Selasa, 03 April 2018

Hubungan Papua Dengan Sejarah Majapahit

Semua kerajaan di nusantara tidak memiliki bukti yang jelas mengenai hubungan dengan Irian kecuali kerajaan Tidore yang jaraknya amat dekat dengan penduduk di bagian barat Kepala Burung Irian. Sebuah bukti yang lemah baru dapat diketahui dalam pertengahan abad ke 20, yaitu hubungan antara irian dengan kerajaan Majapahit. Menurut Prof Moh. Yamin, Irian dapat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit di bawah Maha Patih Gadjah Mada (1364) sebagai pemimpin bijak dan tangguh.

Majapahit merupakan kerajaan terbesar kedua setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, Majapahit pada saat itu dipimpin oleh Maha Patih Gadjah Mada memperkuat kekuatannya baik melalui daratan maupun laut, sehingga Majapahit memiliki pengaruh yang luar biasa di nusantara. Ketika itulah Majapahit dalam masa pemerintahan yang gemilang Hayam Wuruk mengumpulkan berbagai kepala suku dari daerah-daerah di Nusantara untuk menyatakan tunduk dan patuh serta setia kepada Maha Raja serta Maha patih Gadjah Mada. Kepala dari daerah-daerah tersebut tidak termasuk orang irian, namun demikian yang menyatakan tunduk adalah kepala suku dari Maluku. Pada saat itu pula dapat dimungkinkan bahwa ia menyampaikan bahwa wilayah Irian bagian barat terutama Wwanin dan Sran merupakan bagian dari wilayah Majapahit. Hal ini berarti bahwa penduduk irian sendiri tidak ikut menyatakan diri sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.

Dalam catatan sejarah, sejak awal abad VIII telah terdapat hubungan langsung langsung maupun tidak langsung antara Irian Jaya dengan Negara Maritim Sriwijaya. Hal ini dibuktikan dengan adanya burung-burung dari Irian Jaya yang dibawa oleh para duta Kerajaan Sriwijaya sebagai sovenir kepada Kaisar Cina. Pada waktu itu Irian disebut “Janggi “

Pada abad XIII seorang musafir Cina bernama Chau Yu Kua menulis bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat satu daerah bernama Tung-ki yang merupakan bagian dari suatu negara di Maluku. Konon Tung-ki adalah nama Cina untuk Janggi atau Irian.

Dari beberapa nama yang diberikan untuk Irian ini, yang menarik adalah bahwa sejak daerah ini di kenal sejarah sesungguhnya telah memiliki hubungan yang amat erat dengan daerah-daerah lain di kepulauan nusantara ini.

Nama “ Samudranta “ misalnya yang konon diberikan kepadanya menunjukkan bahwa daerah ini telah di kenal oleh masyarakat pemakai bahasa Sansekerta yang bermukim di wilayah kepulauan Indonesia, baik dalam pengertian geo-politik maupun sosial ekonomi. dan budaya dalam arti luas. Sejauh mana pengertian pengenalan tersebut, oleh Ramandey dituliskan antara lain mengatakan bahwa catatan pada abad pertama Masehi pengaruh Hindu dan India telah tersebar di seluruh Nusantara ini. Pengaruh tersebut tidak hanya terbatas di Jawa dan Sumatera saja tetapi juga menyebar sampai ke timur termasuk tanah Irian. Mungkin saja yang disebut “Pulau Ujung Samudranta “ itu adalah Pulau Nieuw Guinea. Rupanya pelaut-pelaut India telah sampai kesini, karena terbukti dari catatan-catatan dari orang India yang menyebut Irian itu Samudranta, yang berarti pulau diujung lautan. Ada besar kemungkinan mereka sudah berlayar sampai di daerah ini.”

Bila hal itu dihubungkan dengan Kerajaan Sriwijaya besar kemungkinan bahwa penamaan itu diberikan oleh kerajaan maritim itu, yang merupakan indikasi bahwa pulau Irian juga telah berada dibawah kontrol kekuasaannya.

Pada masa Kejayaan Majapahit, dimasa Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada berkuasa, konon kekuasaannya sampai juga ke Irian. Dalam buku Negarakertagama karya Empu Prapanca (1365) terdapat bait syair ( yaitu syair ke XIV) yang berbunyi :

” Muwah tang I Gurun sanusa mangaram ri Lombok Mirah

Lawan tikan I saksaaaaakadi niaklun kahaiyan kabeh

Muwah tanah I bantayan pramuka Bantayan le Luwuk

Teken Udamakaatryadhi nikanang sanusapupul

Ikang saakanusaasanausa makasar Butun banggawai

Kuni Ggaliyao mwang I (ng) Saalaya Sumba Solot Muar

Muwah tigang I Wandan Ambwan athawa Maloko Wwanin

ri Sran in Timur ning angkea nusatutur “.

Wwanin atau Ewwanin, menurut para ahli Bahasa Jawa Kuno adalah nama lain dari Onin, sedang Sran adalah nama lain dari daerah Kowial, keduanya di IrianTimur. Mungkin pula sebagai nama lain untuk bagian Timur Irian Jaya. Tidaklah dapat disangkal bahwa dalam abad ke XIV beberapa daerah di Irian Jaya merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit. Sejarah mencatat bahwa denagn Sumpah Palapanya, Maha Patih Gajah Mada bertekad mempersatukan seluruh wilayah nusantara ini dibawah kekuasaan Majapahit. Dengan tertulisnya nama-nama daerah di dalam kitab Negarakertagama itu menandakan bahwa semua daerah itu sudah termasuk dalam pengaruh kekuasaaan Negara Majapahit.

Dapat pula dipastikan bukan hanya pengaruh kekuasaan saja yang berlangsung diaerah-daerah bersangkutan,tentu juga pengaruh lain nya, semacam pengaruh sosio-kultural dan lain-lainnya. Sesudah kekuasaan Majapahit beralih kepada Kesultanan Islam Demak sebagai pengganti syah kerajaan besar itu,tidak mustahil pengaruhnya juga masih berlanjut kedaerah-daerah bekas kekuasan Majapahit. Seperti diketahui,baik dibawah Pimpinan Sultan Demak Raden Patah maupun Pangeran Adipati Unus dan Sultan Trenggono,kerajaan ini masih menampakkan dirinya sebagai kekuatan maritim yang tangguh.

Negara Nusantara abad VII yakni Sriwijaya rupanya juga mempunyai hubungan komunikasi politik,sosial, ekonomi dan budaya dengan Papua – terutama burung cenderawasih – telah menjadi bagian dari alat diplomasi kenegeri Cina. Saat itu kekuasan Sriwijaya meliputi seluruh Nusantara, dan daerah paling timur dinamakan dengan Janggi, yang diduga kuat merupakan nama lain dari daerah Papua ini. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada (dengan sumpah palapa-nya), kekuasaan Majapahit meliputi seluruh wilayah kepulauan Nusantara .Dalam karya Empu Prapanca (1365) yang bernama “Negarakertagama“ , sang empu menuliskan bahwa daerah kekuasan Majapahit juag sampai di Ewanin (Onin) dan Sran, keduanya di daerah Fakfak.

Hubungan yang amat spesifik barangkali dengan pulau-pulau di Maluku, terutama Ternate dan Tidore, karena letak geografis nya yang amat dekat. Demikian pula faktor ekonomi – perdagangan antara kedua daerah tersebut- tertama daerah Papua sebelah barat.Pada abad XV dan XVI Kesultana nernate dan Tidore merupakan kesultanan yang kuat dan disegani, yang tentu saja pengaruhnya besar bagi kawasan timur Nusantara.Dibawah Sultan Khairun dan Sultan Baabullah pengaruh kesultanan Tidore luasnya meliputi kawasan yang berbatasan dengan Mindanao sebelah utara , daerah Sumbawa sebelkah selatan , daerah Sulawesi sebelah baratnya dan daerah Papua disebelah timur.(Hamka:1979;Thomas Arnold 1979). Barangkali hubungan sejarah itulah yang merupakan salah satu sebab,kenapa tatkala perjuanagn merebut kembali Irian Barat dari Belanda tahun 60-an, ibukota Provinsi Papua ( Irian Barat waktu itu) ditempatkan di Soasiu (Tidore) dan sebagai Gubenurnya diangkat Sultan Zainal Abidin Syah dari kesultanan Tidore ( Sekretariat Negara RI : 1978).

PAPUA DAN KESULTANAN TIDORE

Sebelum Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis (1511), kerajaan Islam mempunyai pengaruh yang kuat dalam pelayaran dan perdagangan di nusantara. Maluku sebagai pusat rempah-rempah sangat tekenal itu, dikunjungi olekh pedagang-pedagang nusantara yang beragama Islam. Akibatnya misi penyebaran agama Islam merupakan misi teselubung ternyata sampai sebelum tahun 1500 di Maluku terdapat empat buah kerajaan Islam. Keempat kerajaan itu adalah Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Diantara kerajaan-kerajaan itu yang pengaruhnya luas adalah kerajaan ternate dan Tidore. dan diantara kedua yang mempunyai pengaruh besar hanyalah kesultanan Tidore.

Sebuah catatan sejarah Kesultanan Tidore “Museum memorial Kesultanan Tidore Sinyine mallige” menulis pada tahun 1453 Sultan Tidore yang ke 10 Ibnu Mansur bersama Sangaji Patani Sahmardan dan Kapitan Waigeo bernama Kapitan Gurabesi memimpin ekspedisi kedaratan tahan besar. Ekspedisi yang terdiri dari satu armada kora-kora berangkat ke tanah besar beserta pulau-pulau melewati patani Gebe dan Waigeo. Ekspedisi ini berhasil menaklukkan beberapa wilayah di Irian bagian barat dan menjadikan kesultanan Tidore yang terdiri dari :

a. Wilayah raja Ampat atau Korano Ngaruha meliputi wilayah-wilayah:

Kolano Waigeo
Kolano Salawati
Kolano Umsowol atau Lilinta
Kolano Waigama

b. Wilayah Papoua Gamsio (Papoua Sembilan negeri) meliputi :

Sangadji Umka
Gimalah Usba
Sangaji Barei
Sangaji Boser
Gimalaha Kafdarum
Sangaji Wakeri
Ginalaha warijo
Sangaji Mar Gimala Marasay

c. Wilayah Mafor Soa Raha (atau Mafor Empat Soa) meliputi :

Sangaji Rumberpon
Sangaji Rumansar
Sangaji Angaradifa
Sangaji Waropen

Wilayah-wilayah diatas, merupakan sebagian kecil wilaiyah yang dapat ditempuh oleh penduduk Kerajaan Tidore berada di bagian barat Irian dan sebagaian kecil utara Irian. Wilayah tanah besar beserta pulau-pulaunya oleh Kesultanan Tidore disebut dengan nama “Papo Ua” yang berarti tidak bergabung atau tidak bersatu, tidak bergandengan (not integrated). Maksudnya bahwa wilayah luas dan tanah besar ini tidak termasuk kedalam Kesultanan Tidore atau induk kesultanan Tidore. Karena luas wilayah penaklukannya kecil, maka Sultan Tidore hanya membagi tiga wilayah, yaitu Wilayah Kolano, Fat, atau Raja Ampat dari empat kerajaan masing-masing dikepalai oleh seorang raja di wilayah Papo Ua Gamsio (Papo Ua Sembilan negeri). Terdiri dari Sembilan daerah yang masing-masing dikepalapi oleh seorang Gimalaha atau seorang Sangaji. Wilayah Mafor Soa Raha atau Mafor Empat Soa yang terdiri dari empat Soa yang masing-masing dikepalai oleh seorang Sangaji.

Hubungan yang amat spesifik daerah Irian dengan daerah lainnya di Indonesia adalah dengan Maluku., khususnya Ternate dan Tidore. Disamping faktor geografis yang dekat serta faktor ekonomis (perda gangan) , juga karena fakta bahwa pada masa itu Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore merupakan kesultanan yang kuat dan disegani serta amat besar pengaruhnya di kawasan Indonesia Timur. Dibawah kepemimpinan Sultan Khairun dan Sultan Baabullah, pengaruh Kesultanan Tidore pada sekitar tahun 1580 telah sampai ke daerah yang batasnya Mindano sebelah utara,daereah Sumbawa sebelah selatan ,daerah Sulawesi sebalah barat dan pulau Irian sebelah timur.

Kesultanan ini tetap efektif kekuasaannya di Irian sampai menjelang berlangsungnya proklamasi kemerdekaan Indonesia .Hubungan spesifik ini terus berlanjut sampai masa TRIKORA, saat seluruh Bangsa Indonesia berjuang mengusir penjajah Belanda dari bumi Irian Jaya ini.Kota Soasiu di Tidore menjadi Ibukota Propinsi Perjuangan Irian Barat dan Pejabat Gubernur Irian barat saat itu adalah Sultan Zainal Abidin Syah dari Kesultanan Tidore. Beberapa catatan yang mengindikasikan bahwa Kesultanan Tidore maupun Ternate dan Kesultanan Islam lainnya di Maluku sangat erat hubungannya dengan daerah Irian antara lain dapat dilihat dari sejumlah informasi berikut :

Dalam bukunya “The Preaching of Islam “ , Thomas W.Arnold mencatat bahwa sejak tahun 1520 Kerajaan Islam Bacan di Maluku telah menguasai daerah Waigeo, Misool,Waigama,dan Salawati daerah-daerah yang semuanya merupakan bagian dari daerah Sorong sekarang.

Demikan pula berdasarkan cerita Rakyat dan informasi dari Tidore didapatkan keterangan bahwa sejak abad XV daerah Biak telah menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore.Sultan mengangkat pejabat pejabat didaerah bersangkutan dan diberi gelar jabatan,antara lain: Kapitan, Sangaji, Korano, Dimara, Mayor dan sebagainya. Gelar jabatan tersebut sekarang menjadi nama keluarga ( fam) di daerah tersebut. Salah seorang tokoh dari Biak bernama Gurabesi diangkat sebagai pejabat /panglima di Pusat Kesultanan, bahkan menjadi menantu Sultan. Tokoh inilah yang kemudian melahirkan penguasa-penguasa Kerajaan di Kepulauan Raja Empat.

Kantor Wilayah Dep. Agama Prop. Irian Jaya dalam buku (stensil) berjudul: “Departemen Agama dalam kata dan angka.” 1985 mengutip pernyataan W.C. Klein dalam “Nieuw Guinea“ yang menyebutkan bahwa :” pada tahun 1596 Pemimpin-Pemimpin Irian mengunjungi Kerajaan Bacan,dan dari kunjungan tersebut terbentuk lah Kerajaan-Kerajaan Islam”. Kekuasaan Kesultanan Tidore atas Irian juga diakui syah oleh pihak Belanda.Terkadang armada Kesultanan Tidore melakukan patroli ke daerah Irian. Berasarkan informasi yang dapat dipercaya,sejumlah informasi dapat dicatat antara lain:

a. mulai abad ke-15 para pedagang Cina bekerja di Teluk Cende rawasih dan Teluk Wandamen.Pada waktu yang sama, Sultan Tidore mengirim orang-orangnya untuk menagih pajak.

b. Kekuasaan Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate atas Irian Jaya diakui pula oleh Penguasa Inggris yang pada tahun 1814 s/d 1818 menjajah dan menguasai seluruh kepulauan Indonesia

c. pada tahun 1849 Pangeran Amir sebagai Wakil Sultan Tidore menyertai suatu kesatuan ekspedisi Belanda untuk menempatkan tanda batas milik Belanda di daerah Doreri. Di pulau Ron , pulau Ansus di Selatan Yapen.

d. Pada tahun 1880 Pangeran Ali sebagai Wakil Sultan Tidore pergi megunjungi daerah pantai selatan Irian.Mula-mula ia mengunjungi Tanjung Sele, ujung terbarat Pulau Irian, kemudian ke Ati-ati, Kowiai, Kapiai dan juga daerah Merkusoord, bekas Benteng de Bus.

e. Tahun 1858 Pangeran Amir mengunjungi Humbolt-Bay ( teluk Yos Sudarso sekarang ) untuk berdagang. Tetapi karena berselisih paham dengan penduduk setempat maka beliau kembali ke Tidore, Pengaruh Sultan Tidore telah tersebar luas di Manokwari,Teluk Cenderawasih dan daerah sepanjang pesisir Utara.

f. Di daerah Fakfak terdapat bentuk kekuasaan yang disebut “ Raja-raja “ atau “ Petuanan ” , yang mendapat pengakuan dari Sultan Tidore. Sampai sekarang kekuasaan “ para Raja” di Fakfak masih berjalan , dan merupakan kekuasaan adat yang efektif, dipelihara dan dihormati secara turun temurun.Sebagai bukti bahwa Sultan Tidore mengangkat dan mengakui kekuasaan para penguasa Petuanan tersebut misalnya ditemukannya sebuah surat pengangkatan seorang Kepala wilayah dengan jabatan ‘ Kapitan “ di daerah Ugar, distrik Sekar, bertanggal 5 Nopember 1929.

Sebelum Tidore menguasai wilayah-wilayah tersebut diatas, kerajaan Waigama dan Misool menjadi bagian kekuasaan kesultanan Bacan yang dipimpin oleh adik Sultan Bacan yang bernama Kaicil Jelman pada tahun 1512 merupakan penguasa Islam pertama di Irian. Sedangkan wilayah lainnya diperebutkan oleh Kerajaan Ternate dan Tidore melalui suatu peperangan, akhirnya Ternate menguasai Halmahera bagian barat dan Salawati, sedangkan Tidore menguasai Seram bagian timur dan sebagian Irian bagian barat. Daerah-daerah seperti Waigama dan Misool yang dikuasai oleh kerajaan Bacan. Pada abad XVII Tidore berhasil mengalahkan Bacan dan kedua daerah tersebut dikuasai oleh Kerajaan Tidore. Dengan demikian, maka Tidore secara utuh menguasai sebagian kecil dibagian barat Irian. Sehingga tidak mengherankan ketika awal kedatangan bangsa penjajah, Kesultanan Tidore menjadi Pengaruh besar dalam berbagai perundingan terutama mengenai Irian.

Semula kekuasaan Tidore hanya sampai disekitar Kepulauan Raja Ampat tetapi berhasil meluas sampai kearah timur dari Raja Ampat. Hal ini dimulai ketika Armada Honggi yang dikerahkan dari Tidore untuk memungut pajak dari penduduk pantai utara Irian. Dengan ini dapat diduga bahwa pada zaman sebelumnya mempunyai hubungan yang erat antara orang Maluku dengan orang Biak. Menurut F.C Kamma bahwa apabila seorang Biak datang membayar upeti, maka mereka menghadiahi sebuah gelar. Gelar yang dapat dihubungkan dengan gelar Kerajaan Tidore, seperti Raja atau Sangaji yang disebut (Kepala Distrik), Dimara (Gimalaha berarti Kepala kampung) dan Korano. Gelar ini ada hubungannya dengan pembagian daerah Biak menjadi Distrik-distrik oleh Tidore. Di Tidore, sebuah ibukota terdiri dari 9 atau 4 kampung. Itulah sebabnya barangkali daerah Biak-Numfor juga dibagi menjadi 9 Distrik 4 kampung. Hal ini sama dengan keempat Keret di Numfor yang utama.

Dengan adanya hubungan tersebut, maka peradaban hidup dalam unsur budaya jasmani orang Biak. Setidak-tidaknya terpengaruh oleh peradaban hidup orang Maluku, Halmahera, Raja Ampat misalnya Ubu dan pandai Besi, Perahu Lesung Berpapan, Parahu Lesung untuk pertahanan semang-semang perisai tari, benda-benda keramat dan tembaga.

Dengan demikian, pengaruh kerajaan Tidore hanya sekitar kepulauan Raja Ampat dan pulau Biak sehingga tanah besar Irian hampir tidak berani dikuasai oleh Kerajaan Tidore. Hal ini mungkin disebabkan karena wilayahnya yang begitu luas atau alat-alat perlengakapan untuk penguasaannya belum kuat, sehingga ia menyebut pulau besar itu dengan memberi nama Papo Ua yang artinya tidak bersatu (not integrated) dengan kerajaannya. Namun kerajaan Tidore pernah memegang peranan yang penting dalam membuat perjanjian dengan bangsa barat. Tidore mengklaim Irian sebagai bagian dari kerajaannya.

Karena begitu keras dan kuatnya kerajaan-kerajaan dipesisir pantai maupun suku-suku yang mendiami daratan pulau besar, maka praktis tak ada satupun kekuatan asing menduduki pulau itu dan secara tehnis administratif menguasainya. Kesultanan Tidore pun tidak pernah berkuasa secara defenitif. Ia hanya secara periodik melayani pesisir pantai tanah ini untuk mengayau dan mengumpulkan upeti. Tidore dalam banyak hal lebih banyak berhutang budi kepada penduduk Papua. Sebab ia biasanya meminta bantuan rakyat Papua untuk memerangi musuh-musuhnya (musuh-musuh Tidore, seperti Kesultanan Ternate, Jailolo dan Bacan, V.O.C maupun portugis) satu-satunya kekuasaan yang pernah secara defenitif memerintah dan membangun Papua menuju civilisasi modern adalah pemerintah Belanda yang memulainya di Manokwari pada tanggal 9 November 1898, dan Fakfak pada tanggal 16 November 1898. Berdasarkan klaim seperti ini, maka klaim kekuasaan historis Majapahit dan Tidore tak dapat dianggap sah. Tidorepun banyak melakukan misi-misi penyerangan, pengayauan, dan pembelian budak ke berbagai tempat di pesisir pantai selatan daerah Kepala Burung, maupun semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak (yang sekarang ini), dan daerah utara Kepala Burung hingga kedaerah teluk Wondama, dan pulau-pulau yapen Waropen, serta Biak-Numfor di teluk Cenderawasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar