kemerdekaan adalah nikmat yang agung, maka boleh bagi sebuah negara untuk merayakan hari kemerdekaannya setiap tahun.

Upacara Bendera

Mengenai upacara bendera, kita lihat dahulu posisi bendera di masa Nabi Muhammad Saw:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَايَةَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَكُوْنُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَرَايَةُ الْأَنْصَارِ مَعَ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَكَانَ إِذَا اسْتَحَرَّ الْقِتَالُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا يَكُوْنُ تَحْتَ رَايَةِ الْأَنْصَارِ. )رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح غير عثمان بن زفر الشامي وهو ثقة. مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 5 / ص 386)

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa bendera Nabi Saw bersama Ali bin Abi Thalib dan bendera Ansor bersama Sa’d bin Ubadah. Jika perang telah memanas maka Nabi termasuk orang yang berada di bawah bendera Ansor” (HR Ahmad, perawinya adalah perawi hadis sahih, selain Utsman bin Zufar al-Syami, ia perawi terpercaya)

Dalam hadis ini sudah jelas Nabi membenarkan posisi bendera berada diatas. Terbukti Nabi berada di bawah bendera Ansor.

Para Sahabat Wafat Demi Bendera

Jika umat Islam saat ini sekedar hormat dengan tangan ke bendera, ternyata para sahabat Nabi membela mati-matian mempertahankan kehormatan Islam dengan simbol bendera, bahkan Nabi tidak menyalahkan sedikitpun:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَيْشاً اسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَقَالَ « فَإِنْ قُتِلَ زَيْدٌ أَوِ اسْتُشْهِدَ فَأَمِيرُكُمْ جَعْفَرٌ فَإِنْ قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ فَأَمِيرُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ ». فَلَقُوا الْعَدُوَّ فَأَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ جَعْفَرٌ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَتَى خَبَرُهُمُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَخَرَجَ إِلَى النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ « إِنَّ إِخْوَانَكُمْ لَقُوا الْعَدُوَّ وَإِنَّ زَيْداً أَخَذَ الرَّايَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ بَعْدَهُ جَعْفَرُ بْنُ أَبِى طَالِبٍ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ (رواه أحمد والطبراني ورجالهما رجال الصحيح. مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 6 / ص 151)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata: Rasulullah mengutus pasukan (dalam perang Mu’tah) dan menjadikan Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Nabi bersabda: Jika Zaid terbunuh atau mati syahid, maka pimpinan kalian adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh atau mati syahid maka pemimpin kalian adalah Abdullah bin Rawahah”. Lalu umat Islam berjumpa dengan musuh, Zaid mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Ja’far mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, lalu Abdullah bin Rawahah mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Khalid bin Walid mengambilnya dan Allah memberi kemenangan. Berita ini sampai kepada Nabi, lalu beliau menemui para sahabat dan berkhutbah: Sungguh saudara-saudara kalian berjumpa dengan musuh, Zaid mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Ja’far mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, lalu Abdullah bin Rawahah mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian salah satu pedang Allah, Khalid bin Walid mengambilnya dan Allah memberi kemenangan.” (HR Ahmad dan al-Thabrani, perawinya adalah perawi hadis sahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari)

Mengenai tujuan dan fungsi bendera, disampaikan oleh Ibnu Khaldun berikut ini:

وَأَمَّا تَكْثِيْرُ الرَّايَاتِ وَتَلْوِيْنُهَا وَإِطَالَتُهَا فَالْقَصْدُ بِهِ التَّهْوِيْلُ لَا أَكْثَرُ وَرُبَّمَا يَحْدُثُ فِي النُّفُوْسِ مِنَ التَّهْوِيْلِ زِيَادَةٌ فِي اْلإِقْدَامِ، وَأَحْوَالُ النُّفُوُسِ وَتَلَوُّنَاتُهَا غَرِيْبَةٌ. وَاللهُ الْخَلَّاقُ الْعَلِيْمُ. ثُمَّ إِنَّ الْمُلُوْكَ وَالدُّوَلَ يَخْتَلِفُوْنَ فِي اتِّخَاذِ هَذِهِ الشَّارَاتِ، فَمِنْهُمْ مُكَثِّرٌ وَمِنْهُمْ مُقِلٌّل بِحَسَبِ اتِّسَاعِ الدَّوْلَةِ وَعِظَمِهَا. فَأَمَّا الرَّايَاتُ فَإِنَّهَا شِعَارُ الْحُرُوْبِ مِنْ عَهْدِ الْخَلِيْقَةِ، وَلَمْ تَزَلِ الْأُمَمُ تَعْقِدُهَا فِي مَوَاطِنِ الْحُرُوْبِ وَالْغَزَوَاتِ، لِعَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْخُلَفَاءِ. (مقدمة ابن خلدون – ج 1 / ص 138)

“Memperbanyak bendera, mewarnainya dan meninggikannya, tujuannya adalah ‘menggetarkan’, tidak lebih dari itu. Terkadang memang terbersit dalam jiwa untuk lebih maju. Kondisi perasaan hati dan macam-macamnya berbeda-beda. Allah yang maha menciptakan dan maha mengetahui. Kerajaan dan negara berbeda-beda dalam menjadikan simbol ini, ada yang memperbanyak, ada pula yang sedikit, tergantung luas dan besarnya negara tersebut. Bendera adalah syiar dalam perang sejak masa Khalifah. Dan umat Islam terus-menerus menggunakan bendera di tempat-tempat peperangan sejak masa Nabi dan para Khalifah” (Muqaddimah Ibni Khaldun 1/138)

Bendera hanya sebuah simbol negara, kami yang mengangkat tangan berhormat bukan lantaran menyembah bendera. Hormat tangan kami tidak lain adalah bentuk syukur kepada Allah yang telah memerdekakan negara Indonesia, dengan simbol warna merah-putih. juga untuk membangkitkan semangat juang kami agar negara ini tak dijajah lagi, sekaligus menambah cinta tanah air kami, sebagaimana Rasulullah mengajarkan cinta tanah air, Makkah dan Madinah:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (رواه البخارى)

Rasulullah berdoa: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kepada Makkah” (HR al-Bukhari)

Fatwa Ulama Wahabi dan Sunni Tentang Hormat Bendera

Bagi sebagian ulama Wahabi menghormat bendera adalah bid’ah, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Bin Baz melalui Komisi Fatwa Arab Saudi:


مَا حُكْمُ تَحِيَّةِ الْعَلَمِ فِي الْجَيْشِ ؟ لَا تَجُوْزُ تَحِيَّةُ الْعَلَمِ، بَلْ هِيَ بِدْعَةُ مُحْدَثَةٌ (فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء – ج 1 / ص 243)

“Apa hukum menghormat benderan dalam pasukan? (Jawab) Tidak boleh menghormat bendera, bahkan hal itu ada bid’ah yang diperbarui” (Fatwa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ 1/243)

Ternyata fatwa ini berbeda dengan sesama ulama Wahabi, yaitu Syaikh Ibnu Utsaimin:

أَمَّا تَحِيَّةُ الْعَلَمِ فَلَا نُسَلِّمُ أَنَّهَا شِرْكٌ . تَحِيَّةُ اْلعَلَمِ لَيْسَتْ بِشِرْكٍ هَلْ سَجَدَ لَهُ ؟ هَلْ رَكَعَ لَهُ ؟ هَلْ ذَبَحَ لَهُ ؟ حَتَّى التَّعْظِيْمُ بِالسَّلَامِ هَلْ هُوَ شِرْكٌ ؟ لَيْسَ بِشِرْكٍ (كتب و رسائل للعثيمين – ج 126 / ص 98)

“Menghormat bendera, kami tidak memastikan bahwa hal itu adalah syirik. Menghormat bendera tidaklah syirik. Apakah ia bersujud kepada bendera? Apakah ia rukuk kepada bendera? Apakah ia menyembeli hewan kepada bendera? Hingga mengagungkan dengan salam apakah disebut syirik? Hal itu bukanlah syirik” (Kutub wa Rasail li al-Utsaimin 126/98)

Ulama Sunni yang diwakili oleh Grand Mufti al-Azhar, Syaikh Athiyah Shaqr menjawab masalah ini dengan sangat bagus:

يَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ : إِنَّ تَحِيَّةَ الْعَلَمِ شِرْكٌ بِاللهِ ، فَلَا يُعَظَّمُ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ ، فَهَلْ هُنَا صَحِيْحٌ ؟ الْجَوَابُ الْعَلَمُ رَمْزٌ لِلْوَطَنِ فِى الْعَصْرِ الْحَدِيْثِ ، وَكَانَ عِنْدَ الْعَرَبِ رَمْزًا لِلْقَبِيْلَةِ وَالْجَمَاعَةِ، يَسِيْرُ خَلْفَهُ وَيُحَافِظُ عَلَيْهِ كُلُّ مَنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْقَبِيْلَةِ أَوِ الْجَمَاعَةِ ، وَكُلَّمَا كَانَ الْعَلَمُ مَرْفُوْعًا دَلَّ عَلَى عِزَّةِ أَهْلِهِ ، وَإِذَا اْنَتَكَسَ دَلَّ عَلَى ذُلِّهِمْ ، وَيُعْرَفُ عِنْدَ الْعَرَبِ بِاسْمِ الرَّايَةِ أَوِ اللِّوَاءِ … فَتَحِيَّةُ الْعَلَمِ باِلنَّشِيْدِ أَوِ الْإِشَارَةِ بِالْيَدِ فِى وَضْعٍ مُعَيَّنٍ إِشْعَارٌ بِالْوَلَاءِ لِلْوَطَنِ وَالْاِلْتِفَافِ حَوْلَ قِيَادَتِهِ وَاْلحِرْصِ عَلَى حِمَايَتِهِ ، وَذَلِكَ لَا يَدْخُلُ فِى مَفْهُوْمِ الْعِبَادَةِ لَهُ ، فَلَيْسَ فِيْهَا صَلَاةٌ وَلَا ذِكْرٌ حَتَّى يُقَالَ : إِنَّهَا بِدْعَةٌ أَوْ تَقَرُّبٌ إِلَى غَيْرِ اللهِ (فتاوى الأزهر – ج 10 / ص 221)

“Sebagian orang berkata bahwa menghormat bendera adalah menyekutukan Allah, karena tidak ada yang diagungkan kecuali Allah. Benarkah pendapat ini? Jawab: Bendera adalah simbol sebuah bangsa di zaman modern ini. Dulu, bagi orang Arab bendera adalah simbol suku dan kelompok. Mereka yang ada dalam suku dan kelompok berjalan di belakang bendera dan menjaganya. Setiap bendera yang ditinggikan, maka menunjukkan kemuliaan pemiliknya. Jika terjatuh, maka menunjukkan kerendahan mereka. Bagi orang Arab, bendera dikenal dengan Rayah atau Liwa’… Maka menghormat bendera dengan lagu dan tangan di tempat tertentu adalah bentuk hormat pada negara, menunjukkan kepatuhan dan keinginan menjaga negara. Hal ini tidak masuk dalam kategori bid’ah, sebab di dalamnya tidak ada salat dan dzikir, hingga disebut bahwa hal itu adalah bid’ah dan ibadah kepada selain Allah” (Fatawa al-Azhar 10/221)

Lagu Kebangsaan

Menyanyikan lagu kebangsaan hukumnya adalah boleh, sebagaimana Fatwa Dr. Ali al-Jumat, Grand Mufti al-Azhar, Mesir:

الْأَغَانِي وَالْمُوْسِيْقِى مِنْهَا مَا هُوَ مُبَاحٌ سَمَاعُهُ وَمِنْهَا مَا هُوَ مُحَرَّمٌ ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغِنَاءَ كَلَامٌ حَسَنُهُ حَسَنٌ وَقَبِيْحُهُ قَبِيْحٌ. فَالْمُوْسِيْقِى وَالْغِنَاءُ الْمُبَاحُ : مَا كَانَ دِيْنِيًّا أَوْ وَطَنِيُّا أَوْ كَانَ إِظْهَارًا لِلسُّرُوْرِ وَالْفَرَحِ فِي اْلأَعْيَادِ وَالْمُنَاسَبَاتِ ، مَعَ مُرَاعَاةِ عَدَمِ اخْتِلَاطِ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَأَنْ تَكُوْنَ الْأَغَانِي خَالِيَةً مِنَ الْفُحْشِ وَالْفُجُوْرِ وَأَلَّا تَشْمُلَ عَلَى مُحَرَّمٍ كَالْخَمْرِ وَالْخَلَاعَةِ ، وَأَلَّا يَكُوْنَ مُحَرِّكًا لِلْغَرَائِزِ أَوْ مُثَيْرًا لِلشَّهَوَاتِ ، وَأَنْ تَكُوْنَ الْمَعَانِي الَّتِي يَتَضَمَّنُهَا اْلغِنَاءُ عَفِيْفَةً وَشَرِيْفَةً. (فتاوى معاصرة – ج 1 / ص 119)

“Lagu dan musik ada yang boleh didengar dan ada yang haram. Sebab hakikat lagu adalah sebuah perkataan. Jika perkataan itu baik, maka juga baik. Jika perkataan itu buruk, maka buruk pula. Musik dan lagu yang boleh adalah sesuatu yang bersifat agama, kebangsaan atau menampakkan rasa senang dan bahagia di hari raya atau peringatan tertentu, dengan  syarat (1) tetap menjaga dari bercampurnya laki-laki dan perempuan. (2) lagu harus tidak ada keburukan dan doa. (3) tidak ada hal yang diharamkan, seperti minuman keran dan memabukkan (4) tidak membangkitkan syahwat nafsu (5) makna yang terdapat dalam lagu harus terjaga dari maksiat dan mulia” (Fatawa Mu’ashirah 1/119)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar