Selasa, 05 Desember 2017

Menyesali Perbuatan Dosa Dan Taubat

Manusia tidak lepas dari kesalahan, besar maupun kecil, disadari maupun tanpa disengaja. Apalagi jika hawa nafsu mendominasi jiwanya. Ia akan menjadi bulan-bulanan berbuat kemaksiatan. Ketaatan, seolah tidak memiliki nilai berarti.

Meski manusia dirundung oleh kemaksiatan dan dosa menumpuk, bukan berarti tak ada lagi pintu untuk memperbaiki diri. Karena, betapapun menggunung perbuatan maksiat seorang hamba, namun pintu rahmat selalu terbuka. Manusia diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Yaitu dengan bertaubat dari perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkannya ke jurang neraka. Taubat yang dilakukan haruslah total, yang dikenal dengan taubat nashuha. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَاءٌ وَ خَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّبُوْنَ. رَوَاهُ التِّرْمـِذِيُّ

Setiap anak adam (manusia) berbuat kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.

لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا لَخَلَقَ اللهُ الْخَلقَ يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ رَواه الْحَاكِمُ

Seandainya hamba-hamba Allah tidak ada yang berbuat dosa, tentulah Allah akan menciptakan makhluk lain yang berbuat dosa kemudian mengampuni mereka.

Taubat nasuha adalah kembalinya seseorang dari perilaku dosa ke perilaku yang baik yang diperintahkan Allah. Taubat nasuha adalah taubat yang betul-betul dilakukan dengan serius atas dosa-dosa besar yang pernah dilakukan di masa lalu. Pelaku taubat nasuha betul-betul menyesali dosa yang telah dilakukannya, tidak lagi ada keinginan untuk mengulangi apalagi berbuat lagi, serta menggantinya dengan amal perbuatan yang baik dalma bentuk ibadah kepada Allah dan amal kebaikan kepada sesama manusia. Dosa ada dua macam: dosa pada Allah saja dan dosa kepada Allah dan manusia (haqqul adami). Cara tobat karena dosa pada Allah cukup meminta ampun kepada Allah sedang menyangkut kesalahan pada sesama manusia harus meminta maaf langsung kepada orang yang bersangkutan di samping kepada Allah.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا}

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. (At-Tahrim: 8)

Yakni tobat yang sebenar-benarnya lagi pasti, maka akan terhapuslah semua kesalahan yang terdahulu. Dan tobat yang sebenarnya dapat merapikan diri pelakunya dan menyegarkannya kembali serta menjadi benteng bagi dirinya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang rendah.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sammak ibnu Harb, bahwa ia pernah mendengar An-Nu'man ibnu Basyir mengatakan dalam khotbahnya bahwa ia pernah mendengar Umar ibnul Khattab r.a. membaca firman-Nya Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. (At-Tahrim: 8) Lalu Umar mengatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan dosa, kemudian tidak mengulanginya lagi.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Sammak, dari An-Nu'man, dari Umar yang mengatakan bahwatobat nasuha ialah bila seseorang bertobat dari perbuatan dosa, kemudian tidak mengulanginya lagi, atau tidak berkeinginan mengulanginya lagi.

Abul Ahwas dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Sammak, dari An-Nu'man, bahwa Umar pernah ditanya tentang tobat nasuha. Maka Umar menjawab, "Tobat yang nasuha ialah bila seseorang bertobat dari perbuatan buruk, kemudian tidak mengulanginya lagi selama-lamanya."

Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: dengan tobat yang semurni-murninya. (At-Tahrim: 8) Bahwa seseorang bertobat (dari perbuatan dosanya), kemudian tidak mengulanginya lagi.

Hal ini telah diriwayatkan secara marfu';

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمُ الهَجَري، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "التَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ أَنْ يَتُوبَ مِنْهُ، ثُمَّ لَا يَعُودُ فِيهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Ibrahim Al-Hijri, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tobat dari dosa ialah bila seseorang bertobat darinya, kemudian tidak mengulanginya lagi.

Hadis diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Ahmad melalui jalur Ibrahim ibnu Muslim Al-Hijri, sedangkan dia orangnya daif, dan riwayat yangmauquf lebih sahih predikatnya, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Karena itu, para ulama mengatakan bahwa tobat yang murni ialah bila seseorang menghentikan dirinya dari perbuatan dosa di saat itu juga, kemudian ia menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lalu, dan bertekad di masa mendatang ia tidak akan mengerjakan hal itu lagi.

Kemudian jika hak yang dilanggarnya berkaitan dengan hak Adami, maka ia diharuskan mengembalikannya dengan cara yang berlaku.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Abdul Karim, telah menceritakan kepadaku Ziad ibnu Abu Maryam, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang mengatakan bahwa ia masuk bersama ayahnya ke rumah Abdullah ibnu Mas'ud. Kemudian ia bertanya, "Apakah engkau pernah mendengar Nabi Saw. bersabda bahwa penyesalan itu adalah tobat?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Ya." Di lain kesempatan ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar beliau Saw. bersabda:

"النَّدَمُ تَوْبَةٌ".

Penyesalan adalah tobat.

Demikianlah menurut riwayat Imam Ibnu Majah dari Hisyam ibnu Ammar, dari Sufyan ibnu Uyainah, dari Abdul Karim alias Ibnu Malik Al-Jazari dengan sanad yang sama.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepadaku Al-Walid ibnu Bukair Abu Janab, dari Abdullah ibnu Muhammad Al-Abdi, dari Abu Sinan Al-Basri, dari Abu Qilabah, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada kami (para sahabat) banyak hal yang akan terjadi di penghujung umat ini di saat kiamat telah dekat. Antara lain lelaki menyetubuhi istrinya atau budak perempuannya pada liang anusnya. Yang demikian itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, juga dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya. Antara lain lelaki mengawini sesamajenisnya, yang demikian itu merupakan perbuatan yang diharamkan dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan antara lain ialah perempuan mengawini sesama jenisnya, padahal yang demikian itu merupakan perbuatan yang dimurkai dan diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak diterima salatnya selama masih tetap melakukan perbuatannya yang terkutuk itu, sampai mereka bertobat kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Zur mengatakan bahwa lalu ia bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b, "Apakah yang dimaksud dengan tobat yang semurni-murninya?" Maka Ubay ibnu Ka'b menjawab, bahwa ia pernah menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. menjawab:

"هُوَ النَّدَمُ عَلَى الذَّنْبِ حينَ يَفرطُ مِنْكَ، فتستغفرُ اللَّهَ بِنَدَامَتِكَ مِنْهُ عِنْدَ الْحَاضِرِ، ثُمَّ لَا تَعُودُ إِلَيْهِ أَبَدًا"

Penyesalan atas perbuatan dosa manakala kamu telah mengerjakannya, lalu kamu memohon ampunan kepada Allah dengan penyesalanmu itu di waktu seketika, kemudian kamu bertekad untuk tidak mengulanginya lagi selama-lamanya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Amr ibnul Ala; ia pernah mendengar Al-Hasan mengatakan bahwa tobat yang semurni-murninya ialah bila kamu berbalik membenci dosa sebagaimana kamu menyukainya sebelum itu, lalu kamu memohon ampun kepada Allah bila kamu teringat kepadanya. Apabila seseorang telah bertekad untuk tobat dan meneguhkan pendiriannya pada tobatnya, maka sesungguhnya tobatnya itu dapat menghapus semua dosa yang sebelumnya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih, yaitu:

"الْإِسْلَامُ يَجُب مَا قَبْلَهُ، وَالتَّوْبَةُ تَجُبُّ مَا قَبْلَهَا"

Islam menghapuskan semua dosa yang sebelumnya, dan tobat menghapuskan dosa yang sebelumnya.

Apakah syarat tobat yang semurni-murninya itu mempunyai pengertian keberlangsungan dalam keadaan demikian sampai mati, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis dan asar, kemudian tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya? Ataukah cukup hanya dengan tekad bahwa ia tidak akan memikirkan masa lalunya, hingga manakala ia terjerumus lagi ke dalam perbuatan dosa sesudah tobatnya itu, maka hal tersebut tidak mempengaruhi penghapusan dosa yang telah dilakukannya? Sebab makna umum yang terkandung di dalam sabda Nabi Saw. mengatakan: Tobat dapat menghapuskan dosa yang sebelumnya.

Bagi pendapat yang pertama, dalil yang menguatkannya disebutkan di dalam kitab sahih pula, yaitu:

"مَن أحسنَ فِي الْإِسْلَامِ لَمْ يُؤاخَذ بِمَا عَمِلَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَمَنْ أَسَاءَ فِي الْإِسْلَامِ أُخِذَ بِالْأَوَّلِ وَالْآخِرِ"

Barang siapa yang berbuat baik dalam Islam, maka ia tidak akan dihukum karena apa yang telah dilakukannya di masa Jahiliah. Dan barang siapa yang berbuat buruk dalam masa Islamnya, maka ia dihukum karena perbuatan buruk di masa awal dan akhirnya.

Untuk itu apabila hal ini dalam Islam lebih kuat daripada tobat, maka terlebih lagi dalam masalah tobat; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah Swt.:

{عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}

mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (At-Tahrim: 8)

Kalau lafaz 'asa yang artinya mudah-mudahan bila dari Allah berarti suatu kepastian.

{يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ}

pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia.(At-Tahrim: 8)

Yakni Allah tidak mengecewakan mereka yang bersama dengan Nabi di hari kiamat.

{نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ}

sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka. (At-Tahrim: 8)

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tafsir surat Al-Hadid.

{يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}

sambil mereka mengatakan, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrim: 8)

Mujahid, Ad-Dahhak, Al-Hasan Al-Basri, dan lain-lainnya mengatakan bahwa inilah perkataan orang-orang mukmin ketika mereka melihat di hari kiamat cahaya orang-orang munafik padam.

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْحَاقَ الطَالَقَانِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ حَسَّانَ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي كِنَانَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ، لَا تُخْزِنِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ishaq At-Taliqani, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yahya ibnu Hassan, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Kinanah yang mengatakan bahwa ia pernah salat di belakang Rasulullah Saw. pada hari penaklukan Mekah, lalu ia mendengar beliau Saw. membaca doa berikut, yaitu: Ya Allah, janganlah Engkau hinakan aku pada hari kiamat.

قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الْمَرْوَزِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا ابْنِ لَهِيعة، حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا ذَرٍّ وَأَبَا الدَّرْدَاءِ قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أنا أَوَّلُ مَنْ يُؤْذَنُ لَهُ فِي السُّجُودِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ يُؤْذَنُ لَهُ بِرَفْعِ رَأْسِهِ، فأنظرُ بَيْنَ يَدَيّ فَأَعْرِفُ أُمَّتِي مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ، وَأَنْظُرُ عَنْ يَمِينِي فَأَعْرِفُ أُمَّتِي مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ، وَأَنْظُرُ عَنْ شِمَالِي فَأَعْرِفُ أُمَّتِي مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ". فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ تَعْرِفُ أُمَّتَكَ مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ. قَالَ: "غُرٌّ مُحجلون مِنْ آثَارِ الطُّهور وَلَا يَكُونُ أَحَدٌ مِنَ الْأُمَمِ كَذَلِكَ غَيْرُهُمْ، وَأَعْرِفُهُمْ أَنَّهُمْ يؤتَون كُتُبَهُمْ بِأَيْمَانِهِمْ، وَأَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ، وَأَعْرِفُهُمْ بِنُورِهِمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ"

Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil Al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib, dari Abdur Rahman ibnu Jubair ibnu Nafir, bahwa ia pernah mendengar Abu Zar dan Abud Darda mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Aku adalah orangyang mula-mula diberi izin baginya untuk bersujud di hari kiamat, dan orang yang mula-mula diberi izin untuk mengangkat kepalanya, lalu aku memandang ke arah depanku, maka aku mengenal umatku di antara umat-umat lainnya. Dan aku melihat ke arah kananku, maka aku mengenal umatku di antara umat-umat lainnya. Dan aku memandang ke arah kiriku, maka aku mengenal umatku di antara umat-umat lainnya. Maka ada seorang lelaki yang bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah engkau mengenal umatmu di antara umat-umat lainnya?" Rasulullah Saw. menjawab: Anggota tubuh mereka kelihatan bercahaya kemilauan karena bekas air wudu, dan hal itu tidak dimiliki oleh seorang pun dari kalangan umat lain yang selain mereka. Dan aku mengenal mereka karena kitab-kitab catatan amal perbuatan mereka diberikan dari arah kanannya. Dan aku mengenal mereka melalui tanda yang ada pada kening mereka dari bekas sujudnya. Dan aku mengenal mereka karena nur (cahaya) nya bersinar di hadapan mereka.

Taubat Nasuha adalah bertaubat dari dosa yang diperbuat saat ini dan menyesal atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan berniat sepenuh hati untuk tidak melakukannya lagi di masa medatang. Apabila dosa atau kesalahan tersebut terhadap esama manusia (haqqul adami), maka caranya adalah dengan meminta maaf yang dizalimi selain hal-hal yang disebut.

SYARAT DAN TATA CARA TAUBAT NASUHA

Ada 2 (dua) tipe dosa kesalahan yang dilakukan oleh manusia yaitu dosa kepada Allah dan dosa atau salah kepada sesama manusia (haqqul adami). Rincian tata tacara tobatnya sebagai berikut:

TAUBAT ATAS DOSA KEPADA ALLAH

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 mengatakan bahwa ada 3 (tiga) syarat dalam melaksanakan taubat nasuha atas dosa yang dilakukan kepada Allah:

اعلم أن كل من ارتكب معصية لزمه المبادرة إلى التوبة منها ، والتوبة من حقوق الله تعالى يشترط فيها ثلاثة أشياء : أن يقلع عن المعصية في الحال . وأن يندم على فعلها . وأن يعزم ألا يعود إليها .

Ketahuilah bahwa setiap orang yang melaksanakan dosa maka wajib baginya segera melakukan taubat (nasuha). Adapun taubat dari dosa kepada Allah (haqqullah) ada tiga syarat:
Pertama, berhenti dari perbuatan dosa itu seketika itu juga.
Kedua, menyesali perbuatannya.
Ketiga, berniat tidak mengulangi lagi.

Apabila tidak terpenuhi ketiga syarat di atas, maka tidak sah taubatnya.

TAUBAT DARI DOSA PADA SESAMA MANUSIA (HAQQUL ADAMI)

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 menyatakan cara taubat dari dosa yang bersifat haqqul adami atau pada manusia adalah sebagai berikut:

Pertama, meninggalkan perilaku dosa itu sendiri
Kedua, menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukan.
Ketiga, berniat tidak melakukannya lagi selamanya.
Keempat, membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi dg cara sbb:
(a) Apabila menyangkut harta dengan cara mengembalikan harta tersebut;
(b) Apabila menyangkut non-materi seperti pernah memfitnah, ngerasani (ghibah), dll maka hendaknya meminta maaf kepada yang bersangkutan.

Bertaubat pada sebagian dosa tertentu adalah sah pada dosa tersebut sedang dosa yang lain masih tetap demikian pendapat ahlul haq.

Selain itu, taubat nasuha hendaknya diiringi dengan amal perbuatan yang baik sebagai penebus dosa seperti memperbanyak infaq dan sedekah kepada fakir miskin, yatim piatu atau yayasan sosial Islam seperti masjid dan pesantren serta amal ibadah sunnah yang lain.

HARUSKAH MEMBERI TAHU DAN MENYEBUT JENIS KESALAHAN SAAT MEMINTA MAAF PADA SESAMA MANUSIA?

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 menyebutkan ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi'i sebagai berikut:

فيه وجهان لأصحاب الشافعي رحمهم الله :

أحدهما : يشترط بيانه ، فإن أبرأه من غير بيانه ، لم يصح كما لو أبرأه عن مال مجهول .
والثاني : لا يشترط ، لأن هذا مما يتسامح فيه ، فلا يشترط علمه ، بخلاف المال .

والأول أظهر ، لأن الإنسان قد يسمح بالعفو عن غيبة دون غيبة .

فإن كان صاحب الغيبة ميتاً أو غائباً ، فقد تعذر تحصيل البراءة منها ، لكن قال العلماء : ينبغي أن يكثر الاستغفار له ، والدعاء ، ويكثر من الحسنات .


Artinya: Ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi'i.
Pertama, disyaratkan menyebutkan jenis kesalahan yang dilakukan. Apabila yang dizalimi memaafkan tanpa perlu, maka tidak sah sebagaimana orang membebaskan hutang dari harta yang tidak diketahui.

Kedua, tidak disyaratkan menyebut kesalahannya karena hal ini termasuk dari perkara yang diminta maaf, maka tidak disyaratkan tahunya yang dizalimi, beda halnya dengan harta.

Pendapat pertama adalah lebih jelas karena manusia terkadang memaafkan dari suatu ghibah tapi tidak dari ghibah yang lain.

Apabila orang yang digosipi itu meninggal atau tidak diketahui tempatnya, maka tidak perlu meminta maaf darinya. Akan tetapi ulama berkata: Sebaiknya memperbanyak memintakan maaf buat dia, mendoakannya dan memperbanyak beruat baik.

Ibnu Muflih dalam Al-Adab Al-Syar'iyah 1/92 menyatakan:
"Menurut satu pendapat (yang wajib meminta maaf) apabila orang yang dizalimi itu diketahui keberadaannya, apabila tidak diketahui, maka si penggosip hendaknya mendoakannya, dan meminta pengampunan atasnya. Menurut Syaikh Taqiuddin ini adalah pendapat kebanyakan ulama.

Apabila seseorang bertaubat dari perbuatan gosip (ghibah) atau menuduh zina, apakah disyaratkan memberitahu orang digosipi atau yang dituduh dan meminta maaf? Ada dua pendapat. Menurut Al-Qadhi tidak wajib memberitahu dan meminta maaf (a) berdasarkan sebuah hadis dari riwayat Abu Muhammad Al-Khilal dengan sanad dari Anas bin Malik; (b) dan karena memberitahu orang yang digosipi akan menimbulkan rasa sedih padanya.

Ulama mazhab Hanbali memilih pendapat kedua yakni tidak perlu memberitahu orang yang digosipi dan hendaknya didoakan baik sebagai ganti atas kezaliman yang dilakukan sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah atsar (perkataan Sahabat)."

HUKUM MEMBERI MAAF KESALAHAN ORANG LAIN

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 berkata:

واعلم أنه يستحب لصاحب الغيبة أن يبرئه منها ، ولا يجب عليه ذلك لأنه تبرع وإسقاط حق ، فكان إلى خيرته ، ولكن يستحب له استحباباً متأكداً الإبراء ، ليخلص أخاه المسلم من وبال المعصية ، ويفوز هو بعظيم ثواب الله تعالى ومحبة الله سبحانه وتعالى . انتهى وهو قول الشافعي

Artinya: Ketahuilah bahwa hukumnya sunnah bagi orang yang digosipi (sohibul ghibah) untuk memaafkan kesalahan orang yang menggosipinya. Namun hal itu tidak wajib karena hal itu adalah perbuatan baik yang merupakan hak baginya. Maka hal itu menjadi kebaikannya. Akan tetapi disunnahkan baginya untuk memaafkan kesalahan orang lain dengan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) supaya dia dapat menyucikan saudaranya sesama muslim dari perbuatan maksiat. Apabila memaafkan, maka dia akan beruntung mendapatkan pahala besar dan cinta dari Allah. Ini adalah pernyataan Imam Syafi'i.

HUKUM TAUBAT NASUHA

Hukum taubat nasuha adalah wajib berdasarkan pada perintah dalam beberapa ayat Quran di atas seperti dalam QS At-Tahrim :8; Ali Imron :133-134 dan ulama sepakat (ijmak) atas wajibnya seorang muslim bertaubat atas dosa yang dilakukannya.

TANDA TAUBAT YANG DITERIMA

Taubat yang diterima dapat ditandai dengan perubahan perilaku orang yang bertaubat dalam segi meninggalkan perbuatan dosa dan taat menjalankan perintah Allah. Selain itu, ia semakin meningkat ghirah atau spirit Islamnya dengan mendasarkan segala perbuatannya pada pertimbangan syariah Islam.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar