Sabtu, 03 Februari 2018

Duduk Tasyahhud Pada Sholat Dua Raka'at

Telah berselisih para ulama dalam masalah sifat duduk Tasyahhud di dalam shalat yang dua raka’at seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua rakaat, apakah sifat duduknya iftirasy seperti duduk di antara dua sujud, atau tawarruk?

Sebagian ulama berpendapat bahwa : Setiap shalat yang dua raka’at atau dengan kata lain setiap shalat yang hanya ada satu tasyahhudnya saja, seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua raka’at, sifat duduknya adalah iftirasy seperti duduk di antara dua sujud.

Dalil meraka ialah kemutlakan hadits-hadits atau riwayat yang menjelaskan bahwa hukum asal sifat duduk di dalam shalat adalah iftirasy. Kecuali shalat-shalat yang ada dua tasyahhud-nya seperti shalat zhuhur, ashar, maghrib, isyaa’, dan shalat-shalat sunat yang empat raka’at, maka duduk akhirnya tawarruk.

Ringkasnya, kalau shalat itu dua raka’at maka kembali kepada hukum asal sifat duduk di dalam shalat yaitu iftirasy. Dan kalau shalat itu mempunyai dua tasyahhud, maka sifat duduk tasyahhud awal adalah iftirasy, sedangkan tasyahhud akhir sifat duduknya tawarruk.

Namun pada kesempatan kali ini penulis mencoba untuk menjelaskan khilaf yang kuat antara madzhab Imam Ahmad dan madzhab Syafi'i. Tentunya masing-masing madzhab sama-sama memiliki dalil yang kuat. Oleh karenanya tulisan ini hanya usaha kecil dari penulis untuk memandang yang terkuat dari dua pendapat tersebut -tentunya menurut hemat penulis yang lemah ini-. Dan tulisan berikut ini tidak pantas dikatakan sebagai bantahan terhadap tulisan-tulisan yang bagus yang telah ada tentang permasalahan ini, akan tetapi hanya sebagai tambahan wacana bagi para pembaca yang budiman. Oleh karenanya tidak pantas jika kita menuduh bahwa orang yang berselisih dengan kita dalam permasalahan ini bahwa ia "pada hakekatnya tidak memberikan hak yang semestinya terhadap pembahasan ini", karena masing-masing telah berusaha berdalil dan berijtihad dalam memahami dalil, dan toh permasalahan ini adalah permasalahan khilaf klasik yang sejak dulu telah ada. Semoga Allah senantiasa merahmati para ulama yang berusaha memudahkan pemahaman agama kepada masyarakat.

Catatan : Madzhab As-Syafi'i dan madzhab Hanbali bersepakat bahwa untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka tasyahhud awal dengan duduk iftirosy dan tasyahhud kedua dengan duduk tawarruk. Khilaf yang terjadi diantara kedua madzhab ini adalah pada sholat-sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at, apakah dengan duduk iftirosy ataukah dengan duduk tawarruk.

Pendapat Madzhab As-Syafi'i
Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa duduk pada setiap rakaat yang terakhir baik sholat yang memiliki dua tasyahhud (seperti sholat dhuhur, ashar, magrib, dan isyaa') maupun sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud (seperti sholat subuh, sholat jum'at,  sholat witir satu rakaat, atau sholat-sholat sunnah 2 rakaat) maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.

Dalil yang dikemukakan oleh madzhab As-Syafi'i adalah hadits Abu Humaid As-Sa'idi

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.

”Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Aku melihatnya tatkala bertakbir , menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya , maka ia berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk). (HR Al-Bukhari no 828).

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيث حُجَّة قَوِيَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَة الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل مُغَايِرَة لِهَيْئَةِ الْجُلُوس فِي الْأَخِير ، وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّة وَالْحَنَفِيَّة فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ، لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّة : يَتَوَرَّك فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّد الْأَخِير ، وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ . وَقَدْ قِيلَ فِي حِكْمَة الْمُغَايَرَة بَيْنهمَا أَنَّهُ أَقْرَب إِلَى عَدَم اِشْتِبَاه عَدَد الرَّكَعَات ، وَلِأَنَّ الْأَوَّل تَعْقُبهُ حَرَكَة بِخِلَافِ الثَّانِي ، وَلِأَنَّ الْمَسْبُوق إِذَا رَآهُ عَلِمَ قَدْر مَا سُبِقَ بِهِ ، وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّد الصُّبْح كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِير مِنْ غَيْره لِعُمُومِ قَوْلُهُ ” فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة ” ، وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عَنْهُ اِخْتِصَاص التَّوَرُّك بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ

“Hadits ini merupakan argumen yang kuat bagi Imam Asy Syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa keadaan duduk pada tasyahud awwal berbeda dengan duduk pada tasyahud terakhir. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama. Ulama Malikiyyah berpendapat, duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama-sama tawarruk. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya, keduanya sama-sama duduk iftirosy.

Ada yang berpendapat bahwa mengapa berbeda antara tasyahud awwal dan akhir karena hikmahnya adalah supaya bisa membedakan jumlah raka’at. Tasyahud awwal masih ada gerakan setelah itu, sedangkan tasyahud akhir tidak demikian. Begitu pula jika ada makmum masbuq (yang telat datang), maka ia dapat mengetahui berapa raka’at yang telah dilakukan (oleh jama’ah). Imam Asy Syafi’i juga beralasan bahwa duduk tasyahud ketika shalat Shubuh sama dengan keadaan tasyahud akhir untuk shalat lainnya karena dalilnya umum yaitu disebutkan dalam hadits,

فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة

“Di raka’at terakhir.”

Imam Ahmad sendiri memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun yang masyhur dari beliau, dikhususkan duduk tawarruk ketika tasyahud akhir pada shalat yang memiliki dua kali tasyahud.” [Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 2/309].

Al-Imam An-Nawawi berkata, "Imam As-Syafi'i dan para sahabat kami (dari madzhab As-Syafi'i) berkata:

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالأَصْحَابُ : فَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيْحٌ فِي اْلفَرْقِ بَيْنَ التَّشَهُّدَيْنِ. وَبَاقِيَ اْلأَحَادِيْثُ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمَلَهَا عَلَى مُوَافَقَتِهِ, فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ اْلجُلُوْسَ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ, وَمَنْ رَوَى اْلاِفْتِرَاشَ أَرَادَ اْلأَوَّلَ. وَهذَا مُتَعَيِّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ لاَ سِيَمَا وَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

”Hadits Abu Humaid dan para shahabatnya jelas membedakan antara dua duduk tasyahhud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlak, sehingga wajib untuk dibawakan sesuai dengan hadits ini (hadits Abu Humaid-pen). Barang siapa yang meriwayatkan hadits duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk pada tasyahhud akhir, dan yang meriwayatkan duduk iftirasy , yang dimaksud adalah tasyahhud awal. dan harus dilakukan untuk menggabungkan antara hadits-hadits yang shahih, terlebih lagi hadits Abu Humaid As-Sa’idi telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar shahabat radhiallahu anhum. Wallahu a’lam”. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/413)

Hadits Abu Humaid ini juga datang dalam lafal-lafal yang lain yang semakin memperkuat madzhab As-Syafi'i. Diantara lafal-lafal tersebut adalah:

حتى إذا كانت السَّجْدَةُ التي فيها التَّسْلِيمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا على شِقِّهِ الْأَيْسَرِ

"Hingga tatkala sampai sujud yang terakhir yang ada salamnyamaka Nabi mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawaruuk di atas sisi kiri beliau" (HR Abu Dawud no 963 dan Ibnu Maajah no 1061)

Diantaranya juga

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةَ الصَّلاَةِ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهُمَا وَأَخَّرَ رِجْلَهُ وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى رِجْلِهِ

"Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup sholat, maka beliau mengangkat kepala beliau dari dua sujud tersebut dan mengeluarkan kaki beliau dan duduk tawarruk di atas kakinya" (HR Ibnu Hibbaan no 1870)

Diantaranya juga

إذا كان في الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ على شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

"Jika Nabi berada pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat maka Nabi mengakhirkan kaki kirinya dan duduk tawaruuk di atas sisi beliau kemudian beliau salam" (HR An-Nasaai no 1262)

Sisi pendalilan madzhab As-Syafi'i:

Sisi pendalilan mereka adalah keumumann dari lafal-lafal yang datang dalam hadits Abu Humaid As-Sa'idi diatas seperti " dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir", "sujud yang terakhir yang ada salamnya", "sujud yang merupakan penutup sholat" dan "pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat". Lafal-lafal ini umum mencakup seluruh tasyahhud di rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat, apakah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud ataukah sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at.

Al Mubarakfuri rahimahullah berkata,

وَالْإِنْصَافُ أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ حَدِيثٌ يَدُلُّ صَرِيحًا عَلَى اِسْتِنَانِ الْجُلُوسِ عَلَى الرِّجْلِ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَةِ الْأَخِيرَةِ ، وَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ مُفَصَّلٌ فَلْيُحْمَلْ الْمُبْهَمُ عَلَى الْمُفَصَّلِ اِنْتَهَى .

“Pendapat yang lebih tepat, tidak didapatkan satu pun hadits yang menunjukkan secara gamblang tentang disunnahkannya duduk di atas kaki kiri (duduk iftirasy) pada duduk tasyahud terakhir. Hadits Abu Humaid jelas sudah terperinci. Sehingga hadits yang bersifat global dibawa maknanya kepada yang terperinci.”[Tuhfatul Ahwadzi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 2/156].

Abuth Thoyyib rahimahullah berkata,

وَفِي حَدِيث أَبِي حُمَيْدٍ حُجَّة قَوِيَّة صَرِيحَة عَلَى أَنَّ الْمَسْنُون فِي الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل الِافْتِرَاش وَفِي الْجُلُوس فِي الْأَخِير التَّوَرُّك وَهُوَ مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَهُوَ الْحَقّ عِنْدِي وَاَللَّه تَعَالَى أَعْلَم .

“Di dalam hadits Abu Humaid, hadits tersebut merupakan argumen yang amat kuat dan tegas bahwa yang disunnahkan pada duduk tasyahud awwal adalah iftirosy dan duduk tasyahhud akhir adalah tawarruk. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i. Inilah yang menurutku lebih tepat. Wallahu Ta’ala a’lam. ”[Aunul Ma’bud, Aabadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415, 3/171].

Asy-Syaukani  rahimahullah mengatakan:

وَالتَّفْصِيلُ الَّذِي ذَهَبَ إلَيْهِ أَحْمَدُ يَرُدُّهُ قَوْلُ أَبِي حُمَيْدٍ فِي حَدِيثِهِ الْآتِي { فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ } . وَفِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُد حَتَّى { إذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ }

“Pendapat yang dirinci oleh Imam Ahmad tertolak sendirinya dengan ucapan Abu Humaid dalam haditsnya “jika duduk pada raka’at terakhir”, dan pada riwayat Abu Dawud “hingga pada raka’at yang padanya terdapat salam”.[Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ Al Islam, 4/15].

Pendapat Imam Asy Syafi’i ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

فَفِيْ الصَّلاَةِ أَرْبَعُ جَلَسَاتٍ : جِلْسَةُ بَيْنَ كُلِّ سَجْدَتَيْنِ, وَجِلْسَةُ إِثْرِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَّةِ مِنْ كُلِّ رَكْعَةٍ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ بَعْدَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ, يَقُوْمُ مِنْهَا إِلىَ الثَّالِثَةِ فِيْ اْلمَغْرِبِ, وَاْلحَاضِرُ فِيْ الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَاْلعِشَاءِ اْلآخِرَةِ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ فِيْ آخِرِ كُلِّ صَلاَةٍ, يُسَلِّمُ فِيْ آخِرِهَا. وَصِفَةُ جَمِيْعِ اْلجُلُوْسِ اْلمَذْكُوْرِ أَنْ يَجْعَلَ أَلِيْتِهِ اْليُسْرَى عَلَى بَاطِنِ قَدَمِهِ اْليُسْرَى مُفَتَرِشًا لِقَدَمِهِ, وَيَنْصِبُ قَدَمَهُ اْليُمْنَى ,رَافِعًا لِعَقِبِهَا,مُجَلِّسُا لَهَا عَلَى بَاطِنِ أَصَابِعِها, إِلاَّ اْلجُلُوْس الّذِيْ يَلِي السَّلاَم مِنْ كُلِّ صَلاَةٍ, فَإِنَّ صِفَتَهُ أَنْ يَفْضِيَ بِمَقَاعِدِهِ إِلىَ مَا هُوَ جَالِسٌ عَلَيْهِ, وَلاَ يَجْلِس عَلىَ بَاطِنِ قَدَمِهِ فَقَطّ

“Di dalam shalat ada empat keadaan duduk, yaitu duduk di antara dua sujud, duduk setelah sujud kedua dari setiap raka’at (duduk istirahat, pen), duduk tasyahud setelah raka’at kedua (bangkit menuju raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan shalat muqim [orang yang menetap, tidak bersafar] pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya), dan duduk untuk tasyahud pada akhir setiap shalat yang dia mengucapkan salam pada akhirnya. Tata cara semua duduk yang disebutkan adalah dengan menjadikan bokong kirinya berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya tersebut, menegakkan kaki kanan, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas bagian dalam jari jemari (kakinya) tersebut (maksudnya, melakukan duduk iftirasy, pen). Kecuali untuk duduk yang diikuti dengan salam dari setiap shalat (duduk tasyahud akhir), maka caranya adalah dengan duduk di lantai, dan bukan duduk di atas telapak kaki kirinya (maksudnya, melakukan duduk tawarruk, pen).” (Al Muhalla, 4/125).


Pendapat Madzhab Hanbali
Untuk sholat yang hanya ada satu tasyahhud (seperti sholat subuh dan sholat jum'at) maka duduknya adalah duduk iftirosy.
Ibnu Qudaamah berkata, "Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud yaitu pada tasyahhud yang dedua" (al-Mughni 2/227)

Dalil Madzhab Hanbali adalah
Hadits Aisyah –radhiyallahu 'anhaa-, beliau berkata

وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Adalah beliau (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).”
(HR. Muslim no 498).

Hadits Abdullah bin Az-Zubair

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اْليُسْرَى، وَنَصَبَ اْليُمْنَى

“Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam –jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Hibban no 1943).

Hadits Wail bin Hujr – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى

“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)

Dalam lafal yang lain

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Tirmidzi  no 292).

Dalam lafal yang lain :

وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ

Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)

Sisi pendalilan madzhab Hanbali

Sisi pendalilan mereka adalah keumuman lafal-lafal hadits ini, dan semua lafal-lafal di atas termasuk lafal-lafal umum, seperti, "Ketika duduk", "Jika duduk", "Tatkala beliau duduk"

Catatan

Pertama : Apakah hadits yang dijadikan dalil oleh madzhab Asy-Syafi'i –yaitu hadits Abu Hamid As-Sa'idi- memberi faedah keumuman?
Jika merenungkan dan mengamati hadits ini, ternyata hadits ini adalah sebuah kisah yang disampaikan oleh Abu Humadi As-Sa'idi tentang jenis sholat tertentu, yaitu sholat yang memiliki dua tasyahhud. Hal ini Nampak sangat jelas jika kita kembali melihat lafal-lafal hadits ini. Oleh karenanya lafal-lafal yang datang yang seakan-akan memberi faedah keumuman pada hakekatnya adalah penjelas tentang sholat yang memiliki dua tasyahhud tersebut, dan tidak mencakup seluruh sholat.

Kedua : Dalil yang digunakan oleh madhab Hanbali keumumannya lebih kuat. Adapun hadits Aisyah keumumannya dari sisi فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ "Pada setiap dua rakaat". Disini ada lafal "كُلِّ", dan ini merupakan lafal yang kuat dalam menunjukan keumuman .
Demikian juga hadits Abdullah bin Zubair semakna dengan hadits Aisyah, hanya saja kemumumannya diambil dari lafal إِذَا "Jika" yaitu dalam lafal إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ "Nabi jika duduk di dua rakaat maka beliau duduk iftirosy". Hal ini menunjukan bahwa beliau duduk dengan iftirosy di setiap dua rakaat -secara umum baik pada sholat dua rakaat yang hanya memiliki satu tasyahhud atau pada sholat 3 atau 4 rakaat yang memiliki dua tasyahhud-.

Oleh karenanya madzhab Hanbali yang berdalil dengan hadits ini sama sekali tidak pernah menyebutkan tentang mafhuumul 'adad, karena memang mafhuumul 'adad lemah menurut para ulama ahli ushul.

Maksud dari mafhuum al-'adad:
Mafhuum al-'adad adalah salah satu jenis dari jenis-jenis mafhuum al-mukhoolafah (yaitu kebalikan dari suatu manthuuq/teks kalimat). Sebagai ceontoh misalnya hadits Nabi :"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan pahamkan agama baginya". Ini adalah manthuuq hadits, adapun mafhuum al-mukhoolafah dari hadits ini (yaitu makna kebalikannya) adalah ; Barang siapa yang tidak Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah tidak akan memahamkan agama baginya.
Contoh lain sabda Nabi :"Jika air telah mencapai dua kullah maka tidak akan ternajisi". Mafhuum al-mukhoolafahnya adalah : Jika air kurang dari dua kullah maka ternajisi"

Adapun mafhhum al-'adad yang merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah definisinya adalah :تعليق الحكم بعدد مخصوص Pengkaitan suatu hukum dengan bilangan tertentu (Ma'aalim ushuul al-fiqh hal 461)
Maka jika Aisyah berkata : “Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).”
Maka mafhuumul 'adad dari hadits ini yaitu : "Jika Rasulullah tidak duduk pada dua rakaat maka beliau tidak duduk iftirosy". Karena mafhuumul 'adad merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah.  Dan tidak ada seorangpun yang berdalil dengan hadits Aisyah ini –sepanjang penelitian penulis yang terbatas ini- dengan mafhuumul 'adad.

Peringatan 2:
Sebagian orang mengkhususkan keumuman hadits Aisyah diatas dengan hadits Rifa'ah yaitu sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam

فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ

“Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah thuma’ninah, dan hamparkan paha kirimu – agar engkau duduk diatasnya – (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud”
(HR. Abu Dawud dari Rifa’ah bin Rafi’).

Ketiga : Dalil yang dikemukakan oleh Madzhab Hanbali bukan hanya hadits Aisyah, ada hadits yang lainnya yang lebih umum lagi yaitu hadits Wail bin Hujr.

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى

“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)

Dalam lafal yang lain

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Tirmidzi  no 292).

Dalam lafal yang lain :

وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ
Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy. (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)

Penulis katakan bahwasanya hadits Wail bin Hujr lebih umum karena menjelaskan bahwasanya Nabi setiap duduk dalam sholat beliau duduk iftirosy. Mencakup segala bentuk duduk, apakah duduk diantara dua sujud, ataukah duduk istirohah, ataukah duduk tatkala sholat dua rakaat, ataukah duduk tatkala sholat satu rakaat.

Keempat : keumuman dalil-dalil yang digunakan oleh Hanabilah (seperti hadits Aisyah, Abdullah bin Az-Zubair dan Wail Bin Hujr) dikhususkan oleh madzhab Hanabilah dengan hadits Abu Humaid. Oleh karenanya meskipun hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwasanya Nabi duduk iftirossy pada setiap duduk beliau dalam sholat akan tetapi hadits tersebut dikhususkan dengan hadits Abu Humaid, sehingga untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka pada tasyahhud yang kedua dengan duduk tawarruk. Oleh karenanya Madzhab Hanabilah dan madzhab As-Syafi'i bersepakat dalam hal ini.

Adapun sholat yang memiliki hanya satu tasyahhud –baik sholat dua rakaat atau satu rakaat- maka tidak dikhususkan oleh hadits Abu Humaid, jadi kita kembalikan kepada asal keumuman hadits Wail bin Hujr bahwasanya Nabi jika duduk dalam sholat beliau duduk dengan duduk iftirosy.

Pertanyaan;

Jika pengkritik berkata, "Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?,
Bukankah Ibnu Umar berkata

إنما سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى

"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu" (HR Al-Bukhari no 793).
Ibnu Hajar telah menjelaskan bahwasanya meskipun hadits ini belum jelas tentang bagaimana cara Ibnu Umar melipat kaki kirinya, apakah dengan duduk iftirosy atauhkah dengan tawaruuk. Akan tetapi dalam riwayat yang lain dalam Muwatto' Imam Malik dijelaskan bahwasanya maksud cara melipatan kaki kiri tersebut adalah dengan duduk tawarruk (lihat Fathul Baari 2/306)

Adapun riwayat tersebut adalah sebagai berikut :

Dari Yahya bin Sa’id bahwasanya

أَنَّ الْقَاسِمَ بن مُحَمَّدٍ أَرَاهُمُ الْجُلُوسَ في التَّشَهُّدِ فَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وثني رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَجَلَسَ على وَرِكِهِ الأَيْسَرِ ولم يَجْلِسْ على قَدَمِهِ ثُمَّ قال أَرَانِي هذا عبد الله بن عبد الله بن عُمَرَ وَحَدَّثَنِي أَنَّ أَبَاهُ كان يَفْعَلُ ذلك

Al-Qasim bin Muhammad memperlihatkan kepada mereka cara duduk ketika tasyahhud, lalu beliau menegakkan kaki kanannya dan melipat kaki kirinya, dan duduk di atas pantat kirinya dan tidak duduk di atas kakinya. Lalu dia berkata: Abdullah bin Abdullah bin ‘Umar telah memperlihatkan kepadaku demikian, dan mengabariku bahwa ayahnya (Abdullah bin ‘Umar) melakukan yang demikian itu" (Al-Muwaththa”, dalam Bab: Al-’Amal Fil Juluus Fis Shalaah 1/90 no 202)

Jadi tidak diragukan lagi bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits diatas adalah duduk tawaruuk.
Lantas kenapa kalian tidak mengamalkan keumuman hadits Ibnu Umar ini sehingga kalian duduk tawaruuk pada setiap tasyahhud dalam sholat, termasuk pada sholat yang tasyahhudnya hanya satu?"

Jawab:
Apakah hadits Ibnu Umar ini bersifat umum?
Jawabannya sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwasanya ada dua riwayat yang lain yang menjelaskan akan hal ini. Satu riwayat dalam kitab Al-Muwatto menjelaskan bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits di atas adalah cara duduk tatkala tasyahhud terakhir. Beliau berkata

لِأَنَّ فِي الموطأ أَيْضًا عن عبد الله بن دينار التَّصْرِيْحُ بِأَنَّ جُلُوْسَ ابْنِ عُمَرَ الْمَذْكُوْرَ كَانَ فِي التَّشَهُّدِ الأَخِيْرِ

"Karena di dalam kitab Muwatto' juga dari Abdullah bin Diinaar menegaskan bahwa duduknya Ibnu Umar yang disebutkan dalam hadits di atas adalah pada tasyahhud yang terakhir" (Fathul Baari 2/306)

Adapun riwayat yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar adalah sbb:

عن مَالِكٍ عن عبد الله بن دِينَارٍ * أَنَّهُ سمع عَبْدَ الله بن عُمَرَ وَصَلَّى إلى جَنْبِهِ رَجُلٌ فلما جَلَسَ الرَّجُلُ في أَرْبَعٍ تَرَبَّعَ وثني رِجْلَيْهِ فلما انْصَرَفَ عبد الله عَابَ ذلك عليه فقال الرَّجُلُ فَإِنَّكَ تَفْعَلُ ذلك فقال عبد الله بن عُمَرَ فَإِنِّي أَشْتَكِي

Dari Imam Malik, dari Abdullah bin Diinaar bahwasanya ia mendengar Ibnu Umar, dan ada seseorang yang sholat di sisinya. Tatkala orang tersebut duduk di raka'at yang keempat maka diapun duduk bersila dan melipat kedua kakinya. Tatkala Ibnu Umar selesai sholat maka diapun menegur orang tersebut. Maka orang itupun berkata, "Engkau juga melakukan hal itu". Maka Ibnu Umar berkata, "Aku sedang sakit" (Al-Muwattho' 1/88 no 199)

Selain itu Ibnu Hajar juga menjelaskan ternyata ada riwayat yang lain dari Ibnu Umar yang maknanya sebaliknya, yaitu Nabi selalu duduk iftirosy. Beliau berkata

وَرَوَى النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيْقِ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ أن القاسم حدثه عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه قال مِنْ سُنَّةِ الصَّلاَةِ أَنْ يَنْصِبَ الْيُمْنَى وَيَجْلِسَ عَلَى الْيُسْرَى فإذا حملت هذه الرواية على التشهد الأول ورواية مالك على التشهد الأخير انتفى عنهما التعارض

"Dan An-Nasaai meriwayatkan dari jalan 'Amr bin Al-Haarits dari Yahyaa bin Sa'iid bahwasanya Al-Qoosim mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya (Ibnu Umar) berkata, "Termasuk sunnahnya sholat menegakkan kaki kanan dan duduk di atas kaki kiri". Maka jika riwayat ini dibawakan pada tasyahhud awal dan riwayat Imam Malik dibawakan pada tasyahhud akhir maka hilanglah pertentangan dari dua riwayat ini" (Fathul Baari 2/306, adapun riwayat tersebut diriwayatkan oleh Al-Nasaai dalam sunannya al-mujtabaa no 1158 dengan lafal من سُنَّةِ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَمَ الْيُمْنَى وَاسْتِقْبَالُهُ بِأَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ وَالْجُلُوسُ على الْيُسْرَ tatkala An-Nasaai menjelaskan tentang sifat tasyahhud awal)

Dari penjelasan Ibnu Hajar diatas jelaslah kurang tepatnya orang yang berkata "Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu ‘Umar mengatakan “sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Maka jika anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin ‘Umar secara umum,dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat"

Catatan sangat penting:

Para pembaca yang budiman, lihatlah bagaimana Ibnu Hajar bermu'amalah (mensikapi) hadits Ibnu Umar di atas. Beliau tidak langsung menilai bahwa lafal yang datang dalam hadits Ibnu Umar tersebut bersifat umum. Akan tetapi beliau berusaha mencari jalan-jalan dan riwayat-riwayat yang lain dari hadits Ibnu Umar ini agar jelas maksud hadits Ibnu Umar. Setelah beliau menemukan riwayat yang menjelaskan bahwa perkataan Ibnu Umar tersebut berkaitan dengan sebuah kejadian dimana Ibnu Umar duduk di raka'at yang keempat maka Ibnu Hajar membawa hadits tersebut dalam kondisi tasyahhud yang terakhir, yaitu bahwasanya duduk tawarruk yang disebutkan oleh Ibnu Umar adalah maksudnya pada duduk tasyahhud akhir.
Cara inilah yang sedang penulis tempuh. Karena hadits Abu Humaid As-Saa'idi menjelaskan tentang sebuah sholat tertentu yaitu yang memiliki dua tasyahhud dan beliau tidak sedang berbicara tentang semua jenis sholat, maka kita bawakan keumuman lafal yang disebutkan oleh Abu Humaid adalah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, sehingga duduk tawarruk dalam hadits Abu Humaid hanyalah berlaku pada tasyahhud kedua.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar