Minggu, 12 November 2017

Sejarah Pertapaan Gunung Pucangan Jombang

Setiap malam Jum’at Legi, Gunung Pucangan selalu ramai dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai daerah. Mereka datang ke tempat keramat tersebut dengan berbagai tujuan, dan konon katanya segala permasalahan hidup bisa terselesaikan di Gunung Pucangan, salah satu tempat keramat yang dipercaya oleh masyarakat sekitar. Gunung yang terkenal sebagai tempat keramat ini terletak di Desa Cupak, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Lokasi Gunung Pucangan ini terletak beberapa kilometer dari Sendang Made dimana setiap tahunnya dijadikan tempat untuk ritual wisuda waranggana atau sinden tayub. Lokasinya yang cukup terpencil yaitu harus melewati hutan jati yang amat sepi tidak membuat warga setempat merasa takut. Tetap saja Gunung ini ramai dikunjungi oleh orang yang membawa niat tertentu.

Di tempat keramat ini bisa kita jumpai beberapa sendang, petilasan dan juga makam keramat. Ada sebuah sendang yang bernama Sendang Drajad yang konon kabarnya sendang ini dipercaya mampu meningkatkan derajat seseorang. Kemudian ada Sendang Widodaren yang dipercaya pada zaman dahulu sebagai tempat mandi para bidadari. Masyarakat percaya bahwa jika seorang wanita mandi di sendang widodaren, atau bahkan sekedar membasuh muka di tempat ini maka ia akan nampak awet muda dan aura kecantikannya keluar. Entah dipercaya atau tidak namun itulah mitos yang beredar di sendang widodaren ini.

Di kompleks yang terkenal sebagai tempat keramat ini terdapat juga makam Maling Cluring dan Maling Adiguna yang konon bisa masuk rumah melalui sorot lampu yang keluar dari celah-celah dinding. Kedua maling ini merupakan maling yang budiman, dan dikenal baik hati serta banyak cerita yang mengisahkan kedua maling ini banyak membantu warga sekitar. Diantara banyak makam di kompleks ini, makam yang paling keramat dan termashur adalah makam dari Dewi Kilisuci, putri Raja Airlangga yang memilih menjadi pertama daripada jadi ratu. Hal ini menyebabkan Kerajaan Airlangga dipecah menjadi dua menjadi Kahuripan dan Dhaha.

Menurut penduduk setempat, apabila malam Jumat Legi tiba maka banyak sekali peziarah yang datang ke tempat ini untuk melakukan berbagai ritual dan juga memberikan sesembahan. Ada yang datang membawa nasi ingkung beserta lauk pauknya untuk dikendurikan atau dimakan secara bersama oleh mereka yang kebetulan hadir di tempat keramat itu. Ketika mereka ditanya, ternyata hajat mereka adalah untuk mengirim doa kepada para leluhur, agar keluarga mereka yang sakit cepat disembuhkan. Ada juga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan, anaknya cepat lulus kuliah dan lulus sekolah, serta ada yang ingin lancar dalam usaha.

Menurut mbak Tik, salah satu juru kunci wanita yang menjaga tempat keramat tersebut orang datang ke Gunung Pucangan adalah orang-orang yang banyak mengalami masalah. Mulai dari masalah ekonomi, usahanya yang seret, jabatan tidak naik-naik, tak segera mendapatkan jodoh, dan segala permasalahan hidup lainnya. Meski banyak permasalahan hidup, lebih-lebih masalah ekonomi tetapi bukan berarti orang yang kaya tidak turut datang di tempat keramat ini. Mereka justru datang dengan hajat agar usaha dan pekerjaannya semakin mapan dan semakin baik lagi dari sebelumnya.

Menurut sang juru kunci, untuk semakin menambah yakin agar ritual di Gunung Pucangan membuahkan hasil yang maksimal, biasanya para peziarah terlebih dahulu disyaratkan harus mandi atau membersihkan diri mengunakan air di beberapa sendang yang lokasinya ada di sekitar makam Dewi Kilisuci. Setelah ritual membersihkan diri, peziarah bisa menghadap langsung ke makam Dewi Kilisuci dengan diantar oleh jurukunci. Doa pembuka biasanya dilakukan oleh jurukunci, setelah itu peziarah bisa langsung mengungkapkan maksud kedatangannya, baik dengan suara keras atau cukup dalam hati.

Meski begitu, tidak sedikit pula, yang mengungkapkan maksud dan tujuannya sambil disertai bernadzar. Misalnya, jika apa yang akan dilukukan sukses atau berhasil, ia berjanji akan datang lagi sambil mengadakan syukuran. Yang lebih heboh, bahkan pernah ada yang sukses luar biasa lalu kembali datang lagi sambil membawa seekor sapi untuk disembelih di tempat tersebut. Setelah sapi itu disembelih oleh penduduk sekitar yang kebanyakan terdiri dari keluarga jurukunci makam, daging sapi itu lalu dibagi-bagikan sebagai ungkapan rasa syukur anak nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadanya.

Gunung Pucangan sebagai tempat ziarah yang favorit banyak orang sebenarnya sudah lama terjadi. Sarana dan prasarana yang terus diperbaiki membuktikan jika tempat ini memang sering menjadi jujugan orang yang ingin ngalap berkah. Berhasil tidaknya, memang tergantung masing-masing peziarah. Yang tidak boleh dilupakan saat ritual adalah menata hati agar iklas dan sabar dalam setiap tindak dan prilakunya. Sebab, iklas dan sabar terkadang menjadi faktor yang paling penting dalam keberhasilan seseorang dalam kehidupannya.

GUNUNG PUCANGAN DI MASA LAMPAU

Pertapaan gunung Pucangan, sebenarnya adalah tempat dimana dahulu sinuwun Bathara Erlangga bertapa-brata, ketika beliau menjalani pelarian selama dua tahun.

Pada malam pernikahannya dengan Dewi Galuh Sekar Kedahaton, puteri Bathara Ring Medang----raja di Medang----Dharmawangsa Teguh, kota Watan (Maospati, Magetan, Jawa Timur sekarang) diserang oleh pasukan Aji Wura Wari, penguasa Lwaram (Ngloram, Blora, Jawa Tengah sekarang).

Dalam tragedi yang disebut Pralaya Medang (prasasti Pucangan/Calcutta Stones) itu, Dharmawangsa Teguh beserta permaisuri dan seluruh punggawanya tewas. Kota Watan menjadi lautan api. Istana Medang diratakan dengan tanah. Pasangan pengantin, Erlangga muda dan Galuh Sekar Kedhaton berhasil lolos dari pembunuhan setelah diselamatkan abdi kinasihnya, Narottama dan Ken Bayan.

Selama pelarian, Erlangga keluar masuk hutan dan gunung. Dari Watan, mereka menuju gunung Lawu, Wonogiri, gunung Wilis, gunung Klotok, gunung Mas Kumambang, gunung Tunggorono hingga akhirnya sampai di kabuyutan Sidayu di Girisik (Sedayu, Gresik, Jawa Timur sekarang).

Dewi Galuh Sekar Kedhaton dititipkan di rumah Ki Buyut Sidayu, pemangku wilayah itu. Ken Bayan diperintahkan kembali ke Watan untuk mengumpulkan sisa-sia loyalis mendiang Bathara Dharmawangsa Teguh. Sementara Erlangga dan Narottama melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang menurut pawisik niskala----bisikan ghaib----adalah tempat suci. Gunung Pucangan.

Bathara Erlangga menjalani tapa brata di puncak gunung yang merupakan rangkain dari pegunungan kapur Kendeng. Dua tahun kemudian, dia menjelma menjadi sosok kesatria digdaya, konon adalah titisan Sang Hyang Wisnu (Dewata pemelihara perdamaian dan kelestarian alam semesta). Lwaram ditaklukkan, kemudian menantu Bathara Dharmawangsa Teguh itu mendirikan negeri baru di Watan Mas, daerah lereng gunung Pawitra, bernama Kahuripan.

Dari lereng gunung Pawitra (Penanggungan, Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur sekarang), ibu kota Kahuripan pernah mengalami beberapa kali pemindahan. Diantaranya ke utara Bengawan Porong (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang), Patakan (desa Pataan, kecamatan Sambeng, Lamongan, Jawa Timur sekarang) hingga terakhir di Dahanapura/Daha (sekitar kota Kediri, Jawa Timur sekarang).

Saat bertahta di kota Daha inilah, pada Saka Warsa 964 (1042 Masehi), Bathara Erlangga turun dari Singgasana. Pendiri Kahuripan itu memutuskan meninggalkan segala pesona duniawi dan menjalani sisa hidup menjadi seorang Brahmana di tempat dahulu dia bertapa brata. Gunung Pucangan.

Dalam Serat Calon Arang, Bathara Erlangga kemudian dikenal sebagai Resi Gentayu. Menurut Babad Tanah Jawi, dia disebut dengan nama Resi Erlangga Jatiningrat. Sedangkan pada prasasti Gandhakuti, namanya ditulis sebagai Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Berdasarkan urutan trah pewaris tahta, putri mahkota yang bernama Rakryan I Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi, anak Bathara Erlangga dari permaisuri Dewi Galuh Sekar Kedhaton adalah yang berhak menduduki singgasana Kahuripan.

Di luar dugaan, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menolak naik tahta. Dia mengikuti jejak ramandanya menjadi seorang pertapa. Meninggalkan segala pesona duniawi. Keadaan ini membuat dua anak Batara Erlangga yang lain, berebut kekuasaan. Mereka adalah Sri Samarawijaya, adik Sanggramawijaya Dharmaparasada Utunggadewi dengan Mapanji Garasakan, anak dari garwa selir.

Seorang Brahmana bernama Mpu Bharada ditugaskan untuk membagi Kahuripan menjadi dua wilayah. Bengawan Brantas dan Gunung Kawi dijadikan batas. Jenggala (Sidoarjo, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Mapanji Garasakan dan Panjalu/Kadhri/Kadhiri (Kediri, Jawa Timur sekarang) diberikan kepada Sri Samarawijaya (Kakawin Negarakertagama).

Sementara, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi bertapa dari satu tempat ke tempat lain. Terakhir, puteri Bathara Erlangga itu menetap di puncak gunung Pucangan. Meneruskan ramandanya yang telah mangkat pada Saka Warsa 971 (1049 Masehi).

Hingga akhir hayatnya, Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi menjadi pertapa wanita di puncak gunung Pucangan. Orang-orang mengenalnya dengan nama Dewi Kili Suci.

PERTAPAAN GUNUNG PUCANGAN SEKARANG

Kini, tempat moksa----sirna jiwa dan raga, kembali ke Sang Pencipta----Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi itu dinamakan Situs Makam Dewi Kili Suci.

Sejak era Islam, tempat-tempat moksa para leluhur orang Jawa sengaja di-visual-kan dalam bentuk makam. Hal ini untuk mengikis sifat musyrik dan menggantinya dengan tradisi ziaroh.

Saat ini, di situs gunung Pucangan, selain makam Dewi Kili Suci, kita juga bisa menjumpai beberapa makam lain. Diantarnya makam Maling Cluring, makam Maling Adiguna dan makam Eyang Ronggo.

2 komentar: