Sabtu, 18 November 2017

Tafsir Surat An-Nur Ayat 35 Tentang Listrik

Pada zaman modern ini listrik sudah menjadi hal yang sangat di utamakan atau di butuhkan manusia tak bisa lepas dengan listrik. listrik sudah menjadi salah satu kebutuhan utama kehdiupan sehari hari.listrik yang ada di bumi ini berasal dari berbagai sumber . di hasilkan oleh generator yang akan menghasilkan listrik kemana mana.energi listrik ini berasal dari satu sumber dan di ubah menjadi listrik yang kita gunakan sehari hari.

Dari hal tersebut ayat al quran berbicara tentang "AYAT AL QURAN TENTANG LISTRIK",kalo kita ketahui listrik itu sudah ada sejak para nabi ,namun manusia pada zaman dulu belum menemukan listrik , itu karena ilmu dan pengetahuan yang kurang. ALLOH berfirman dalam ayatnya Surat An Nur ayat 35 :

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah adalah Nur (cahaya) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya itu, adalah seperti lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita. Pelita itu didalam kaca, dan kaca itu bagaikan bintang yang cemerlang bercahaya-cahaya seperti mutiara. Yang dinyalakah dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon Zaitun ; yang tidak tumbuh di timur maupun di barat. Yang minyaknya saja hampir-hampir cukup menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahayanya diatas cahaya (berlapis-lapis). Allah-lah yang menunjukki kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.(An-Nur: 35) Yakni Pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid dan Ibnu Abbas telah meriwayatkan sehubungan dengan makna firman-Nya:  Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yaitu Yang mengatur urusan yang ada pada keduanya, bintang-bintangnya, mataharinya, dan bulannya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Umar ibnu Khalid Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Rasyid, dari Furqud, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berfirman, "Cahaya-Ku adalah petunjuk." Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.

Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi)  cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35) Bahwa yang dimaksud adalah orang mukmin yang Allah telah menjadikan iman dan Al-Qur'an tertanam di dadanya. Maka Allah membuat perumpamaannya melalui firman-Nya: Allah (Pemberi)  cahaya  (kepada)  langit dan bumi. (An-Nur: 35) Allah memulainya dengan menyebut cahaya-Nya sendiri, kemudian menyebut cahaya orang mukmin. Untuk itu Allah berfirman, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya." Perawi mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b membaca ayat ini dengan bacaan berikut, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya," dia adalah orang mukmin tertanam di dadanya iman dan Al-Qur'an. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Qais ibnu Sa'd, dari Ibnu Abbas, bahwa dia membacanya dengan bacaan ini, yaitu: "Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah."

Sebagian ulama ada yang membacanya, "Allah Pemberi cahaya langit dan bumi."

Diriwayatkan dari Ad-Dahhak sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah  (Pemberi) cahaya  (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35); Juga dari As-Saddi sehubungan dengan makna firman-Nya:  Allah (Pemberi)  cahaya (kepada)langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yakni dengan cahaya-Nya, maka teranglah langit dan bumi.

Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. ketika disakiti oleh penduduk Taif mengucapkan dalam doanya:

"أُعُوذُ بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتُ، وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، أَنْ يَحِلَّ بِيَ غَضبك أَوْ يَنْزِلَ بِي سَخَطُك، لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ"

Aku berlindung kepada cahaya Zat-Mu yang menyinari semua kegelapan, dan membuat baik urusan dunia dan akhirat, janganlah Engkau timpakan kepadaku murka-Mu, hanya kepada Engkaulah kami mengadrt hingga Engkau rida. Dan tiada daya upaya serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Saw. apabila bangun mengerjakan salatul lail-nya, beliau mengucapkan doa berikut:

"اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيّم السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ نُورُ السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ"

Ya Allah, Engkaulah segala puji, Engkau adalah Cahaya langit dan bumi serta semua makhluk yang ada pada keduanya. Dan hanya bagi Engkaulah segala puji; Engkau adalah Yang Maha Mengatur langit dan bumi serta semua makhluk yang ada padanya.

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya di sisi Tuhan kalian tidak ada malam dan tidak pula siang, cahaya 'Arasy adalah berasal dari cahaya Zat-Nya."

Firman Allah Swt.:

{مَثَلُ نُورِهِ}

Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35)

Mengenai rujukan damir ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa damir Nurihi kembali kepada Allah Swt. sebagai tamsil yang menggambarkan hidayah Allah di dalam kalbu orang mukmin adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas.

Pendapat kedua, damir itu kembali kepada orang mukmin karena tersimpulkan dari konteks ayat. Bentuk lengkapnya ialah, "Perumpamaan cahaya orang mukmin yang ada di dalam kalbunya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus." Maka kalbu orang mukmin yang telah tertanam di dalamnya keimanan dan Al-Qur'an yang diterimanya sesuai dengan fitrah dalam dirinya, seperti yang diungkapkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ}

Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan)orang-orang yang ada mempunyai bukti nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah. (Hud: 17)

diserupakan dalam hal kejernihannya dengan lentera yang terbuat dari kaca yang tembus pandang lagi berkilauan. Sedangkan hidayah yang diterimanya dari Al-Qur'an dan syariat agama diserupakan dengan minyaknya yang baik, jernih, bercahaya, dan sesuai; tiada kekeruhan padanya, tiada pula penyimpangan.

Firman Allah Swt.:

{كَمِشْكَاةٍ}

seperti sebuah lubang yang tak tembus. (An-Nur: 35)

Ibnu Abbas, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misykat ialah tempat lentera; ini menurut pendapat yang terkenal. Karena itu, disebutkan sesudahnya:

{فِيهَا مِصْبَاحٌ}

yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35)

Yakni pelita yang menyala.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35) Ketika orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi Muhammad Saw.; "Bagaimanakah cahaya Allah dapat menembus dari balik langit?" Maka Allah membuat perumpamaan bagi cahaya-Nya itu melalui firman-Nya:  Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus.(An-Nur: 35) Yang dimaksud dengan misykatialah lubang yang ada di tembok rumah (tetapi tidak tembus, digunakan untuk tempat lentera). Ibnu Abbas mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan ketaatan kepada-Nya. Allah menamakan ketaatan kepada-Nya sebagai cahaya, kemudian memisalkannya pula dengan jenis-jenis yang lain.

Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat adalah lubang (menurut bahasa Habsyah). Sebagian dari mereka menambahkan bahwa misykat adalah lubang yang tak tembus.

Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat ialah besi gantungan lampu besar.

Tetapi pendapat yang pertamalah yang paling utama, yaitu yang mengatakan bahwa misykat adalah tempat lampu. Karena itulah disebutkan sesudahnya: yang di dalamnya ada pelita besar.(An-Nur: 35) Yakni cahaya yang ada dalam lampu itu.

Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misbah ialah cahaya, ini merupakan perumpamaan bagi Al-Qur'an dan iman yang ada di dalam dada orang mukmin.

As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan misbah ialah lentera.

{الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ}

Pelita itu di dalam kaca. (An-Nur: 35)

Yakni cahaya itu terpancarkan dari balik kaca yang jernih.

Ubay ibnu Ka'b dan lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan bagi kalbu orang mukmin.

{الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ}

(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya). (An-Nur: 35)

Sebagian ulama membacanya durrin tanpa memakai hamzah; berasal dari ad-durr, yakni seakan-akan kaca itu adalah bintang permata yang bercahaya. Sedangkan ulama lainnya membacanya dir'an atau dur'un, berasal dari dur'un yang artinya terdorong. Demikian itu karena bintang bila terlemparkan, maka cahayanya sangat terang melebihi saat diamnya. Dan orang-orang Arab menamakan bintang yang tidak dikenal dengan sebutan darari.

Ubay ibnu Ka'b mengatakan, makna yang dimaksud ialah bintang yang bercahaya terang.

Sedangkan menurut Qatadah, makna yang dimaksud ialah bintang yang terang jelas lagi besar.

{يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ}

yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35)

Yakni bahan bakarnya dari minyak zaitun, yang merupakan pohon yang banyak berkahnya.

{زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ}

(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35)

Lafaz zaitunah berkedudukan sebagai badal atau 'ataf bayan. Yakni pohon zaitun tersebut tumbuh bukan di belahan timurnya yang akibatnya sinar mentari pagi tidak dapat sampai kepadanya, tidak pula tumbuh di belahan baratnya yang akibatnya ada bagian darinya yang tidak terkena sinar mentari di saat matahari condong ke arah barat. Akan tetapi, ia tumbuh di daerah pertengahan yang selalu terkena sinar mentari sejak pagi hari sampai petang hari, sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, baik dan berkilauan.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu pohon zaitun yang ada di padang sahara dalam keadaan tidak tertutupi oleh naungan pohon lainnya, tidak tertutupi oleh gunung, tidak pula berada di dalam gua. Pendek kata, pohon itu tidak tertutupi oleh sesuatu pun. Maka pohon sejenis ini menghasilkan minyak yang paling baik.

Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan telah meriwayatkan dari Imran ibnu Jarir, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang tumbuh di padang sahara. Pohon seperti ini menghasilkan minyak yang jernih.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami AbuNa'im, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Farukh, dari Habib ibnuz Zubair, dari Ikrimah, bahwa ia pernah ditanya oleh seseorang tentang makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Ikrimah menjawab bahwa pohon tersebut adalah pohon zaitun yang ada di padang sahara; apabila mentari terbit, sinarnya langsung menerpanya; dan apabila tenggelam, terkena pula sinarnya sebelum tenggelam. Maka pohon zaitun ini menghasilkan minyak yang paling jernih.

Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, tidak terletak di sebelah timur yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat tenggelamnya, tidak pula terletak di sebelah barat yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat terbitnya. Tetapi pohon ini terletak di antara arah timur dan arah barat, karenanya ia selalu terkena sinar mentari, baik di pagi hari maupun di petang hari saat matahari akan tenggelam.

Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi. (An-Nur: 35) Yakni minyak yang terbaik. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa apabila mentari terbit, maka sinarnya langsung mengenai pohon itu dari arah timur; dan apabila mentari akan tenggelam, maka sinarnya mengenainya pula. Sinar mentari selalu mengenainya, baik di pagi hari maupun di petang hari. Yang demikian itu berarti pohon ini terletak bukan di sebelah timur, bukan pula di sebelah barat.

As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:  (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan terletak di sebelah timur sekali, bukan pula terletak di sebelah barat sekali, tetapi ia terletak di puncak bukit atau di tengah padang sahara yang selalu terkena sinar mentari sepanjang harinya.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Bahwa pohon itu berada di tengah-tengah pepohonan lainnya sehingga ia tidak tampak dari sebelah timur, tidak pula dari sebelah barat.

Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Pohon tersebut hijau lagi lembut karena tidak terkena sinar mentari sama sekali, baik di saat mentari terbit maupun di saat tenggelam. Demikian pula keadaan orang mukmin yang sesungguhnya, ia terlindungi dari fitnah apa pun, dan adakalanya ia diuji oleh fitnah, tetapi Allah meneguhkan hatinya sehingga tidak tergoda. Dia adalah seorang mukmin yang memiliki empat perangai, yaitu; Apabila bicara, benar. Apabila memutuskan hukum, adil. Apabila dicoba, sabar. Dan apabila diberi, bersyukur. Perihal dia di antara umat manusia lainnya sama dengan seorang lelaki hidup yang berjalan di antara orang-orang yang mati.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad yang mengata­kan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id Ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya:  (yaitu)pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya).(An-Nur: 35) Bahwa pohon ini tidak terkena sinar mentari, baik dari arah timur maupun dari arah barat, karena ia terletak di tengah-tengah pepohonan lainnya.

Atiyyah Al-Aufi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang berada di suatu tempat, yang bayangan buahnya terlihat pada dedaunannya. Jenis pohon ini tidak terkena sinar mentari di saat terbit dan tenggelamnya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Ata, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya).(An-Nur: 35) Yakni bukan di sebelah timur yang dekat dengan sebelah barat, bukan pula di sebelah barat yang dekat dengan sebelah timur, tetapi ia terletak di antara keduanya.

Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, pohon yang tumbuh di daerah pedalaman.

Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni tumbuh di negeri Syam.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seandainya pohon ini ada di bumi, tentulah ia terletak di sebelah timur atau di sebelah baratnya, tetapi hal ini merupakan perumpamaan yang di buat oleh Allah untuk menggambarkan tentang cahaya-Nya.

Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35) Yakni laki-laki yang saleh. (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan orang Yahudi, bukan pula orang Nasrani.

Pendapat yang paling utama di antara semua pendapat yang ada adalah pendapat yang pertama. Yakni pendapat yang mengatakan bahwa pohon zaitun tersebut tumbuh di tempat yang luas dan kelihatan menonjol, selalu terkena sinar mentari sejak pagi sampai petang. Yang demikian itu akan menghasilkan minyak yang paling jernih dan paling lembut, seperti yang dikatakan oleh banyak orang dari kalangan orang-orang terdahulu. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:

{يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ}

yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. (An-Nur: 35)

Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, makna yang dimaksud ialah minyak itu seakan-akan menyala karena jernih dan cemerlangnya.

Firman Allah Swt.:

{نُورٌ عَلَى نُورٍ}

Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35)

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah menggambarkan tentang iman seorang hamba dan amalnya.

Mujahid mengatakan —demikian juga As-Saddi— bahwa makna yang dimaksud ialah cahaya api dan cahaya minyak zaitun.

Ubay ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya(berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Orang mukmin bergelimang di dalam lima nur (cahaya); ucapannya adalah cahaya, amal perbuatannya adalah cahaya, tempat masuknya adalah cahaya, tempat keluarnya adalah cahaya, dan tempat kembalinya ialah ke dalam surga kelak di hari kiamat dengan diterangi oleh cahaya.

Syamr ibnu Atiyyah telah mengatakan bahwa Ibnu Abbas datang kepada Ka'bul Ahbar, lalu berkata, "Ceritakanlah kepadaku tentang makna firman-Nya: 'Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.'(An-Nur: 35)" Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa hampir-hampir Muhammad Saw. jelas di mata orang-orang, sekalipun dia tidak mengucapkan bahwa dirinya seorang nabi, sebagaimana minyak itu hampir-hampir menerangi (sekalipun tidak disentuh api).

As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya(berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Yakni cahaya api dan cahaya minyak, saat bertemu kedua-duanya menerangi, masing-masing tidak dapat menerangi tanpa yang lainnya. Demikian pula cahaya Al-Qur'an dan cahaya iman; manakala keduanya bertemu, maka masing-masing dari keduanya tidak akan ada kecuali dengan keberadaan yang lainnya.

Firman Allah Swt.:

{يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ}

Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (An-Nur: 35)

Yakni Allah membimbing ke jalan petunjuk siapa yang Dia pilih, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَزَارِيُّ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ [بْنِ] الدَّيْلَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، ثُمَّ أَلْقَى عَلَيْهِمْ مِنْ نُورِهِ يَوْمَئِذٍ، فَمَنْ أَصَابَ يَوْمَئِذٍ مِنْ نُورِهِ اهْتَدَى، وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ. فَلِذَلِكَ أَقُولُ: جفَّ الْقَلَمُ عَلَى عِلْمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ"

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Rabi'ah ibnu Yazid, dari Abdullah Ad-Dailami, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. menciptakan makhluk-Nya dalam ke­gelapan, kemudian melemparkan kepada mereka sebagian dari cahaya-Nya pada hari itu. Maka barang siapa yang terkena sebagian dari cahaya-Nya, tentulah ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput dari cahaya-Nya, sesatlah dia. Untuk itulah saya ucapkan, "Keringlah pena (dalam mencatat) ilmu Allah Swt."

Menurut jalur lain yang bersumber dari Abdullah ibnu Amr, Al-Bazzar telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Suwaid, dari Yahya ibnu Abu Amr Asy-Syaibani, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

"إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، فَأَلْقَى عَلَيْهِمْ نُورًا مِنْ نُورِهِ، فَمَنْ أَصَابَهُ مِنْ ذَلِكَ النُّورِ اهْتَدَى، وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ

Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, lalu melemparkan kepada mereka suatu cahaya dari cahaya-Nya. Maka barang siapa yang terkena cahaya itu, ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput darinya, maka sesatlah ia.

Al-Bazzar telah meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Amr, dari jalur lain dengan lafaz dan teks yang sama.

Firman Allah Swt.:

{وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}

dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35)

Setelah menuturkan hal tersebut sebagai perumpamaan bagi cahaya petunjuk-Nya di dalam kalbu orang mukmin, maka Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35) Yakni Dia Maha Mengetahui tentang siapa yang berhak mendapat petunjuk dan siapa yang berhak mendapat kesesatan.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ -يَعْنِي شَيْبَانَ -، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّة، عَنْ أَبِي البَخْتَري، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزهرُ، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصْفَح: فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ [الْمُنَافِقِ] عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ. وَأَمَّا الْقَلْبُ المُصْفَح فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ، وَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدّها الْمَاءُ الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ القُرحة يَمُدَّها الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kalbu itu ada empat macam, yaitu kalbu yang bersih, di dalamnya terdapat sesuatu seperti pelita yang berkilauan; kalbu yang terkunci, dalam keadaan tertutup rapat oleh pelapisnya; kalbu yang terbalik, dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang bersih ia adalah kalbu orang mukmin yang di dalamnya terdapat lentera yang meneranginya. Adapun kalbu yang terkunci, maka ia adalah kalbu orang kafir. Adapun kalbu yang terbalik, ia adalah kalbu orang munafik; ia mengetahui (kebenaran), kemudian mengingkari­nya. Adapun kalbu yang terlapisi, maka ia adalah kalbu yang mengandung iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu sama dengan sayuran yang disirami dengan air bersih, dan perumpamaan nifak (sifat munafik) di dalam kalbu sama dengan luka yang disuplai oleh darah dan nanah; maka mana pun di antara keduanya mengalahkan yang lain, berarti dialah yang menang.

Sanad hadis berpredikat jayyid, tetapi mereka (ashabus sunan) tidak mengetengahkannya.

Uraian

Dari ayat ini kita bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi sudah ada sejak dahulu namun manusia belum mengetahuinnya , dan ilmu yang ada di perumpamakan dengan hal hal lain ,hal hal ini yang dapat menjadikan fakta di balik ilmu itu semua. tak hanyya manusia yang dapat memberikan arti penting itu listrik namun al quran sudah berbicara dahulu sebelum listrik itu ada . kalo kita ambil contoh dalam surat an nur ayat 35 : lampu itu bercahaya cahaya itu berada di dalam pelita atau kaca ,dan bola lampu itu sudah ada kan tu salah satu fakta surat an nur ayat 35 tersebut.jadi ayat al quran tentang listrik itu sangat benar tak bisa di ganggu gugat itullah salah satu bukti kekuasaan Alloh SWT.

Jadi Al quraan tak hannya berbicara masalah ibadah,hukum,iman dan lainnya namun al quraan pun berbicara mengenai teknologi dan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini salah satunnya listrik.karena banyak hal yang dapat di galih pada al quran . al quran juga berbicara mengenai teori dasar listrik.

Listrik dan hukum kekekalan energi

Perhatikan potongan surah An-Nuur (24) berikut :

[24:35] … perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah ceruk yang tak bercelah, di dalamnya ada pelita; pelita itu di dalam kaca; kaca itu seakan-akan bintang yang cemerlang;  (pelita itu seperti) dinyalakan dari pohon yang diberkati – zaitun; tidak
timur dan tidak barat; yang hampir-hampir minyaknya memendarkan sinar (terang) walaupun tidak disentuh api …

Allah mengumpamakan “cahaya“-Nya sebagai sesuatu yang tidak sama dengan cahaya yang diketahui pada masa ayat ini diturunkan. Digambarkan bahwa cahayanya ini seperti suatu ceruk (lubang/cekungan) yang tak tembus (kamisykaatin) yang di dalamnya ada pelita/lampu di mana pelita ini berada di dalam suatu kaca (zujaajatin) (yang mengindikasikan ceruk itu terbuat dari kaca, terlebih lagi kamisykaatin dan zujaajatin merupakan bentuk feminin, sedangkan pelita (mishbaahun)merupakan bentuk maskulin), yang mengakibatkan kaca ini terlihat seperti bintang yang terang dilangit malam. Pelita itu sendiri digambarkan seperti dinyalakan oleh minyak yang berasal dari pohon yang diberkati, yaitu pohon zaitun, dimana minyaknya mampu menerangi walaupun tidak tersentuh api.

Apa yang terpikir oleh kita, di masa sekarang, jika mendengar suatu lubang, cekungan, ceruk terbuat dari kaca yang tak memiliki celah yang didalamnya terdapat cahaya dimana cahaya itu dinyalakan tidak menggunakan api sebagaimana lampu-lampu lentera yang digunakan di jaman dulu. Dan terangnya cahaya itu membuat “sang kaca” seperti bintang yang cemerlang ? Tentu saja jawabannya adalah salah satu penemuan terbesar sepanjang sejarah manusia, yaitu penemuan lampu listrik.

Abad 19 merupakan abad dimana ilmu pengetahuan mengenai kelistrikan berkembang pesat. Dimulai denganpenemuan baterai oleh Alessandro Volta, sampai akhirnya penemuan bola lampu(lightbulb) listrik pertama oleh Thomas Alfa Edison.

Bola lampu ini berpijar dengan memanaskan lempengan filamen dengan suhu yang tinggi dengan akhirnya bercahaya. Pemanasan ini dilakukan dengan menggunakan arus listrik melalui kabel yang dihubungkan dengan lampu tersebut.

Lampu tersebut tidak menggunakan minyak dan api, tetapi menggunakan filamen dan listrik sebagai pengganti minyak dan api, dimana filamen tersebut jika dialiri listrik mampu berpendar dan bercahaya. Listrik ini sendiri terbentuk dengan sumber lain yaitu baterai atau pun sumber listrik lainnya. Terkait hal ini di katakan pula dalam ayat tersebut :

[24:35] …  (pelita itu seperti) dinyalakan dari pohon yang diberkati – zaitun; tidak
timur dan tidak barat; yang hampir-hampir minyaknya memendarkan sinar (terang) walaupun tidak disentuh api …

Dikatakan bahwa pelita itu seperti dinyalakan dari minyak yang berasal dari pohon zaitun yang khusus. Mengapa Allah mengumpamakan dengan pohon zaitun? Karena di zaman dulu, terutama di daerah arab dan mediterania, minyak zaitun digunakan sebagai bahan bakar untuk lampu. Tetapi lebih lanjut Allah menyatakan bahwa pohon zaitun ini, sebagai sumber penghasil “minyak”, bukan pohon zaitun biasa, akan tetapi pohon khusus yang mampu menghasilkan minyak yang mempu menerangi tanpa adanya api.

Seperti halnya kilat, lonjakan listrik sendiri mampu memberikan cahaya yang terang, akan tetapi tidak lama. Untuk membuat listrik itu memberikan penerangan yang lama, dibutuhkan media lain yaitu filamen, dimana listrik disini berfungsi untuk memanaskan filamen sehingga akhirnya filamen berpendar. “Sang pelita” lebih lanjut di katakan sebagai “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin“, “tidak timur dan tidak barat”. Sebagian tafsir mengatakan bahwa   “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin” disini mengindikasikan bahwa pohon zaitun disini adalah pohon yang tidak biasa, pohon khusus yang tidak tumbuh di timur maupun di barat.

Hal ini mengindikasikan bahwa pohon tersebut bukanlah pohon zaitun secara fisik, akan tetapi sebagai suatu bentuk sumber energi yang nantinya akan menghasilnya “minyak” yang merupakan simbolisasi dari energi itu sendiri. Listrik sendiri, yang merupakan bentuk energi yang mengalir dari dari kutub positif ke kutub negatif, sering di asosiasikan juga dengan magnet yang memiliki kutub utara dan selatan. Bukan timur dan bukan barat. Dan energi listrikhampir-hampir menerangi, sebagaimana halnya kilat (lightning), dan akan terus menerangi jika disalurkan ke dalam media lain yaitu filamen yang akan berpendar jika dipanaskan dengan energi listrik yang berubah menjadi energi panas, yang disimbolkan dalam ayat ini dengan “minyak”, menggunakan istilah metafora yang mampu diterima pada masa ketika ayat ini diturunkan dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang akan membuktikannya di masa kemudian.

Lebih jauh perlu di perhatikan juga bahwa “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin” juga dapat di artikan sebagai “tidak memiliki tempat terbit dan tidak memiliki tempat tenggelam” dalam kaitannya dengan “sang pelita”. Ayat ini memberitahukan kita “sang pohon zaitun” sebagai sumber minyak (baca: sumber energi) menghasilkan “sesuatu” yang mempu memberikan cahaya, akan tetapi “sesuatu” itu tidak lah terbit maupun terbenam.

Tentu saja, listrik sebagai suatu bentuk energi sebagaimana yang diterangkan dalam hukum kekekalan energi, tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat di ubah dari dan ke bentuk energi yang lain. Dalam kaitannya dengan lampu, listrik berubah menjadi energi panas sehingga mampu memanaskan filamen yang mengubah energi panas menjadi energi cahaya.

Menurut teori “relativitas umum”, kekekalan energi ini bersifat relatif dan sebetulnya tidak bersifat kekal karena adanya lekukan umum wakturuang “manifold” yang tidak memiliki simetri untuk translasi atau rotasi. Dari sudut pandang agama, tentu saja semua bentuk energi awalnya diciptakan oleh Allah dan dapat dimusnahkan jika Allah berkehendak. Itu lah sebabnya dalam mengindikasikan energi yang dihasilkan oleh “sang sumber energi” atau “pohon zaitun khusus” ini menggunakan istilah “laa syarqiyyatin walaa gharbiyyatin“, yang berarti pada awalnya di ciptakan, dan suatu saat dapat dimusnahkan, akan tetapi dalam proses ditengah-tengah-nya tidak dapat di terbitkan (baca: diciptakan) dan ditenggelamkan (baca: dimusnahkan) oleh manusia, tetapi dapat di ubah dari dan ke bentuk energi lain, wallahu a’lam

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar