Rabu, 08 November 2017

Mengenang Perjuangan Pahlawan Dalam Mengisi Jihad Setelah Kemerdekaan

Bulan November akan selalu melekat di lubuk hati rakyat Indonesia. November, di Indonesia identik dengan kepahlawanan, sejarah epikkemer-dekaan. Meski tidak sesakral peringatan 17-an, namun kita tidak bisa memandang sebelah mata. Sebagai rakyatIndonesia,rasanya patut untuk kita mengenang sejenak sejarah setengah abad silam, tepatnya pada 10 November 1945, Agresi Militer I di Surabaya.

Pada hari itu terjadi peristiwa yang maha penting bagi kelangsungan negara kita, di mana para pahlawan menyam-bung nyawa demi menyelamatkan bendera yang tidak hanya sekadar berarti merah putih namun juga arti bernegara, arti eksistensi kita dan arti kemerdekaan kita.

Di bawah ultimatum penjajah dengan pembakaran dan pemusnahan, tidak gentar para pahlawan terus melawan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan. Meski banyak yang gugur, namun pahlawan kita berhasil memenangkan agresi tersebut.

Tanggal 10 November diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai hari pahlawan. Peringatan ini mengambil momentum perjuangan Bung Tomo dan pasukannya melawan penjajah Belanda yang datang lagi ke Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia. Dan fakta menarik yang jarang diungkapkan adalah ternyata perjuangan Bung Tomo dan pasukannya terinspirasi dari seruan jihad yang dilantangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama mukhlis pejuang Islam, yang juga pendiri Nahdlatul ‘Ulama (NU).

Seruan jihad inilah yang mengobarkan semangat Bung Tomo dan pasukannya, dan semangat jihad seperti itu juga lah yang mengobarkan perlawanan para pahlawan muslim nusantara dari zaman ke zaman terhadap penjajah kafir Belanda. Mereka tidak rela negeri mereka dikuasai dan ditaklukkan oleh penjajah kafir, sumber daya alam mereka dikeruk habis dan aqidah mereka digadaikan. Mereka lebih rela mati mulia sebagai syuhada daripada hidup terhina.

Dalam Islam hal ini merupakan hal yang wajar dan niscaya. Jihad dengan makna perang dalam Islam merupakan salah satu kewajiban yang paling agung dan amal yang paling utama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَال وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ

Artinya: “Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيل اللَّهِ

Artinya: “Berangkatlah kalian baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat, dan berjihadlah kalian dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 41)

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Dalam sebuah hadits disebutkan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: أَيُّ العَمَلِ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: ‘Amal apakah yang paling utama?’, Rasul menjawab, ‘Iman kepada Allah dan Rasul-Nya’, beliau ditanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasul menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’, beliau ditanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasul menjawab, ‘haji yang mabrur’.”

Bahkan, dalam QS. At-Taubah ayat 86-87 Allah mencela orang-orang munafiq yang tidak mau ikut berjihad –ketika ada seruan jihad– padahal mereka mampu melakukannya.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman

وَإِذَا أُنزلَتْ سُورَةٌ أَنْ آمِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُولُو الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُنْ مَعَ الْقَاعِدِينَ (86) رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ (87)

Dan apabila diturunkan surat (yang memerintahkan kepada orang yang munafik itu), "Berimanlah kalian kepada Allah dan berjihad-lah beserta Rasul-Nya, " niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu(untuk tidak berangkat) dan mereka berkata, "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk.” Mereka rela untuk berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). (QS ATAAUBAH AYAT 86-87)

Allah Swt. berfirman mengingkari dan mencela orang-orang yang tidak ikut berjihad dan enggan melakukannya, padahal berkemampuan dan mempunyai keluasan serta biaya untuk itu. Lalu mereka meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk tidak ikut dan diperbolehkan duduk di tempat tinggalnya. Mereka mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya:

{ذَرْنَا نَكُنْ مَعَ الْقَاعِدِينَ}

Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk. (At-Taubah: 86)

Mereka rela diri mereka beroleh keaiban karena duduk di negeri, tidak ikut berperang bersama-sama kaum wanita, setelah pasukan kaum muslim berangkat. Dan apabila peperangan terjadi, maka mereka adalah orang yang paling pengecut. Apabila keadaan telah aman, maka mereka adalah orang-orang yang paling banyak bicara. Perihal mereka ini di­sebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:

{فَإِذَا جَاءَ الْخَوْفُ رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَإِذَا ذَهَبَ الْخَوْفُ سَلَقُوكُمْ بِأَلْسِنَةٍ حِدَادٍ}

Apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu me­mandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam.(Al-Ahzab: 19)

Maksudnya, lisan mereka berhamburan mengeluarkan kata-kata yang tajam bila situasi dalam keadaan aman, tetapi dalam peperangan mereka adalah orang yang sangat pengecut. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang penyair:

أَفِي السِّلْمِ أَعْيَارًا جفَاءً وَغلْظَةً ...وَفي الحَرْب أشباهُ النّسَاءِ العَوارِكِ

Apakah dalam situasi aman mereka gemar mencela, kasar, dan keras; sedangkan dalam keadaan situasi perang mereka lebih mirip dengan kaum wanita yang penakut?

Allah Swt. berfirman dalam ayat lainnya menggambarkan sifat orang-orang munafik itu:

{وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا لَوْلا نزلَتْ سُورَةٌ فَإِذَا أُنزلَتْ سُورَةٌ مُحْكَمَةٌ وَذُكِرَ فِيهَا الْقِتَالُ رَأَيْتَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ نَظَرَ الْمَغْشِيِّ عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَأَوْلَى لَهُمْ طَاعَةٌ وَقَوْلٌ مَعْرُوفٌ فَإِذَا عَزَمَ الأمْرُ فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ}

Dan orang-orang yang beriman berkata, "Mengapa tidak diturun­kan suatu surat?” Maka apabila diturunkan suatu surat yangjelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka. Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka).Apabila telah tetap perintah perang(mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (Muhammad: 20-21)

Mengenai firman Allah Swt. berikut ini:

{وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ}

Dan hati mereka telah dikunci mati (At-Taubah : 87)
Hal itu disebabkan mereka membangkang, tidak mau berjihad dan tidak mau berangkat berperang bersama Rasulullah Saw. di jalan Allah.

{فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ}

maka mereka tidak mengetahui. (At-Taubah: 87)

Yakni tidak mengerti apa yang mengandung kemaslahatan bagi diri mereka yang karenanya lalu mereka mengerjakannya. Mereka tidak pula mengetahui apa yang membahayakan diri mereka, yang karenanya lalu mereka menghindarinya.

Sejarah panjang kegemilangan Islam selalu diisi oleh cerita kepahlawanan dari para penguasa adil yang menerapkan hukum-hukum Allah, para ulama dan ilmuwan yang mewakafkan ilmunya untuk kebaikan umat Islam, dan para mujahidin yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah ta’ala. Dari kalangan penguasa, kita misalnya mengenal sosok Umar ibn al-Khaththab, Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Harun ar-Rasyid, Sulaiman al-Qanuni dan Abdul Hamid II. Dari kalangan ulama dan ilmuwan kita mengenal Ibn ‘Abbas, asy-Syafi’i, Ibn Firnas dan al-Khawarizmi. Dan dari kalangan mujahidin kita mengenal sosok Khalid ibn al-Walid, Thariq ibn Ziyad, Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih. Sosok-sosok seperti mereka inilah yang terus lahir dari tubuh umat Islam sebagai bukti nyata keagungan Islam.

Aktivitas jihad telah dilakukan sejak awal mula masa Islam, sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terus berlangsung sampai masa kemunduran umat Islam, dan benar-benar ditinggalkan sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah yang berpusat di Turki dan bercokolnya penguasa-penguasa zalim yang tidak mau menerapkan hukum-hukum Allah di negeri-negeri muslim. Sejak saat itu, jihad ditinggalkan dan umat Islam terus dihinakan oleh musuh-musuh mereka.

Bagaimanapun, kewajiban jihad tidak akan bisa terlaksana secara sempurna tanpa adanya Khilafah. Kebutuhan umat Islam akan jihad meniscayakan kebutuhan umat Islam akan tegaknya kembali Khilafah, yang akan menerapkan hukum-hukum Allah dan menyebarkan Islam  ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Momentum hari pahlawan ini, sebagai refleksi perjuangan umat Islam di masa lalu, harus kita maknai dengan tepat. Jika para pahlawan muslim nusantara dulu berjihad untuk mengusir penjajah kafir Belanda, saat ini kita perlu berjuang sungguh-sungguh untuk mewujudkan kembali kepemimpinan Islam yang satu, yaitu Khilafah Islamiyah, yang akan terus menyerukan dakwah dan jihad sampai cahaya Islam menerangi seluruh penjuru bumi.

Lantas, seberapa pentingkah arti kepahlawanan menurut Islam? Karena banyak pendahulu kita yang rela berjuang demi kemerdekaan. Atau jangan-jangan tak berarti apapun selain hanya mempertahankan rasa nasionalisme saja?

Mengutip hadis Rasul SAW:

عن أبي موسى قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الرجل يقاتل شجاعة ويقاتل حمية ويقاتل رياء أي ذلك في سبيل الله ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله))

"Dari Abu Musa al-Asy'ari RA. Rasulullah SAW ditanya tentang seseorang yang berperang dengan keberanian, ia berperang dengan kesombongan, serta berperang dengan riya', manakah di antara mereka yang termasuk jihad fi sabilillah?" Rasul menjawab, "Siapa yang yang berperang demi tegaknya kalimatullah maka ia berjihad fi sabilillah" (HR. Bukhari Muslim).

Jika kita baca lagi epik sejarah kemerdekaan, kita akan tahu bahwa ketika itu organisasi persiapan dan penggalang kemerdekaan justru diawali oleh para tokoh ulama Indonesia seperti PERSIS yang diprakarsai oleh HOS. Cokroaminoto, dari Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan, dari NU oleh KH. Wahab Hasbullah dan Hadrotus Syekh KH Hasyim Asy'ari. Bahkan, waktu itu sempat pula Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy'ari memfatwakan jihad melawan penjajah adalah fardlu 'ain (kewajiban personal).

Dari ulasan tersebut bisa disimpulkan bahwa kala itu para pejuang kemerdekaan tidak hanya sekedar mempertahankan kemerdekaan, namun juga berusaha menjaga Islam tetap tegak di bumi pertiwi, Indonesia kita tercinta. Sebab, jika Indonesia kalah alias dikuasai penjajah yang kafir, niscaya Islam tidak mungkin bisa berjaya di tanah air kita ini.

Melihat dari konterks jihad di atas, sangat wajar jika kemudian Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy'ari menyerukan perang itu wajib pada waktu itu, sebab memang kita diserang dan tanah air dalam keadaan perang yang genting. Dentuman senjata penjajah terdengar di mana-mana, tidak pantas rasanya jika kita hanya berdiam diri kemudian menyerah kalah. Dalam al-Quran, Allah berfirman:

أذن للذين يقاتلون بأنهم ظلموا، وإن الله على نصرهم لقدير

"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu." (QS. al-Hajj : 24)

Selain itu, dalam hadis-Nya, Nabi Muhammad SAW juga pernah mengingatkan:

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل ؟ فقال ( إيمان بالله ورسوله ) . قيل ثم ماذا ؟ قال ( الجهاد في سبيل الله ) . قيل ثم ماذا ؟ قال ( حج مبرور. رواه البخاري)

"Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang amal apa yang paling utama? Seraya Nabi menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” “Kemudian, apa lagi ya Rasul?” Nabi berkata, "Jihad di jalan Allah (fi sabilillah).” “Setelah itu, apa lagi ya Rasul?” Nabi menjawab, "Haji mabrur." (HR. Bukhari).

Persoalan yang terjadi kemudian, masih relevankah jihad di masa sekarang? Atau mungkin ada bentuk jihad selainharus berperang?Rasanya terlalu terburu-buru jika menyimpulkan jihad harus dengan perang dan mengangkat senjata. Sebab Nabi SAW pun pernah bersabda:

حدثنا القاسم بن دينار الكوفي حدثنا عبد الرحمن بن مصعب أبو يزيد حدثنا إسرائيل عن محمد بن جحادة عن عطية عن أبي سعيد الخدري : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر. رواه الترميذي

"Dari Abi Sa'id al-Khudri, Nabi Saw berkata, "Termasuk jihad yang paling agung adalah menegakkan keadilan di hadapan penguasa yang dzolim (berlaku tidak adil, aniaya)." (HR. Al-Tirmidzi)

Dalam Sunan al-Nasa'i, Imam al-Sindi menjelasakan maksud hadis tersebut, "Menegakkan kebenaran di hadapan penguasa lalim termasuk jihad agung, sebab sedikit sekali orang yang mau melakukan hal tersebutkalaupun ada jarang sekali yang selamat.

Pada kesempatan lain, Nabi pernah ditanya tentang amal apa yang paling afdlal? Beliau menjawab, bahwa jihad yang paling afdlal adalah memerangi orang musyrik, haji mabrur dan bir al-walidain (diriwayatkan dalam Shahih Bukhori). Hal ini bukan dikarenakan semua pekerjaan afdlal dan semua harus dilakukan sesuai petunjuk Nabi. Jika Nabi menjawab satu persoalan dengan jawaban yang berbeda, hal itu lebih dikarenakan Nabi melihat situasi dan kondisi sang penanya. Jika sang penanya tidak kunjung menunaikan ibadah haji padahal ia mampu, maka Nabi menjawab haji adalah yang paling afdlol. Begitu seterusnya.

Menilik ulasan di atas, rasanya tidak mungkin jika kita harus berjihad dengan memanggul senjata. Sementara negara kita tidak lagi dalam keadaan perang fisik namun perang pemikiran, ekonomi bahkan kebudayan. Untuk sementara ini dunia masih dikuasai oleh pemuja modal, kapitalis borjuis. Sementara Indonesia meski punya Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah namun modalnya kurang, pantas kalau selama ini kita selalu terjajah. Justru inilah kesempatan kita. Jangan sampai ekonomi kita terkuras, dan kebudayaan kita pun ikut terhempas dengan berbagai trend yang diciptakan non-muslim. Allah berfirman:

لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم، إن الله يحب المقسطين

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu, karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahanah : )

Kiranya sudah bukan saatnya lagi kita memanggul senjata untuk menjadi pahlawan, bukan saatnya lagi kita berjihad di medan perang, namun jihad kita, kesempatan kita adalah jihad fikri, jihad dengan taktik ilmu pengetahuan. Memerangi hedonisme, menekan kapitalisme dan memberantas sekulerisme.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar