Sabtu, 30 September 2017

Filosofi Keris Sempono Bungkem

SEMPONO BUNGKEM, atau supana bungkem adalah salah satu bentuk dhapur keris ‘keluarga’ sempana yang agak berbeda dari sempana umumnya karena bukan berluk sembilan melainkan ber-pakem luk tujuh. Dan tampaknya semua literatur yang ada mulai dari Dhapur Damartaji (1998), Ensiklopedi Keris (2004), Buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar (2006), hingga literatur lama seperti Tjuriga Dhapur (1963) dan Kawruh Empu (1914) menegaskan keris ini berluk tujuh (7).

Ricikan keris sempana bungkem memakai kembang kacang, tetapi kembang kacang-nya bungkem, dimana ujungnya rapat menempel pada dinding gandik. Selain itu jika kembang kacangnya pogok pun disebut sempono bungkem juga. Tidak ada ricikan lain, kecuali jalen, dan kadang-kadang memakai tikel alis. Termasuk dhapur keris yang susah ditemui pada saat ini.

Dhapur sempono bungkem populer  karena keris ini banyak dicari oleh mereka yang berprofesi sebagai hakim, jaksa, pembela, atau penasihat hukum hingga para pejabat pemerintahan karena konon keris dhapur sempono bungkem memiliki tuah yang dapat mempengaruhi lawan bicaranya. Menurut kepercayaan keris sempono bungkem memiliki taksu yang baik dimiliki oleh mereka yang dalam pekerjaan atau profesi sehari-harinya harus sering berdebat atau adu argumen. Bahkan yang lebih ‘nyeleneh‘ lagi keris ini juga tidak hanya menjadi monopoli kaum atau profesi di atas, mereka yang menginginkan keluarga yang ‘samawa’ sering mencari dhapur ini sebagai piandel untuk membungkam ocehan mertua, mulut istri yang cerewet, hingga menjauhkan rasan-rasan (fitnah) orang lain baik di lingkungan kerja maupun kehidupan bertetangga (sosial). Bahkan mereka-mereka yang terjerat dengan masalah “hukum” seringkali membutuhkan dan  percaya akan ‘taksu’dhapur sempono bungkem sebagai salah satu sarana dukungan non fisik.

Karena kepercayaan akan tuah yang terkandung seperti itu dan akhirnya berhubungan dengan kelangkaan pasar, lalu banyak beredar keris dhapur sempono bungkem tiruan, diantaranya keris sempana berluk sembilan dipotong atau diubah menjadi luk tujuh, kembang kacang yang biasa ditarik ujungnya diubah menjadi bungkem atau dijadikan kembang kacang pogok sekalian.

FILOSOFI DAPUR SEMPONO BUNGKEM

Dalam filosofi jawa luk tujuh disebut “pitu” yang dalam jarwo dosok pitu ini dikaitkan dengan konsep pitulungan. sehingga apapun yang diikatkan dengan luk tujuh mempunyai makna bahwa kita nyuwun pitulungan, atau memohon kepada Tuhan untuk pertolongannya. Dalam tradisi Jawa juga ada ‘momen’ tertentu yang berhubungan dengan angka 7. Sebagai contoh ketika orang hamil sudah usia 7 bulan, maka diadakan selamatan dengan istilah yang disebut “Tingkepan”. Lalu pada bayi yang telah berusia 7 bulan, maka ada prosesi yang dinamakan turun tanah (tedak siten).

Bungkem = Belajar Diam, Ricikan wajib yakni kembang kacang bungkem menjadi ciri atau penanda tersendiri dari dhapur sempono bungkem. Jika dalam pemahaman umum tuah yang diharapkan keris Sempono Bungkem adalah untuk dapat membungkam (terkuncinya mulut) lawan bicara (baca: didengar), tetapi apabila kita mau lebih bijak untuk mampu berkaca pada diri sendiri (baca:mendengar), ada sebuah piwulang yang dititipkan pada keris dhapur sempono bungkem. Belasan atau puluhan tahun lalu, saat masih balita seringkali orangtua mengajari kita untuk belajar berbicara. Mengeja kata perkata, belajar merangkai kalimat. Semakin banyak kosa kata yang diucapkan oleh anak maka semakin banggalah orangtua. Berbeda ketika kita masih kecil, ketika dewasa ada baiknya kita belajar untuk diam.

Ada pitutur orang-orang tua pada jaman dahulu “Aja mung meneng jen lagi kesusahan bae, nglakoni meneng utawa bungkem,” Derita dan kesusahan memang sering dijadikan alasan diam. Manusia bergantung pada hukum sebab-akibat. Diam seharusnya tak sekadar “akibat”. Diam justru membuktikan laku-hidup di segala situasi. Diam untuk menenangkan, membersihkan, membeningkan. Diam juga merupakan bagian penting dari komunikasi, untuk mendengarkan. Keadaan ini juga sekaligus memberi ruang bagi kita untuk berpikir dan menanggapi. Diam mengandung kehendak refleksi. Diam itu olah kesabaran. Diam mengajarkan mawas diri. Diam itu ejawantah diri.   Percayalah; ‘langit tak perlu bersusah payah menjelaskan dirinya tinggi dan sampah tidak perlu berbicara dirinya kotor’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar