Selasa, 24 Juli 2018

Penjelasan Tentang Kurban Seekor Kambing Untuk Keluarga

Menjelang hari raya kurban ini beredar broadcast yang mengajak tidak perlu berkurban bagi masing-masing anggota keluarga, tapi cukup seekor kambing bagi sekeluarga katanya. Tidak perlu masing-masing orang kurban sendiri. Demikian kurang lebih ajakan broadcast itu. Apakah benar demikian?

Ajakan dan asumsi seperti itu kurang pas, sebab mengajak beribadah dengan standar minimal saja. Meski ada pendapat ulama yang membolehkan kurban satu kambing untuk sekeluarga, seperti pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad (al-Mughni, XI/98), tetapi bagi yang berkecukupan lebih baik berkurban sendiri-sendiri. Sebagaimana dikutip oleh ahli hadits sekaligus ahli fikih mazhab Maliki Abu al-Walid al-Baji (403-474 H/1012-1081 M) dalam karyanya al-Muntaqa ‘ala Syarh Muwattha’(III/144), Imam Malik menegaskan:

أَسْتَحِبُّ قَوْلَ ابْنِ عُمَرَ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْ كُلِّ إِنْسَانٍ بِشَاةٍ لِمَنْ اسْتَطَاعَ ذَلِكَ وَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهُ أَكْثَرُ ثَوَابًا وَأَبْعَدُ مِنْ الِاشْتِرَاكِ الَّذِي هُنَا فِي الضَّحَايَا .

“Aku menyukai pendapat Ibn ‘Umar yang menyatakan, hendaknya bagi orang (kepala keluarga) yang mampu, untuk berkurban dengan satu kambing bagi masing-masing orang (anggota keluarga).

Karena lebih banyak pahalanya dan lebih terhindar dari bersama-sama orang lain dalam kurbannya.”

Rasulullah SAW pernah menyembelih satu hewan kurban yang diperuntukkan untuk dirinya dan umatnya yang demikian banyak itu. Hal ini bisa diketahui dari doa yang dibaca Rasulullah saat menyembelih hewan kurbannya sebagai berikut.

اَللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

Artinya, “Tuhanku, terimalah kurbanku ini untukku dan umatku.”

Diriwayatkan dari Anas, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing kibasy yang berwarna putih dan bertanduk. Beliau menyembelih yang seekor, seraya berkata:

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ هَذَا مِنْ مُحَمَّدٍ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، وَقَرَّبَ الآخَرُ فَقَالَ: بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ هَذَا مِنْ عَمَّنْ وَحَّدَكَ مِنْ أُمَّتِي

‘Bismillah. Ya, Allah! Ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu, kurban ini dari Muhammad dan keluarganya.’ Lalu Beliau menyembelih yang seekor lagi seraya berkata, ‘Bismillah. Ya, Allah! Ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu, kurban ini dari siapa saja yang mentauhidkan-Mu dari kalangan umatku.”

Hadits Rasulullah SAW ini dipahami oleh para ulama sebagai bentuk kepedulian Rasulullah SAW yang menyertakan umatnya dalam pahala kurban kambing yang dia sembelih. Sedangkan kurbannya itu sendiri hanya diperuntukkan bagi dirinya. Dengan kurban Rasulullah, gugurlah tuntutan ibadah kurban terhadap semua orang. Dari sini ulama menyimpulkan bahwa hukum ibadah kurban itu pada dasarnya sunah kifayah yang bila dikerjakan oleh salah seorang dari mereka, maka tuntutan berkurban dari mereka sudah memadai. Lain soal kalau kurban diniatkan nadzar, maka hukumnya menjadi wajib. Karenanya para ulama sepakat bahwa satu kambing hanya bisa diperuntukkan kurban bagi satu orang. Imam An-Nawawi menyebutkannya sebagai berikut.

 تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد لكن إذا ضحى بها واحد من أهل البيت تأدى الشعار في حق جميعهم وتكون التضحية في حقهم سنة كفاية وقد سبقت المسألة في أول الباب

Artinya, “Seekor kambing kurban memadai untuk satu orang, dan tidak memadai untuk lebih dari satu orang. Tetapi kalau salah seorang dari anggota keluarga berkurban dengan satu ekor, maka memadailah syiar Islam di keluarga tersebut. Ibadah kurban dalam sebuah keluarga itu sunah kifayah. Masalah ini sudah dibahas di awal bab,” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz 8, halaman 397).

Secara lebih jauh, Ibnu Hajar mengulas praktik kurban Rasulullah SAW. Menurutnya, kurban memang untuk satu orang. Tetapi orang yang berkurban dapat berbagi pahala kepada orang lain.

 تُجْزِئُ ( الشَّاةُ ) الضَّائِنَةُ وَالْمَاعِزَةُ ( عَنْ وَاحِدٍ ) فَقَطْ اتِّفَاقًا لَا عَنْ أَكْثَرَ بَلْ لَوْ ذَبَحَا عَنْهُمَا شَاتَيْنِ مُشَاعَتَيْنِ بَيْنَهُمَا لَمْ يَجُزْ ؛ لِأَنَّ كُلًّا لَمْ يَذْبَحْ شَاةً كَامِلَةً وَخَبَرُ اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ مَحْمُولٌ عَلَى التَّشْرِيكِ فِي الثَّوَابِ وَهُوَ جَائِزٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالُوا لَهُ أَنْ يُشْرِكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِ أُضْحِيَّتِهِ وَظَاهِرُهُ حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ أَشْرَكَهُ وَهُوَ ظَاهِرٌ إنْ كَانَ مَيِّتًا قِيَاسًا عَلَى التَّصَدُّقِ عَنْهُ وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَا يَأْتِي فِي الْأُضْحِيَّةِ الْكَامِلَةِ عَنْهُ بِأَنَّهُ يُغْتَفَرُ هُنَا لِكَوْنِهِ مُجَرَّدَ إشْرَاكٍ فِي ثَوَابِ مَا لَا يُغْتَفَرُ ثُمَّ رَأَيْت مَا يُؤَيِّدُ ذَلِكَ وَهُوَ مَا مَرَّ فِي مَعْنَى كَوْنِهَا سُنَّةَ كِفَايَةٍ الْمُوَافِقُ لِمَا بَحَثَهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ الثَّوَابَ فِيمَنْ ضَحَّى عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ لِلْمُضَحِّي خَاصَّةً لِأَنَّهُ الْفَاعِلُ كَالْقَائِمِ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ


Artinya, “(Seekor kambing) baik domba maupun kambing kacang itu memadai untuk kurban (satu orang) saja berdasarkan kesepakatan ulama, tidak untuk lebih satu orang. Tetapi kalau misalnya ada dua orang menyembelih dua ekor kambing yang membaur sebagai kurban bagi keduanya, maka tidak boleh karena masing-masing tidak menyembelihnya dengan sempurna. Hadits ‘Tuhanku, inilah kurban untuk Muhammad dan umat Muhammad SAW,’ mesti dipahami sebagai persekutuan dalam pahala. Ini boleh saja. Dari sini para ulama berpendapat bahwa seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya. Secara tekstual, pahala itu didapat bagi orang menyertakan orang lain. Ini jelas, meskipun orang yang disertakan itu sudah wafat. Hal ini didasarkan pada qiyas sedekah atas mayit. Tentu harus dibedakan antara sedekah biasa dan ibadah kurban sempurna. Karena di sini sekadar berbagi pahala kurban dibolehkan. Saya melihat dalil yang memperkuat pernyataan ini seperti pernah dijelaskan di mana hukum ibadah kurban adalah sunah kifayah. Hal ini sejalan dengan bahasan sejumlah ulama yang menyebutkan bahwa pahala orang yang berkurban untuknya dan keluarganya itu sejatinya untuk dirinya sendiri. Karena, orang pertama lah yang berkurban, sama halnya dengan orang yang menunaikan ibadah fardhu kifayah,” (Lihat Ahmad bin Hajar Al-Haitami,Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan keempat, tahun 2011, juz 4, halaman 354-355).

Bagaimana memahami kurban untuk satu orang sementara pahalanya bisa untuk orang lain? Sulaiman Al-Bujairimi menyelesaikan pernyataan yang tampak kontradiksi itu. Menurutnya, dua pernyataan itu tidak saling menegasikan. Demikian keterangannya.

قَوْلُهُ : ( وَتُجْزِئُ الشَّاةُ ) فَإِنْ قُلْت إنَّ هَذَا مُنَافٍ لِمَا بَعْدَهُ حَيْثُ قَالَ : فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ ، وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ . أُجِيبُ : بِأَنَّهُ لَا مُنَافَاةَ لِأَنَّ قَوْلَهُ هُنَا عَنْ وَاحِدٍ أَيْ مِنْ حَيْثُ حُصُولِ التَّضْحِيَةِ حَقِيقَةً وَمَا بَعْدَهُ الْحَاصِلُ لِلْغَيْرِ إنَّمَا هُوَ سُقُوطُ الطَّلَبِ عَنْهُ ، وَأَمَّا الثَّوَابُ وَالتَّضْحِيَةُ حَقِيقَةً فَخَاصَّانِ بِالْفَاعِلِ عَلَى كُلِّ حَالٍ


Artinya, “(Satu ekor kambing [untuk satu orang, tidak lebih]). Kalau Anda bertanya, ‘Pernyataan ini menafikan kalimat setelahnya yang menyebutkan (Kalau seseorang menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya, maka boleh)’, kami akan menjawab bahwa pernyataan pertama tidak menafikan pernyataan kedua. Karena, frasa ‘untuk satu orang’ di sini maksudnya adalah hakikat kurban. Sementara frasa selanjutnya hanya menerangkan gugurnya anjuran sunah ibadah kurban ‘untuk orang lain’. Sedangkan perihal pahala dan kurban secara hakiki bagaimanapun itu khusus hanya untuk mereka yang berkurban,” (Lihat Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib, Beirut, Darul Fikr, 2007 M/1427-1428 H, juz 4, halaman 333).

Ada baiknya kami sertakan di sini argumentasi yang diajukan Ibnu Rusyd dari Madzhab Maliki. Ia menjelaskan kenapa ulama sepakat kurban satu ekor kambing hanya untuk satu orang.

وذلك أن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، ولذلك اتفقوا على منع الاشتراك في الضأن. وإنما قلنا إن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، لأن الأمر بالتضحية لا يتبعض إذ كان من كان له شرك في ضحية ليس ينطلق اسم مضح إلا إن قام الدليل الشرعي على ذلك


Artinya, “Karena memang pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang. Karenanya para ulama sepakat dalam menolak persekutuan kurban beberapa orang atas seekor kambing. Kenapa kami katakan ‘pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang?' Pasalnya, perintah kurban tidak terbagi (untuk kolektif, tetapi per orang). Ketika orang bersekutu atas seekor hewan kurban, maka sebutan ‘orang berkurban’ tidak ada pada mereka. Lain soal kalau ada dalil syara’ yang menunjukkan itu,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, halaman 396).

Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama sepakat atas kurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa dibagi kepada orang lain. Jadi dua hal ini harus dipisahkan, antara kurban dan pahala.

Dari sini pula kita dapat memahami bahwa hadits adakalanya dapat langsung dipahami secara tekstual. Tetapi adakalanya pemahaman sebuah hadits tertunda karena menuntut analisa dan kajian lebih mendalam, tidak sekadar tekstual.

Pandangan Dalam Madzhab Syafi’i

Karenanya wajar, bila dalam mazhab Syafi’i dinyatakan, bahwa seekor kambing tidak cukup untuk berkurban dalam arti sebenarnya yaitu memperoleh pahala khusus kurban sebagai tebusan diri, kecuali bagi satu orang saja. Sementara hadits-hadits yang mengesankan satu kambing cukup bagi sekeluarga diarahkan pada konteks pelaku kurban mengharap kepada Allah pahalanya secara umum juga didapatkan sekeluarga. Ibrahim al-Marwazi (Hasyiyyah al-‘Abbadi, IX/345) menjelaskan secara gamblang:

لَوْ نَوَى بِالشَّاةِ نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ لَمْ يَجُزْ إذْ لَا يَقَعُ إلَّا عَنْوَاحِدٍ، وَالْحَدِيثُ مَحْمُولٌ عَلَى الِاشْتِرَاكِ فِي الثَّوَابِ لَا الْأُضْحِيَّةَ.

“Andaikan orang berniat dengan satu kambing untuk kurban dirinya dan keluarganya, maka tidak boleh, karena tidak akan berhasil (menjadi tebusan) kecuali dari satu orang saja. Sementara hadits yang mengesankan kurban satu kambing cukup untuk sekeluarga diarahkan pada konteks (harapan) sekeluarga sama-sama mendapatkan pahalanya, bukan dalam makna berkurban sebenarnya.”

Abu al-Qasim al-Furani (388-461 H/998-1069 M), pemuka Syafi’iyyah asal kota Mawra saat mengutip Imam al-Buwaithi (w. 231/846 H) murid langsung Imam as-Syafi’i (Hasyiyyah al-‘Abbadi, IX/345) menegaskan:

لَا الْأُضْحِيَّةَ لِاسْتِحَالَةِ وُقُوعِهَا عَنْ كُلِّهِمْ عَنْ كُلِّ جُزْءٍ مِنْ شَاةٍ وَلَا أَحْسَبُ فِيهِ خِلَافًا.

“Tidak mencukupi untuk berkurban sebenarnya, karena mustahil terjadinya kurban (menjadi tebusan) bagi masing-masing anggota keluarga dengan masing-masing bagian dari satu ekor kambing. Saya kira ini tidak diperselisihkan.”

Pada waktu berikutnya Ibn Hajar al-Haitami (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra II/52) memfatwakan:

أَنَّ الْقَصْدَ مِنَ التَّضْحِيَةِ فِدَاءُ النَّفْسِ وَالشَّارِعُ في الشَّاةِ لَمْ يَجْعَلِ الْفِدَاءَ إلَّا كَامِلًا.

“Sungguh tujuan utama kurban adalah menebus diri dan syariat tidak menjadikan tebusan seseorang dalam satu ekor kambing kecuali satu ekor sempurna.”

Begitu pula Syaikh Sulaiman al-Jamal (Hasyiyyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, V/251) menyampaikan:

لَا أَنَّهُ يَحْصُلُ لَهُمُ الثَّوَابُ الْمُسْتَلْزِمُ لِكَوْنِهَا فِدَاءً عَنِ النَّفْسِ وَإِنَّمَا هُوَ لِلْمُضَحِّي خَاصَّةً.

“Tidak berarti bila sudah ada yang berkurban satu orang dalam sekeluarga, semua mendapatkan pahala sebagai tebusan diri. Pahala itu khusus bagi yang berkurban saja.”

Berbagai penjelasan ulama Syafi’iyyah sangat selaras dengan nash al-Quran ketika mengisahkan Nabi Ibrahim As menebus Nabi Ismail As dengan seekor kambing utuh, sebagaimana Allah firmankan:

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ. (الصافات: 107)

“Dan kami tebus Ismail dengan menyembelih seekor kambing yang besar.”

Dalam hadits shahih pun Nabi Saw benar-benar memperingatkan:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا. (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَه وَ قَالَ الْحَاكِمُ: صَحِيحُ الْإِسْنَادِ)

“Orang yang punya kelonggaran rejeki namun tidak berkurban, maka sungguh jangan dekati tempat shalat kita.” (HR. Ahmad dan Ibn Majjah dan al-Hakim yang berkata: “Sanadnya shahih.”)

Karenanya, yuk berkurban secara maksimal. Bagi yang mampu, satu kambing yang gemuk untuk masing-masing orang dalam sekeluarga, sehingga benar-benar menjadi tebusan diri yang sempurna.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar