Selasa, 24 Juli 2018

Hukum Berkurban Untuk Orang Tua Yang Telah Wafat

Dibalik ingar bingar idul qurban beberapa pekan ke depan, tentu akan banyak pertanyaan muncul dalam diskusi sehari-hari seputar fiqih qurban. Diskusi yang berujung pada pemaknaan dan pengertian atas bermacam hukum qurban. Salah satu masalah yang cukup sering muncul ke dalam diskusi masyarakat baik di ruang-ruang masjid maupun di ruang maya adalah pertanyaan mendasar, bolehkah berqurban atas nama orang lain?

Dilihat keutamaannya, ibadah qurban merupakan satu dari sekian ibadah yang menjadi syiar Islam atau corong penyebar kebaikan Islam. Di dalam idul qurban ada momentum terbaik untuk mewujudkan dan membuktikan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah dan segala ketaatan seorang hamba pada Rabbnya. Dalam tiap pelaksanaan ibadah qurban tersimpul kebaikan dan keberkahan yang tak akan bisa dihargai sejumlah rupiah yang dibayarkan untuk membeli ternak qurban.

Hukum qurban yang paling banyak dipegang oleh kesepakatan ulama adalah sunnah muakkadah atau sunnah yang diutamakan. Diutamakan pada siapa? Hukum qurban adalah sunnah bagi yang mampu dan berkecukupan untuk melaksanakannya. Jika mampu namun meninggalkan atau tak sempat melaksanakan ibadah qurban dengan berbagai alasan, maka hukumnya adalah makruh.

Bahwa hukum berkurban itu sendiri adalah sunnah muakkad. Tetapi khusus untuk Rasulullah saw hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan kepada sabda beliau, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi;


أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi).

Kesunnahan dalam hal ini adalahsunnah kifayah jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah kesunnahan yang lain, tetapi jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnah ‘ain.sedang kesunnahan berkurban ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.


وَالْاُضْحِيَة- ....(سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ


“Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588)

Sampai di sini tidak ada persoalan, tetapi persoalan kemudian muncul mengenai berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia. Biasanya hal ini dilalukan oleh pihak keluarganya, karena orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup belum pernah berkurban. Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.


وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا

“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, h. 321)

Setidaknya argumentasi yang dapat dikemukakan untuk menopang pendapat ini adalah bahwa kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, niat orang yang berkurban mutlak diperlukan.

Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi. Alasan pandangan ini adalah bahwa berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406)

Di kalangan madzhab Syafi’i sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahih (ashah) dan dianut mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan mayoritas ulama madzhab syafi’i, namun pandangan kedua didukung oleh madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hal ini sebagaimana yang terdokumentasikan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.


إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ

“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka madzhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut madzhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji” (Lihat,Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, h. 106-107)

An-Nawawi (w. 676) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan dalam kitabnya Raudhatu Ath-Thalibin terkait masalah qurban untuk orang yang sudah wafat sebagai berikut :

وذكر صاحب «العدة» : أنه لو أنبط عينا أو حفر نهرا أو غرس شجرة أو وقف مصحفا في حياته أو فعله غيره عنه بعد موته يلحق الثواب الميت.

Penulis kitab Al-Uddah menuliskan bahwa bila seseorang menemukan mata air atau menggali sungai atau menanam pohon atau mewakafkan mushaf semasa hidupnya, atau ada orang yang melakukan untuknya setelah dia wafat, maka dia (mayyit itu) akan mendapatkan pahalanya.

واعلم أن هذه الأمور إذا صدرت من الحي فهي صدقات جارية، يلحقه ثوابها بعد الموت كما صح في الحديث، وإذا فعل غيره عنه بعد موته، فقد تصدق عنه.والصدقة عن الميت تنفعه، ولا يختص الحكم بوقف المصحف، بل يجري في كل وقف .

Ketahuilah bahwa masalah ini bila dilakukan oleh orang yang masih hidup akan menjadi sedekah jariyah, dimana pahalanya akan sampai kepadanya setelah matinya sebagaimana disebutkan di dalam hadits. Dan bila orang lain yang melakukannya setelah kematiannya, juga termasuk sedekah baginya. Dan sedekah untuk mayyit akan memberikan manfaat. Hukumnya tidak sebatas mewakafkan mushaf tapi berlaku untuk semua wakaf.

وهذا القياس يقتضي جواز التضحية عن الميت؛ لأنها ضرب من الصدقة. وقد أطلق أبو الحسن العبادي جواز التضحية عن الغير، وروى فيه حديثا. لكن في «التهذيب» أنه لا تجوز التضحية عن الغير بغير إذنه، وكذلك [عن] الميت، إلا أن يكون أوصى به

Qiyas ini membolehkan qurban untuk mayit karena merupakan bagian dari sedekah juga. Abu Al-Hasan Al-Abadi membolehkan qurban untuk orang lain dan beliau meriwayatkan hadits untuk itu.

Namun di dalam kitab At-Tahzib disebutkan bahwa tidak dibenarkan qurban untuk orang lain kecuali dengan seizinnya. Demikian juga qurban untuk mayyit kecuali bila semasa hidupnya pernah berwasiat.

Syaikh Muhammad bin Ahmad al Khotib As Sarbini (W 977 H) dalam kitab Mughni Mughtaj juz 18 halaman 148, menjelaskan:

( وَلَا ) تَضْحِيَةَ ( عَنْ مَيِّتٍ لَمْ يُوصِ بِهَا ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى } فَإِنْ أَوْصَى بِهَا جَازَ ، فَفِي سُنَنِ أَبِي دَاوُد وَالْبَيْهَقِيِّ وَالْحَاكِمِ { أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ عَنْ نَفْسِهِ وَكَبْشَيْنِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ : إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ ، فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ أَبَدًا }

Tidak boleh berqurban untuk orang yang sudah meninggal, kecuali ada wasiat, Allah berfirman dalam Suarat An Najm ayat 39 :”dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”, tetapi jika ada wasiat maka di perbolehkan (berqurban untuk orang yang sudah meninggal) dan di jelaskan dalam Sunan Abi Daud, Baihaqi dan Hakim: “ Sesungguhnya ‘Ali bin Abi tholib berqurban dengan dua ekor kambing domba untuk dirinya sendiri dan dua ekor kambing domba untuk Nabi SAW, dan ‘Ali berkata: Sesungguhnya Rasulallah SAW memrintahkan kepada saya untuk berqurban atas nama beliau, maka saya berqurban untuk beliau selamanya”.

Dari pemaparannya nampak bahwa para ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah tidak sepakat tentang kebolehannya. Ada yang membolehkan tanpa syarat dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat.

Sebagian yang membolehkan qurban untuk mayyit mensyaratkan harus ada wasiat dari mayyit sebelum kematiannya. Dan sebagian yang lain membolehkan qurban untuk mayyit tanpa harus ada wasiat sebelumnya, dengan dalil bahwa bila mayyit itu berhutang lalu dilunasi orang lain, maka pembayaran hutang itu bermanfaat buat mayit itu meski dia tidak pernah mewasiatkan sebelumnya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar