Senin, 07 Mei 2018

SEJARAH MBAH ACHMAD RIFA'I KALISALAK YANG TERLUPAKAN

Nama KH Ahmad Rifa'I tak bisa luput dari deretan ulama tarekat Indonesia. Ialah sang pendiri organisasi kemasyarakatan Rifa'iyyah. Ia juga merupakan salah satu ulama yang bergelar pahlawan nasional.

Dialah K.H. Ahmad Rifa'i (1786-1876 M), putra kelahiran Kendal bermadzhab Syafi'iyah. Seorang ulama besar ahli Thoreqot. Sosok pemimpin yang tegas, ulet, dan gigih melawan dominasi Kolonialisme Belanda. Tak heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar Pahlawan Nasional melalui Kepres Nomor: 086/TK/2004.

Kiai lahir di Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada 9 Muharram 1200 hijriyyah, atau 1786 masehi. Ia telah menjadi yatim di usia sangat belia. Sang ayah yang merupakam ulama Kendal, KH Muhammad Marhum Bin Abi Sujak, meninggal saat Kiai Rifa'i baru berusia enam tahun. pun kemudian di bawah pengasuhan kakak perempuannya yang bersuamikan Kiai Haji As'ari, pendiri ponpes di Kaliwungu.

Dari kakak iparnya itulah Rifa'i kecil belajar ilmu agama hingga dewasa. Ia juga telah memulai jalan dakwah ketika cukup usia dengan menghelat tabligh keliling Kendal. Dakwah kiai terkenal tegas, sehingga Belanda pun mengawasi gerak-geriknya. Belum lagi tulisan-tulisannya yang menyuarakan kemerdekaan Tanah Air dari tangan penjajah.

Dengan sikap patriotik tersebut, kiai sering kali ditangkap penjajah, di penjara, bahkan diasingkan. Berkali-kali ia keluar masuk penjara di Kendal dan Semarang. Ia juga pernah diasingkan di Desa Kalisalak Batang. Saat dipengasingan tersebut, kiai justru mendirikan sebuah pondok pesantren. Dengan berdirinya ponpes tersebut, warga pun mulai melek terhadap pendidikan agama dan perjuangan kemerdekaan.

Lelah keluar masuk penjara, kiai pun kemudian memutuskan pergi ke Tanah Suci. Saat itu, usianya sekitar 30 tahun. Kiai ingin menambah ilmu agamanya langsung dari ulama Saudi. Di sana, ia pun berguru kepada para masyayikh, seperti Syekh Ahmad Ustman, Syekh Is Al -Barawi dan Syekh Abdul Aziz Al Habisyi. Setelah menempa ilmu di Saudi sekitar delapan tahun, kiai melanjutkan belajar ke Mesir.

Begitu pulang dari Makkah dan melihat kondisi di tanah air yang tak banyak berubah sejak 1833, kebencian K.H. Rifai kepada Belanda dan kaki tangannya semakin tebal. Saat itu dia kembali mengajar di almamater dan pesantren milik kakak iparnya, K.H. Hasyim Asyari, di Kaliwungu. Tak kapok dengan pengalaman penjaranya sebelum berangkat haji, dia tetap menyerukan sikap untuk memusuhi mereka. Akibatnya, dua kali dia dijebloskan ke jeruji besi; pertama di Kendal, kedua di Semarang. Kelar dengan hukumannya, K.H. Rifai memilih pindah ke daerah pedesaan di Kalisalak, Batang, Pekalongan, Jawa Tengah.

Di sana dia membangun pesantrennya sambil tetap menulis. Meski membenci Belanda, gerakan K.H. Ahmad Rifai ini tak menimbulkan gerakan perlawanan fisik seperti halnya H. Abdul Karim, Haji Tb. Ismail, dan lainnya dalam perlawanan petani di Banten pada 1888. Gerakan Rifaiyah ini memusuhi mereka dengan cara menjauhi mereka. Bahkan, meskipun “Perang Sabil”, salah satu mantra yang kerap terdengar dalam Perang Jawa, disebutkan dalam kitabnya, Nazam Wikayah, dia tetap tak menghendaki perlawanan fisik.

Slamete dunya akherat wajib kinira// nglawan raja kafir sekuasane kafikira
tur perang sabil lewih kadene ukara //kacukupan tan kanti akeh bala kuncara

Keselamatan dunia-akhirat wajib diperhitungkan// melawan raja kafir semampunya perlu dipikirkan
Juga perang sabil lebih dari pada ucapan// cukup tidak menggunakan pasukan yang besar

Karena kecenderungannya untuk menghindari pemerintah Belanda itulah kebanyakan pusat kegiatan Rifaiyah terletak di daerah pedesaan, seperti Kalisalak, Batang, Jawa Tengah. Terletak di pedalaman dan jauh dari pemerintah justru membuat gerakan Rifaiyah lebih kukuh. “Akibatnya, ia memiliki keleluasaan untuk mengobarkan sikap anti-pemerintah, bahkan mampu membentuk kekuatan rakyat kecil, yakni santri Kalisalak dengan cirinya melakukan isolasi dengan kebudayaan kota yang berbau pemerintah,”.

Di Kalisalak ini dia menekuni pengajiannya dan menulis ajaran-ajarannya. Dalam kitab-kitabnya, ia semakin tajam menyerang pemerintah. Dalam Abyan Hawaij, ia menulis:

Ratu Islam maring raja kafir anutan// Bupati Demang Ngawula asih-asihan
Maring raja kafir anut parintahan//

Ratu Islam menganut raja kafir// Bupati, Demang sama-sama mengabdi
Kepada raja kafir seraya mengikuti perintahnya//

Selain menulis kitab, Ahmad Rifai juga menulis surat teguran keras kepada bupati dan pemimpin agama. Dia mulai kebanjiran santri yang datang dari berbagai daerah. Dengan menyebutkan secara subur kata-kata kafir, fasik, zalim dalam kitab-kitabnya yang ditujukan kepada Pemerintah Belanda dan para pembantunya, K.H. Rifai membuat pemerintah Belanda gerah.

Pada umumnya masyarakat disana kaum petani yang pengetahuan agamanya perlu disempurnakan. Selain itu para murid yang pernah mendapat latihan mental waktu di Kendal adalah dari Krisidenan Pekalongan, di samping Karisidenan lain, seperti Maufuro Batang, Abu Ilham Batang, Abdul Azis Wonosobo, Abdul Hamid Wonosobo, Abdul Qohar Kendal, Muhammad Thuba Kendal, Imamtani Kutowinangun, Muh Idris Indramayu, Muharrar Purworejo, Mukhsin Kendal, Mas Suemodiwiryo Salatiga, Abdullah ( Dolak ) Magelang, Abu Hasan Wonosobo, Abu Salim Pekalongan, Abdul Hadie Wonosobo, Tawwan Tegal, Asnawi Pekalongan, Abdul Saman Kendal, Abu Mansyur Wonosobo, Abdul Ghani Wonosobo, Muhammad Hasan Wonosobo, Muhammad Tayyib Wonosobo, Ahmad Hasan Pekalongan, Nawawi Batang , Abu Nawawi Purwodadi.

Mereka itulah kader-kader Mubaligh tangguh yang berjasa mengembangkan pemikiran Haji Ahmad Rifai ke daerah - daerah Jawa Tengah danJawa Barat. Ketika Haji Ahmad Rifai berada di Kendal sempat menuklahkan putranya, Fatimah Alias Umroh dengan lurah Pondok, Maufuro bin Nawawi, Keranggonan ( sekarang Karanganyar ) Kecamatan Limpung. Setelah meninggalkan kota Kendal, Haji Ahmad Rifai sementara tinggal di rumah Kiai Maufuro menantunya.

Tidak lama kemudian Ahmad Rifai menikahi janda Demang Kalisalak Alm Martowidjojo namanya Sujainah lalu ia hidup bersama istrinya di Kalisalak. Di Kalisalak pada mulanya Kiai Haji Ahmad Rifai menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Namun lembaga itu kemudian berkembang menjadi majelis pendidikan yang mencakup pula orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Satu hal yang menyebabkan pengajian haji Ahmad Rifai cepat terkenal adalah metode terjemahannya, baik Al-Quran, Al-Hadits maupun kitab-kitab karangan ulama Arab dan Aceh lebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebelum diajarkan kepada para murid, bahkan kelihatan sebagai kewajiban yang ditempuh secara sadar,seperti yang tersirat di dalam satu bait kitab Ri'ayatal Himmah karya Haji Ahmad Rifai, sebagai berikut:

Wajib saben alim adil nuliyan narajumah kitab Arab rinetenan supoyo wong jawi akeh ngerti pitutur saking Qur'an lan kitab - kitab Arab jujur kaduwe wong awam enggal ngerti milahur ningali kitab Tarjamah jawi pitutur

Artinya: Diwajibkan bagi setiap alim adil ( ulama akhirat ) untuk menejemahkan kitab Arab, agar orang jawa lebih mengerti ajaran dari Al Qurandan kitab-kitab Arab ( Hadits dan Ulama ) dengan benar sehingga orang awam mengerti dan segera melaksanakannya.

melihat ( membaca dan mempelajari ) kitab Tarjumah jawa sebagai ajaran. karena metodenya yang tepat manfaat maka tak mustahil pengajian Ahmad Rifai cepat berkembang. Para muridnya datang dari daerah yang dekat saja seperti Kendal, Batang dan Pekalongan tetapi juga berasal dari Kedu , Wonosobo, Magelang , Banyumas, Kerawang, Indramayu dan lainnya . Dan intensitas pengajaran tauhid , fiqh dan tasawuf rasional yang dijalankan oleh Haji Ahmad Rifai yang menyebabkan perbedaan antara tradisi keliru yang telah mapan dengan pemikiran barunya . Mendirikan Pesantren Kiai Haji Ahamd Rifai mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren di Kalisalak Batang . Sistem pengajaran yang menggunakan terjemahan bahasa jawa untuk memahami ajaran - ajaran islam , mendorong bertambahnya murid pesantren yang berdatangan dari berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara waktu itu kebiasaan di pondok pesantren masih berlaku pengajian kitab - kiatb berbahasa Arab saja , dan masih asing terhadap kitab kitab terjemahan. Menurut DR. Karel A. Steenbrink ( Sarjana Belanda ) bahwa di dalam sejarah dakwah , Ahmad Rifai bisa dianggap hampir satu - satunya tokoh yang bisa memberikan uraian tentang agama Islam tanpa memakai idiom - idiom Arab dan mampu mengarang buku dalam bahasa yang menarik karena memakai bentuk syair.

Empat kali Residen Pekalongan, Franciscus Netscher melaporkan secara rahasia kegiatan Rifai ini kepada Gubernur Jenderal Duymaer van Twist dan kemudian Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud. Franciscus juga meminta Rifai diasingkan, tapi pemerintah enggan menanggapi permintaan ini karena tak memenuhi syarat. Selain Franciscus, beberapa pejabat Bumiputera juga melaporkan hal yang sama. Wedana Kalisalak, misalnya, melaporkan kepada Bupati Batang tentang pengajian K.H. Rifai yang makin banyak pengunjung dari berbagai daerah tanpa melalui izinnya. Tak lupa, mereka menyertakan kitab-kitab anggitan K.H. Rifai yang berisi penolakan terhadap Belanda. Tak serta merta laporan-laporan ini membuat Kyai Rifai dipanggil.

“Namun, ketika Wedana Kalisalak dan atasannya, Bupati Batang, kembali mengajukan keluhan yang sama pada bulan April 1859 tentang keresahan yang ditimbulkan oleh Ahmad Ripangi terhadap komunitas Islam dan sikapnya yang tidak menghormati polisi setempat, pengadilan pun segera digelar,” tulis Michael Francis Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia. K.H. Rifai dikenal juga dengan nama Ahmad Ripangi.
Demi memenuhi persyaratan pengasingan, tulis Adib dalam disertasinya, pada 6 Mei 1859 Franciscus memejahijaukan K.H. Rifai di Pengadilan Pekalongan. Pengadilan ini pula yang mengeluarkan surat keputusan tertanggal 19 Mei 1859 untuk pembuangannya ke Ambon, Maluku. Dalam surat keputusan itu pemerintah berkesimpulan bahwa K.H. Rifai mengajarkan Islam dengan semangat yang mengandung unsur permusuhan terhadap pemerintah Belanda. Dia dianggap mengganggu stabilitas negara.

Bagaimana pun, dia seorang tokoh Islam populer. Pada 1881, Asisten Bupati Yogyakarta memperkirakan bahwa dalam puncak popularitasnya K.H. Rifai memiliki sekitar dua ribu pengikut. Dengan jumlah ini, kekhawatiran pemerintah Belanda sangatlah beralasan.
Maka, ia dijauhkan dari umatnya. Di Ambon, ia masih sempat menulis. Meski K.H. Rifai diasingkan, gerakan Rifaiyah tetap berkembang. Kitab karangannya tetap dikaji santri-santrinya. Dia tetap mengirimkan kitab-kitabnya ke Jawa. Ia juga berwasiat kepada menantunya, Kiai Maufuro, dan santrinya agar tak bekerja sama dengan Belanda dan pembantunya.

Sebagai ulama, kiai banyak berdakwah serta menulis dan menerjemahkan buku. Di antara karyanya, yakni kitab terjemahan kitab berbahasa Arab dari ulama terdahulu yang jumlahnya mencapai 62 judul. Ia menerjemahkannya bebas ke dalam bahasa Jawa, sehingga dapat dimengerti masyarakat pedesaan. Karya-karya terjemah yang disebut Tarjumah inilah yang paling terkenal dari hasil karyanya. Pasalnya, kitab-kitab itu sangat membantu masyarakat desa dalam memahami agama.

Sebagai pejuang, Kiai Rifa'i sangat vokal dalam menyerukan perlawanan terhadap Belanda. Ia berdakwah sembari menanamkan semangat kemerdekaan kepada masyarakat. Alhasil, setiap geraknya selalu diawasi penjajah. Kiai sering kali diasingkan ke tempat terpencil. Ia juga pernah dibuang ke Ambon dan Manado.

Di akhir hayatnya, kiai pun meninggal di pengasingan di Tanah Tondano, Minahasa, Manado, Sulawesi Utara. Bahkan, tanggal kematiannya pun tak ada yang tahu pasti. Ada yang bilang, Kiai wafat pada Kamis 25 Rabiul Akhir 1286 H di usia 86 tahun. Sumber lain menyebut kiai wafat pada 1292 H di usia 92 tahun. Jenazah kiai dimakamkan di kompleks makam pahlawan di Tondano.

Karya Tulis Mbah Rifa'i yang tersimpan di Belanda

Selain dikenal sebagai ulama Nusantara abad ke-19 yang sangat anti terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, KH. Ahmad Rifa'i (1786-1870) Kalisalak, Batang, Jawa Tengah menurut Karel A. Steenbrink dalam buku berjudul Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 juga merupakan salah satu ulama yang sangat produktif dalam menulis kitab. Steenbrink menilai Mbah Rifa'i pandai menulis dengan bahasa sederhana yang mudah dipahamai tanpa memakai idiom-idiom Arab yang sulit.

Kitab-kitab agama yang ditulis Mbah Rifa'i dalam bentuk syair, puisi tembang Jawa, bentuk nastar dan nastrah ada sebanyak 65 judul. Sementara yang berbentuk Tanbih (semacam risalah singkat yang membahas satu topik) ada 500 karya dan terdapat 700 berupa nadzom doa. Jumlah kitab tersebut yang ditulis sebelum kiai Ahmad Rifa'i diasingkan ke Ambon Maluku, yaitu saat masih bermukim di Desa Kalisalak.

Disebutkan oleh Ahmad Syadzirin Amin (1996) selama hidup di pengasingan Ambon, Ahmad Rifa'i ternyata masih tetap konsisten menulis. Hanya media bahasanya beralih dari yang semula menggunakan bahasa Jawa, setelah di Ambon menggunakan bahasa Melayu. Saat diasingkan di Ambon ini Kiai Ahmad Rifai berhasil menulis empat judul kitab dan 60 buah judul Tanbih berbahasa melayu tulisan arab pegon.

Secara umum kitab-kitab di atas mengupas tentang tiga bidang ilmu syariat Islam yang meliputi fiqih, ushuluddin dan tasawuf.

Tetapi karena sebagian besar dalam kitab-kitab karya Kiai ahmad Rifai tersebut juga memuat kritikan keras dan protes tajam yang dialamatkan kepada pemerintah Hindia Belanda beserta para pengabdinya dari kalangan pegawai pribumi, sekitar tahun 1859 kitab-kitab itu disita oleh pemerintah kolonial Belanda dan sebagian dari hasil sitaan tersebut dikirimkan ke negeri Belanda dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Sartono Kartidirjo dalam bukunya Protest Movements in Rural Java seperti dikutip oleh Ahmad Syadzirin Amin (1996), menyebutkan kitab-kitab karya KH. Ahmad Rifa'i yang masih disimpan di Universitas Leiden Belanda antara lain:

1. No. 1139 Riayatal Himmah, tahun 1849 M
2. No 6944, Riayatul Himmah, tahun 1849 M
3. No. 5866, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
4. No. 11002, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
5. No. 11003, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
6. No. 8566, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
7. No. 6617, Nadzam Kaifiyah, tahun 1845 M
8. No. 7520, Tanbih Bahasa Jawa
9. No. 11004, Tanbib Bahasa Jawa
10. No. 7521, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
11. No. 8570, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
12. No. 8590, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
13. No. 7522, Takhyirah Mukhtasar, tahun 1848 M
14. No. 11004, Takhyirah Mukhtasar 1848 M
15. No. 11004, Takhyirah Mukhtasar, tahun 1848 M
16. No. 7523, Abyanal Hawaij, tahun 1849 M
17. No. 7524, Nadzam Irfaq, tahun 1845 M
18. No. 8489, Munawirul Himmah, tahun 1856 M
19. No. 5865, Athlab, tahun 1842 M
20. No. 8566, Nadzam Tazkiyah, tahun 1852 M
21. No. 8567, Tasyrihatal Muhtaj, tahun 1849 M
22. No. 8568, Syarihul Iman, tahun 1839 M
23. No. 8569, Tasfiyah, tahun1849 M
24. No. 11001, Bayan, tahun1839 M
25. No. 11001, Imdad, tahun 1845 M
26. No. 11004, Thariqat, tahun 1840 M
27. No. 8571, Tahshinah (memperbagus bacaan), tahun 1850 M
28. No. 11004, Tanbihun Bahasa Melayu, tahun 1860 M
29. No. 11001, Prose Epistle (?), tahun 1938 M
30. No. 11004, Lembar, 300 hal
31. Tanpa nomer, Shihhatun Nikah
32. Tanpa Nomer, Tajwid (ringkasan Tahsinah)
33. Tanpa Nomer, Nadzam Wiqayah.

Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar