Rabu, 07 Februari 2018

Janganlah Meludah Sembarangan

Seorang muslim, sikapnya selalu ditimbang dengan dalil. Karenanya, ia paling semangat menuntut ilmu, untuk diamalkan dalam kehidupan keseharian. Diam dan geraknya selalu terkait dengan boleh atau tidak, pahala ataukah dosa.

Semakin ia terikat dengan hukum syariat, ketika itu pula jiwa penghambaannya kepada Allah semakin besar. Pada titik ideal, ia akan sampai kepada derajat Ihsan, mencapai muraqabatullah. Yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah.

Dahulu, Sufyan bin Said Ats Tsauri pernah mengatakan:

إنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَحُكَّ رَأْسَكَ إلَّا بِأَثَرٍ فَافْعَلْ

“Apabila engkau mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan dalil, maka lakukanlah!” [Al Jami’ li Akhlaqi Ar Rawi].

Memang, Islam adalah agama yang sempurna. Semuanya telah gamblang dijelaskan di dalamnya. Dari aktivitas paling ringan sampai urusan terbesar yang menyangkut umat seluruhnya. Semuanya tergariskan dengan jelas di sana. Masalahnya, kita mau belajar atau tidak.

Meludah, juga buang dahak pun ada aturannya. Bukan hanya sisi adab atau tinjauan kesehatan, bahkan syariat mengatur sedemikian rupa untuk maslahat bersama. Lebih dari itu, hikmahnya adalah untuk memuliakan syiar Islam. Nah, bagaimana keterangan dan pembahasannya seputar adab berikut sedikit bahasan tentangnya.

Ada beberapa hadits yang berkaitan dalam permasalahan ini, yaitu :

Hadits Pertama

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى بُصَاقًا فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ فَحَكَّهُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ: " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقُ قِبَلَ وَجْهِهِ، فَإِنَّ اللَّهَ قِبَلَ وَجْهِهِ إِذَا صَلَّى "

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ludah di dinding kiblat (masjid), lalu beliau menggosoknya (agar hilang). Kemudian menghadap ke orang-orang dan bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, janganlah meludah ke arah depan karena Allah berada di hadapannya ketika seseorang sedang shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 406, Muslim no. 547, An-Nasaa’iy no. 724, dan yang lainnya].

Hadits Kedua

عَنْ حُذَيْفَةَ أَظُنُّهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ تَفَلَ تُجَاهَ الْقِبْلَةِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَفْلُهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ....... "

Dari Hudzaifah – aku menyangkanya – dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang meludah ke arah kiblat, maka ia akan datang di hari kiamat dengan membawa ludah di antara dua matanya….” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3824, Ibnu Khuzaimah no. 925 & 1314 & 1663, Ibnu Hibbaan no. 1639, dan yang lainnya; dishahihkan sanadnya oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij-nya terhadap Shahiih Ibni Hibbaan 4/518].

Hadits Ketiga

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ، وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا "

Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Meludah di masjid adalah kesalahan, dan kaffaratnya adalah menimbunnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 415, Muslim no. 552, Abu Daawud no. 475, At-Tirmidziy no. 572, dan yang lainnya].

Hadits Keempat

عَنْ أَنَسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ، فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ، فَقَالَ: " إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ، فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ، وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ، ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ، ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ، فَقَالَ: أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا "

Dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di kiblat (dinding masjid). Beliau merasa terganggu akan hal tersebut hingga terlihat di wajah beliau. Lalu beliau berdiri dan menggosoknya dengan tangan beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian apabila berdiri dalam shalatnya, maka ia sedang bermunajat kapada Rabbnya – atau Rabbnya berada antara dia dan kiblat - . Maka, janganlah salah seorang di antara kalian meludah ke arah kiblat. Akan tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya”. Lalu beliau memegang ujung selendangnya dan meludah padanya, kemudian menggosok-gosokkan kainnya tersebut. Setelah itu beliau bersabda : “Atau melakukan yang seperti ini” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 405, Muslim no. 551, dan yang lainnya].

Hadits Kelima

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي جِدَارِ الْمَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَ حَصَاةً فَحَكَّهَا، فَقَالَ: " إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ، فَلَا يَتَنَخَّمَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ، وَلَا عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ الْيُسْرَى "

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’iid : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di dinding masjid. Lalu beliau mengambil kerikil dan membersihkannya (dengannya). Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian ingin membuang dahak, janganlah membuangnya ke arah depan (kiblat). Dan hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kaki kirinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 409 & 411].

Hadits Keenam

عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " عُرِضَتْ عَلَيَّ، أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا، فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا، الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ، وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِي أَعْمَالِهَا، النُّخَاعَةَ، تَكُونُ فِي الْمَسْجِدِ، لَا تُدْفَنُ "

Dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Diperlihatkan kepadaku amal-amal umatku yang baik dan yang buruk. Lantas aku dapati di antara amal-amal yang baik tersebut adalah menghilangkan gangguan dari jalan. Dan aku dapati di antara amal-amal yang buruk tersebut adalah meludah di masjid tanpa menguburnya (membersihkannya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 553, Ibnu Maajah no. 3683, dan yang lainnya].

Hadits Ketujuh

عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيُغَيِّبْ نُخَامَتَهُ، أَنْ تُصِيبَ جِلْدَ مُؤْمِنٍ أَوْ ثَوْبَهُ فَتُؤْذِيَهُ "

Dari Sa’d, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berdahak di masjid, hendaklah ia hilangkan dahaknya itu agar tidak mengenai kulit atau pakain orang lain sehingga menyakitinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/179, Ibnu Khuzaimah no. 1311, dan yang lainnya; hasan].

Pada bahasan hadits ini, kata ludah memiliki ragam variasi kata, sebagian hadits menyampaikannya dengan kata Al-Bashaq, burzaq, nuha’ah, dan At-Tapl. Meskipun demikian, maknanya tetap sama, yakni ludah. Disini ada perbedaan makna antara tafl dan burzaq. Bahwa tafl lebih ringan dari burzak. Meski demikian secara umum tetap dipahami sama, yakni kata-kata diatas menunjuk pada ludah , yakni air liur yang keluar dari mulut.

Kata masjid dalam hadits-hadits di atas berarti tempat ibadah, yakni sebuah bangunan yang biasa dijadikan tempat untuk melakukan shalat berjama’ah secara rutin. Dalam konteks kontemporer ada yang dinamakan mushalla, meski demikian mushalla bukanlah mesjid begitupun sebaliknya. Dua kata ini sangat berbeda. Dalam hadits ini yang disebutkan adalah mesjid.

Ada perbedaan aktivitas disini, yakni meludah di mesjid dalam konteks dan tidak dalam konteks sahalat. Jika pada saat shalat maka meludahnya harus ke sebelah kiri atau ke bawah dan dilarang meludah ke kanan. Ada perbedaan alasan antara imam nawawi dan ibnu hajar. Nawawi dengan alasan bahwa kanan sebagai penghormatan, sedangkan ibnu hajar melarang ke kanan karena di kanan ada malaikat.

Kata khati’ah menunjukan bahwa perbuatan tersebut adalah kesalahan. Meludah dalam keadaan demikian adalah dosa secara mutlaq dan dosanya berlipat. Namun, dosa disini adalah apabila ludah tersebut tidak dikubur.kata dosa dalam hal ini juga tidak dipahami hanya dari itu saja, melainkan karena adanya kafarat yang harus dibayar atau dilakukan bagi orang yang meludah di mesjid. Karena itu maka perbuatan meludah di mesjid adalah dosa dan harus di denda.

 Ada dua perbuatan yang dijelaskan dalam hal ini, yakni meludah di mesjid adalah kesalahan dan yang kedua adalah perintah meludah ke kiri atau ke bawah kaki. Menurut imam nawawi, yang pertama adalah umum, dan kedua khusus. Sedangkan pendapat kebanyakan dan paling kuat adalah pendapat Al-Qadi, yakni yang pertama adalah khusus dan kedua adalah umum. Berdasarkan hal itu, maka khusus dalam artian bahwa meludah di mesjid adalah dosa bagi orang yang tidak menguburnya. Sedangkan perkataan yang kedua adalah umum, yakni meludah jangan ke sebelah kanan.Dosa yang dijelaskan disini adalah bagi orang yang meninggalkannya dengan alasan bahwa ludah tersebut bisa menyakiti atau mengganggu muslim lainnya.

Dari segi kualitas, hadits-hadits yang menjelaskan tentang meludah di mesjid adalah hadits shahih, berarti hadits tersebut bisa dijadikan sebagai hujjah. Dalam hadits ini dijelaskan bahwa meludah adalah perbuatan dosa atau istilah lainnya kesalahan, dan dilanjutkan dengan penjelasan kafaratnya, yakni menguburnya.

Dalam hadits ini jika dianalisis berdasarkan kebahasaan maka bisa kita lihat bahwa kalimat hadits ini tidak mengandung unsur larangan yang beraplikasi pada keharaman. Kalimat hadits disampaikan dengan kalimat khabariyah yang menggunakan ataf bayan. Maka dalam hal ini ataf bayan berpungsi sebagai penjelas sebagaimana dalam redaksi tersebut bahwa dua kalimat khabariyah tersebut saling menjelaskan satu sama lain. Dalam hadits ini ada kata kafarat yang artinya denda. Dalam istilah hukum atau denda dimaksudkan untuk menebus suatu kesalahan, maka dalam konteks ini pula denda yang dimaksud adalah penebus kesalahan meludah di mesjid. Dari hal tersebut jelas bahwa meskipun dalam konteks kebahasaan tidak dijumpai larangan, namun istilah kafarat sebagai denda cukup bisa menjelaskan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa. Hukum ini sesuai dengan syarah hadits mengandung alasan (Ilat) menyakiti orang lain. Karena ludah bagaimanapun bisa membuat orang merasa jijik.

Maka dari hal ini bisa dipahami lebih lanjut bahwa meludah di mesjid bukanlah kebiasaan yang baik atau boleh dilakukan seenaknya. Banyak ayat yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan serta menyuruh masuk mesjid dengan pakaian bersih. dari keterangan tersebut bisa diambil sebuah alasan untuk melakukan perbuatan ini, yakni hanya sebuah keterpaksaan saja, jika dalam konteks tidak demikian, maka kurang baik untuk dilakukan. Bukan berarti juga karena dendanya ringan perbuatan ini dianggap sepele. Karena meludah di mesjid bagaimanapun mengotori mesjid, maka tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa.

Dari berbagai penjelasan di atas bisa disimpulkan makna hadits tersebut adalah larangan tentang meludah di mesjid dengan alasan menyakiti orang lain, karena alasan itulah perbuatan tersebut dikatakan sebagai dosa. Namun apabila terpaksa melakukannya, maka dendanya adalah menguburnya.

Terlepas dari masalah hukum tadi, bahwasanya bila hadits ini ditelusuri dengan pendekatan sosiologis, maka akan terjadi perubahan praktek atas denda ini. Pada mulanya, mesjid zaman Nabi hanya terdiri atas tanah, tanpa kramik atau tembok dan tidak berdinding, hanya atap dan tiang di samping-sampingnya. Maka denda dalam hukum ini adalah mengubur. Pertanyaan kemuadian adalah, “Bagaimana jika kondisi mesjid telah berusaha mengikuti konteks budaya? apakah masih dikubur dengan tanah?”

Untuk menjawab hal ini tentu perlu diberikan alasan logisnya. Pada dasarnya manusia bertindak sesuai dengan keadaan yang dihadapinya. Seperti bisa dipahami bahwa peperangan zaman dahulu menggunakan kuda, onta dan senjata sederhana, namun tidaklah demikian dengan sekarang. Peperangan sudah menggunakan alat-alat yang canggih. Dengan hal tersebut maka manusia dalam bertindak akan selalu dihadapkan dengan kondisi yang ia hadapi. Hal ini adalah suatu pilihan rasional, atau pilihan yang didsarkan atas nilai yang dicari dengan pertimbangan. Maka berdasarkan hal itu, tindakan mengubur juga dihadapkan dengan kondisi yang dihadapi saat itu. Dan pada saat itu yang berlaku dan yang bisa dilakukan memang demikian. Penggunaan air juga tidak memungkinkan karena daerah arab sangat tandus dan susah air, atau sering mengalami kekeringan.

Jika hal ini telah berubah, tindakan demikian tidaklah selaras lagi. Kondisi mesjid yang sudah sangat jauh dari zaman nabi sudah bisa dilihat. Bangunan mesjid sangatlah mewah dan tidak lagi menggunakan tanah, bahkan sudah memakai karpet, bukan keramik saja. Hal ini sudah sangat tidak memungkinkan adanya pelaksanaan denda mengubur bagi kafarat meludah di mesjid. Oleh karena itu hukum mengubur akan berganti menjadi membersihkan dengan air dan lap. Karena pilihan rasional yang bisa dilakukan sesuai dengan kondisi yang dihadapi adalah dengan hal itu.

Lebih lanjutnya, budaya masyarakat sudah berubah sangat jauh, kebiasaan meludah di mesjid sudah dianggap perbuatan yang kurang sopan karena memang kondisi sudah berubah jauh. Bila dahulu meludah adalah hal yang biasa karena kondisi mesjid masih menggunakan pasir sebagai alasnya, maka sekarang perbuatan meludah di mesjid sudah dianggap tidak sopan dengan melihat mesjid yang sudah lagi tidak berpasir. Hal ini memperlihatkan adanya perubahan hukum dan adat yang terjadi akibat perubahan budaya masyarakat.

Kebiasaan meludah bagi sebagian masyarakat bisa dianggap sudah kurang baik sekalipun dilaksanakan diluar ruangan. Anggapan masyarakat ini sekalipun dalam adat bisa dijadikan sebagai hujjah karena tidak bertentangan dengan nash-nash yang menyuruh kita untuk menjaga kebersihan apalagi di mesjid tempat beribadah. Dari hal ini, maka meludah di mesjid bisa saja memang dilarang karena sudah tidak sesuai dengan norma yang berlaku saat ini dimana masyarakat sudah tidak lagi melakukannya dan bahkan meninggalkannya. Penggunaan kalimat batas suci seperti halnya menandakan bahwa mesjid sangat dijaga kebersihannya. Memang ludah bukanlah barang kotor atau najis. Ulama juga mengatakan demikian bahwa ludah bukanlah najis, tapi perbuatan ini sudah dianggap salah oleh masyarakat dengan alasan mengotori mesjid dan tidak sopan atau melanggar etika yang berlaku. Dari paparan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa meludah di mesjid juga tidak lagi sejalan dengan kondisi yang dihadapi.

AIR LIUR NABI MUHAMMAD SHALLALLU ALAIHI WASALLAM

Bagi sebagian kalangan, air liur mungkin menjijikkan. Tetapi berbeda jika air liur itu berasal dari mulut orang paling mulia ini. disebutkan dalam sebuah riwayat:

عن سهل بن سعد رضي الله عنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول يوم خيبر لأعطين الراية رجلا يفتح الله على يديه فقاموا يرجون لذلك أيهم يعطى فغدوا وكلهم يرجو أن يعطى فقال أين علي فقيل يشتكي عينيه فأمر فدعي له فبصق في عينيه فبرأ مكانه حتى كأنه لم يكن به شيء  (الحديث)

Artinya: “Dari sahal bin saad radliyaAllhu anhu bahwa dia mendengar Nabi bersabda ketika perang khoibar, saya akan berikan bendera ini kepada seseorang yang Allah akan memberikan kemenangan di tangannya. Maka para sahabat berdiri dan berharap akan mendapatkan kehormatan itu. Lantas Nabi bersabda, dimanakah ali berada?. Para sahabat menjawab, dia sedang sakit mata wahai Nabi!. Maka Nabi memanggil Ali lalu diludahilah kedua mata Ali sampai akhirnya mata Ali sembuh seperti sedia kala” Al-hadits.

Dalam hadits lain disebutkan:

وعن عبد الله بن بريدة قال : سمعت أبي يقول : إن رسول الله صلى الله عليه و سلم تفل في رجل عمرو بن معاذ حين قطعت رجله فبرأ .رواه ابن حبان و إسناده حسن

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah berkata, saya mendengar bapak saya berkata bahwa nabi Muhammad pernah meludahi [tafala: meludahi tanpa keluar ludah] seorang laki-laki bernama Umar bin Mu’adz ketika kakinya patah dan akhirnya sembuh”.

Bahkan lebih ekstrim lagi para sahabat Nabi dahulu berebut dan hampir saling bunuh gara-gara berebut atsar atau barang bekas Nabi Muhammad shallaAllahu alihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits yang panjang mengenai perang Hudaibiyyah disebutkan:

عن المسور بن مخرمة، ومروان بن الحكم : يصدق كل واحد منهما حديث صاحبه قالا: خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم زمان الحديبية في بضع عشرة مائة من أصحابه .... ثم إن عروة جعل يرمق النبي صلى الله عليه وسلم بعينه، قال: فوالله ما تنخم رسول الله صلى الله عليه وسلم نخامة إلا وقعت في كف رجل منهم، فدلك بها وجهه وجلده، وإذا أمرهم ابتدروا أمره، وإذا توضأ كادوا يقتتلون على وضوئه، وإذا تكلموا، خفضوا أصواتهم عنده، وما يحدون إليه النظر تعظيما له ( الحديث).

Artinya: “Diriwayatkan dari Miswar bin makhzumah dan Marwan bin Hakam yang mereka saling membenarkan perkataan temannya, berkata: Rasulullah keluar bersama seribuan lebih sahabatnya dalam perang Hudaibiyah… Kemudian Urwah mulai memperhatikan para sahabat Nabi dengan kedua matanya. Ia berkata,"Demi Allah! Tidaklah Rasulullah mengeluarkan dahak, kecuali mengenai satu telapak seorang dari mereka, lalu menggosokkannya ke wajah dan kulitnya. Dan jika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka, maka mereka segera melaksanakannya. Juga jila beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, maka mereka seakan-akan berperang memperebutkan sisa air wudhunya. Dan jika berbicara, mereka merendahkan suara-suara mereka. Mereka tidak memandang langsung Rasulullah karena mengagungkannya.”

Sama sekali ini bukanlah Ghuluw atau berlebih-lebihan dalam mencintai Nabi. Para shahabat pun bertabarruk dengan atsar-atsar Nabi Muhammad ShallaAllahu alaihi wa sallam.  bagaimana para sahabat dahulu berlomba mendapatkan barang dari Nabi InsyaAllah.

Sesuatu yang sepele tak semestinya disepelekan. Jangan sampai di akhirat nanti kita malu gara-gara ada ludah menempel di muka. Memperjuangkan wong cilik juga tak harus dengan cara anarkis apalagi menggunakan cara-cara yang memang dilarang syariat, seperti menghina, mengumpat, menjatuhkan, memfitnah, atau merusak fasilitas umum. Memperbaiki keburukan tak seharusnya dengan hal yang buruk pula. Dan yang penting lagi, jangan meludah di sembarang tempat apalagi di muka orang lain.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar