Kamis, 05 Juli 2018

Tuduhan Bahwa Kaum Asy'ariyah Sesat Adalah Fitnah

Di forum-forum offline maupun online, para penganut Wahabisme itu adalah kaum yang sangat benci dengan muslimin yang mengikuti aqidah Asy’ariyyah. Mereka mengatakan Asy’ariyah itu sesat, tahukah anda bahwa imam-imam ulama yang punya nama besar semacam Ibnu Hajar Atsqolani, Imam Nawawi, Imam Baihaqy adalah para penganut Aqidah Asy’ariyyah yang notabene adalah kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Pertanyaannya, lalu kenapa Para Wahabiyyun itu sangat benci dengan kaum penganut aqidah Asy’ariyyah dan menganggapnya sebagai musuh abadi? Lalu serta merta dengan itu kaum Wahabi membajak nama besar Ahlussunnah Wal Jama’ah sebaga label baru Wahabi/Salafi?

Disebutkan dalam kitab Ibnu Taimiyah:

ﺃﻥ اﻷﺷﻌﺮية ﺃﻋﻴﺎﻥ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﻧﺼﺎﺭ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ اﻧﺘﺼﺒﻮا ﻟﻠﺮﺩ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺒﺘﺪﻋﺔ ﻣﻦ اﻟﻘﺪﺭﻳﺔ ﻭاﻟﺮاﻓﻀﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻓﻤﻦ ﻃﻌﻦ ﻓﻴﻬﻢ ﻓﻘﺪ ﻃﻌﻦ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ، ﻭﺇﺫا ﺭﻓﻊ ﺃﻣﺮ ﻣﻦ ﻳﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ اﻟﻨﺎﻇﺮ ﻓﻲ ﺃﻣﺮ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺗﺄﺩﻳﺒﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﺮﺗﺪﻉ ﺑﻪ ﻛﻞ ﺃﺣﺪ

"Sesungguhnya Madzhab Asy'ari adalah ahlussunnah itu sendiri, dan mereka adalah penolong Syariah. Mereka berdiri tegak untuk melawan ahli Bid'ah baik dari qodariyah, Syiah rafidhoh dan lainnya. Barangsiapa yang mencela Madzhab Asy'ari maka dia telah mencela ahli sunnah. jika masalah ini dilaporkan kepada pihak yang berwenang dari umat Islam maka wajib baginya untuk mendidik orang tersebut agar orang lain tidak melakukan hal yang sama" (Majmu' Fatawa 6/603)

Benarkah Imam Abu Hasan Al Asy'ari ini menyimpang dari ajaran Ahli sunah? Tidak benar, Imam Adz-Dzahabi pun menilai beliau Ahli sunah:

ﻭﺃﺧﺬ ﻋﻨﻪ ﻓﻦ اﻟﻜﻼﻡ ﺃﻳﻀﺎ: ﺃﺑﻮ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ، ﺛﻢ ﺧﺎﻟﻔﻪ، ﻭﻧﺎﺑﺬﻩ، ﻭﺗﺴﻨﻦ.

"Dan diantara yang mempelajari ilmu Kalam dari Ali al-Jubai adalah Abu Hasan Al Asy'ari, lalu dia berbeda pendapat dengan gurunya, kemudian dia menyerangnya dan dia menjadi ahli sunnah" (Siyar A'lam An-Nubala 11/113).

Imam As-Subki telah mendata para ulama ahli hadits memilih mazhab Asy'ariyah:

ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺬﻫﺐ ﺇﻟﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﺃﺑﻲ اﻟﺤﺴﻦ اﻷﺷﻌﺮﻱ . ﻗﻠﺖ ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ اﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ ﻗﺪﻳﻤﺎ ﻭﺣﺪﻳﺜﺎ ﺇﻻ ﻣﻦ اﺑﺘﺪﻉ

"Khotib Al Baghdadi mengikuti mazhab Abu Hasan Al Asy'ari. Saya (As-Suhki) katakan bahwa Mazhab Asy'ari adalah mazhab para ahli Hadis baik yang terdahulu atau yang terkini, kecuali orang yang ahli bid'ah" (Thabaqat Syafi'iyah al-Kubro 4/32).

Jika memang menilai Madzhab Asy'ari sesat, mengapa masih memakai kitab Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari, padahal Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani adalah Asy'ari? Imam Nawawi, Imam Al-Baihaqi dan ratusan ahli hadis lainnya.

Allah Dan Rasul-Nya Menjamin Mayoritas Muslim Tidak Akan Sesat, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

اﻥ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺪ ﺃﺟﺎﺭ ﺃﻣﺘﻲ اﻥ ﺗﺠﺘﻤﻊ ﻋﻠﻰ ﺿﻼﻟﺔ (اﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺎﺻﻢ) ﻋﻦ اﻧﺲ.

"Sungguh Allah telah menyelamatkan umatku untukmu bersepakat di atas kesesatan" (HR Ibnu Ashim. Syekh Albani menilai Hasan)

Mayoritas Ulama dan umat Islam telah memilih pendapat Imam Asy'ari sebagai cara memahami dalil Qur'an dan Hadits dalam masalah Aqidah. Maka di hadis ini ada jaminan tidak mungkin yang mayoritas ini sesat.

Salafi yang jumlahnya sedikit selalu berkilah: "Kebenaran tidak pasti bersama mayoritas". Kita jawab: "Kalau Anda tidak menjamin mayoritas itu benar, apalagi tambah tidak ada jaminan yang minoritas pasti benar".

Dalam  kitab Risalatu Ahlissunnah Wal Jamaah, Kyai Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa golongan Ahlussunnah itu adalah mereka yang secara aqidah mengikuti madzhab Abu Hasan Al-Asy’ari, dan dalam berfiqih mengikuti salah satu madzhab empat. Madzhab aqidah yang kemudian dikenal dengan aqidah Asy’ariyah ini diikuti oleh mayoritas ulama ahli hadits ternama dan ulama fiqih utama seperti Al-Baihaqi, Al-Baqilani, Al-Qusyairi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Fakhruddin Al-Razi, Al-Nawawi, Al-Suyuti, Izzuddin bin Abdissalam, Taqiuddin Al-Subki, Ibnu Asakir, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Aqil Al-Hanbali, dan Ibnul Jauzi. Mereka meliputi ulama dari berbagai madzhab fiqih Syafi’i, Maliki, Hanafi dan sebagian Hanbali.

Di kalangan santri pesantren salaf, aqidah Asy’ariyah sudah tidak asing lagi. Kitab tauhid Asy’ariyah dipelajari di madrasah diniyah secara berulang-ulang dari sejak tingkat awal sampai kelas tingkat akhir. Umumnya kitab tauhid Asy’ariyah yang dikaji adalahAqidatul Awam, Al-Dasuqi, Hushunul Hamidiyah, Al-Sanusiyah, Jawahir Al-Kalamiyah, Al-Luma’, dan lain-lain.

Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah) :

جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال: (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.

ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.

“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.

Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak menafikkannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikkannya. Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala: ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.

Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.

Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.

Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”

Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :

إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقولاستوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.

ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا

“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya :‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu :  dengan ilmu Kami”.

Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat :

رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد

“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan lafadhnya karena khawatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.

Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :

فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم - إذا دعوا - نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.

“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta" (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.

Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.

وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.

وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.

“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’alaberada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.

Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.

Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.

Al-Imam Abu Bakr bin Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-Hasan Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak. Beliau (Ibnu Faurak) berkata :

الفصل الأول في ذكر ما حكى أبو الحسن رضي الله عنه في كتاب المقالات من جمل مذاهب أصحاب الحديث وما أبان في آخره أنه يقول بجميع ذلك.

 “Pasal Pertama : Penyebutan Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu dalam Kitab Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang Dijelaskan di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”

Ibnu Faurak kemudian menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian akhirnya :

فهذا تحقيق لك من ألفاظه أنه معتقد لهذه الأصول التي هي قواعد أصحاب الحديث وأساس توحيدهم

“Ini adalah satu penelitian bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau berkeyakinan dengan prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh Ashhaabul-Hadiits dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.

Telah berkata Al-Haafidh Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy: Aku pernah membaca kitab Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang menetapkan al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal tersebut :

ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.

“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan) : ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”

Telah berkata Al-Ustadz Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-Sunnah :

ما نقموا من أبي الحسن الأشعري إلا أنه قال بإثبات القدر، وإثبات صفات الجلال لله، من قدرته، وعلمه، وحياته، وسمعه، وبصره، ووجهه، ويده، وأن القرآن كلامه غير مخلوق.

سمعت أبا علي الدقاق يقول : سمعت زاهر بن أحمد الفقيه يقول مات الأشعري رحمه الله ورأسه في حجري فكان يقول شيئا في حال نزعه لعن الله المعتزلة موهوا ومخرقوا

“Tidaklah mereka membenci Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan adanya qadar, menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, dan bahwasannya Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.

Aku pernah mendengar Abu ‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin Ahmad Al-Faqiih berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada di pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka telah tertipu dan telah berdusta”.

Telah berkata Al-Haafidh Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnya Tabyiinu Kadzibil-Muftariy fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :

فإذا كان أبو الحسن رحمه الله كما ذكر عنه من حسن الإعتقاد، مستصوب المذهب عند أهل المعرفة والإنتقاد، يوافقه في أكثر ما يذهب إليه أكابر العباد، ولا يقدح في مذهبه غير أهل الجهل والعناد، فلا بد أن يحكى عنه معتقده على وجهه بالأمانة، ليعلم حاله في صحة عقيدته في الديانة، فاسمع ما ذكره في كتاب الإبانة فإنه قال : ((الحمد لله الواحد العزيز الماجد، المتفرد بالتوحيد، المتمجد بالتمجيد، الذي لا تبلغه صفات العبيد، وليس له مثل ولا نديد....)). فرد في خطبته على المعتزلة والقدرية والجهمية [والرافضة. إلى أن قال : فإن قال قائل : قد أنكر تم قول المعتزلة والقدرية والجهمية] والحرورية والرافضة والمرجئة، فعرفونا ما قولكم الذي تقولون، وديانتكم التي بها تدينون ؟ قيل له : قولنا الذي به نقول، وديانتنا التي بها ندين، التمسك بكتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان عليه أحمد بن حنبل نضر الله وجهه قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون، لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق عند ظهور الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به المبتدعين، فرحمه الله من إمام مقدم، وكبير مفهم وعلى جميع أئمة المسلمين.

“Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah seorang yang mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab yang ditempuh para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab mereka (para ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9] kecuali dari kalangan orang-orang bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin menjelaskan i'tiqadnya disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran ‘aqidahnya dalam perkara agama. Maka, dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-Nya, yang terpuji dengan pujian, yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan tidak ada kesamaan maupun tandingan bagi-Nya…”.

Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidlah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidlah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena ia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.

وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون - إلى أن قال :

وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، - إلى أن قال : -

وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.

Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’alabersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya :‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :

Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :

“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya :‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.

Kemudian Ibnu ‘Asakir berkata :

فتأملوا رحمكم الله هذا الإعتقاد ما أوضحه وأبينه، واعترفوا بفضل هذا الإمام الذي شرحه وبينه.

“Maka renungkanlah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan ini. Alangkah terang dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan imam ini (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya (kepada kalian semua)”.

Telah berkata Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :

ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.

كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.

“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.

Abul-Hasan Hasan pada mulanya adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman dari Abu ‘Ali Al-Juba’iy. Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling menjadi seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits menyepakati sebagian besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami tuturkan dari beliau, bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju dengan pendapat mereka. Beliau adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar (hadits) dari Al-Haafidh Zakariyyah As-Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau”.

Padahal hampir seluruh ulama yg namanya ditulis dengan “tinta emas”dalam sejarah Islam. Dan menjadi pelita umat sepanjang umur umat Islam dengan ilmu yang mereka miliki adalah mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dalam masalah aqidah.

Ulama Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Senioritas

Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib Al-Muftari menyebut sejumlah ulama besar yang mengikuti madzhab Asy’ariyah. Ia membagi pada lima kategori berdasarkan faktor senioritas. Ulama yang disebut di bawah hanya sebagian kecil untuk sekadar contoh. Menurut Tajuddin Al-Subki, seandainya disebut semua, niscaya hampir semua ulama madzhab empat mengikuti manhaj aqidah Asy’ariyah.

Generasi pertama yang menganut Asy’ariyah adalah para ulama abad Keempat Hijriyah antara lain: Abu Bakar Al-Baqilani (wafat, 403 H), Abu Bakar bin Faurak (w. 406 H), Abu Hamid Al-Isfirayini (w. 406 H), Abu Ishaq Al-Isfirayini (w. 418 H), Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H), Abul Qasim Al-Isfirayini (w. 452 H), Abu Bakar Al-Baihaqi (w. 458 H), Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H), Abul Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H), Abul Muzhoffar Al-Isfirayini (w. 471 H), Abul Walid Al-Baji (w. 474 H), Abu Ishaq Al-Syairazi (w. 476 H), Abul Ma’ali Al-Juwaini (w. 478 H).

Ulama generasi kedua yang menganut Asy’ariyah adalah para ulama yang hidup pada abad kelima hijrah (abad ke-11 masehi) antara lain: Abu Hamid Al-Ghazali (wafat, 505 H), Abul Qasim Al-Anshari (w. 511 H), Ibnu Rusydi (w. 520 H), Abu Bakar Ibnul Arobi (w. 543 H), Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H), Abul Fath Al-Syahrastani (w. 548 H), Ibnu Asakir (w. 571 H).

Ulama generasi ketiga yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad keenam hijriyah ( abad ke-12 masehi) antara lain: Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H), Abul Qasim Al-Rofi’i (w. 623 H), Saifuddin Al-Amadi (w. 631 H), Ibnul Hajib (w. 646 H), Al-Izz bin Abdissalam (w. 660 H), Muhyiddin Al-Nawawi atau Imam Nawawi (w. 676 H), Nasiruddin Al-Baidhawi (w. 691 H).

Ulama generasi keempat yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad ketujuh hijriyah ( abad ke-13 masehi) antara lain: Ibnu Daqiq Al-Id (w. 702 H), Kamaluddin Al-Zamlakani (w. 727 H), Badruddin bin Jamaah (w. 733 H), Aduddin Al-Iji (w. 757 H), Taqiuddin Al-Subki (w. 771 H), Syamsuddin Al-Kirmani (w. 786 H), Sa’duddin Al-Taftazani (w. 793 H).

Ulama generasi kelima yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kedelapan hijriyah ( abad ke-14 masehi) antara lain: Sirajuddin Al-Bulqini (w. 805 H), Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu Khaldun (w. 808 H), Al-Syarif Al-Jurjani (w. 816 H), Taqiuddin Al-Hishni (w. 829 H), Ibnu Hajar Al-Asqolani (w. 852 H), Muhammad bin Yusuf Al-Sanusi (w. 895 H).

Ulama generasi keenam yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kesembilan hijriyah ( abad ke-15 masehi) antara lain: Syamsuddin Al-Sakhawi (w. 902 H), Jalaluddin Al-Suyuti (w. 911 H), Syihabuddin Al-Qastalani (w. 923 H), Zakariyah Al-Anshari (w. 926 H), Abdul Wahab Al-Sya’roni (w. 973 H), Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H).

Ulama generasi ketujuh yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ariah adalah para ulama yang hidup pada abad kesepuluh hijriyah ( abad ke-16 masehi) antara lain: Syamsuddin Al-Ramli (w. 1004 H).

Ulama Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Keilmuan

Dari nama-nama ulama yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa pengikut Asy’ariyah adalah kalangan ulama papan atas yang berasal dari berbagai bidang keilmuan Islam. Untuk lebih memudahkan dalam memahami, berikut kategorisasi ulama pengikut aqidah Asy’ariyah berdasarkan keahlian mereka dalam bidang ilmu tertentu.

Dalam bidang tafsir dan ilmu Al-Quran terdapat sejumlah nama terkenal antara lain, Al-Jashash, Abu Amr Al-Dani, Al-Kayya, Al-Harasi, Ibnul Arabi, Al-Razi, Ibnu Atiyah, Al-Mahalli, Al-Baidhowi, Al-Tsa’alibi, Abu Hayyan, Ibnul Jazari, Al-Samarqandi, Al-Wahidi, Al-Zarkasyi, Al-Suyuthi, Al-Alusi, Al-Zarqani, Al-Nasafi, Al-Qasimi, Ibnu Asyur, dan banyak lagi yang lain.

Dari kalangan ahli hadits dan ilmu hadits terdapat sejumlah nama masyhur berikut: Al-Daruqutni, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Ibnu Asakir, Al-Khattabi, Abu Nuaim Al-Isbahani, Al-Sam’ani, Ibnul Qattan, Al-Qadhi Iyadh, Ibnus Sholah, Al-Mundziri, Al-Nawawi, Al-Haitsami, Al-Muzi, Ibnul Hajar, Ibnul Munir, Ibnu Battal, mayoritas pensyarah kitab Bukhari dan Muslim, mayoritas pensyarah kitab hadits (kutub as-sunan). Juga, Al-Iraqi, putra Al-Iraqi, Ibnu Jamaah, Al-Aini, Al-Ala’i, Ibnul Mulqin, Ibnu Daqiq Al-Id, Al-Zamlakani, Al-Zaila’i, Al-Suyuthi, Ibnu Allan, Al-Sakhawi, Al-Manawi, Ali Al-Qori, Al-Jalal Al-Dawani, Al-Baiquni, Al-Laknuwi, Al-Zubaidi, dan banyak lagi yang lain.

Dari ulama ahli sejarah antara lain: Qadhi Iyadh, Al-Tabari, Khatib Al-Baghdadi, Abu Nuaim Al-Isbahani, Ibnu Hajar, Al-Muzi, Al-Suhaili, Al-Solihi, Al-Suyuthi, Ibnul Atsir, Ibnu Khaldun, Al-Tilmasani, Al-Qasthalani, Al-Shafdi, Ibnu Khalakan, Qadhi Syuhbah, Ibnu Nasiruddin, dan lain-lain.

Dari ulama ahli bahasa antara lain: Al-Jurjani, Al-Qazwini, Abul Barakat Al-Anbari, Al-Suyuthi, Ibnu Malik, Ibnu Aqil, Ibnu Hisyam, Ibnu Manzhur, Al-Fairuzabadi, Al-Zubaidi, Ibnul Hajib, Khalid Al-Azhari, Abu Hayyan, Ibnul Atsir, Al-Hamudi, Ibnu Faris, Al-Kafawi, Ibnu Ajurum, Al-Hattab, Al-Ahdal, dan lain-lain.

Dari kalangan penguasa muslim, terdapat nama-nama tenar seperti Salahuddin Al-Ayubi, Muzhafar, Nizham Al-Muluk, Sultan Al-Fatih Turki dan para sultan Turki Usmani yang lain.

Pengikut Asy’ariyah Berdasarkan Madzhab Fiqih

Dari kalangan ahli fiqih dan ilmu ushul fiqih terdapat nama-nama besar antara lain:

a) Dari madzhab Hanafi: Ibnu Najim, Al-Kasani, Al-Sarakhsi, Al-Zaila’i, Al-Haskafi, Al-Mirghanani, Al-Kamal bin Al-Hamam, Al-Syaranbalali, Ibnu Amir Al-Haj, Al-Bazdawi, Al-Khadimi, Abdul Aziz Al-Bukhari, Ibnu Abidin Al-Tahtawi, dan mayoritas ulama India, Pakistan dan Bangladesh.
b) Dari madzhab Maliki: Ibnu Rusydi, Al-Qarafi, Al-Syatibi, Ibnul Hajib, Khalil, Al-Dardir, Al-Dasuqi, Zuruq, Al-Laqqani, Al-Zarqani, Al-Nafrawi, Ibnu Jazi, Al-Adwi, Ibnul Haj, Al-Sanusi, Ulaisy, mayoritas ulama Maroko, dan lain-lain.
c) Dari madzhab Syafi’i: Al-Juwaini, Al-Razi, Al-Ghazali, Al-Amidi, Al-Syairazi, Al-Isfirayini, Al-Baqilani, Al-Mutawalli, Al-Sam’ani, Ibnus Sholah, An-Nawawi, Al-Rofi’i, Al-Iz Ibnu Abdissalam, Ibnu Daqiq Al-Id, Ibnur Rif’at, Al-Adzra’i, Al-Asnawi, Al-Subki, Al-Baidhawi, Al-Hishni, Zakariya Al-Anshari, Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Romli, Al-Syarbini, Al-Mahalli, Ibnul Muqri, Al-Bujairami, Al-Baijuri, Ibnul Qasim Al-Ibadi, Qalyubi, Umairah, Ibnu Qasim Al-Ghazzi, Ibnu Naqib, Al-Attar, Al-Bannani, Al-Dimyati, Al-Ahdal, dan lain-lain.

Semua pemilik nama-nama besar di atas adalah para pengikut Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dalam aqidahnya, yang para ulama menyebut aqidah Asy’ariyah dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Kalau menurut kalian wahai Wahabiyyun, bahwa Al-Hafidz Ibnul Jauzi, Imam Ibn Hibban, Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali, Al-Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al- Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi,Al-Hafidz Alaai, Al Hafidz Zainudin Al-Iraqi, dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani dll, bukan termasuk ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, maka siapakah yang kalian maksud dengan Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah itu?

Konsekwensi Jika Anggap Ulama Asy’ariyyah Sesat

Kalau mau konsisten dengan pendapat kalian bahwa mereka telah menyimpang dan memasukkan mereka sesat dalam aqidah Islam. Maka konsekwensinya jangan lagi gunakan kitab dan karya Ulama Asy’ariyyah, apalagi menukil pendapat mereka dalam masalah aqidah untuk mendukung pendapat kalian dalam masalah aqidah pula. Sungguh aneh !?

Tapi ternyata hal itu tidak terjadi. Bahkan dalam majalah edisi khusus  yang mereka tulis dalam masalah hadis, pertama kali mereka menunjukkan apa yang mereka anggap sesat dan menyimpang dari aqidah kaum asy’ariyah lalu diberilah vonis sesat bahkan kafir. Tapi yang aneh setelah itu pendapat-pendapat dari para Ulama Hadis pengikut aqidah Asy’ariyah seperti Al-Hafidz Ibn Hajar, Imam Nawawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Iraqi, Ibn Shalah dll menjadi rujukan utama unutk memberi justifikasi dalam masalah aqidah versi mereka. Bukankan ini sebuah keanehan yang menggelikan ?!

Lalu kalian berkata lagi: Ulama kan bukan hanya mereka! Tapi ingat bukankan Salafi Wahabi telah mengadopsi pendapat sebagian Ulama’ yang menyatakan bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah adalah Ulama ahli hadits seperti perkataan Imam Ahmad yang mengatakan Kalau bukan ahli hadis, aku tidak tahu lagi siapa mereka ? dll! Biasanya kalian akan berkelit dengan mengatakan : Ulama Ahli Hadis-kan tidak terbatas pada mereka !!? Lalu apakah Al- Hafidz Al-Isma’ili, Al-Hafidz Al-Baihaqi, Al-Hafidz Al-Daruqutni, Al-Hafidz Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Hafidz As-Salafi, Qadhi Iyadh, Imam An-Nawawi, Al-Hafidz Alaai, Al-Hafidz Zainudin Al-Iraqi, dan putranya Al-Hafidz Waliyudin, Khatimatul Hufadz Ibn Hajar Al-Asqolani dll, bukan termasuk ahli hadis !?

Lalu siapa Ahli hadits yang kalian maksud ?! Lalu manhaj ahli hadis mana yang kalian ikuti !!? Kalau ternyata sebagian besar Para Hufadz Ahli Hadis berada dalam posisi yang berlawanan dengan posisi kalian, ternyata semua Ahli Hadits adalah pengikut aqidah Asy’ariyyah !? Hendaknya ini menjadi bahan renungan bagi orang-orang yg mampu berpikir dengan jujur!

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

1 komentar:

  1. Jangan Baper dulu !
    Coba perhatikan pernyataan2 imam Abul Hasan Al-Asy'ari dalam kitab beliau (Maqalatul-islamiyyin dan Al-ibanah) bahwa keyakinan (aqidah) beliau diantaranya meyakini :
    Allah di atas 'arasy
    Allah memiliki wajah
    Allah memiliki tangan
    Sifat2 Allah ini tentunya bukan sifat yg serupa dgn makhlukNya.

    Maka madzhab imam Asy'ari yg seperti inilah yg dimaksud oleh Ibnu Taimiyah dan imam Adzdzahabi, yaitu aqidah yg sesuai dgn aqidahnya Ahli sunnah ahli hadits (madzhab salaf).
    Sekarang jawab dgn jujur !
    Apakah aqidahnya orang2 yg sekarang mengaku2 bermadzhab Asy'ariyah dalam aqidah itu memang berkeyakinan sama dgn keyakinannya imam Abul hasan al-asy'ari ?! Bahkan keyakinan orang2 yg mengaku2 bermadzhab asy'ariyah sekarang ini pada hakekatnya bermadzhab MU'TAZILAH, karenan mereka mentakwil sifat2 Allah dgn cara2 takwilnya MUTAZILAH. Nah, mereka inilah yg dimaksud madzhab asy'ariyah yg sesat itu, yaitu yg hanya mengaku2 saja bermadzhab asy'ariyah padahal bertolak belakang dgn aqidahnya imam Abul hasan al-Asy'ari rahimahullah.
    Hendaknya ini menjadi bahan renungan bagi orang-orang yg mampu berpikir dengan jujur!

    BalasHapus