Selasa, 12 September 2017

Hukum Menyematkan Nama Suami Di Belakang Nama Istri

Diakui atau tidak, memang penyematan nama suami dibelakang kebanyakan nama istri itu bukanlah suatu tradisi yang dikenal oleh syariah. Sejak zaman dulu, Nabi Muhammad saw beserta para sahabatnya tidak pernah melakukan itu, mereka tidak pernah menyematkan nama suami-suami mereka dibelekang nama istri-istri mereka.

Pun begitu juga, bahwa istri-istri Nabi Muhammad saw tetap menyematkan nama ayah mereka dibelakang nama mereka, dan bukan nama Nabi. Seperti KHodijah binti Khuwailid, dan bukan Khodijah Muhammad.

Penyematan nama suami dibelakang nama istri ialah budaya barat yang terlanjur menjadi kebiasaan bagi kita ini, dan bahkan hampir diseluruh Negara di belahan dunia memakai cara ini, yaitu menyematkan nama suami atau keluarga suami dibelakang nama istri.

Pada awalnya memang sejak dulu kala, orang-orang semua menamakan dirinya dengan nama nasab. Maksud nama nasab ialah: ia menyematkan nama ayah kandung mereka dibelakang nama mereka dengan pemisah kata"Ibn", atau "Ibnatu" untuk perempuan. Yang kalau di Indonesia dikenal dengan sebutan"Bin", dan "Binti".

Namun tardisi ini lama-kelamaan menghilang. Sekitar abad ke -14 masehi, Orang-orang sudah tidak lagi memakai kata "bin" untuk memisahkannya dengan nama ayahnya. Jadi yang awalnya "Ahmad bin Hamdan", menjadi "Ahmad Hamdan".

Nah kemudian tradisi berubah lagi hanya untuk perempuan, kalau perempuan justru ketika masih perawan, nama ayah yang disematkan dibelakang namanya. Tetapi ketika ia sudah bersuami, nama suami atau keluarga suami lah yang menjadi nama belakangnya dan biasanya ditambah dengan awalan "miss" atau "nyonya".

Awalnya bernama "Maryati", setelah menikah dengan "Andi Setiawan", namanya berubah menjadi "Nyonya Maryati Andi Setiawan" . Atau "Maryati Setiawan". tujuannya sebagai "tanda" bahwa si dia itu istrinya si dia.

Setelah menikah, terkadang seorang wanita mengganti namanya belakangnya atau nama keluarganya dengan nama suaminya. Hal ini juga banyak dilakukan di negara-negara barat, seperti istrinya Bill Clinton: Hillary Clinton yang nama aslinya Hillary Diane Rodham; istrinya Barrack Obama: Michelle Obama yang nama aslinya Michelle LaVaughn Robinson, dan lain-lain.

Tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعَى مَا ليْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا، وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Tidaklah seseorang menyandarkan nasab kepada selain ayahnya, sedang dia mengetahuinya, melainkan dia telah kafir. Barang siapa yang mengaku-ngaku sesuatu yang bukan haknya maka dia bukan dari golongan kami, dan hendaklah ia bersiap-siap untuk menempati tempat duduknya di Neraka. Barang siapa yang memanggil seseorang dengan kafir atau dia berkata : ‘Hai musuh Allah!’ padahal orang itu tidak demikian, niscaya ucapannya itu kembali kepada dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaih. Ini adalah lafazh Muslim)

Dari Watsilah bin al-Asqa’, Rasulullah saw. bersabda, “Termasuk kedustaan terbesar adalah menisbatkan seseorang kepada selain ayahnya…” (HR. Bukhari).

عن ابي ذار رضي الله عنه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من ادعى الى غير ابيه وهو يعلمه الا كفر

Dari Abu Dzar r.a. bahwa ia pernah mendengar Nabi Sا. bersabda, “Tidaklah seseorang itu memanggil orang lain dengan nama selain ayahnya melainkan ia telah kufur.” (HR. Bukhari)

Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz “fal jannatu „alaihi haramum“. Orang yang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa, sehingga diharamkan untuknya surga.

Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah angkat di belakang nama seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan di dalam Al-Quran keharaman hal ini :

ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab :5)

Lihatlah bagaimana Allah SWT begitu marah ketika tindakan itu dilakukan. Tidak kah kita takut akan ancaman Allah tersebut? Hukum penamaan dalam ajaran Islam sangatlah penting. Baik pria atau wanita, hanya boleh menambahkan nama ayahnya di belekang namanya. Tidak ada yang lebih berhak kecuali Ayah.

Walaupun suami sendiri, tetap tidak boleh ditambahkan dibelakang nama istri. Karena dalam Islam, nama lelaki di belakang nama seseorang berarti keturunan atau anak dari lelaki tersebut. Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap seorang ayah.

Sungguh telah datang ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan kepada selain ayahnya. Maka dari itu tidak boleh seorang wanita menisbatkan dirinya kepada suaminya sebagaimana adat yang berlaku pada kaum kuffar dan yang menyerupai mereka dari kaum muslimin.

Dan sabda nabi shollallohu alaihi wa sallam :

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً

“Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Alloh, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Alloh tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah”

Dikeluarkan oleh Muslim dalam al-Hajj (3327) dan Tirmidzi dalam al-Wala’ wal Habbah bab Ma ja’a fiman tawalla ghoiro mawalihi (2127), Ahmad (616) dari hadits Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu anhu.

Dan dalam riwayat yang lain :

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barang siapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.”

Dikeluarkan oleh Bukhori dalam al-Maghozi bab : Ghozwatuth Tho`if (3982), Muslim dalam “al-Iman” (220), Abu Dawud dalam “al-Adab” (bab Bab Seseorang mengaku keturunan dari yang bukan bapaknya (5113) dan Ibnu Majah dalam (al-Hudud) bab : Bab orang yang mengaku keturunan dari yang bukan bapaknya atau berwali kepada selain walinya (2610) dan Ibnu Hibban (415) dan Darimi (2453) dan Ahmad (1500) dan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh dan Abu Bakroh rodhiyallohu anhuma.

Yang dilarang dalam Islam adalah menisbatkan diri kepada orang yang bukan ayahnya dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sebagai anak, seperti kata: anak, bin, binti dan lain sebagainya.

Jadi yang dilarang bukan seluruh penisbatan atau penyebutan identitas. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan identitas seseorang sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat atau waktu tertentu adalah tidak apa-apa selama tidak menyeret pada kesalahpahaman adanya hubungan kekerabatan yang dilarang oleh syariat Islam.

Hal itu pun tidak dapat dikategorikan dalam perbuatan menyerupai orang kafir yang dicela dalam pandangan syariat, karena penyerupaan yang dilarang adalah yang memenuhi dua syarat, yaitu perbuatan yang ditiru itu adalah perbuatan yang diharamkan dan adanya maksud untuk menyerupai. Jika salah satu syarat ini tidak ditemukan maka pelakunya tidak dapat dicela. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata,

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: «اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا فَرَآنَا قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا، فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ؛ يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ فَلَا تَفْعَلُوا، ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ؛ إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا

"Pada suatu ketika Rasulullah saw. sakit. Lalu kami salat di belakang beliau yang melakukan salat dalam keadaan duduk. Lalu beliau menoleh ke arah kami dan melihat kami dalam keadaan bediri semua, maka beliau pun memberi isyarat kepada kami agar kami duduk, sehingga kami semua pun duduk. Setelah salam, beliau bersabda, "Sesungguhnya kalian tadi hampir saja melakukan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan para raja mereka yang sedang duduk. Janganlah kalian melakukan itu. Ikutilah imam kalian. Jika ia melakukan salat dalam keadaan duduk maka salatlah dalam keadaan duduk juga dan jika ia salat dalam keadaan berdiri maka salatlah dalam keadaan berdiri juga."

Kata kidtum berasal dari akar kata كاد/kâda(hampir). Kata ini ketika berada dalam kalimat positif menunjukkan tidak terjadinya sesuatu yang menjadi khabarnya (predikatnya), meskipun ia hampir saja terjadi. Perbuatan orang-orang Persia dan Romawi telah benar-benar terjadi dan dilakukan oleh para sahabat, tapi karena mereka tidak bermaksud untuk mengikuti atau menyerupai perbuatan tersebut maka mereka tidak dianggap telah menyerupai orang-orang Persia dan Romawi.

Ibnu Nujaim, salah seorang ulama Hanafi, berkata dalam kitabnya al-Bahr ar-Râiq,

اعلم أن التَّشَبُّهَ بأهل الكتاب لا يُكرَه في كل شيء، وإنا نأكل ونشرب كما يفعلون، إنما الحرام هو التشبه فيما كان مذمومًا وفيما يقصد به التشبه
"Ketahuilah bahwa perbuatan menyerupai Ahlul Kitab tidak diharamkan secara mutlak. Kita makan dan minum seperti mereka. Yang diharamkan adalah menyerupai tindakan yang tercela dan dengan maksud mengikuti mereka."

Menambahkan nama keluarga suami di belakang nama istri tidaklah menafikan hubungan nasab dengan ayah sang istri, karena hal ini hanya merupakan penjelas identitas saja (min bab al-ta’rif / من باب التعريف).

Munculnya kekhawatiran terhadap haramnya hal tersebut adalah karena terdapat kebiasan umum berupa penghapusan kata "bin" atau "binti" yang menghubungkan antara nama seseorang dengan nama orang tuanya.

Meskipun penghapusan ini telah menjadi kebiasaan umum untuk mempersingkat nama atau memudahkan penyebutan, hanya saja penghapusan tersebut mengakibatkan kerancuan dalam nama-nama yang tersusun dari dua kata atau lebih.  Hal inilah yang membuat sebagian pihak menolak penggunaan nama yang tersusun dari dua kata atau lebih, karena memberikan kesan adanya hubungan kekerabatan antar nama-nama itu disebabkan tradisi penghapusan kata "bin" atau "binti" telah menjadi fenomena umum dalam masyarakat. Semua ini dapat saja dijadikan alasan bagi pelarangan penambahan nama keluarga suami di belakang nama istri di kalangan masyarakat tersebut.

Akan tetapi, masalah ini akan berbeda dalam masyarakat yang mempunyai kebiasaan tersebut namun terdapat tanda yang menafikan adanya hubungan kekerabatan antar nama-nama itu, yaitu penyebutan perempuan yang bersuami dengan Mrs. / Madam / Nyonya dan lain sebagainya.

Selama kebiasaan ini tidak bertentangan dengan syariat maka Insyaallah penggunaannya dibolehkan. Syariat Islam sendiri menjadikan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat sebagai salah satu dalil. Dalam salah satu kaidah fikih dinyatakan bahwa العادة مُحَكَّمة/al-'âdah muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi sumber hukum).

Syariat tidaklah menyerukan kaum muslimin untuk keluar dari kebiasaan masyarakat mereka. Hal ini sebagai upaya untuk membuat mereka dapat berasosiasi dengan masyarakat mereka dan tidak terisolasi dari dunia luar. Sehingga, mereka dapat hidup berdampingan dengan masyarakatnya dan dapat berdakwah kepada mereka untuk mengikut agama yang benar tanpa terjadi bentrokan dan persinggungan yang berefek negatif. Semua itu tentu saja selama kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar