Jumat, 16 Maret 2018

Tuma'ninah Rukun Dalam Sholat Yang Sering Diabaikan

Sekedar mengingatkan bahwa islam lebih mengutamakan kualitas ibadah dari pada kuantitas ibadah. Sederhana namun bagus, lebih berharga dari pada banyak namun tanpa nilai. Allah berfirman,

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. Al-Kahfi: 7)

Di ayat lain, Allah juga berfirman,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk: 2).

Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan,

ليختبركم { أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا } ولم يقل: أكثر عملا بل { أَحْسَنُ عَمَلا } ولا يكون العمل حسنا حتى يكون خالصا لله عز وجل، على شريعة رسول الله صلى الله عليه وسلم. فمتى فقد العمل واحدا من هذين الشرطين بطل وحبط

Allah menguji kalian siapa diantara kalian yang paling bagus amalnya. Allah tidak berfirman, ’siapa yang paling banyak amalnya’ namun yang Allah firmankan, ’Siapa yang paling bagus amalnya.’ Dan amal belum disebut bagus, hingga dikerjakan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai petunjuk syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak ada salah satu dari dua syarat ini, maka amal itu statusnya batal dan hilang. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/308).

Oleh karena itu, para ulama sahabat, lebih menyukai bersikap sederhana ketika beramal. Dari pada berlebihan, namun tidak sesuai sunah. Karena mereka memahami, kualitas amal lebih diutamakan dari pada kuantitasnya.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

الاقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الاجْتِهَادِ فِي بِدْعَةٍ

“Sederhana dalam mengikuti Sunnah itu jauh lebih baik dari pada berlebih-lebihan dalam mengerjakan amalan-amalan baru yang tidak pernah dicontohkan Nabi.” (as-Sunah karya al-Maruzi, no. 75).

Orang yang mengerjakan shalat, namun dia tidak thumakninah, shalatnya batal dan tidak dinilai.

Tuma’ninah dalam setiap gerakan rukun shalat merupakan bagian penting dalam shalat yang wajib dilakukan. Jika tidak tuma’ninah maka shalatnya tidak sah.

Tuma’ninah adalah sebagai salah satu rukun shalat diantara rukun shalat yang lainnya. Tuma’ninah juga sebagai sarana mencapai tingkat kesempurnaan shalat guna membangkitkan kesadaran diri, bahwa anda sedang berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa.

Tumaninah dapat dicapai dengan cara rileks dan tidak tergesa gesa dalam melaksanakan gerakan shalat, pikiran hanya terpokus pada apa yang sedang dikerjakanya serta usahakan tubuh kita tidak tegang. Dalam hadits disebutkan :

( فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ اَلْعِظَامُ ) َوَفِي لَفْظٍ لِأَحْمَدَ

Dan menurut lafazh riwayat Ahmad :"Maka tegakkanlah tulang punggungmu hingga tulang-tulang itu kembali (seperti semula)."

 ( حَتَّى تَتْمَئِنَّ قَائِمًا ) َوَمِثْلُهُ فِي حَدِيثِ رِفَاعَةَ عِنْدَ أَحْمَدَ وَابْنِ حِبَّانَ

Hal serupa terdapat dalam hadits Rifa'ah Ibnu Rafi' menurut riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban: "Sehingga engkau tenang berdiri (mu)."

Dalil yang menunjukkan wajibnya tumakninah

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُصَلِّي سِتِّينَ سَنَةً مَا تُقْبَلُ لَهُ صَلَاةٌ، لَعَلَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَلَا يُتِمُّ السُّجُودَ، وَيُتِمُّ السُّجُودَ وَلَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ

Sesungguhnya ada seseorang yang sholat selama 60 tahun, namun tidak diterima (oleh Allah) amalan sholatnya selama itu walau satu sholatpun. Boleh jadi (sebabnya) dia sempurnakan ruku’-nya tetapi sujudnya kurang sempurna, demikian pula sebaliknya” (Hadis Hasan, riwayat Ibn Abi Syaibah dari Abu Hurairah RA, Shahih al-Targhib, no. 596)

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا أَوْ قَالَ لاَ يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ

“Manusia paling buruk pencuriannya adalah orang yang mencuri dari sholat”. Mereka (para sahabat) berkata, “Bagaimana ia mencuri sholatnya?” Beliau bersabda, “Dia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya”, atau beliau bersabda, “Dia tidak meluruskan punggungnya ketika rukuk dan sujud”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/310).

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ اْلأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ يَنْقُرُ فِي سُجُوْدِهِ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍٍ يَنْقُرُ صَلاَتَهُ كَمَا يَنْقُرُ الْغُرَابُ الدَّمَ مَثَلُ الَّذِيْ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَيَنْقُرُ فِيْ سُجُوْدِهِ مِثْلُ اْلجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَانِ لاَ يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا

“ Dari Abu Abdillah al-Asy’ari radliyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’nya, dan waktu sujud (dilakukan cepat seakan-akan) mematuk dalam keadaan dia sholat. Maka Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati di luar agama Muhammad. Ia sujud seperti burung gagak mematuk makanan. Perumpamaan orang ruku’ tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti orang kelaparan makan sebiji atau dua biji kurma yang tidak mengenyangkannya “(H.R Abu Ya’la,al-Baihaqy, at-Thobrony, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Dalam Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memerintahkan kepada orang yang “ngebut” shalatnya untuk mengulangi shalatnya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَرَدَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ « إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا »

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).

Maka wajib bagi kita untuk mengerjakan sholat dengan thuma’ninah dan tidak tergesa-gesa karena hal tersebut merupakan salah satu rukun sholat, yang jika tidak terpenuhi menyebabkan batalnya sholat. Dalam hadits di atas Rasulullah memerintahkan kepada seseorang tersebut untuk mengulangi sholatnya.

Mari kita kerjakan sholat dengan tenang dan nikmatilah! Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk mempersembahkan amal ibadah yang terbaik kepadaNya, dan menjadikan sholat sebagai sarana penyejuk jiwa, penjernih kalbu, pelapang dada, penghilang kesedihan dan yang mampu mendatangkan ketenangan batin, sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan :

جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصّلاَةِ

“ Dijadikan penyejuk jiwaku ada dalam sholat”(H.R Ahmad dan AnNasaa’i).

Salah satu syarat mencapai tingkatan shalat yang sempurna salah satunya adalah Tuma’ninah, diantaranya :

Tumaninah Dalam Berdiri

Berdirilah dengat tegak dan tenang jangan menoleh kekiri atau kanan sehingga bila ada jama’ah yang datang disebelahnya tidak mengetahi siapa orangnya. Arahkan pandangan mata ketempat sujud.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. Al Baqarah : 238 )

Tuma'ninah Ketika Melaksanakan Ruku

Setelah selesai membaca surat berhentilah sejenak lalu angkat kedua tangan seperti takbir dengan mengucap “Allahu Akbar” kemudian ruku dengan meletakan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya seolah olah menggenggam. Punggung diluruskan hingga rata, pandangan mata kearah ujung jari kaki.Lakukan dengan tenang dan rileks sehingga terasa pada urat kaki dan pinggang, ada jeda sebentar baru kemudian membaca Do’a Ruku.

Hadits:

فَاِء ذَارَكَعْتَ فَاجْعَلْ رُاحَتَيْكَ وَامْدُدْ ظَهْرَكَ وَمَكِّنْ لِرُكُوْعِكَ

“Maka bila engkau ruku jadikanlah kedua telapak tanganmu di atas kedua lututmu dan luruskanlah punggungmu dan tekankan dalam rukumu itu.”

Tuma'ninah Ketika I’tidal setelah Ruku

Angkatlah kedua tangan seperti ketika takbir sambil membaca Iftidal ( Sami’Allahuliman Hamiddah ) lalu tangan diletakan disisi kiri kanan sejajar dengan tubuh, secara tenang dan tidak tergesa gesa sehingga kepalanya tega lurus dan posisi tubuh berdiri tegap seperti semula sehingga punggunnya dan seluruh sendi sendi tulang kembali seperti semula, kemudian diam sejenak lalu membaca Do’a Iftidal.

Nabi Muhammad melaksanakan I’tidal lamanya hampir sama dengan lamanya ketika beliau ruku , beri jeda (jarak) sebentar kemudian sujud.

َوَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا اِفْتَتَحَ

اَلصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ اَلرُّكُوعِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

 “Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya lurus dengan kedua bahunya ketika beliau memulai shalat ketika bertakbir untuk ruku' dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku'. Muttafaq Alaihi.

Tuma'ninah Ketika Melaksanakan Sujud

Setelah bangkit dari ruku ada jeda sebentar kemudian mengucap Takbir “Allahu Akbar” dan laksanakan sujud dengan tenang dengan meletakan kedua tumit terlebih dulu baru menyusul kedua telapak tangan diletakan ditempat sujud dengan jari jari dirapatkan mengarah ke kiblat, begitu pula jari jari kaki dilekuk arahkan ke kiblat, dahi dan hidung menyentuh tempat sujud , siku tangan diangkat tidak menyentuh tempat sujud dan jangan dirapat kan ketubuh.

َوَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم

( أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : عَلَى اَلْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ اَلْقَدَمَيْنِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang pada dahi. Beliau menunjuk dengan tangannya pada hidungnya kedua tangan kedua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki."Muttafaq Alaihi.

Tuma’ninah duduk diantara dua sujud

Setelah selesai membaca Do’a sujud bangkitlah perlahan lahan dengan duduk secara tenang diatas kedua tumit, badan diluruskan hingga sendi tulang kembali pada tempatnya.

لاَتَتِمُّ صَلاَ ةُ اَحَدِكُمْ حَتَّى يَفْعَل ذَ لِكَ

“Tidak sempurna salah seorang diantara kamu sehingga ia melaksanakan demikian itu”

Tuma'ninah ketika Bangkit dari sujud

Ketika akan bangkit dari sujud untuk memulai rakaat berikutnya, tekankan kedua telapak tangan ke tempat sujud lalu mengucap Takbir “Allahu Akbar” kemudian bangkit berdiri hingga benar benar tegak dan rileks berhenti sejenak baru kemudian melanjutkanya ke rakaat berikutnya.

Demikianlah makna tuma’ninah dalam pelaksanaan shalat sebagai salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan shalat, pelaksanaan shalat hendaknya dari awal hingga akhir selalu dilaksanakan dengan cara tuma’ninah, sehingga pada akhirnya kita dapat menerapkan ditiap-tiap sendi kehidupan dengan cara tenang tidak tergesa gesa. Segala sesuatu yang dikerjakan dengan penuh konsentrasi dan ketenangan akan membawa hasil yang baik dan sempurna.

Kewajiban setiap muslim untuk menjaga tuma’ninah sesempurna mungkin. Dia wajib menyempurnakan ruku’ nya, i’tidalnya, sujudnya dan ketika duduk di antara dua sujud. Dia kerjakan hal tersebut dengan lengkap dan sempurna dalam semua shalatnya. Dia kerjakan dengan tata cara yang diridhai oleh Rabbnya, dengan niat mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang teguh kepada sunnahnya, beliau bersabda:

صَلُّوا كما رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat” (HR Bukhari 631, 6008, 7246 dari sahabat Malik bin Huwairits rahiallahu ‘anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wasallam melakukan shalat dengan tuma’ninah (rileks), yaitu sikap tenang atau diam sejenak sehingga dapat menyempurnakan perbuatannya, dima posisi tulang dan organ tubuh lainnya dapat berada pada tempatnya dengan sempurna. Melakukan shalat dengan tenang dan rileks akan menghasilkan energi tambahan dalam tubuhnya, sehingga tubuh merasa fesh.

Saudaraku.... lihatlah beberapa perkataan Imam asy- Syafi’i Rahimahullah, yang menunjukkan bahwa beliau menekankan pada para pengikutnya untuk mengambil hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bila ternyata perkataan beliau menyelisihi hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, diantara perkataan-perkataan beliau adalah sbb:

Ar- Rabie’ (murid Imam asy- Syafi’i) bercerita; Ada seseorang yang bertanya kepada Imam asy- Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian setelah dijawab oleh Imam Syafi’i, kemudian orang itu bertanya: “Bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan marahlah Imam Syafi’i. Beliau kemudian berkata:

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِى وَ أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِى إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

“Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan aku pijak, bila kumeriwayatkan hadits Rasulullah kemudian aku berpendapat dengan pendapat lain (yang menyelisihi hadits tersebut) (Abu Nu’aim dalam Kitab Hilyatul ‘Aulia).

Beliau juga berkata:

إِذَ وَجَدْتُمْ فِىْ كِتَابِىْ خِلَافَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَقُوْلُوْا بِسُنَّتِ رَسُوْلِ اللهِ وَدَعُوْا مَاقُلْتُ - وَفِى رواية- فَاتَّبِعُوْهَا وَلَا تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ

“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah (hadits) Nabia, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku – dan dalam riwayat lain – maka ikutilah sunnah dan jangan pedulikan perkataan orang-orang” (Imam an- Nawawi dalam Kitab Majmu Syarh Muhadzdzab 1:63)

كُلُّ حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِى وَ إِنْلَمْ تَسْمَعُوْهُ مِنِّىْ.

“Setiap hadits yang di ucapkan oleh Nabi a, maka itulah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku” (Imam adz- Dzahabiy dalam kitab Siyar Alamin Nubala’ 10:35)

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلَافِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِىْ حَيَاتِىْ وَبَعْدَ مَوْتِى.

“Setiap permasalahan yang padanya terdapat Hadits shahih menurut ahli Hadits, dan hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku akan mencabut pendapatku tersebut ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati” (Abu Nu’aim – Hilyatul ‘Auliya’ 9:107)

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ وَ إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَضْرِبُوْا بِقَوْلِىْ الْحَائِطَ.

“Bila ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka lemparkanlah pendapatku ke balik tembok” (Imam adz- Dzahabiy - Kitab Siyar ‘Alamin Nubala’)

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَ عَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat seseorang” (Imam Ibnu Qayyim – I’lamul Mawaqi’in 2:282)

Lihatlah saudaraku yang dimuliakan Allah bagaimana takutnya Imam Syafi’i menyelisihi sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, padahal ia adalah Imam besar dan salah seorang dari 4 imam Mahdzab, tetapi lihatlah diri kita, kita begitu lancang membantah hadits-hadits nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, hanya demi mengikuti pendapat seseorang yang kita tidak tahu apakah perkataannya bisa di terima atau ditolak. Ketahuilah wahai saudaraku

Dalam Qur’an al- Hasyr ayat 7 Allah berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar