Senin, 02 April 2018

Sejarah Penakhlukan Majapahit Di Borneo

Sakitar abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan yang merupakan kerajaan permulaan di Kalimantan Selatan, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Nagara Dipa. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Tanjungpuri. Bermula berdirinya Kerajaan Tanjungpuri adalah saat kedatangan bubuhan imigran Malayu asal Kerajaan Sriwijaya di pulau sumatera sekitar Tahun 400-500 Masehi. Oleh karena kebudayaan imigran Malayu sudah lebih maju, lalu mereka mendirikan kampung yang lama kelamaan berubah menjadi sebuah kerajaan kecil. Para imigran Malayu tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan panduduk setempat, yakni suku Dayak (Maanyan, Bukit, Ngaju), sehingga Kerajaan Tanjungpuri tersebut, panduduknya terdiri dari orang Malayu dan Dayak. Perpaduan kadua suku tersebut akhirnya nanti menurunkan suku Banjar (Asal muasal suku Banjar).
         
Semantara sekitar 3000-1500 SM untuk pertama kalinya Imigran dari Yunnan di China Selatan datang ke tanah Borneo. Mereka inilah padatuan ‘nenek moyang orang Dayak atau istilahnya “Melayu tua”. Berabad-abad lamanya Kerajaan Tanjungpuri berdiri, penduduknya makmur dan sajahtera, hidup damai serta bahagia. Pada Tahun 1309 M berdiri juga sabuah kerajaan orang Maanyan yang bernama “Nan Sarunai”. Kedua kerajaan ini saling berkeluarga dan berteman dekat, tidak pernah ada permusuhan. Walau berbeda keyakinan, –Kerajaan Tanjungpuri kebanyakan pangikut ajaran Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai kebanyakan pengikut ajaran Kaharingan– tapi kedua kerajaan tetap saling menghormati. Kedua kerajaan sama-sama berkomitmen menjaga alam lingkungan, tidak mau menambang batu bara yang banyak terdapat di wilayah kerajaan, apalagi menanam sawit karena pada saat itu tidak ada istilah jual beli tanah dan sawit serta hasil tambang batu bara.

Kerajaan Tanjungpuri mempunyai lima orang Panglima.

Nama Datu Banua Lima cukup dikenal warga Banjar di Kalimantan Selatan. Datu Banua Lima merupakan gelar bagi lima panglima Kerajaan Tanjungpuri yang terkenal sakti dan ditakuti kerajaan lain termasuk prajurit Majapahit pada awal abad ke 14 masehi.

Berdasarkan hikayat Datu Banua Lima, kelima Panglima tersebut yang pertama bergelar Panglima Alai, merupakan ahli politik dan strategi.

Kedua, Panglima Tabalong, yang terkenal gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria. Ketiga, Panglima Balangan yang berwajah  tampan, pintar, dan suka menuntut ilmu kanuragan.

Sedangkan yang keempat dan kelima adalah si kembar yang bergelar Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini terkenal keras  dan suka berkelahi.

Konon kelima bersaudara ini, anak dari Datu Intingan (Saudaranya Datu Dayuhan Kepala Suku Dayak Maratus) dan Dayang Baiduri (Putri Imigran Melayu keturunan Sriwijaya).

Kala itu Kerajaan Tanjungpuri berhubungan baik dengan Kerajaan Nan Serunai tetangganya.

Walau berbeda keyakinan Kerajaan Tanjungpuri yang mayoritas pengikutnya beragama Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai pengikut ajaran Kaharingan.

Tapi kedua kerajaan tetap saling menghormati dan sama-sama berkomitmen menjaga alam lingkungan.

Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai nusantara termasuk tanah Borneo. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah bersumpah untuk menguasai nusantara.

Ada mata-mata Majapahit yang mengatakan bahwa kedua kerajaan di Borneo tadi sangat makmur karena istananya berlapis emas.

Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua kerajaan tersebut, Kerajaan Tanjungpuri dan Nan Sarunai.

Lalu pada 1356 M Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo.

Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sekitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal melewati Sungai Barito yang dipimpin Senopati Arya Manggala.

Melihat pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu Kerajaan Nan Sarunai meminta bantuan ke Kerajaan Tanjungpuri.

Lalu oleh Raja Tanjungpuri dikirim lima orang panglimanya yaitu Datu Banua Lima dengan membawa 1.000 pasukan membantu Kerajaan Nan Sarunai.

Setelah itu pecahlah perang yang dahsyat antara pasukan Majapahit melawan pasukan Nan Sarunai yang dibantu pasukan Tanjungpuri.

Banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Pasukan Majapahit yang terkenal hebat dalam bertempur karena sudah berkeliling Nusantara dan sudah menaklukan berbagai kerajaan, saat itu mendapat perlawanan yang hebat.

Banyak prajurit Majapahit yang mati di tangan lima panglima Tanjungpuri yang sakti-sakti tersebut.

Panglima Alai yang ahli strategi mengatur pasukan, Panglima Tabalong yang gagah mengamuk di barisan paling muka, banyak tentara Majapahit yang terlempar ke udara dilemparkan oleh panglima.

Sedangkan Panglima Balangan menjadi pimpinan barisan pengawal raja, dengan kesaktiannya mampu melindungi raja dari keroyokan pasukan Majapahit.

Semantara Panglima Hamandit dan Panglima Tapin beradu kesaktian dengan para pendekar Majapahit.

Banyak sudah prajurit Majapahit yang merupakan pendekar bayaran, mati di tangan Panglima Hamandit dan Panglima Tapin.

Setelah dua hari bertempur akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan pemimpin pasukan Majapahit ketika itu yaitu Senopati Arya Manggala kepalanya putus terkena Mandau senjata asli Suku Dayak.

Mengetahui pemimpin pasukannya tewas lalu sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit menuju kapal untuk pulang ke Jawa.

Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer kedua pada 1358 M.

Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung Laksamana Nala dengan membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama.

Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan Bhayangkara.

Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, bahkan Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas serta Ratu yang bergelar Dara Gangsa Tulen gugur dalam peperangan.

Peristiwa itu oleh orang Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”. Konon Raja Nan Sarunai dibunuh oleh Laksamana Nala dengan sebuah tombak sakti di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya.

Laksamana Nala adalah seorang panglima terhebat Majapahit di masa itu, karirnya dimulai dari menjadi prajurit pasukan khusus kerajaan yaitu pasukan Bhayangkara.

Setelah berhasil menaklukkan Nan Sarunai pasukan Majapahit bergerak menuju Tanjungpuri namun pasukan Majapahit mendapati perlawanan yang hebat dari pasukan  Tanjungpuri yang dipimpin oleh Datu Banua Lima yang terkenal tersebut.

Setelah berhari-hari berperang akhirnya kedua pasukan sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan peperangan.

Pasukan Majapahit kembali ke Jawa dengan kekecewaan mereka tidak sanggup lagi melanjutkan peperangan karena sebelumnya sudah kelelahan berperang menghadapi kerajaan Nan Sarunai.

Sedangkan pihak Tanjungpuri mengalami kehancuran dimana-mana. Akibat peperangan tersebut kerajaan Tanjungpuri menjadi lemah, perdagangan yang dahulu ramai menjadi sunyi karena para pedagang takut untuk singgah di pelabuhan ketika mendengar ada peperangan.

Sebagai tanda terima kasih kepada Datu Banua Lima, Raja Tanjungpuri Sri Baginda Darmapala memberikan kelima orang panglimanya wilayah kekuasaan masing-masing di daerah lima aliran sungai yang berhulu di Pegunungan Maratus.

Daerah lima aliran sungai tersebut akhirnya bernama sesuai gelar lima Panglima Tanjungpuri tersebut.

Panglima Alai mendapat wilayah yang bernama Batang Alai (sekarang menjadi Kabupaten HST), Panglima Tabalong mendapat wilayah yang bernama Batang Tabalong (sekarang menjadi Kabupaten Tabalong).

Panglima Balangan mendapat wilayah yang bernama Batang Balangan (sekarang menjadi Kabupaten Balangan).

Panglima Hamandit mandapat wilayah Batang Hamandit (sekarang menjadi Kabupaten HSS), sedangkan Panglima Tapin mandapat wilayah Batang Tapin (sekarang menjadi Kabupaten Tapin).

Sementara Raja Tanjungpuri sendiri akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke daerah Kuripan (Amuntai) karena kota raja sebelumnya (Tanjung) banyak mengalami kehancuran akibat diserang Majapahit.

Lambat laun nama Tanjungpuri semakin terlupakan dan lebih dikenal dengan sebutan baru yaitu Kuripan karena wilayahnya telah terbagi bagi.

Salah satu kisah peperangan Empu Nala :

Tahun 1350, Laksamana Nala mengadakan ekspedisi ke Nansarunai dengan menyamar sebagai nahkoda kapal dagang. Di Nansarunai ia memakai nama samaran Tuan Penayar dan bertemu dengan Raja Raden Anyan, bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas, serta Ratu Dara Gangsa Tulen.

Laksaman Nala sangat kagum melihat begitu banyak barang-barang terbuat dari emas murni, ketika ia dipersilahkan untuk melihat-lihat perlengkapan pesta adat di ruangan tempat bermusyawarah. Yang sangat dikagumi oleh Laksamana Nala, ialah sokoguru balai adat yang terbuat dari emas murni juga dimana dibagian atasnya bermotif patung manusia.

Setelah kembali ke Majapahit, Laksamana Nala berpendapat, untuk menundukkan Nansarunai, harus dicari kelemahan Raja Raden Anyan yang mempunyai kharisma kuat. Pada pelayanan berikutnya, Laksamana Nala membawa serta seorang panglima perangnya yang bernama Demang Wiraja dengan memakai nama samaran Tuan Andringau, serta beberapa prajurit dari suku Kalang. Hasil pengamatan Demang Wiraja dilaporkan kepada Laksamana Nala.

Demikianlah pada awal tahun 1356, Laksamna Nala datang lagi ke Nansarunai dengan membawa serta istrinya bernama Damayanti. Sewaktu kembali ke Majapahit, sengaja Laksamana Nala membiarkankan isterinya tinggal di Nansarunai. Damayanti berwajah sangat cantik dan pribadinya menarik.

Pada tahun 1356 itu, terjadi kemarau panjang, sehingga Raja Raden Anyan secara kebetulan bertemu dengan Damayanti di sumur yang khusus diperuntukkan bagi anggota keluarga kerajaan. Pertemuan pertama berlanjut dengan kedua dan demikian seterusnya, sehingga Damayanti melahirkan seorang anak perempuan, lau diberi nama Sekar Mekar.

Pada awal tahun 1358, Laksamana Nala datang ke Nansarunai dan menemukan isterinya sedang menimang seorang anak perempuan. Damayanti yang memakai nama samaran Samoni Batu, menerangkan bahwa anak yang ada dipangkuaanya itu adalah anak anak mereka berdua. Dan Laksamana Nala percaya saja akan apa yang telah dikatakan oleh isterinya itu.

Ketika kembali ke Majapahit, Damayanti beserta anaknya dibawa serta,lalu tinggal dipangkalan aramada laut Majapahit di Tuban. Beberapa bulan kemudian, Laksamana Nala secara kebetulan mendengar isterinya bersenandung untuk menidurkan puterinya dimana syair-syairnya menyebutkan bahwa Sekar Mekar mempunyai ayah yang sebenarnya ialah Raja Raden Anyan.

Bulan April 1358, datanglah prajurit-prajurit Majapahit, dibawah pimpinan Laksamana Nala dan Demang Wiraja menyerang Nansarunai. Mereka membakar apa saja termasuk kapal-kapal yang ada di pelabuhan dan rumah-rumah penduduk. Serangan itu mendapat perlawanan gigih prajurit-prajurit Nansarunai walaupun mereka kurang terlatih.

Menurut cerita, Ratu Dara Gangsa Tulen bersembunyi dipelepah kelapa gading bersenjata pisau dari besi kuning, bernama Lading Lansar Kuning. Ia banyak menimbulkan korban pada pihak musuh sebelum ia sendiri gugur. Raja Raden Anyan dalam keadaan terdesak lalu disembunyikan oleh para Patih dan Uria kedalam sebuah sumur tua yang sudah tidak berair lagi. Diatas kepalanya ditutup dengan sembilan buah gong besar, kemudian dirapikan dengan tanah dan rerumputan, agar tidak mudah diketahui musuh.

Ketika keadaan sudah bisa dikuasai oleh pihak Majapahit, Laksamana Nala memerintahkan Demang Wiraja untuk mencari Raden Anyan hidup atau mati. Atas petunjuk prajurit-prajurit suku Kalang yang terkenal mempunyai indera yang tajam, tempat persembunyian Raja Raden Anyan akhirnya dapat ditemukan.

Raja Raden Anyan tewas kena tumbak Laksamana Nala dengan lembing bertangkai panjang. Peristiwa hancurnya Nansarunai dalam perang tahun 1358 itu, terkenal dalam sejarah lisan suku Dayak Maanyan yang mereka sebut Nansarunai Usak Jawa.

Dalam perang itu telah gugur pula seorang nahkoda kapal dagang Nansarunai yang terkenal berani mengarungi lautan luas bernama Jumulaha. Ia banyak bergaul dan bersahabat dengan pelaut-pelaut asal Bugis dan Bajau. Untuk mengenang persahabatan itu, maka puterinya yang lahir ketika ditinggalkan sedang berlayar, diberi nama berbau Bugis yaitu La Isomena.

Prajurit-prajurit Majapahit yang gugur dalam perang tahun 1358 itu, diperabukan berikut persenjattan yang mereka miliki, didekat sungai Tabalong yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Tambak-Wasi. Tambak arti kuburan dan Wasi artinya besi dalam bahasa Maanyan kuno. Sehingga Tambak-Wasi artinya adalah kuburan yang mengandung unsur besi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar