Allah perintahkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik. Dengan memenuhi setiap kebutuhannya, baik nafkah lahir, dan tentu saja nafkah bathin. Sebagaimana lelaki juga ingin mendapatkan kenikmatan syahwat, wanita juga ingin mendapatkan kenikmatan batin bersama suaminya.
Allah berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Wanita punya hak (yang harus ditunaikan suaminya sesuai ukuran kelayakan), sebagaimana dia juga punya kewajiban (yang harus dia tunaikan untuk suaminya).” (QS. al-Baqarah: 228)
Karena itulah, yang secara sengaja tidak memenuhi kebutuhan bathin istrinya, sampai menyakiti istrinya, maka suami berdosa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan beberapa sahabatnya yang waktunya hanya habis beribadah, sehingga tidak pernah menjamah istrinya.
Diantaranya, peristiwa yang dialami Utsman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu. Sahabat yang menghabiskan waktunya untuk beribadah.
Aisyah bercerita,
Saya pernah menenui Khoulah bintu Hakim, istrinya Utsman bin Madz’un. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Khoulah suasananya kusam, seperti tidak pernah merawat dirinya. Beliaupun bertanya kepada A’isyah,
يَا عَائِشَةُ، مَا أَبَذَّ هَيْئَةَ خُوَيْلَةَ؟
“Wahai Aisyah, Khoulah kok kusut kusam ada apa?”
Jawab Aisyah,
“Ya Rasulullah, wanita ini punya suami, yang setiap hari puasa, dan tiap malam tahajud. Dia seperti wanita yang tidak bersuami. Makanya dia tidak pernah merawat dirinya.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang untuk memanggil Utsman bin Madz’un. Ketika beliau datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat,
يَا عُثْمَانُ، أَرَغْبَةً عَنْ سُنَّتِي؟ ” قَالَ: فَقَالَ: لَا وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَلَكِنْ سُنَّتَكَ أَطْلُبُ، قَالَ: ” فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ، فَاتَّقِ اللهَ يَا عُثْمَانُ، فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَصَلِّ وَنَمْ
“Wahai Utsman, kamu membenci sunahku?”
“Tidak Ya Rasulullah. Bahkan aku selalu mencari sunah anda.” Jawab Ustman.
“Kalau begitu, perhatikan, aku tidur dan aku shalat tahajud, aku puasa dan kadang tidak puasa. Dan aku menikah dengan wanita. Wahai Utsman, bertaqwalah kepada Allah. Karena istrimu punya hak yang harus kau penuhi. Tamumu juga punya hak yang harus kau penuhi. Dirimu punya hak yang harus kau penuhi. Silahkan puasa, dan kadang tidak puasa. Silahkan tahajud, tapi juga harus tidur.” (HR. Ahmad 26308 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Pesan ini juga pernah disampaikan Salman kepada Abu Darda radhiyallahu ‘anhuma, karena beliau tidak pernah tidur dengan istrinya,
إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya dirimu punya hak yang harus kau tunaikan. Tamumu punya hak yang harus kau tunaikan. Istrimu punya hak yang harus kau tunaikan. Berikan hak kepada masing-masing sesuai porsinya.”
Pernyataan Salman ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Turmudzi 2413 dan dishahihkan al-Albani).
Al-Imam Muslim berkata dalam Shahih-nya :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ..........
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Amru An-Naaqid dengan lafadh dari ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Suatu ketika istri Rifaa'ah menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : “Aku adalah istri Rifaa'ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya sepertihudbatuts-tsaub (ujung kain)”. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa'ah ? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu….” [Shahih Muslim no. 1433].
Hudbatuts-tsaub maknanya adalah kemaluan suami lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga tidak bisa memuaskan [An-Nihaayah].
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa tuntutan pemenuhan ‘nafkah biologis’ (= jima’) seorang istri kepada suaminya merupakan suatu hal yang lumrah, diperbolehkan, dan bahkan disyari’atkan. Dengan adanya ikatan pernikahan, seorang istri mempunyai hak dari suami atas nafkah jima’ dan bersenang-senang.
Lantas bagaimana halnya apabila suami tidak dapat memenuhi karena adanya gangguan atau penyakit seperti impotensi dan semisalnya ? Para ulama telah membahas hal ini.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata saat membahas cacat yang dapat membatalkan nikah :
فاختلف الفقهاءُ فى ذلك، فقال داود، وابنُ حزم، ومَنْ وافقهما: لا يُفْسَخْ النكاحُ بعيب ألبتة، وقال أبو حنيفة: لا يفسخ إلا بالجَبِّ والعُنَّةِ خاصة. وقال الشافعى ومالك: يُفْسَخُ بالجنونِ والبَرَصِ، والجُذامِ والقَرَن، والجَبِّ والعُنَّةِ خاصة، وزاد الإمام أحمد عليهما: أن تكونَ المرأة فتقاءَ منخرِقة ما بينَ السبيلين، ولأصحابه فى نَتَنِ الفرج والفم، وانخراقِ مخرجى البول والمنى فى الفرج، والقروح السيالة فيه، والبواسير، والنَّاصور، والاستحاضة، واستطلاقِ البول، والنجو، والخصى وهو قطعُ البيضتينِ، والسَّل وَهو سَلُّ البيضتين، والوجء وهو رضُّهما، وكونُ أحدهما خُنثى مشكلاً، والعيبِ الذى بصاحبه مثلُه مِن العيوب السبعة، والعيبِ الحادث بعد العقد، وجهان.
وذهب بعضُ أصحابِ الشافعى إلى ردِّ المرأة بكُلِّ عيبٍ تُردُّ به الجاريةُ فى البيع وأكثرُهم لا يَعْرِفُ هذا الوجهَ ولا مظِنَّتَه، ولا مَنْ قاله. وممن حكاه: أبو عاصم العبادانى فى كتاب طبقات أصحاب الشافعى، وهذا القولُ هو القياس، أو قولُ ابن حزم ومن وافقه.
وأما الاقتصارُ على عيبين أو ستة أو سبعة أو ثمانية دون ما هو أولى منها أو مساو لها، فلا وجه له،
“Para fuqahaa telah berbeda pendapat tentang hal tersebut. Abu Daawud, Ibnu Hazm, dan yang sependapat dengan mereka berdua berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan sama sekali pernikahan dengan sebab adanya cacat’. Abu Haniifah berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan kecuali suaminya terpotong kemaluannya (dikebiri) dan impoten’. Asy-Syaafi’iy dan Maalik berkata : ‘(Pernikahan) dibatalkan dengan sebab gila, kusta, lepra, qaran (= semacam kelainan dari kemaluan seorang wanita akibat adanya daging tumbuh atau semacamnya sehingga tersumbat yang mengakibatkan tidak bisa melakukan jima’), terpotong kemaluannya, dan impoten’. Al-Imam Ahmad menambahkan dari yang telah disebutkan keduanya : ‘Jika si wanita mempunyai kelainan pada kemaluannya karena sobek pembatas antara dua lubang (qubul dan dubur)’. Dan menurut shahabat-shahabatnya termasuk bau busuk yang keluar dari farji dan mulut, robeknya saluran kencing dan mani pada kemaluan, luka nanah pada kemaluan, wasir, sembelit, istihadlah, kencing terus-menerus, najwu (= penyakit/kelainan pada perut sehingga mengeluarkan bau busuk dan kotoran), khashaa (terpotong buah dzakarnya), tidak memiliki buah dzakar, waj’u (buah dzakarnya hancur/rusak), berkelamin ganda, dan cacat-cacat lain yang sejenis dengan tujuh cacat ini yang ada pada suami/istri.
Sedangkan cacat yang terjadi setelah ‘aqad, ada dua pendapat. Sebagian shahabat Asy-Syaafi’iy berpendapat untuk mengembalikan wanita (kepada keluarganya) untuk setiap cacat yang ada yang mana jika cacat itu ada pada seorang budak wanita, boleh dikembalikan kepada tuannya. Kebanyakan shahabat Asy-Syaafi’iy tidak mengetahui alasan dan dalil pendapat ini dan tidak mengetahui siapa yang mengatakannya. Dan dari yang dikatakan Abu ‘Aashim Al-‘Abbaadaaniy dalam kitab Thabaqaat Asy-Syaafi’iy, pendapat ini merupakan hasil dari qiyas, atau pendapat Ibnu Hazm dan orang yang sependapat dengannya.
Adapun pembatasan atas dua, enam, tujuh, atau delapan cacat tanpa cacat lain yang lebih tinggi derajatnya (parah) atau sama, maka pendapat itu tidak punya sandaran/dalil….” [Zaadul-Ma’aad, 5/182; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 3/1406].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن الحقوق الأبضاع، فالواجب الحكم بين الزوجين بما أمر الله ـ تعالى ـ به، من إمساك بمعروف أو تسريح بإحسان. فيجب على كل من الزوجين أن يؤدي إلى الآخر حقوقه، بطيب نفس وانشراح صدر؛ فإن للمرأة على الرجل حقًا في ماله، وهو الصداق والنفقة بالمعروف. وحقًا في بدنه، وهو العشرة و المتعة؛ بحيث لو إلى منها استحقت الفرقة بإجماع المسلمين، وكذلك لو كان مجبوبًا أو عنينًا لا يمكنه جماعها فلها الفرقة؛ ووطؤها واجب عليه عند أكثر العلماء.
“Termasuk di antara hak-hak (yang harus dipenuhi) adalah hubungan intim. Maka wajib hukumnya bagi suami suami istri melaksanakannya sesuai dengan perintah Allah ta’ala, termasuk di antaranya mempergauli atau menceraikannya dengan baik. Wajib pula bagi setiap pasangan suami istri untuk memenuhi haknya satu dengan lainnya dengan ikhlash dan lapang dada. Sesungguhnya bagi seorang wanita mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh laki-laki (suaminya) dari harta yang berupa mahar dan nafkah secara ma’ruf, dan hak badan yang berupa jima’ dan bersenang-senang – dimana jika hak-hak tersebut tidak bisa dipenuhi, maka istrinya berhak menuntut cerai berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Begitu pula apabila suaminya terpotong kemaluannya atau impoten sehingga tidak memungkinkan untuk berjima’, maka si istri juga berhak menuntut cerai. Hal itu dikarenakan menggauli (menjimai) istri hukumnya wajib menurut kebanyakan ulama” [Majmu’ Al-Fataawaa, 28/383].
وكذلك يوجب العقد المطلق سلامة الزوج من الجَبّ والعِنَّة عند عامة الفقهاء. وكذلك يوجب عند الجمهور سلامتها من موانع الوطء كالرتق، وسلامتها من الجنون، والجذام، والبرص. وكذلك سلامتهما من العيوب التي تمنع كماله، كخروج النجاسات منه أو منها، ونحو ذلك، في أحد الوجهين في مذهب أحمد وغيره
“Begitu pula diwajibkan dalam akad pernikahan yang bersifat mutlak, yaitu bebasnya seorang suami dari cacat terpotong kemaluannya dan impotensi menurut jumhur fuqahaa’. Selain itu juga bebas dari penghalang untuk bisa berjima’ seperti tertutupnya lubang kemaluan (ratq), bebas dari gila, lepra, dan kusta. Juga bebas dari cacat yang menghalangi kesempurnaannya seperti keluarnya najis dari kemaluan laki-laki atau wanita; dan yang lainnya. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan lainnya…” [idem, 29/175].
Apabila seorang suami menderita cacat impotensi setelah menjalani bahtera pernikahan, maka dalam hal ini suami diberi tenggang satu tahun. Jika setelah tenggang waktu itu ia belum sembuh, maka istri berhak menuntut cerai.
نا أبو طلحة نا بندار نا عبد الرحمن نا سفيان عن الركين بن الربيع قال : سمعت أبي وحصين بن قبيصة يحدثان عن عبد الله قال يؤجل سنة فإن أتاها وإلا فرق بينهما
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thalhah : Telah mengkhabarkan kepada kami Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Ar-Rukain bin Ar-Rabii’, ia berkata : Aku mendengar ayahku dan Hushain bin Qabiishah menceritakan dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun. Apabila ia mendatangi (mampu menjimai kembali) istrinya, (maka pernikahan itu diteruskan). Jika tidak, maka (boleh) dipisahkan (cerai) antara keduanya” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3814; sanadnya shahih].
حدثنا أبو طلحة حدثنا بُندار حدثنا عبد الرحمن عن سفيان عن الركين عن أبي النعمان قال : أتينا المغيرة بن شعبة في العنين، فقال : يؤجل سنة
Telah menceritakan kepada kami Abu Thalhah : Telah menceritakan kepada kami Bundaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman, dari Sufyaan, dari Ar-Rukain, dari Abun-Nu’maan, ia berkata : “Kami mendatangi Al-Mughiirah bin Syu’bah (untuk bertanya) tentang orang yang impoten. Lalu ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3815; kemungkinan Abun-Nu’maan ini bernama Nu’aim bin Handhalah atau dikatakan juga An-Nu’maan bin Handhalah atau dikatakan juga nama yang lainnya. Jika benar ini adalah ia, maka shahih].
حدثنا علي أنا شعبة قال سألت قتادة وحمادا فقالا يؤجل سنة في العنين
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Qataadah dan Hammaad (tentang orang yang impotensi), mereka berdua berkata : “Diberikan waktu satu tahun bagi orang yang impoten” [Musnad Ibni Ja’d no. 1039; sanadna shahih].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
أن كُلَّ عيب ينفِرُ الزوجُ الآخر منه، ولا يحصُل به مقصودُ النكاح مِن الرحمة والمودَّة يُوجبُ الخيارَ، وهو أولى مِن البيع، كما أن الشروطَ المشترطة فى النكاح أولى بالوفاءِ مِن شروط البيع، وما ألزم اللَّهُ ورسولُه مغروراً قطُّ، ولا مغبوباً بما غُرَّ به وغُبِنَ به، ومن تدبَّر مقاصد الشرع فى مصادره وموارِده وعدله وحِكمته، وما اشتمل عليه مِن المصالح لم يخفَ عليه رجحانُ هذا القول، وقربُه من قواعد الشريعة.
“Bahwasannya setiap cacat yang dapat membuat lari pasangannya darinya serta (keberadaan faktor yang) tidak dicapai dengannya tujuan pernikahan yaitu (terwujudnya) cinta dan kasih-sayang; maka mengkonsekuensikan pilihan (untuk meneruskan rumah tangga atau melakukan perceraian). Dan itu lebih dikedepankan daripada akad jual-beli sebagaimana keberadaan syarat yang dipersyaratkan dalam pernikahan lebih dikedepankan untuk dipenuhi daripada persyaratan jual-beli. Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan orang yang tertipu dan terpedaya menerima sesuatu yang tidak diinginkan. Dan barangsiapa yang mentadaburi/memikirkan tujuan-tujuan syari’at berupa prinsip-prinsip keadilan dan hikmah dari suatu hukum dan maslahat-maslahat yang terkandung di dalamnya, tentu tahu kuatnya pendapat ini dan sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at yang ada” [Zaadul-Ma’aad, 5/183].
Al-Imam Al-Qodhi 'Iyadh -rahimahullah- berkata,
اتَّفَقَ كَافَّةُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ حَقًّا فِي الْجِمَاعِ، فَيَثْبُتُ الْخِيَارُ لَهَا إِذَا تَزَوَّجَتِ الْمَجْبُوبَ وَالْمَمْسُوحَ جَاهِلَةً بِهِمَا، وَيُضْرَبُ لِلْعِنِّينِ أَجَلُ سَنَةٍ لِاحْتِمَالِ زَوَالِ مَا بِهِ.
"Para ulama sepakat bahwa seorang wanita punya hak dalam hal jimak. Karenanya, telah tetap baginya pilihan (antara pisah dan tidak), jika ia menikah dengan suami yang kehilangan pelir atau kehilangan kemaluan dalam kondisi ia tak tahu (sebelumnya); dan bagi suami yang impoten diberi masa tenggang selama setahun, karena masih mungkinnya hal itu hilang." [Lihat FathulBari (9/468)]
Al-Imam Utsman Ibnush Sholah -rahimahullah- berkata,
لا يثبت لها الفسخ بعد ثبوت التعنين حتى يضرب له الحاكم أجل سنة فإذا مضت السنة ولم يطأها فلها الفسخ بحكم الحاكم والله أعلم
"Tidak sah baginya fasakh setelah jelasnya padanya impotensi sampai pemerintah menetapkan bagi suami (masa tenggang) selama setahun. Jika setahun telah berlalu dan ia tak mampu menggauli istri, maka istri berhak menggugat fasakh berdasarkan keputusan pemerintah, wallahu a'lam."[Lihat Fatawa Ibnish Sholaah (jld. 1/hlm. 72)]
Syaikh Athiyyah Shoqr Al-Mishriy -rahimahullah- berkata dalam kumpulan fatwa ulama Al-Azhar,
وإذا ظهر أن بالزوج عيبا يمنع الإنجاب . كأن كان مجبوبا -أى مقطوع الذكر-أو عنينا - أى غير قادر على الجماع لضعف خلقى أو كبر السن مثلا-أو خصيا-أى مقطوع الخصيتين -فللزوجة أن ترفع الأمر إلى القضاء لطلب التفريق بينه وبينها ، وإذا ثبت ذلك عند القاضى بأى طريق من طرق الإثبات أمر الزوج بتطليقها ، فإن لم يطلقها ناب عنه القاضى فى تطليقها منعا للضرر الذى يلحقها -وهذا الطلاق يكون بائنا بينونة صغرى
"Jika tampak bahwa pada suami ada aib yang menghalangi terjadinya kelahiran, misalnya: suami terputus dzakarnya atau ia impoten (ia tak mampu berjimak) karena kelemahan fisik, atau lansia –misalnya-, atau terputus pelirnya, maka si istri berhak mengajukan gugatan ke pengadilan demi meminta adanya pemisahan antara suami dan istri. Jika hal itu terbukti di sisi hakim dengan suatu metode diantara metode-metode pembuktian, maka suami diperintah untuk menalak istrinya. Jika ia tidak mentalaknya, maka suami diganti oleh hakim dalam sang istri demi mencegah madhorot yang akan menimpa istri. Talak ini merupakan talak ba'in shugro."[Lihat Fatawa Al-Azhar (10/89)]
Al-Imam Abdullah bin Mahmud bin Mawdud Al-Maushiliy Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata,
فإذاكان الزوج عنينا وخاصمته المرأة في ذلك أجّله القاضي سنة فإن وصل إليها، وإلا فرق بينهما إن طلب المرأة ذلك، لأن لها حقا في الوطء فلها المطالبة به ، ويجوز أن يكون ذلك لمرض ، ويحتمل أن يكون لآفة أصلية فجعلت السنة معرفة لذلك لاشتمالها على الفصول الأربعة ؛ فإن كان المرض من برودة أزاله حر الصيف ، وإن كان من رطوبة أزاله يبس الخريف ، وإن كان من حرارة أزاله برد الشتاء ، وإن كان من يبس أزاله رطوبة الربيع على ما عليه العادة ، وروي ذلك عن عمر وعلي وابن مسعود رضي الله عنهم ، فإذا مضت السنة، ولم يصل إليها علم أنه لآفة أصلية فتخير
"Jika suami impoten, dan istri menggugatnya dalam hal itu, maka hakim memberi masa tempo kepada suami selama setahun. Jika ia telah sampai setahun. Jika ia sudah bisa berhubungan, (maka tidak dipisah). Namun jika tidak mampu, maka dipisah diantara keduanya, jika si istri meminta hal itu. Karena istri punya hak jimak, sehingga ia punya hak tuntutan dalam hal itu.
Impotensi tersebut boleh jadi karena penyakit. Mungkin juga karena gangguan alami, sehingga masa tempo setahun dijadikan sebagai tanda pengenal bagi hal itu, karena setahun itu mencakup empat musim. Jika penyakit impoten itu terjadi karena (pengaruh) dingin, maka ia akan dihilangkan oleh panasnya musim panas. Jika impoten karena kelembaban, maka ia dihilangkan oleh udara kering di musim gugur. Jika impotennya karena panas, maka ia akan dihilangkan oleh dinginnya musim dingin. Jika impoten karena udara kering, maka ia akan dihilangkan dengan kelembaban musim semi sebagai biasanya. Hal itu (masa tenggang setahun) telah diriwayatkan dr Umar, Ali, Ibnu Mas'ud -radhiyallahu anhum-.
Jika telah lewat setahun, namun suami masih saja belum mampu berjimak dg istrinya, maka diketahuilah bahwa penyakit impotennya (lahir) karena gangguan pembawaan, sehingga si istri diberi pilihan (antara berpisah atau tidak)." [Lihat Al-Ikhtiyar li Ta'lil Al-Mukhtar (3/128-129)]
Syaikh Abdur Rohman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah- berkata,
وَإِذَا وَجَدَتْهُ عَنِيْناً: أُجِّلَ إِلَى سَنَةٍ، فَإِنْ مَضَتْ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ، فَلَهَا الْفَسْخُ
“Jika istri mendapati suaminya impoten, maka ditunda (diberi waktu kesempatan) satu tahun, jika telah berlalu dan suami masih impoten, maka istri berhak menuntut fasakh.”
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj diterangkan bahwa mereka yang terbiasa dengan ejakulasi dini haruslah berusaha untuk menjadi lebih baik. Karena pada hakikatnya ejakulasi dini adalah penyakit yang bisa disembuhkan. Entah dengan berolah raga ataupun mengatur pola makan dan lain sebagainya. Dengan demikian keutuhan rumah tangga masih layak dan bisa dipertahankan.
وخرج بهذه الخمسة غيرها كالعذيوط بكسر أوله المهمل وسكون ثانيه المعجم وفتح التحتية وضمها ويقال عذوط كعتور وهو فيهما من يحدث عند الجماع وفيه من ينزل قبل الايلاج فلاخيار به مطلقا على المعتمد وسكوتهما فى موضع على ان المرض المأيوس منه زواله ولايمكن معه الجماع فى معنى العنة انما هو لكون ذلك من طرق العنة فليس قسما خارجا عنها.
Berbeda dengan kasus impoten (unnah) sebagai penyakit yang sangat susah sekali disembuhkan (المرض المأيوس منه زواله ) maka bagi seorang perempuan berhak mengundurkan diri sebagai seorang istri. Artinya jika ternyata seorang suami terbukti impoten maka seorang istri berhak memilih antara meneruskan perkawinannya atau membatalkannya. Akan tetapi ada baiknya bagi istri bersabar barang setahun barangkali ada sebab gangguan psikologis dari organ lain yang diharapkan bisa sembuh.
Seperti kasus yang pernah terjadi pada zaman sahabat Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Al-baihaqy bahwa ada seorang wanita datang kepada Umar mengadukan bahwa suaminya tidak mampu melayani kebutuhan biologisnya. Kemudian Sayyidina Umar memberikan saran agar sang istri memberi waktu satu tahun, dengan harapan penyakit itu dapat disembuhkan. Akan tetapi setelah satu tahun, ternyata sang suami belum juga mampu melayani, dan sang istripun minta untuk diceraikan. Maka kemudian istri punya hak untuk minta cerai.
Air Hujan Untuk Mengobati Berbagai Penyakit Diantaranya Impotensi
Seiring dengan berkembangnya akhir zaman ini, banyak penyakit yang terkendala bagi ummat yang sulit untuk di obatinya. Biasanya penyakit tersebut terjadi pada umur telah berusia lanjut bahkan terkadang rilis bagi pemuda yang berusia muda. Hal ini bukan lain melainkan faktor yang paling banyak adalah disaat kita salah mengkonsumsi makanan yang telah berbaur dengan alat-alat pengawet. sehingga dengan inilah, menjadi efek mudahnya terkena penyakit yang telah beredar pada saat ini. Oleh sebab itu, Maka sedikit kami lansirkan referinsi serta terjemahan kitab yang menyatakan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit dan juga bisa bermanfaat bagi istri yang tidak hamil, lalu akan hamil setelah meminum air ini disertai tidur bersama suaminya, haraplah do'a pada Allah sesungguhnya Allahlah sebaik-baik pertolongan.
Diceritakan sebuah hadits dalam kitab An Nawaadir ; Dari Malaikat Jibril kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang obat super ampuh air hujan;
فائدة ; روي أنه صلى الله عليه وسلم قال: علمني جبريل دواء لا أحتاج معه إلى دواء ولا طبيب ، فقال أبو بكر وعمر وعثمان وعلي رضي الله عنهم ; وما هو يا رسول الله ؟ إن بنا حاجة إلى هذا الدواء . فقال ; يؤخذ شيئ من ماء المطر وتتلى عليه فاتحة الكتاب ، وسورة الإخلاص ، والفلق ، والناس ، وآية الكرسي ، كل واحدة سبعين مرة ويشرب غدوة وعشية سبعة أيام . فو الذي بعثني بالحق نبيا ، لقد قال لي جبريل ; إنه من شرب من هذا الماء رفع الله عن جسده كل داء وعافاه من جميع الأمراض والأوجاع ، ومن سقي منه امرأته ونام معها حملت بإذن الله تعالى “. ويشفي العينين ، ويزيل السحر ، يقطع البلغم ، ويزيل وجع الصدر والأسنان والتخم والعطش وحصر البول ، ولا يحتاج إلى حجامة ولا يحصى ما فيه من المنافع إلا الله تعالى ، وله ترجمة كبير اختصرناها، والله اعلم . ( كتاب النوادر للإمام القليوبي رحمه الله تعالى آمين ، ص ؛ ١٩٤ ).
Artinya: “Faedah”; Diriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda di hadapan para sahabatnya :
“Di ajarkan kepadaku oleh Malaikat Jibril tentang satu obat yang tidak memerlukan kepada obat yang lain dan tidak pula membutuhkan kepada para dokter.
Kemudian sahut Abu Bakar, Umar, Utsman, dan sahabat Ali radhiyallahu an’hum bertanya:
“Apa itu wahai Rasulullah? Sesungguhnya kami sangat membutuhkan obat itu ?”
Kemudian Rosulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata :
“Ambillah secukupnya dari air hujan, lalu bacakanlah surat Al-fatihah, surat Al-ikhlas, surat Al-falaq, surat An-nas dan Ayat Al-Kursi. Setiapnya (masing-masing) dibaca 70 kali, Dan diminum pada pagi dan petang selama tujuh hari.
Demi Dzat yang mengutuskanku dengan yang benar sebagai seorang nabi, kata Rasulullah : Sesungguhnya malaikat jibril telah menyatakan kepadaku:
Barang siapa yang meminum air ini niscaya Allah akan menghilangkan semua penyakit yang ada dalam tubuhnya dan menyembuhkan dari segala penyakit yang ada.
Dan barangsiapa yang memberi air itu untuk istrinya dan tidur bersama istrinya niscaya istrinya akan hamil dengan izin Allah swt.
Dan air tersebut juga dapat menyembuhkan dua mata yang sakit, menghilangkan penyakit sihir, dan menghilangkan dahak dan menghilangkan sakit dada, gigi, pencernaan, sembelit, dan kencing yang tidak lancar.
Dan juga tidak dibutuhkan kepada membekam, serta masih banyak faedah-faedahnya yang lain tidak terhingga kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengenai tentang keutamaan air tersebut ada satu tarjamah besar yang telah kami (mushannif) ringkas. Sesungguhnya Allah Subahanahu wa Ta’ala lah yang maha mengetahui…
(Kitab An-nawadir halaman 194 karya Syaikh Syihabuddin bin Salamah Al-qalyubi)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Minggu, 30 September 2018
JIMA' DALAM BEBERAPA GAYA
Ada istilah “wath’u” (الوطء) dan istilah “jima’” (الجماع), keduanya dimaksudkan untuk hubungan badan atau bersetubuh. Dalam istilah fiqih, jima’ didefinisikan dengan memasukkan kemaluan laki-laki pada kemaluan perempuan sehingga seakan-akan seperti satu kesatuan.
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Dalam hubungan intim suami-istri (antara kalian) itu termasuk sedekah.”
Para sahabat menanggapi, “Kenapa sampai hubungan intim saja bisa bernilai pahala?”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim, no. 2376)
Berdasarkan hadits di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa pahala seorang pria yang menyetubuhi istri atau budaknya bisa diraih jika didasari niat yang sholeh, yaitu untuk menjaga dirinya atau pula pasangannya agar tidak terjerumus dalam yang haram. Atau jima’ tadi diniatkan untuk menunaikan hak dari pasangannya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan. Atau hubungan badan tadi bertujuan untuk mencari keturunan sehingga anak-anaknya kelak bisa mewariskan ilmu orang tuanya dan bisa semakin menyemarakkan Islam. Inilah niatan-niatan sholeh yang dimaksud.
Lantas bagaimana jika hubungan badan tersebut hanya ingin memuaskan nafsu syahwat dengan istri atau budak, tidak diniatkan dengan niatan sholeh seperti dicontohkan di atas? Hal ini terdapat khilaf (beda pendapat) di antara para ulama. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa keadaan seperti itu tetap mendapatkan pahala. Sebagian lainnya mengatakan tidak. Yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat terakhir, yaitu tidak mendapati pahala karena tidak didasari niat yang sholeh saat berhubungan badan. Dalil penguatnya di antaranya adalah hadits berikut,
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهْوَ يَحْتَسِبُهَا ، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Jika seorang muslim berinfak pada keluarganya dengan maksud meraih pahala dari Allah, maka itu dinilai sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351). Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud hadits ini adalah sedekah dan infak secara umum dengan syarat ingin mengharap wajah Allah (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/88). Para ulama yang mengatakan mesti dengan niatan sholeh berkata, “Jika pada infak yang wajib saja disyaratkan meraih pahala Allah, bagaimana lagi dengan jima’ yang asalnya mubah?” Sehingga hal ini menunjukkan bahwa jima’ yang bisa berpahala adalah jika diniatkan meraih pahala atau didasari niatan sholeh dan tidak sekedar melampiaskan syahwat belaka.
Hendaknya Melakukan pemanasan dan cumbuan terlebih dahulu
Inilah alasan kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menikahi wanita perawan karena masih bisa untuk bercumbu rayu dengannya sebelum bercinta.
Ketika Jabir radhiyallahu ‘anhu menikah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya,
« هَلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا. فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا . فَقَالَ هَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ
“Apakah engkau menikahi gadis (perawan) atau janda?” “Aku menikahi janda”, jawab Jabir. “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja karena engkau bisa bercumbu dengannya dan juga sebaliknya ia bisa bercumbu mesra denganmu?” (HR. Bukhari, no. 2967; Muslim, no. 715).
مُعَانِقًا مُبَاشِراً مُقّبَلاً # فى غيرِ عَيْنَيْهَا فَهَاكَ وَاقْبَلَا
"Dan hendaklah kamu bercumbu rayu dengan istrimu, janganlah kamu takut". "Merangkul, merapat, dan mencium # selain (mencium) matanya, lakukanlah dan hadapilah".
Boleh-boleh saja suami istri tidak berpakaian sehingga bisa saling melihat satu dan lainnya Hal ini dibolehkan karena tidak ada batasan aurat antara suami istri. Kita dapat melihat bukti hal ini dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub” (HR. Bukhari no. 263 dan Muslim no. 321). Al-Hafizh lbnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata, “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya.
Pendapat ini dikuatkan dengan kabar yang diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat aurat istrinya. Maka Sulaiman pun berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah menanyakan permasalahan ini kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini dengan maknanya’.” (Fathul Bari, 1: 364). Sebagai pendukung lagi adalah dari ayat Al Qur’an berikut, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” (QS. Al Mu’minun: 5-6). Ibnu Hazm berkata, “Ayat ini umum, menjaga kemaluan hanya pada istri dan hamba sahaya berarti dibolehkan melihat, menyentuh dan bercampur dengannya.” (Al Muhalla, 10: 33) Sedangkan hadits,
إِذَا أَتَى أَهْلَهُ فَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ العَيْرَيْن
“Jika seseorang menyetubuhi istrinya, janganlah saling telanjang.” (HR. An Nasai dalam Al Kubro 5: 327 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6: 163. Abu Zur’ah mengatakan Mandal yang meriwayatkan hadits ini adalah keliru).
Penulis Shahih Fiqh Sunnah (3: 188) mengatakan bahwa hadits ini munkar, tidak shahih. Maka asalnya boleh suami istri saling telanjang ketika hubungan intim.
وَاحْذَرْ من الجِمَاعِ فِى الثِّياب # فَهُوَ مِنَ الجَهْلِ بِلا ارْتِياب
"Hindarilah bersegama dengan menggunakan pakaian # itu adalah pekerjaan bodoh, tanpa keraguan"
بلْ كُلُّ مَا عَلَيهَا صَاحَ يُنْزَعُ #وكُنْ مُلاعِباً لهالاتَفْزَعُ
"Melainkan semua pakaian istri dibuka wahai kawan # dan hendaklah kamu bermain main dengannya, dan janganlah kamu takut".
Dalam Kitab Faidh alQadiir I/308
إذا أتى أحدكم أهله) أي أراد جماع حليلته (فليستتر) أي فليتغط هو وإياها بثوب يسترهما ندبا وخاطبه بالستر دونها لأنه يعلوها وإذا استتر الأعلى استتر الأسفل (ولا يتجردان) خبر بمعنى النهي أي ينزعان الثياب عن عورتيهما فيصيران متجردين عما يسترهما (تجرد العيرين) تشبيه حذفت أداته وهو بفتح العين تثنية عير وهو الحمار الأهلي وغلب على الوحشي وذلك حياء من الله تعالى وأدبا مع الملائكة وحذرا من حضور الشيطان فإن فعل أحدهما ذلك كره تنزيها لا تحريما إلا إن كان ثم من ينظر إلى شئ من عورته فيحرم وجزم الشافعية بحل نظر الزوج إلى جميع عورة زوجته حتى الفرج بل حتى ما لا يحل له التمتع به كحلقة دبرها
Apabila salah seorang diantara kalian hendak mendatangi istrinya
artinya berkeinginan menggauli istri halalnya (maka pakailah penutup) artinya disunahkan baginya dan istrinya memakai kain yang dapat menutupi keduanya, yang terkena khithab (perintah menutup) dirinya (suami) bukan istri karena biasanya saat menjalani senggama suami diatas, saat yang diatas sudah memakai penutup dengan sendirinya yang dibawah juga tertutup
(Dan jangan kalian telanjang) artinya keduanya tanpa penutup kain pakaian.
Unsure pelarangan ini disebabkan karena malu dengan Allah, beretika dengan malaikat serta mencegah datangnya syaithan pada keduanya, bila salah seorang dari keduanya melakukan telanjang saat berhubungan hukumnya makruh tanzih kecuali saat disekitar mereka berdua terdapat orang yang dapat melihat aurat keduanya maka hukumnya menjadi haram.
Kalangan syafi’iyyah menilai bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya secara keseluruhan hingga alat kelaminnya bahkan hingga hal yang tidak halal baginya untuk mendatanginya seperti lubang anus istrinya :
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال يقول يأتيها من حيث شاء مقبلة أو مدبرة إذا كان ذلك في الفرج
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki :(QS. 2:223)
Kewajiban seorang suami pada Istrinya Menggaulinya dengan cara apapun?
تتمة يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها أو استمناء بيدها لا بيده
( اعانة الطالبين ج 3 ص 340)
Pada dasarnya bagi suami diperbolehkan melakukan istimta’(bersenang senang) dengan cara apa saja terhadap isteri meskipun dengan cara oral (menghisap bidhir). Yang tidak diperbolehkan adalah istimta' pada dubur.
Menjimak ketika berdiri
واعلم ان الجماع قائما يضر الانسان غاية الضرر ويورث له الخفقان اى اضطراب القلب وذات الجنب والصداع فهذه الامراض قد تحصل تارة على الفور وتارة على التراخى فى اخرالعمر اهـ
( كفاية الاتقياء ص 97)
Kesimpilanya : sesungguhnya menjimak dengan posisi berdiri meski diperbolehkan namun bisa menimbulkan dampak negatif, antara lain bisa menjadikan hati tidak menentu(bingung), sakit lambung, sakit kepala.
Penyakit ini bisa terjadi secara langsung atau menjelang tua.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Dalam hubungan intim suami-istri (antara kalian) itu termasuk sedekah.”
Para sahabat menanggapi, “Kenapa sampai hubungan intim saja bisa bernilai pahala?”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim, no. 2376)
Berdasarkan hadits di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa pahala seorang pria yang menyetubuhi istri atau budaknya bisa diraih jika didasari niat yang sholeh, yaitu untuk menjaga dirinya atau pula pasangannya agar tidak terjerumus dalam yang haram. Atau jima’ tadi diniatkan untuk menunaikan hak dari pasangannya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan. Atau hubungan badan tadi bertujuan untuk mencari keturunan sehingga anak-anaknya kelak bisa mewariskan ilmu orang tuanya dan bisa semakin menyemarakkan Islam. Inilah niatan-niatan sholeh yang dimaksud.
Lantas bagaimana jika hubungan badan tersebut hanya ingin memuaskan nafsu syahwat dengan istri atau budak, tidak diniatkan dengan niatan sholeh seperti dicontohkan di atas? Hal ini terdapat khilaf (beda pendapat) di antara para ulama. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa keadaan seperti itu tetap mendapatkan pahala. Sebagian lainnya mengatakan tidak. Yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat terakhir, yaitu tidak mendapati pahala karena tidak didasari niat yang sholeh saat berhubungan badan. Dalil penguatnya di antaranya adalah hadits berikut,
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهْوَ يَحْتَسِبُهَا ، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Jika seorang muslim berinfak pada keluarganya dengan maksud meraih pahala dari Allah, maka itu dinilai sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351). Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud hadits ini adalah sedekah dan infak secara umum dengan syarat ingin mengharap wajah Allah (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/88). Para ulama yang mengatakan mesti dengan niatan sholeh berkata, “Jika pada infak yang wajib saja disyaratkan meraih pahala Allah, bagaimana lagi dengan jima’ yang asalnya mubah?” Sehingga hal ini menunjukkan bahwa jima’ yang bisa berpahala adalah jika diniatkan meraih pahala atau didasari niatan sholeh dan tidak sekedar melampiaskan syahwat belaka.
Hendaknya Melakukan pemanasan dan cumbuan terlebih dahulu
Inilah alasan kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menikahi wanita perawan karena masih bisa untuk bercumbu rayu dengannya sebelum bercinta.
Ketika Jabir radhiyallahu ‘anhu menikah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya,
« هَلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا. فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا . فَقَالَ هَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ
“Apakah engkau menikahi gadis (perawan) atau janda?” “Aku menikahi janda”, jawab Jabir. “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja karena engkau bisa bercumbu dengannya dan juga sebaliknya ia bisa bercumbu mesra denganmu?” (HR. Bukhari, no. 2967; Muslim, no. 715).
مُعَانِقًا مُبَاشِراً مُقّبَلاً # فى غيرِ عَيْنَيْهَا فَهَاكَ وَاقْبَلَا
"Dan hendaklah kamu bercumbu rayu dengan istrimu, janganlah kamu takut". "Merangkul, merapat, dan mencium # selain (mencium) matanya, lakukanlah dan hadapilah".
Boleh-boleh saja suami istri tidak berpakaian sehingga bisa saling melihat satu dan lainnya Hal ini dibolehkan karena tidak ada batasan aurat antara suami istri. Kita dapat melihat bukti hal ini dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub” (HR. Bukhari no. 263 dan Muslim no. 321). Al-Hafizh lbnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata, “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya.
Pendapat ini dikuatkan dengan kabar yang diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat aurat istrinya. Maka Sulaiman pun berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah menanyakan permasalahan ini kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini dengan maknanya’.” (Fathul Bari, 1: 364). Sebagai pendukung lagi adalah dari ayat Al Qur’an berikut, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” (QS. Al Mu’minun: 5-6). Ibnu Hazm berkata, “Ayat ini umum, menjaga kemaluan hanya pada istri dan hamba sahaya berarti dibolehkan melihat, menyentuh dan bercampur dengannya.” (Al Muhalla, 10: 33) Sedangkan hadits,
إِذَا أَتَى أَهْلَهُ فَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ العَيْرَيْن
“Jika seseorang menyetubuhi istrinya, janganlah saling telanjang.” (HR. An Nasai dalam Al Kubro 5: 327 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6: 163. Abu Zur’ah mengatakan Mandal yang meriwayatkan hadits ini adalah keliru).
Penulis Shahih Fiqh Sunnah (3: 188) mengatakan bahwa hadits ini munkar, tidak shahih. Maka asalnya boleh suami istri saling telanjang ketika hubungan intim.
وَاحْذَرْ من الجِمَاعِ فِى الثِّياب # فَهُوَ مِنَ الجَهْلِ بِلا ارْتِياب
"Hindarilah bersegama dengan menggunakan pakaian # itu adalah pekerjaan bodoh, tanpa keraguan"
بلْ كُلُّ مَا عَلَيهَا صَاحَ يُنْزَعُ #وكُنْ مُلاعِباً لهالاتَفْزَعُ
"Melainkan semua pakaian istri dibuka wahai kawan # dan hendaklah kamu bermain main dengannya, dan janganlah kamu takut".
Dalam Kitab Faidh alQadiir I/308
إذا أتى أحدكم أهله) أي أراد جماع حليلته (فليستتر) أي فليتغط هو وإياها بثوب يسترهما ندبا وخاطبه بالستر دونها لأنه يعلوها وإذا استتر الأعلى استتر الأسفل (ولا يتجردان) خبر بمعنى النهي أي ينزعان الثياب عن عورتيهما فيصيران متجردين عما يسترهما (تجرد العيرين) تشبيه حذفت أداته وهو بفتح العين تثنية عير وهو الحمار الأهلي وغلب على الوحشي وذلك حياء من الله تعالى وأدبا مع الملائكة وحذرا من حضور الشيطان فإن فعل أحدهما ذلك كره تنزيها لا تحريما إلا إن كان ثم من ينظر إلى شئ من عورته فيحرم وجزم الشافعية بحل نظر الزوج إلى جميع عورة زوجته حتى الفرج بل حتى ما لا يحل له التمتع به كحلقة دبرها
Apabila salah seorang diantara kalian hendak mendatangi istrinya
artinya berkeinginan menggauli istri halalnya (maka pakailah penutup) artinya disunahkan baginya dan istrinya memakai kain yang dapat menutupi keduanya, yang terkena khithab (perintah menutup) dirinya (suami) bukan istri karena biasanya saat menjalani senggama suami diatas, saat yang diatas sudah memakai penutup dengan sendirinya yang dibawah juga tertutup
(Dan jangan kalian telanjang) artinya keduanya tanpa penutup kain pakaian.
Unsure pelarangan ini disebabkan karena malu dengan Allah, beretika dengan malaikat serta mencegah datangnya syaithan pada keduanya, bila salah seorang dari keduanya melakukan telanjang saat berhubungan hukumnya makruh tanzih kecuali saat disekitar mereka berdua terdapat orang yang dapat melihat aurat keduanya maka hukumnya menjadi haram.
Kalangan syafi’iyyah menilai bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya secara keseluruhan hingga alat kelaminnya bahkan hingga hal yang tidak halal baginya untuk mendatanginya seperti lubang anus istrinya :
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال يقول يأتيها من حيث شاء مقبلة أو مدبرة إذا كان ذلك في الفرج
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki :(QS. 2:223)
Kewajiban seorang suami pada Istrinya Menggaulinya dengan cara apapun?
تتمة يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها أو استمناء بيدها لا بيده
( اعانة الطالبين ج 3 ص 340)
Pada dasarnya bagi suami diperbolehkan melakukan istimta’(bersenang senang) dengan cara apa saja terhadap isteri meskipun dengan cara oral (menghisap bidhir). Yang tidak diperbolehkan adalah istimta' pada dubur.
Menjimak ketika berdiri
واعلم ان الجماع قائما يضر الانسان غاية الضرر ويورث له الخفقان اى اضطراب القلب وذات الجنب والصداع فهذه الامراض قد تحصل تارة على الفور وتارة على التراخى فى اخرالعمر اهـ
( كفاية الاتقياء ص 97)
Kesimpilanya : sesungguhnya menjimak dengan posisi berdiri meski diperbolehkan namun bisa menimbulkan dampak negatif, antara lain bisa menjadikan hati tidak menentu(bingung), sakit lambung, sakit kepala.
Penyakit ini bisa terjadi secara langsung atau menjelang tua.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Adab Bercelana Dan Berpakaian Saat Jima'
Fasal didalam menerangkan sebagian tata krama jima' dan cara yg paling utama di dalam berjima serta apa saja yg berhubungan.
وَاحْذَرْ من الجِمَاعِ فِى الثِّياب # فَهُوَ مِنَ الجَهْلِ بِلا ارْتِياب
"Hindarilah bersegama dengan menggunakan pakaian # itu adalah pekerjaan bodoh, tanpa keraguan"
بلْ كُلُّ مَا عَلَيهَا صَاحَ يُنْزَعُ #وكُنْ مُلاعِباً لهالاتَفْزَعُ
"Melainkan semua pakaian istri dibuka wahai kawan # dan hendaklah kamu bermain main dengannya, dan janganlah kamu takut".
Ibnu Yamun telah memberi isyarah bahwa diantara tata krama seggama adalah suami tidak menyetubuhi istrinya dalam keadaan istrinya menggunakan pakaian. Suami hendaknya melepas semua pakaiannya, kemudian dia bersama istrinya berseggama dalam satu selimut, karena ada hadist yg menerangkan hal tsb.
إذا جَامَعَ أَحَدَكُم فَلَا يَتَجَرَّدَان تَجَرُّدَ الحِمَارَيْنَ
"Apabila salah seorang di antara kalian berseggama dengan istrinya, maka janganlah telanjang, sebagai mana telanjangnya keledai".
Dan adalah Nabi Saw ketika hendak berseggama beliau menggunakan tutup kepala dan melirihkan suaranya serta berkata kepada istrinya: "Hendaklah kamu tenang".
Berkata Iman Khatab,"Dan hendaklah orang yg berseggama selalu menggunakan penutup untuk dirinya dan istrinya, baik ketika menghadap kiblat atau tidak.
Dan didalam kitab madakhil di katakan, bahwa hendaklah suami tidak berseggama dengan istrinya dalam keadaan telanjang. Tanpa ada selembar kainpu yg menutupi keduanya, karena Nabi melarang hal itu dan mencelanya.beliau menyamakan hal itu dengan apa yg dilakukan keledai. Sahab Abu Bakar ra juga menggunakan tutup kepala ketika beliau berseggama dengan istrinya, karena malu kepada Allah Swt.
DUA FAEDAH
Faedah yang pertama: Telanjang ketika tidur memiliki beberapa manfaat. Di antaranya adalah dapat membebaskan tubuh dari panas yg timbul karena gerakan di siang hari, memudahkan untuk membalik balikan tubuh ke kanan dan ke kiri, menimbulkan rasa gembira bagi istri dengan tambahan kemesraan, menjalankan perintah, karena Nabi Saw melarang menyia nyiakan harta dan tidak di ragukan lagi bahwa tidur dengan menggunakan pakaian dapat mempercepat rusaknya pakaian tsb, dan menjaga kebersihan karena pada umumnya pada pakaian tidur terdapat kutu dan binatang yg sejenisnya.
Faedah yg kedua: Berkata sebagian ahli ilmu, bahwa di sunahkan melipat pakaian di waktu malam guna mengembalikan pakaian itu pada keadaan semula dan membaca BASMALAH ketika melipatnya, jika tidak, maka setan akan memakai pakaian tsb di malam hari, sedang pemiliknya memakai disiang hari, dengan demikian akan mempercepat kerusakannya.
Nabi Saw bersabda:"
أُطْوُرْ ثِيابَكم فإنّ الشّيْطَان لا يَلْبَسُ ثَوْباً مَطْوِياً
Lipatlah pakaian kalian, karena sesungguhnya setan tidak mau memakai pakaian yg di lipat".
Adapula hadis yg mengatakan:"
أُطْوُرْ ثِيابَكم تَرْجِعُ إليهَا أروَاحُهَا
Lipatlah pakaian kalian, karena pakaian itu akan kembali pada keadaan semula".
Dan di antara tata krama berseggama adalah sebagai mana yg di terangkan oleh Ibnu Yamun:
مُعَانِقًا مُبَاشِراً مُقّبَلاً # فى غيرِ عَيْنَيْهَا فَهَاكَ وَاقْبَلَا
"Dan hendaklah kamu bercumbu rayu dengan istrimu, janganlah kamu takut". "Merangkul, merapat, dan mencium # selain (mencium) matanya, lakukanlah dan hadapilah".
Maka Ibnu Yamun menjelaskan, bahwasanya di anjurkan bagi seorang suami apabila ia hendak seggama, maka hendaklah ia memulai dengan bersenda gurau dengan istrinya dan juga bermain main dengan istrinya dengan sesuatu yg di perbolehkan, seperti meraba, merangkul, dan mencium selain mata istrinya. Adapun mencium mata maka akan menyebabkan perceraian sebagai mana keterangan yg akan datang. Dan janganlah seorang suami ketika ia seggama dengan istrinya ia melakukannya dalam keadaan lupa diri. Sebagai mana sabda Nabi Saw:
"Janganlah sekali kali ada seseorang di antara kalian yg berseggama dengan istrinya, sebagai mana yg di lakukan hewan, dan hendaklah di antara keduanya menggunakan suatu perantara. Kemudian Nabi di tanya, "Apakah yg di maksud dengan perantara itu?" Nabi menjawab, yaitu mencium dan bercakap cakap dengan bahasa yg indah indah".
Dalam riwayat yg lain. "Jika salah seorang di antara kamu senggama, maka janganlah telanjang bulat sebagai mana telanjangnya kuda"
Sebaiknya saat suami melakukan senggama hendaklah ia memulainya dengan penuh kelemah lembutan sambil berbakap cakap dengan penuh kemesraan dan memberikan ciuman yg penuh dengan kehanggatan. Hal tsb di lakukan karena sesungguhnya wanita cinta kepada pria, sebagai mana pria cinta kepada wanita. Maka jangan sampai suami berseggama bersama istrinya dalam keadaan lupa diri dengan melupakan semua perantara itu. Kalau tidak begitu, maka suami hanya akan dapat memenuhi kebutuhannya saja, sebelum kebutuhan istrinya terpenuhi. Dengan kata lain suami akan mengalami ejakulasi sebelum istri mengalaminya, yg pada akhirnya akan menyebabkan keresahan (ketidak puasan) sang istri atau merusak agamanya (menyebabkan perselingkuhan).
Kebaikan dan kebenaran seluruhnya ada dalam hadis, bahwasanya janganlah sekali kali seorang suami ketika ia hendak seggama dengan istrinya tanpa di dahului dengan bersenda gurau, bermesraan dan bersenang senang. Setelah itu barulah ia bertindak untuk melepaskan keinginannya (berseggama).
Di dalam hadis di katakan: "ada 3 perkara yg termasuk kelemahan, yaitu: seseorang bertemu dengan orang yg ia senangi kemudian ia berpisah sebelum ia mengetahui nama dan nasabnya. Seseorang yg saudaranya ingin menghormatinya, kemudian penghormatan itu di tolaknya. Seorang laki laki yg menggauli hamba sahayanya/ istrinya tanpa di dahului dengan percakapan, bermesraan dan bersenang senang, kemudian ia langsung mencapai puncak ejakulasinya, sementara hamba sahayanya/istrinya sendiri belum terpenuhi kebutuhannya (kebutuhan dalam senggama).
Kemudian Ibnu Yamun berkata:
وَعَكْسُ ذَا يُؤَدّي لِلشِّقَاقِ بَيْنَهُمَا صَاحِ وَلِلفِرَاقِ
"Dan kebalikan (dari tata krama seggama) dapat mendatangkan perselisihan # antara suami istri dan perceraian, wahai sahabat"
Bahwa apa bila seorang suami ketika ia berseggama dengan istrinya tanpa di dahului dengan bermain main (bercumbu rayu) atau tanpa didahului dengan mencium kepala istri atau malah sang suami mencium kedua mata istri, maka hal tsb dapat menyebabkan percekcokan dan perselisihan serta menyebabkan anak yg terlahir dalam keadaan bodoh dan lemah otaknya. Hal itu sebagai mana di jelaskan di dalam kitab AnNashihah.
Dan datang keterangan, bahwa pahala yang besar didapati bagi suami yang seggama dengan istrinya dengan niat yang baik dan setelah ia melakukan pemanasan pemanasan seperti mencium dan bercumbu rayu.
Dan di antara tata krama jima' adalah, sebagai mana yg di jelaskan oleh Ibnu Yamun dalam syairnya:
وَطَيِّبَنْ فَاكَ بِطَيَّبٍ فَاىِٔحِ # عَلى الدّوَامَ نِلْتُمْ الَمنَاىِٔحِ
"Harumkanlah mulutmu dengan harum haruman # atas selamanya, maka kamu akan mendapatkan kebahagiaan".
Ibnu Yamun menjelaskan bahwa dianjurkan bagi suami untuk mengharumkan mulutnya dengan sesuatu yg dapat mengharumkan mulut, seperti minyak anyelir, kemenyan, kayu hindi dan sebagainya. Hal ini di lakukan untuk menambah rasa cinta. Dan mengharumkan mulut tersebut tidak hanya di lakukan pada waktu mau berjima' saja, melainkan juga pada setiap waktu, sebagai mana di katakan oleh Ibnu Yamun di dalam syairnya di atas lafaz ALAA DAWAMI "atas selamanya". Dan perkataan Ibnu Yamun FAA_IHIN adalah isim fail dari fiil madhi FAAHA_YAFUHU_ FAIHAN yg artinya bau harum yang menyebar.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa lafaz FAAHA tidak di gunakan kecuali untuk sesuatu yg wangi danharum saja. Dan tidak digunakan untuk sesuatu yg berbau busuk dan menjijikan. Melainkan di katakan ( untuk yg berbau busuk) lafaz HABAT RAIUHA yg artinya: "telah berhembus bau busuk itu", sebagai mana di jelaskan di dalam kitab Almisbah. Dan lafaz WALMANAIHU adalah jama'nya lafaz MUNIHATUN yg artinya pemberian. BEBERAPA FAEDAH Faedah yang pertama, disunahkan bagi wanita hendaklah ia menghias diri dan memakai wangi wangian untuk suaminya.
خيرُالنِّسَاء العِطْرَة المطهَّرَة
Bersabda Nabi Saw: "Sebaik baiknya wanitaa dalah yg selalu menggunakan wangi wangian lagi bersih".
Lafaz AL_ITRU maksudnya adalah: wanita yg suka memakai wangi wangian dari kayu 'ithr, sedangkan ma'na lafaz MUTATOHARAH adalah wanita yg suka membersihkan diri dengan air (mandi).
Dan Syaidina Ali bin Abi thalib Ra: "Sebaik baiknya wanita kalian adalah wanita yg harum baunya dan sedap masakannya, yaitu wanita yg sederhana. Sederhana dalam belanja dan pemeliharaannya (tidak pelit dan tidak boros). Itu semua adalah tindakan karena Alloh, sesungguhnya tindakan yg di landasi karena Alloh itu tidak akan merugi.
Dan Siti Aisyah Ra: "Adalah kami (kaum wanita) suka membalut kening kening kami dengan pembalut yg telah di beri minyak kesturi. Kemudian jika salah seorang dari kami berkeringat, maka mengalirlah minyak kesturi trb di wajahnya. Dan hal itu dilihat oleh Nabi Saw, dan beliau tidak mengingkarinya".
Di ambil dari perkataan Ibnu Yamun: "Hanya untuk melepas celana dalamnya". Sesungguhnya memakai celana dalam sangat di anjurkan bagi seorang istri. Dan memang demikian (hukum yg benar).
يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِ النَّاظِمِ رَحِمَهُ اللّٰهُ : 《 لِحَلِّهَا السِّرْوَالِ 》 اَنَّ لُبْسَ السَّرَاوِيْلِ مَطْلُوْبٌ فِى حَقِّ الْعَرُوْسِ، وَهُوَ كَذَلِكَ بَلْ يَطْلُبُ فِى حَقِّ الْمَرْأَةِ مُطْلَقًا : فَفِى الْحَدِيْثِ : 《 اَنَّ امْرَأَةٍ صُرِعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ، فَانْكَشَفَتْ فَإِذَا هِيَ بِسَرَاوِيْلَ
Mengambil dari perkataan penadzam Rahimahullah tentang lafadz : 《 LIHALLIHAAS SIRWAALI 》 bahwa memakai celana di anjurkan dalam hak pengantin perempuan dan demikian itu adalah akan di anjurkan dalam hak seorang wanita secara mutlak : Maka dalam suatu hadits : 《 sesungguhnya ada seorang wanita yang jatuh pada masa Rasulullh saw, maka tersingkap aurat perempuan tersebut, maka jika di ketahui wanita itu dengan celana
فَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : رَحِمَ اللّٰهُ الْمُتَسَرْوِلاَتُ مِنْ اُمَّتِيْ 》
maka bersabda Nabi saw : Semoga Allah segera memberi rahmat kepada wanita-wanita dari umatku 》
وَقَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ : يُسْتَحَبُّ لِلْمَرْأَةِ لِبْسُ السَّرَاوِيْلِ اِذَا رَكِبَتْ اَوْ سَافَرَتْ خِيْفَةَ انْكِشَافِ الْعَوْرَةِ اِذَا صُرِعَتْ، وَاَمَّا فِى غَيْرِ رُكُوْبٍ اَوْ سَفَرٍ فَالْمِئْزَرُ شَأْنُهَا
Dan Abdul Malik berkta : disunahkan untuk seorang wanita memakai celana, apabila ia naik kendaraan atau berpergian karena di khawatirkan tersingkap auratnya, jika ia jatuh dan adapun dalam tidak naik kendaraan atau berpergian, maka biasakan memakai kain penutup tentang perihal dirinya
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ : رُوِيَ عَنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ، اَنَّهُ لَبِسَ السَّرَاوِيْلَ وَكَانُوْا يَلْبَسُوْنَهُ فِى زَمَانِهِ وَاِذْنِهِ. اِنْتَهَى
Berkata Ibnu Qoyyim : Diriwayatkan dari Rasulullah saw, sesungguhnya memakai celana dan mereka para sahabat memakainya dalam masanya Nabi saw dan Nabi saw mengizinkannya. Sebagaimana penjelasan yang telah lewat
قَالَ بَعْضُهُمْ : وَمِمَّا يُرَجَّحُ اَنَّهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لَبِسَهُ وَاَمَرَ بِهِ
Dan berkata sebagian ulama' : dan dari pendapat yang rajih bahwasannya Nabi saw memakainya celana dan memerintah dengannya
فَقَدْ اَخْرَجَ الْعُقَيْلِيُّ وَابْنُ عَدِيِّ فِى 《 اَلْكَامِلِ 》 وَالْبَيْهَقِيُّ فِى 《 الْاَدَبِ 》 عَنْ عَلِيٍّ مَرْفُوْعًا : 《 اِتَّخَذُوْا السَّرَاوِيْلاَتِ، فَإِنَّهَا مِنْ اَسْتَرِ ثِيَابِكُمْ، وَحَصِّنُوْا بِهَا نِسَاءَكُمْ اِذَا خَرَجْنَ 》. ذَكَرَهُ فِى 《 الْجَامِعِ 》
Maka telah mengeluarkan Al-'Uqailiy dan Ibnu 'Adi dalam kitab 《 AL-KAMIL 》 dan Imam Al-Baihaqi dalam kitab 《AL-ADAB》 dari Syaidina 'Ali secara marfu' : 《 mereka menggunakan celana, maka sesungguhnya dari pakaian yang menutupi mereka dan bentengilah wanita-wanita kalian dengan celana, apabila mereka keluar rumah 》 di sebutnya dalam kitab 《 AL-JAMI' 》
قَالَ السَّيُوْطِيُّ فِى اَوَّلِيَائِهِ : وَاَوَّلُ مَنْ لَبِسَ السَّرَاوِيْلَ اِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمْ، اَخْرَجَهُ وَكِيْعٌ فِى 《 تَفْسِيْرِهِ 》 عَنْ اَبِى هُرَيْرَةِ. اِنْتَهَى
Dan berkata Imam As-Sayuthi dalam kitab 《 AULIA'NYA 》 : orang pertama orang yang memakai celana adalah Nabi Ibrahim as. Hadits tersebut di keluarkannya lmam Waqi' dalam kitab 《 TAFSIRNYA 》 dari Abi Hurairah ra. Sebagaimana penjelasan yang telah lewat.
وَذَكَرَ الْعَلاَّمَةُ [ اَبُوْ عَبْدِ اللّٰهِ مُحَمَّدْ بِنْ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ ] اِبْنُ زِكْرِيْ [ اَلْفَاسِيُّ ] اَنَّ الْإِمَامَ الْجَلِيْلَ الشَّرِيْفَ الْمَاجِدَ الْاَصِيْلَ مَوْلاَنَا عَبْدَ اللّٰهِ بْنِ طَاهِرِ سُئِلَ عَنْ لُبْسِ السَّرَاوِيْلِ، هَلْ هُوَ سُنَّةٌ اَمْ لاَ ؟ فَذَهَبَ اِلَى دَارِ شَيْخِهِ سَيِّدِيْ اَحْمَدَ [ بْنِ عَلِى ] اَلْمَنْجُوْرِ فَسَأَلَ زَوْجَتَهُ فَأَخْبَرَتْهُ اَنَّهُ كَانَ يَلْبَسُهُ تَارَةً وَيَتْرُكُهُ اُخْرَى. فَأَجَابَ السَّائِلَ بِأَنَّهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ كَانَ يَلْبَسُهُ تَارَةً وَيَتْرُكُهُ اُخْرَى لِمَا يَعْلَمُهُ مِنْ شِدَّةِ تَجَرُّدِ الشَّيْخِ الْمَذْكُوْرِ لِاتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَتَبَحُّرِهِ فِى عِلْمِهِ. اِنْتَهَى
Dan di sebutkan oleh Syaikh Al-'Allamah Abu 'Abdillah bin Muhammad bin 'Abdirrahman bin Zikri Al-Fasi, Bahwa Al-Imam Al-Jalil Asy-Syarif Al-Majid yang di simpulkan oleh tuan kami Abdullah bin Thahir, ditanya tentang memakai celana, apakah sunnah atau tidak ? Maka ia pergi pada rumah gurunya, Syayid Ahmad bin 'Ali Al-Manjuri, maka beliau bertanya kepada istrinya, maka mengabarkan istri gurunya : sesungguhnya suaminya itu kadang-kadang memakainya dan meninggalkannya pada waktu lain, maka Syaikh Abdullah bin Thahir memjawab kepada yang bertanya : Bahwasannya Nabi saw kadang-kadang memakainya dan meninggalkannya pada waktu lain, karena apa yang ia ketahui dari kehebatan kejujuran gurunya yang di sebutkan untuk mengikuti sunnah Nabi saw dan kedalaman dalam ilmunya. Sebagaimana penjelasan yang telah lewat
وَفى 《 نُزْهَةِ 》 اَلْخَادِمِيِّ مَانَصَّهُ : رُفِعَ لِمُفْتِى الْاِسْلاَمِ فِى الدِّيَارِ الْقُدْسِيَّةِ شَمْسِ الدِّيْنِ مُحَمَّدِ بْنِ اللَّطَفَانِ سُؤَالٌ وَهُوَ [ مِنْ اَلرَّجَزْ ] :
Dan dalam kitab 《 NUZ-HAT 》 karangan Imam Al-Khadimiy apa yang di catatnya : mengangkat pada seorang Mufti Islam dalam desa Qudsiyah yang bernama Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Alla-Thafani yang telah di tanya seseorang dan ia adalah bertanya dari sya'ir bahar rojaznya :
مَاذَا تَقُوْلُ يَاإِمَامَ عَصْرِهِ * يَافَائِقًا بِالْعِلْمِ اَهْلَ دَهْرِهِ
Apa pendapatmu wahai imam semasanya * wahai orang yang unggul dengan ilmu di antara ahli ilmu seangkatannya
اَنْتَ الَّذِى قَدْ حُزْتَ فَضْلاً وَافِرًا * وَفَاحَ مِسْكُ عِطْرِهِ مِنْ نَشْرِهِ
Sungguh engkau yang telah mengukir keutamaan dan kesempurnaan * dan semerbak minyak kasturi yang wanginya dari pancarannya
هَلْ لَبِسَ السِّرْوَالَ طَهَ الْمُصْطَفٰى * وَهَلْ يُسَنُّ لُبْسُهُ بِسَتْرِهِ
Apakah memakai celana adalah dari TOHA AL-MUSH-THOFA * dan apakah di sunahkan memakainya dengan menutupi auratnya
اَمْ لاَ ؟ وَعَجِّلْ بِالْجَوَابِ سَيِّدِيْ * بِسُرْعَةٍ تَحْظَ بِطُوْلِ اَجْرِهِ
Atau tidak ? segeralah dengan jawaban tuanku * dengan cepat akan merasakan dengan keluasan pahalanya
فَأَجَابَ بِمَا نَصَّهُ [ مِنَ الرَّجَزْ ] :
Maka Syaikh menjawab dengan suatu nashihatnya dari sya'ir bahar rojaznya :
اَقُوْلُ : اِنَّ الْمُصْطَفَى قَدِ اشْتَرَى * ذَكَ وَلَمْ يَلْبَسْهُ قَطُّ فِى عُمْرِهِ
Saya berkata : bahwa AL-MUSH-THAFA sungguh membeli celana * itu dan tidak memakainya selama dalam hidupnya
كَمَا الشَّمُوْنِيُّ حَكَى ذَلِكَ فِى * حَاشِيَةِ الشِّفَا فَصَدَّ عَنْ نُكْرِهِ
Sebagaimana Imam Asy-Syamuniy mengisahkan hal itu dalam * kitab 《 HASYIYATUSY SYIFA' 》 maka cegahlah dari mengingkarinya
قَالُوْا : وَمَا فِى الْهَدْيِ مِنْ لِبَاسِهَا * فَذَاكَ سَبْقُ قَلَمٍ لَمْ يَدْرِهِ
Para ulama' berkata : dan apa yang di terangkan dalam kitab 《 AL-HADYI 》 dari memakainya * maka hal itu adalah mendahului tulisan yang tidak dapat di ketahuinya
وَلُبْسُهُ سُنَّةُ اِبْرَاهِيْمَ لاَ * بَأْسَ بِهِ فَالْبَسْ لِاَجْلِ سَتْرِهِ
Dan memakai celana adalah sunnah Nabi Ibrahim as, tidak * apa-apa dengannya, maka pakailah karena untuk menutupi auratnya
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
وَاحْذَرْ من الجِمَاعِ فِى الثِّياب # فَهُوَ مِنَ الجَهْلِ بِلا ارْتِياب
"Hindarilah bersegama dengan menggunakan pakaian # itu adalah pekerjaan bodoh, tanpa keraguan"
بلْ كُلُّ مَا عَلَيهَا صَاحَ يُنْزَعُ #وكُنْ مُلاعِباً لهالاتَفْزَعُ
"Melainkan semua pakaian istri dibuka wahai kawan # dan hendaklah kamu bermain main dengannya, dan janganlah kamu takut".
Ibnu Yamun telah memberi isyarah bahwa diantara tata krama seggama adalah suami tidak menyetubuhi istrinya dalam keadaan istrinya menggunakan pakaian. Suami hendaknya melepas semua pakaiannya, kemudian dia bersama istrinya berseggama dalam satu selimut, karena ada hadist yg menerangkan hal tsb.
إذا جَامَعَ أَحَدَكُم فَلَا يَتَجَرَّدَان تَجَرُّدَ الحِمَارَيْنَ
"Apabila salah seorang di antara kalian berseggama dengan istrinya, maka janganlah telanjang, sebagai mana telanjangnya keledai".
Dan adalah Nabi Saw ketika hendak berseggama beliau menggunakan tutup kepala dan melirihkan suaranya serta berkata kepada istrinya: "Hendaklah kamu tenang".
Berkata Iman Khatab,"Dan hendaklah orang yg berseggama selalu menggunakan penutup untuk dirinya dan istrinya, baik ketika menghadap kiblat atau tidak.
Dan didalam kitab madakhil di katakan, bahwa hendaklah suami tidak berseggama dengan istrinya dalam keadaan telanjang. Tanpa ada selembar kainpu yg menutupi keduanya, karena Nabi melarang hal itu dan mencelanya.beliau menyamakan hal itu dengan apa yg dilakukan keledai. Sahab Abu Bakar ra juga menggunakan tutup kepala ketika beliau berseggama dengan istrinya, karena malu kepada Allah Swt.
DUA FAEDAH
Faedah yang pertama: Telanjang ketika tidur memiliki beberapa manfaat. Di antaranya adalah dapat membebaskan tubuh dari panas yg timbul karena gerakan di siang hari, memudahkan untuk membalik balikan tubuh ke kanan dan ke kiri, menimbulkan rasa gembira bagi istri dengan tambahan kemesraan, menjalankan perintah, karena Nabi Saw melarang menyia nyiakan harta dan tidak di ragukan lagi bahwa tidur dengan menggunakan pakaian dapat mempercepat rusaknya pakaian tsb, dan menjaga kebersihan karena pada umumnya pada pakaian tidur terdapat kutu dan binatang yg sejenisnya.
Faedah yg kedua: Berkata sebagian ahli ilmu, bahwa di sunahkan melipat pakaian di waktu malam guna mengembalikan pakaian itu pada keadaan semula dan membaca BASMALAH ketika melipatnya, jika tidak, maka setan akan memakai pakaian tsb di malam hari, sedang pemiliknya memakai disiang hari, dengan demikian akan mempercepat kerusakannya.
Nabi Saw bersabda:"
أُطْوُرْ ثِيابَكم فإنّ الشّيْطَان لا يَلْبَسُ ثَوْباً مَطْوِياً
Lipatlah pakaian kalian, karena sesungguhnya setan tidak mau memakai pakaian yg di lipat".
Adapula hadis yg mengatakan:"
أُطْوُرْ ثِيابَكم تَرْجِعُ إليهَا أروَاحُهَا
Lipatlah pakaian kalian, karena pakaian itu akan kembali pada keadaan semula".
Dan di antara tata krama berseggama adalah sebagai mana yg di terangkan oleh Ibnu Yamun:
مُعَانِقًا مُبَاشِراً مُقّبَلاً # فى غيرِ عَيْنَيْهَا فَهَاكَ وَاقْبَلَا
"Dan hendaklah kamu bercumbu rayu dengan istrimu, janganlah kamu takut". "Merangkul, merapat, dan mencium # selain (mencium) matanya, lakukanlah dan hadapilah".
Maka Ibnu Yamun menjelaskan, bahwasanya di anjurkan bagi seorang suami apabila ia hendak seggama, maka hendaklah ia memulai dengan bersenda gurau dengan istrinya dan juga bermain main dengan istrinya dengan sesuatu yg di perbolehkan, seperti meraba, merangkul, dan mencium selain mata istrinya. Adapun mencium mata maka akan menyebabkan perceraian sebagai mana keterangan yg akan datang. Dan janganlah seorang suami ketika ia seggama dengan istrinya ia melakukannya dalam keadaan lupa diri. Sebagai mana sabda Nabi Saw:
"Janganlah sekali kali ada seseorang di antara kalian yg berseggama dengan istrinya, sebagai mana yg di lakukan hewan, dan hendaklah di antara keduanya menggunakan suatu perantara. Kemudian Nabi di tanya, "Apakah yg di maksud dengan perantara itu?" Nabi menjawab, yaitu mencium dan bercakap cakap dengan bahasa yg indah indah".
Dalam riwayat yg lain. "Jika salah seorang di antara kamu senggama, maka janganlah telanjang bulat sebagai mana telanjangnya kuda"
Sebaiknya saat suami melakukan senggama hendaklah ia memulainya dengan penuh kelemah lembutan sambil berbakap cakap dengan penuh kemesraan dan memberikan ciuman yg penuh dengan kehanggatan. Hal tsb di lakukan karena sesungguhnya wanita cinta kepada pria, sebagai mana pria cinta kepada wanita. Maka jangan sampai suami berseggama bersama istrinya dalam keadaan lupa diri dengan melupakan semua perantara itu. Kalau tidak begitu, maka suami hanya akan dapat memenuhi kebutuhannya saja, sebelum kebutuhan istrinya terpenuhi. Dengan kata lain suami akan mengalami ejakulasi sebelum istri mengalaminya, yg pada akhirnya akan menyebabkan keresahan (ketidak puasan) sang istri atau merusak agamanya (menyebabkan perselingkuhan).
Kebaikan dan kebenaran seluruhnya ada dalam hadis, bahwasanya janganlah sekali kali seorang suami ketika ia hendak seggama dengan istrinya tanpa di dahului dengan bersenda gurau, bermesraan dan bersenang senang. Setelah itu barulah ia bertindak untuk melepaskan keinginannya (berseggama).
Di dalam hadis di katakan: "ada 3 perkara yg termasuk kelemahan, yaitu: seseorang bertemu dengan orang yg ia senangi kemudian ia berpisah sebelum ia mengetahui nama dan nasabnya. Seseorang yg saudaranya ingin menghormatinya, kemudian penghormatan itu di tolaknya. Seorang laki laki yg menggauli hamba sahayanya/ istrinya tanpa di dahului dengan percakapan, bermesraan dan bersenang senang, kemudian ia langsung mencapai puncak ejakulasinya, sementara hamba sahayanya/istrinya sendiri belum terpenuhi kebutuhannya (kebutuhan dalam senggama).
Kemudian Ibnu Yamun berkata:
وَعَكْسُ ذَا يُؤَدّي لِلشِّقَاقِ بَيْنَهُمَا صَاحِ وَلِلفِرَاقِ
"Dan kebalikan (dari tata krama seggama) dapat mendatangkan perselisihan # antara suami istri dan perceraian, wahai sahabat"
Bahwa apa bila seorang suami ketika ia berseggama dengan istrinya tanpa di dahului dengan bermain main (bercumbu rayu) atau tanpa didahului dengan mencium kepala istri atau malah sang suami mencium kedua mata istri, maka hal tsb dapat menyebabkan percekcokan dan perselisihan serta menyebabkan anak yg terlahir dalam keadaan bodoh dan lemah otaknya. Hal itu sebagai mana di jelaskan di dalam kitab AnNashihah.
Dan datang keterangan, bahwa pahala yang besar didapati bagi suami yang seggama dengan istrinya dengan niat yang baik dan setelah ia melakukan pemanasan pemanasan seperti mencium dan bercumbu rayu.
Dan di antara tata krama jima' adalah, sebagai mana yg di jelaskan oleh Ibnu Yamun dalam syairnya:
وَطَيِّبَنْ فَاكَ بِطَيَّبٍ فَاىِٔحِ # عَلى الدّوَامَ نِلْتُمْ الَمنَاىِٔحِ
"Harumkanlah mulutmu dengan harum haruman # atas selamanya, maka kamu akan mendapatkan kebahagiaan".
Ibnu Yamun menjelaskan bahwa dianjurkan bagi suami untuk mengharumkan mulutnya dengan sesuatu yg dapat mengharumkan mulut, seperti minyak anyelir, kemenyan, kayu hindi dan sebagainya. Hal ini di lakukan untuk menambah rasa cinta. Dan mengharumkan mulut tersebut tidak hanya di lakukan pada waktu mau berjima' saja, melainkan juga pada setiap waktu, sebagai mana di katakan oleh Ibnu Yamun di dalam syairnya di atas lafaz ALAA DAWAMI "atas selamanya". Dan perkataan Ibnu Yamun FAA_IHIN adalah isim fail dari fiil madhi FAAHA_YAFUHU_ FAIHAN yg artinya bau harum yang menyebar.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa lafaz FAAHA tidak di gunakan kecuali untuk sesuatu yg wangi danharum saja. Dan tidak digunakan untuk sesuatu yg berbau busuk dan menjijikan. Melainkan di katakan ( untuk yg berbau busuk) lafaz HABAT RAIUHA yg artinya: "telah berhembus bau busuk itu", sebagai mana di jelaskan di dalam kitab Almisbah. Dan lafaz WALMANAIHU adalah jama'nya lafaz MUNIHATUN yg artinya pemberian. BEBERAPA FAEDAH Faedah yang pertama, disunahkan bagi wanita hendaklah ia menghias diri dan memakai wangi wangian untuk suaminya.
خيرُالنِّسَاء العِطْرَة المطهَّرَة
Bersabda Nabi Saw: "Sebaik baiknya wanitaa dalah yg selalu menggunakan wangi wangian lagi bersih".
Lafaz AL_ITRU maksudnya adalah: wanita yg suka memakai wangi wangian dari kayu 'ithr, sedangkan ma'na lafaz MUTATOHARAH adalah wanita yg suka membersihkan diri dengan air (mandi).
Dan Syaidina Ali bin Abi thalib Ra: "Sebaik baiknya wanita kalian adalah wanita yg harum baunya dan sedap masakannya, yaitu wanita yg sederhana. Sederhana dalam belanja dan pemeliharaannya (tidak pelit dan tidak boros). Itu semua adalah tindakan karena Alloh, sesungguhnya tindakan yg di landasi karena Alloh itu tidak akan merugi.
Dan Siti Aisyah Ra: "Adalah kami (kaum wanita) suka membalut kening kening kami dengan pembalut yg telah di beri minyak kesturi. Kemudian jika salah seorang dari kami berkeringat, maka mengalirlah minyak kesturi trb di wajahnya. Dan hal itu dilihat oleh Nabi Saw, dan beliau tidak mengingkarinya".
Di ambil dari perkataan Ibnu Yamun: "Hanya untuk melepas celana dalamnya". Sesungguhnya memakai celana dalam sangat di anjurkan bagi seorang istri. Dan memang demikian (hukum yg benar).
يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِ النَّاظِمِ رَحِمَهُ اللّٰهُ : 《 لِحَلِّهَا السِّرْوَالِ 》 اَنَّ لُبْسَ السَّرَاوِيْلِ مَطْلُوْبٌ فِى حَقِّ الْعَرُوْسِ، وَهُوَ كَذَلِكَ بَلْ يَطْلُبُ فِى حَقِّ الْمَرْأَةِ مُطْلَقًا : فَفِى الْحَدِيْثِ : 《 اَنَّ امْرَأَةٍ صُرِعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ، فَانْكَشَفَتْ فَإِذَا هِيَ بِسَرَاوِيْلَ
Mengambil dari perkataan penadzam Rahimahullah tentang lafadz : 《 LIHALLIHAAS SIRWAALI 》 bahwa memakai celana di anjurkan dalam hak pengantin perempuan dan demikian itu adalah akan di anjurkan dalam hak seorang wanita secara mutlak : Maka dalam suatu hadits : 《 sesungguhnya ada seorang wanita yang jatuh pada masa Rasulullh saw, maka tersingkap aurat perempuan tersebut, maka jika di ketahui wanita itu dengan celana
فَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : رَحِمَ اللّٰهُ الْمُتَسَرْوِلاَتُ مِنْ اُمَّتِيْ 》
maka bersabda Nabi saw : Semoga Allah segera memberi rahmat kepada wanita-wanita dari umatku 》
وَقَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ : يُسْتَحَبُّ لِلْمَرْأَةِ لِبْسُ السَّرَاوِيْلِ اِذَا رَكِبَتْ اَوْ سَافَرَتْ خِيْفَةَ انْكِشَافِ الْعَوْرَةِ اِذَا صُرِعَتْ، وَاَمَّا فِى غَيْرِ رُكُوْبٍ اَوْ سَفَرٍ فَالْمِئْزَرُ شَأْنُهَا
Dan Abdul Malik berkta : disunahkan untuk seorang wanita memakai celana, apabila ia naik kendaraan atau berpergian karena di khawatirkan tersingkap auratnya, jika ia jatuh dan adapun dalam tidak naik kendaraan atau berpergian, maka biasakan memakai kain penutup tentang perihal dirinya
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ : رُوِيَ عَنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ، اَنَّهُ لَبِسَ السَّرَاوِيْلَ وَكَانُوْا يَلْبَسُوْنَهُ فِى زَمَانِهِ وَاِذْنِهِ. اِنْتَهَى
Berkata Ibnu Qoyyim : Diriwayatkan dari Rasulullah saw, sesungguhnya memakai celana dan mereka para sahabat memakainya dalam masanya Nabi saw dan Nabi saw mengizinkannya. Sebagaimana penjelasan yang telah lewat
قَالَ بَعْضُهُمْ : وَمِمَّا يُرَجَّحُ اَنَّهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لَبِسَهُ وَاَمَرَ بِهِ
Dan berkata sebagian ulama' : dan dari pendapat yang rajih bahwasannya Nabi saw memakainya celana dan memerintah dengannya
فَقَدْ اَخْرَجَ الْعُقَيْلِيُّ وَابْنُ عَدِيِّ فِى 《 اَلْكَامِلِ 》 وَالْبَيْهَقِيُّ فِى 《 الْاَدَبِ 》 عَنْ عَلِيٍّ مَرْفُوْعًا : 《 اِتَّخَذُوْا السَّرَاوِيْلاَتِ، فَإِنَّهَا مِنْ اَسْتَرِ ثِيَابِكُمْ، وَحَصِّنُوْا بِهَا نِسَاءَكُمْ اِذَا خَرَجْنَ 》. ذَكَرَهُ فِى 《 الْجَامِعِ 》
Maka telah mengeluarkan Al-'Uqailiy dan Ibnu 'Adi dalam kitab 《 AL-KAMIL 》 dan Imam Al-Baihaqi dalam kitab 《AL-ADAB》 dari Syaidina 'Ali secara marfu' : 《 mereka menggunakan celana, maka sesungguhnya dari pakaian yang menutupi mereka dan bentengilah wanita-wanita kalian dengan celana, apabila mereka keluar rumah 》 di sebutnya dalam kitab 《 AL-JAMI' 》
قَالَ السَّيُوْطِيُّ فِى اَوَّلِيَائِهِ : وَاَوَّلُ مَنْ لَبِسَ السَّرَاوِيْلَ اِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمْ، اَخْرَجَهُ وَكِيْعٌ فِى 《 تَفْسِيْرِهِ 》 عَنْ اَبِى هُرَيْرَةِ. اِنْتَهَى
Dan berkata Imam As-Sayuthi dalam kitab 《 AULIA'NYA 》 : orang pertama orang yang memakai celana adalah Nabi Ibrahim as. Hadits tersebut di keluarkannya lmam Waqi' dalam kitab 《 TAFSIRNYA 》 dari Abi Hurairah ra. Sebagaimana penjelasan yang telah lewat.
وَذَكَرَ الْعَلاَّمَةُ [ اَبُوْ عَبْدِ اللّٰهِ مُحَمَّدْ بِنْ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ ] اِبْنُ زِكْرِيْ [ اَلْفَاسِيُّ ] اَنَّ الْإِمَامَ الْجَلِيْلَ الشَّرِيْفَ الْمَاجِدَ الْاَصِيْلَ مَوْلاَنَا عَبْدَ اللّٰهِ بْنِ طَاهِرِ سُئِلَ عَنْ لُبْسِ السَّرَاوِيْلِ، هَلْ هُوَ سُنَّةٌ اَمْ لاَ ؟ فَذَهَبَ اِلَى دَارِ شَيْخِهِ سَيِّدِيْ اَحْمَدَ [ بْنِ عَلِى ] اَلْمَنْجُوْرِ فَسَأَلَ زَوْجَتَهُ فَأَخْبَرَتْهُ اَنَّهُ كَانَ يَلْبَسُهُ تَارَةً وَيَتْرُكُهُ اُخْرَى. فَأَجَابَ السَّائِلَ بِأَنَّهُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ كَانَ يَلْبَسُهُ تَارَةً وَيَتْرُكُهُ اُخْرَى لِمَا يَعْلَمُهُ مِنْ شِدَّةِ تَجَرُّدِ الشَّيْخِ الْمَذْكُوْرِ لِاتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَتَبَحُّرِهِ فِى عِلْمِهِ. اِنْتَهَى
Dan di sebutkan oleh Syaikh Al-'Allamah Abu 'Abdillah bin Muhammad bin 'Abdirrahman bin Zikri Al-Fasi, Bahwa Al-Imam Al-Jalil Asy-Syarif Al-Majid yang di simpulkan oleh tuan kami Abdullah bin Thahir, ditanya tentang memakai celana, apakah sunnah atau tidak ? Maka ia pergi pada rumah gurunya, Syayid Ahmad bin 'Ali Al-Manjuri, maka beliau bertanya kepada istrinya, maka mengabarkan istri gurunya : sesungguhnya suaminya itu kadang-kadang memakainya dan meninggalkannya pada waktu lain, maka Syaikh Abdullah bin Thahir memjawab kepada yang bertanya : Bahwasannya Nabi saw kadang-kadang memakainya dan meninggalkannya pada waktu lain, karena apa yang ia ketahui dari kehebatan kejujuran gurunya yang di sebutkan untuk mengikuti sunnah Nabi saw dan kedalaman dalam ilmunya. Sebagaimana penjelasan yang telah lewat
وَفى 《 نُزْهَةِ 》 اَلْخَادِمِيِّ مَانَصَّهُ : رُفِعَ لِمُفْتِى الْاِسْلاَمِ فِى الدِّيَارِ الْقُدْسِيَّةِ شَمْسِ الدِّيْنِ مُحَمَّدِ بْنِ اللَّطَفَانِ سُؤَالٌ وَهُوَ [ مِنْ اَلرَّجَزْ ] :
Dan dalam kitab 《 NUZ-HAT 》 karangan Imam Al-Khadimiy apa yang di catatnya : mengangkat pada seorang Mufti Islam dalam desa Qudsiyah yang bernama Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Alla-Thafani yang telah di tanya seseorang dan ia adalah bertanya dari sya'ir bahar rojaznya :
مَاذَا تَقُوْلُ يَاإِمَامَ عَصْرِهِ * يَافَائِقًا بِالْعِلْمِ اَهْلَ دَهْرِهِ
Apa pendapatmu wahai imam semasanya * wahai orang yang unggul dengan ilmu di antara ahli ilmu seangkatannya
اَنْتَ الَّذِى قَدْ حُزْتَ فَضْلاً وَافِرًا * وَفَاحَ مِسْكُ عِطْرِهِ مِنْ نَشْرِهِ
Sungguh engkau yang telah mengukir keutamaan dan kesempurnaan * dan semerbak minyak kasturi yang wanginya dari pancarannya
هَلْ لَبِسَ السِّرْوَالَ طَهَ الْمُصْطَفٰى * وَهَلْ يُسَنُّ لُبْسُهُ بِسَتْرِهِ
Apakah memakai celana adalah dari TOHA AL-MUSH-THOFA * dan apakah di sunahkan memakainya dengan menutupi auratnya
اَمْ لاَ ؟ وَعَجِّلْ بِالْجَوَابِ سَيِّدِيْ * بِسُرْعَةٍ تَحْظَ بِطُوْلِ اَجْرِهِ
Atau tidak ? segeralah dengan jawaban tuanku * dengan cepat akan merasakan dengan keluasan pahalanya
فَأَجَابَ بِمَا نَصَّهُ [ مِنَ الرَّجَزْ ] :
Maka Syaikh menjawab dengan suatu nashihatnya dari sya'ir bahar rojaznya :
اَقُوْلُ : اِنَّ الْمُصْطَفَى قَدِ اشْتَرَى * ذَكَ وَلَمْ يَلْبَسْهُ قَطُّ فِى عُمْرِهِ
Saya berkata : bahwa AL-MUSH-THAFA sungguh membeli celana * itu dan tidak memakainya selama dalam hidupnya
كَمَا الشَّمُوْنِيُّ حَكَى ذَلِكَ فِى * حَاشِيَةِ الشِّفَا فَصَدَّ عَنْ نُكْرِهِ
Sebagaimana Imam Asy-Syamuniy mengisahkan hal itu dalam * kitab 《 HASYIYATUSY SYIFA' 》 maka cegahlah dari mengingkarinya
قَالُوْا : وَمَا فِى الْهَدْيِ مِنْ لِبَاسِهَا * فَذَاكَ سَبْقُ قَلَمٍ لَمْ يَدْرِهِ
Para ulama' berkata : dan apa yang di terangkan dalam kitab 《 AL-HADYI 》 dari memakainya * maka hal itu adalah mendahului tulisan yang tidak dapat di ketahuinya
وَلُبْسُهُ سُنَّةُ اِبْرَاهِيْمَ لاَ * بَأْسَ بِهِ فَالْبَسْ لِاَجْلِ سَتْرِهِ
Dan memakai celana adalah sunnah Nabi Ibrahim as, tidak * apa-apa dengannya, maka pakailah karena untuk menutupi auratnya
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Kamis, 27 September 2018
Fenomena Berpakaian "Sarung Balapan"
Tidaklah dijumpai seorang yang shalat dengan memakai celana panjang dan sarung lalu sarungnya ‘balapan’ kecuali dia adalah seorang ahli sunah alias salafy.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى، عَنْ شَرِيكٍ، عَنِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ، قَالَ: " مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ "،
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، قَالَ: ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa, dar Syariik, dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah, dari Al-Muhaajir Asy-Syaamiy, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata (secara mauquuf) – dan dalam hadits Syariik ia memarfu’kannya – beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” – dan dalam riwayat Abu ‘Awaanah terdapat tambahan : “kemudian akan dibakar padanya di dalam neraka”.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami, ia berkata : “Yaitu pakaian kehinaan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029].
Abu Haatim Ar-Raaziy mentarjih bahwa riwayat mauquuf lebih shahih. 'Utsmaan bin Abi Zur'ah dalam periwayatan marfuu' telah diselisihi oleh Al-Laits bin Abi Sulaim, sedangkan ia seorang yang dla'iif. Oleh karena itu, riwayat marfuu’ ini mahfuudh. Wallaahu a'lam.
Mengomentari hadits di atas, As-Sindiy rahimahullah berkata :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا يَقْصِد بِهِ الِاشْتِهَار بَيْن النَّاس ، سَوَاء كَانَ الثَّوْب نَفِيسًا يَلْبَسهُ تَفَاخُرًا بِالدُّنْيَا وَزِينَتهَا ، أَوْ خَسِيسًا يَلْبَسهُ إِظْهَارًا لِلزُّهْدِ وَالرِّيَاء
“Yaitu : Orang yang memakai pakaian dengan tujuan kemasyhuran/kepopuleran di antara manusia. Sama saja, apakah pakaian itu bagus yang dipakai untuk berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian itu hina/jelek yang dipakai untuk menampakkan kezuhudan dan riyaa’ (di hadapan manusia)” [Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibni Maajah]
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111].
Para ulama telah menjelaskan bahwa salah satu bentuk terlarang pakaian syuhrah ini adalah pakaian yang berbeda dari adat kebiasaan orang-orang setempat. Perhatikan dua riwayat di bawah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْن ثابت بْن بندار، نا أبي الْحُسَيْن بْن عَلِيّ، نا أَحْمَد بْن منصور البوسري، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثني مُحَمَّد بْن يوسف، قَالَ: قَالَ عَبَّاس بْن عَبْدِ العظيم العنبري: قَالَ بِشْر بْن الحارث: إن ابْن الْمُبَارَك " دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها فِي كمه "
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Tsaabit bin Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku (: Telah mengkhabarkan kepada kami ) Al-Husain bin ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Manshuur Al-Buusiriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yuusuf, ia berkata : Telah berkata ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy : Telah berkata Bisyr bin Al-Haarits : Sesungguhnya Ibnu Mubaarak pernah masuk ke dalam masjid pada hari Jum’at, dan ia memakai peci. Lalu ia melihat orang-orang tidak ada yang memakai peci. Maka Ibnul-Mubaarak melepas dan menyimpannya di balik bajunya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Talbiis Ibliis, hal. 184].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan posisi madzhabnya :
يُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ ، أَوْ خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنْ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan,
ومن زبدها هنا قصد اللابس التسنن بإرخاء السراويل و جعل الثوب أقصر منها بقليل فهذا تسنن لا أصل له في الشرع ولا أثارة من العلم تدل عليه
“Di antara penyimpangan yang dilakukan oleh para pemuda shahwah islamiyyah (kebangkitan Islam) dalam masalah pakaian adalah adanya orang yang berpakaian yang dengan sengaja membuat pakaiannya ‘balapan’ (yang satu lebih panjang dari pada yang lain) yaitu dengan memakai celana panjang dan jubah, lalu ujung jubah dibuat sedikit lebih tinggi dari pada ujung celana panjang. Pembiasaan semacam ini tidak ada dalilnya dalam syariat dan tidak ada keterangan ulama yang membenarkannya” (Hadd al Tsaub wa al Uzrah hal 26, cetakan Maktabah al Sunah Kairo cetakan pertama tahun 1421 H).
Semisal dengan apa yang beliau sampaikan adalah kebiasaan sebagian orang di negeri kita yang memakai celana panjang dan sarung, lalu dengan sengaja menjadikan ujung sarung berada sedikit lebih tinggi dari pada celana panjang.
Oleh karena itu, jika ada orang yang sengaja bahkan membiasakan diri membuat sarungnya sedikit ‘balapan’ dengan celana panjangnya karena anggapan bahwa itu adalah ciri seorang ahli sunnah sejati atau ciri khas muslim yang taat maka dia telah melakukan beberapa kekeliruan:
Pertama: Membuat amalan yang mengada-ada. Ingatlah, bahwa di antara bid’ah yang dibuat oleh sebagian orang sufi adalah menjadikan pakaian dari shuf atau wol kasar sebagai ciri khas orang yang zuhud sehingga pada akhirnya mereka merasa bahwa memakai shuf adalah suatu amalan yang berpahala. Tidak jauh dengan hal ini kasus sarung ‘balapan’ dan menjadikannya sebagai ciri khas orang yang shalih.
Kedua: Gaya berpakaian tersebut termasuk libas syuhrah alias pakaian tampil beda dengan umumnya jamaah masjid yang bersarung. Pakaian tampil beda dalam kasus semacam ini adalah suatu hal yang terlarang.
Ketiga: Gaya berpakaian semacam di atas adalah cara berpakaian yang tidak indah dan rapi padahal Allah mencintai keindahan dalam berpenampilan dan berpakaian selama tidak melanggar batasan syariat.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى، عَنْ شَرِيكٍ، عَنِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ، قَالَ: " مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ "،
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، قَالَ: ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa, dar Syariik, dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah, dari Al-Muhaajir Asy-Syaamiy, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata (secara mauquuf) – dan dalam hadits Syariik ia memarfu’kannya – beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” – dan dalam riwayat Abu ‘Awaanah terdapat tambahan : “kemudian akan dibakar padanya di dalam neraka”.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami, ia berkata : “Yaitu pakaian kehinaan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029].
Abu Haatim Ar-Raaziy mentarjih bahwa riwayat mauquuf lebih shahih. 'Utsmaan bin Abi Zur'ah dalam periwayatan marfuu' telah diselisihi oleh Al-Laits bin Abi Sulaim, sedangkan ia seorang yang dla'iif. Oleh karena itu, riwayat marfuu’ ini mahfuudh. Wallaahu a'lam.
Mengomentari hadits di atas, As-Sindiy rahimahullah berkata :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا يَقْصِد بِهِ الِاشْتِهَار بَيْن النَّاس ، سَوَاء كَانَ الثَّوْب نَفِيسًا يَلْبَسهُ تَفَاخُرًا بِالدُّنْيَا وَزِينَتهَا ، أَوْ خَسِيسًا يَلْبَسهُ إِظْهَارًا لِلزُّهْدِ وَالرِّيَاء
“Yaitu : Orang yang memakai pakaian dengan tujuan kemasyhuran/kepopuleran di antara manusia. Sama saja, apakah pakaian itu bagus yang dipakai untuk berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian itu hina/jelek yang dipakai untuk menampakkan kezuhudan dan riyaa’ (di hadapan manusia)” [Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibni Maajah]
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111].
Para ulama telah menjelaskan bahwa salah satu bentuk terlarang pakaian syuhrah ini adalah pakaian yang berbeda dari adat kebiasaan orang-orang setempat. Perhatikan dua riwayat di bawah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْن ثابت بْن بندار، نا أبي الْحُسَيْن بْن عَلِيّ، نا أَحْمَد بْن منصور البوسري، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثني مُحَمَّد بْن يوسف، قَالَ: قَالَ عَبَّاس بْن عَبْدِ العظيم العنبري: قَالَ بِشْر بْن الحارث: إن ابْن الْمُبَارَك " دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها فِي كمه "
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Tsaabit bin Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku (: Telah mengkhabarkan kepada kami ) Al-Husain bin ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Manshuur Al-Buusiriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yuusuf, ia berkata : Telah berkata ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy : Telah berkata Bisyr bin Al-Haarits : Sesungguhnya Ibnu Mubaarak pernah masuk ke dalam masjid pada hari Jum’at, dan ia memakai peci. Lalu ia melihat orang-orang tidak ada yang memakai peci. Maka Ibnul-Mubaarak melepas dan menyimpannya di balik bajunya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Talbiis Ibliis, hal. 184].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan posisi madzhabnya :
يُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ ، أَوْ خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنْ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan,
ومن زبدها هنا قصد اللابس التسنن بإرخاء السراويل و جعل الثوب أقصر منها بقليل فهذا تسنن لا أصل له في الشرع ولا أثارة من العلم تدل عليه
“Di antara penyimpangan yang dilakukan oleh para pemuda shahwah islamiyyah (kebangkitan Islam) dalam masalah pakaian adalah adanya orang yang berpakaian yang dengan sengaja membuat pakaiannya ‘balapan’ (yang satu lebih panjang dari pada yang lain) yaitu dengan memakai celana panjang dan jubah, lalu ujung jubah dibuat sedikit lebih tinggi dari pada ujung celana panjang. Pembiasaan semacam ini tidak ada dalilnya dalam syariat dan tidak ada keterangan ulama yang membenarkannya” (Hadd al Tsaub wa al Uzrah hal 26, cetakan Maktabah al Sunah Kairo cetakan pertama tahun 1421 H).
Semisal dengan apa yang beliau sampaikan adalah kebiasaan sebagian orang di negeri kita yang memakai celana panjang dan sarung, lalu dengan sengaja menjadikan ujung sarung berada sedikit lebih tinggi dari pada celana panjang.
Oleh karena itu, jika ada orang yang sengaja bahkan membiasakan diri membuat sarungnya sedikit ‘balapan’ dengan celana panjangnya karena anggapan bahwa itu adalah ciri seorang ahli sunnah sejati atau ciri khas muslim yang taat maka dia telah melakukan beberapa kekeliruan:
Pertama: Membuat amalan yang mengada-ada. Ingatlah, bahwa di antara bid’ah yang dibuat oleh sebagian orang sufi adalah menjadikan pakaian dari shuf atau wol kasar sebagai ciri khas orang yang zuhud sehingga pada akhirnya mereka merasa bahwa memakai shuf adalah suatu amalan yang berpahala. Tidak jauh dengan hal ini kasus sarung ‘balapan’ dan menjadikannya sebagai ciri khas orang yang shalih.
Kedua: Gaya berpakaian tersebut termasuk libas syuhrah alias pakaian tampil beda dengan umumnya jamaah masjid yang bersarung. Pakaian tampil beda dalam kasus semacam ini adalah suatu hal yang terlarang.
Ketiga: Gaya berpakaian semacam di atas adalah cara berpakaian yang tidak indah dan rapi padahal Allah mencintai keindahan dalam berpenampilan dan berpakaian selama tidak melanggar batasan syariat.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Menyingsingkan Kain Dan Mengikat Rambut Saat Sholat
Menggulung kemeja lengan panjang termasuk urusan duniawi, sehingga hukum asalnya boleh, selama tidak ada larangan dari Allah dan RasulNya. Dan -sepanjang pengetahuan kami- tidak ada larangan terhadap perbuatan tersebut.
Sebagian ulama tidak membolehkan menggulung (melipat) pakaian pada saat shalat berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintah (oleh Allah) untuk bersujud pada tujuh tulang, yaitu pada dahi –dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dengan tangannya pada hidung beliau-, dua (telapak) tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua telapak kaki. Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut”. [HR Bukhari, no. 812; Muslim, no. 490; dan lain-lain].
Melipat pakaian maksudnya : menggabungkan dan mengumpulkannya. Sedangkan melipat rambut maksudnya : menjalinnya.
Larangan melipat pakaian dan rambut di dalam hadits di atas ada dua illah ( sebab ) yang mendasarinya :
[1]. Melipat keduanya ketika “sedang” sholat. Ini akan menyibukkan seorang dari sholatnya sehingga merusak kekhusyukkannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik –rohimahullah-.
[2]. Melipat keduanya ketika “akan” sholat. Hal ini menghalangi pakaian dan rambut untuk ikut sujud ketika sholat.
Dua hal di atas telah ditetapkan dan dijadikan landasan hukum oleh jumhur ulama’. Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali –rohimahullah- berkata :
وأكثر العلماء على الكراهة في الحالين، ومنهم: إلاوزاعي والليث وأبو حنيفة والشافعي، وقد سبق عن جماعة من الصحابة ما يدل عليه، منهم: عمر وعثمان وابن مسعود وحذيفة وابن عباس وأبو رافع وغيرهم.
“Mayoritas ulama’ berpendapat akan dimakruhkannya hal ini pada dua keadaan di atas. Diantara mereka : Al-Auza’i, Al-Laits, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan telah mendahului ( dalam pendapat ini ) sekelompok dari para sahabat yang menunjukkan akan hal ini, diantara mereka : Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Ibnu Abbas Abu Rofi’ dan selain mereka”. [ Fathul Bari karya Ibnu Rajab –rohimahullah- : 7/271 ].
Dan yang tampak, melipat celana panjang ke atas ketika akan sholat sebagaimana dilakukan oleh sebagian muslimin, termasuk dalam makna hadits di atas.
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan: “Menahan pakaian, yaitu: menghimpunnya dan mengumpulkannya dari menyebar”. [an Nihayah fii Gharibul Hadits].
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut” dengan mengatakan: “Yang dimaksudkan bahwa dia (orang yang shalat) tidak mengumpulkan pakaiannya dan rambutnya di dalam shalat. Dan zhahirnya menunjukkan, larangan itu dalam keadaan shalat. Ad Dawudi condong kepada pendapat ini. Dan penyusun (Imam Bukhari) membuat bab setelah ini ‘Bab: Tidak boleh (orang yang shalat) menahan pakaiannya di waktu shalat’.”, ini menguatkan (pendapat Dawudi) itu. Tetapi al Qadhi ‘Iyadh membantahnya, bahwa itu menyelisihi pendapat jumhur (mayoritas ulama). Mereka tidak menyukai hal itu bagi orang shalat, sama saja, apakah orang yang shalat itu melakukannya (yaitu menahan pakaian) di waktu shalat, atau sebelum memasuki shalat. Dan mereka (para ulama) sepakat, bahwa hal itu tidak merusakkan shalat. Tetapi Ibnul Mundzir meriwayatkan kewajiban mengulangi (shalat) dari al Hasan”. [Fathul Bari, syarh hadits no. 809].
Termasuk “menahan pakaian” adalah menyingsingkan celana panjang atau lengan baju.
وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرُ الِاعَادَةُ فِيْهِ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصَرِي ثُمَّ مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ الْجُمْهُوْرِ أَنَّ النَّهْيَ لِكُلِّ مَنْ صَلَّي كَذَلِكَ سَوَاءٌ تَعَمَّدَهُ لِلصَّلَاةِ أَمْ كَانَ كَذَلِكَ قَبْلَهَا لِمَعْنَى آخَرٍ وَصَلَّي عَلَى حَالِهِ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ
Sedangkan Ibnul Mundzir menceritakan dari al-Hasan al-Bashri bahwa wajibnya mengulangi shalat. Kemudian, menurut madzhab kami (madzhab Syafi’i) dan madzhab jumhur bahwa larangan itu berlaku mutlak bagi orang yang shalat dalam keadaan seperti itu, sama saja apakah dia sengaja melakukannya untuk shalat atau dia telah melakukan sebelumnya untuk maksud lain sehingga ia shalat dalam kondisi seperti itu, padahal tidak dalam keadaan mendesak.
وَقَالَ مَالِكٌ النَهْيُ مُخْتَصٌّ بِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ لِلصَّلَاةِ والاَوَّلُ الَذِى يَقْتَضِيْهِ اطْلَاقُ الْاَحَادِيْثُ الصَّحِيْحَةُ وَهُوَ ظَاهِرُ المَنْقُوْلُ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
Imam Malik berkata, “Larangan itu hanya khusus bagi orang yang menyengaja melakukannya untuk shalat.” Pendapat yang lebih utama adalah yang menghukuminya secara muthlak sebagaimana keumuman hadits-hadits shalih. Dan inilah pendapat yang lebih kuat yang dinukil dari para sahabat.” (al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain an-Nawawi ad-Dimasyqiy, 4/98)
Zakariya al-Anshari rahimahumullah berkata,
وَيُكْرَهُ لِلْمُصَلِّي ضَمُّ شَعْرِهِ وَثِيَابِهِ في سُجُودِهِ أو غَيْرِهِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ أُمِرْت أَنْ أَسْجُدَ على سَبْعَةِ أَعْظُمٍ وَلَا أَكُفَّ ثَوْبًا وَلَا شَعْرًا.
Bagi orang yang shalat dimakruhkan menggulung rambut dan pakaiannya ketika hendak sujud atau kondisi yang lainnya tanpa ada kebutuhan. Hal ini karena terdapat hadits shahihain “Aku diperintah untuk sujud dengan tujuh anggota badan, tidak menahan rambut, tidak pula menahan pakaian”. (Asna al-Mathalib fi syarhi Raudhi at-Thalib, Zakaria al-Anshari, 1/ 163)
Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi al-Maliki rahimahumullah berkata,
يُكْرَهُ لِلْمُصَلِّي تَشْمِيرُ كُمِّهِ وَضَمُّهُ لِأَنَّ فِي ذَلِكَ ضَرْبًا مِنْ تَرْكِ الْخُشُوعِ وَأَوْلَى ذَيْلُهُ عَنْ السَّاقِ وَمِثْلُهُ إذَا صَلَّى مُحْتَزِمًا أَوْ جَمَعَ شَعْرَهُ وَهَذَا إذَا فَعَلَهُ لِأَجْلِ الصَّلَاةِ
Dimakruhkan bagi orang yang shalat untuk menggulung dan melipat pakaiannya. Terutama menggulung atau melipat ujung pakaian sampai ke betis jika itu dilakukan karena hendak melaksanakan shalat. Sebab itu dapat menghilangkan kekhusyukan.
أَمَّا لَوْ كَانَ ذَلِكَ لِبَاسُهُ أَوْ كَانَ لِأَجْلِ شُغْلٍ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَصَلَّى بِهِ فَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ قَالَهُ ابْنُ يُونُسَ.
Namun jika pakaiannya memang sudah tergulung atau terlipat karena ada kepentingan tertentu harus dilipat hingga datang waktu shalat, maka ketika ia shalat dalam kondisi pakaiannya tergulung atau terlipat tidaklah dimakruhkan, ini adalah pendapat Ibnu Yunus. (Syarhu Mukhtashar Khalil lil Kharasyi, Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi, 3/ 222)
Imam Nawawi rahimahullah- berkata,
اتفق العلماء علي النهي عن الصلاة وثوبه مشمرا وكمه أو نحوه أو ورأسه معقوص أو مردود شعره تحت عمامته أو نحو ذلك فكل هذا مكروه باتفاق العلماء وهي كراهة تنزيه فلو صلى كذلك فقد ارتكب الكراهة وصلاته صحيحة
"Para ulama telah sepakat tentang terlarangnya melakukan shalat sedang pakaian atau lengannya tersingsingkan. Larangan menyingsingkan pakaian adalah larangan makruh tanzih. Kalau dia shalat dalam keadaan seperti itu, berarti dia telah memperburuk shalatnya, meskipun shalatnya tetap sah.".
Lewat penjelasan diatas kita ketahui bahwa hukum shalat dalam keadaan pakaian atau rambut tergulung hukumnya makruh tanzih (makruh yang ringan).
Walau pun dinilai hanya Makruh namun melipat rambut dan pakaian ketika shalat tetap boleh diingkari, hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam satu riwayat:
عن عبد الله بن عباس أنه رأى عبد الله بن الحارث يصلى ورأسه معقوص من ورائه فقام فجعل يحله فلما انصرف أقبل إلى ابن عباس فقال ما لك ورأسى فقال إنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إنما مثل هذا مثل الذى يصلى وهو مكتوف
Dari Abdullah bin ‘Abbas Radliyallahu ‘Anhuma , sesungguhnya beliau pernah melihat Abdullah bin al-Harits sedang shalat dalam keadaan rambutnya Ma’qush (dilipat ke bagian akar rambut) dari bagian belakangnya, maka Abdullah bin Abbas berdiri dan mengurai rambutnya abdullah bin al-harits, dan manakala ia telah selesai dari shalatnya ia pun menghampiri Abdullah bin Abbas seraya berkata: “ada apa engkau dengan rambutku?” Abdullah bin Abbas menjawab: “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya seperti yang (kamu lakukan) ini seperti orang yang shalat dalam keadaan Maktuf.(yaitu rambutnya yang panjang dibawa ke bagaian atas dibawah imamah atau peci).
[Hadits riwayat Imam Muslim Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim No. 1101 / al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Bin Hajjaj/ 3-4/Hal.432/Cet. Darul Makrifah/Tahun 2001.M/1422.H.]
Imam an-Nawawy Rahimahullah memberikan keterangan atas riwayat Abdullah bin Abbas di atas dan beliau berkata:
فيه الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وأن ذلك لا يؤخر إذ لم يؤخره بن عباس رضي الله عنهما حتى يفرغ من الصلاة وأن المكروه ينكر كما ينكر المحرم
“Di dalam hadits ini ada anjuran amar makruf nahi munkar dan hal itu boleh diundur karena Ibnu Abbas Radliyallahu ‘Anhuma tidak mengundurkannya sampai ia (abdullah bin al-harits) selesai dari shalatnya, dan sesungguhnya yang Makruh boleh diingkari sebagaimana diingkarinya sesuatu yang diharamkan.”
[al-Minhaj Sharh Shahih Muslim ibnul Hajjaj 3-4/432./Cet. ke-2 Darul-Makrifah Tahun 2001.M/1422.H]
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Sebagian ulama tidak membolehkan menggulung (melipat) pakaian pada saat shalat berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintah (oleh Allah) untuk bersujud pada tujuh tulang, yaitu pada dahi –dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dengan tangannya pada hidung beliau-, dua (telapak) tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua telapak kaki. Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut”. [HR Bukhari, no. 812; Muslim, no. 490; dan lain-lain].
Melipat pakaian maksudnya : menggabungkan dan mengumpulkannya. Sedangkan melipat rambut maksudnya : menjalinnya.
Larangan melipat pakaian dan rambut di dalam hadits di atas ada dua illah ( sebab ) yang mendasarinya :
[1]. Melipat keduanya ketika “sedang” sholat. Ini akan menyibukkan seorang dari sholatnya sehingga merusak kekhusyukkannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik –rohimahullah-.
[2]. Melipat keduanya ketika “akan” sholat. Hal ini menghalangi pakaian dan rambut untuk ikut sujud ketika sholat.
Dua hal di atas telah ditetapkan dan dijadikan landasan hukum oleh jumhur ulama’. Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali –rohimahullah- berkata :
وأكثر العلماء على الكراهة في الحالين، ومنهم: إلاوزاعي والليث وأبو حنيفة والشافعي، وقد سبق عن جماعة من الصحابة ما يدل عليه، منهم: عمر وعثمان وابن مسعود وحذيفة وابن عباس وأبو رافع وغيرهم.
“Mayoritas ulama’ berpendapat akan dimakruhkannya hal ini pada dua keadaan di atas. Diantara mereka : Al-Auza’i, Al-Laits, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan telah mendahului ( dalam pendapat ini ) sekelompok dari para sahabat yang menunjukkan akan hal ini, diantara mereka : Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Ibnu Abbas Abu Rofi’ dan selain mereka”. [ Fathul Bari karya Ibnu Rajab –rohimahullah- : 7/271 ].
Dan yang tampak, melipat celana panjang ke atas ketika akan sholat sebagaimana dilakukan oleh sebagian muslimin, termasuk dalam makna hadits di atas.
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan: “Menahan pakaian, yaitu: menghimpunnya dan mengumpulkannya dari menyebar”. [an Nihayah fii Gharibul Hadits].
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut” dengan mengatakan: “Yang dimaksudkan bahwa dia (orang yang shalat) tidak mengumpulkan pakaiannya dan rambutnya di dalam shalat. Dan zhahirnya menunjukkan, larangan itu dalam keadaan shalat. Ad Dawudi condong kepada pendapat ini. Dan penyusun (Imam Bukhari) membuat bab setelah ini ‘Bab: Tidak boleh (orang yang shalat) menahan pakaiannya di waktu shalat’.”, ini menguatkan (pendapat Dawudi) itu. Tetapi al Qadhi ‘Iyadh membantahnya, bahwa itu menyelisihi pendapat jumhur (mayoritas ulama). Mereka tidak menyukai hal itu bagi orang shalat, sama saja, apakah orang yang shalat itu melakukannya (yaitu menahan pakaian) di waktu shalat, atau sebelum memasuki shalat. Dan mereka (para ulama) sepakat, bahwa hal itu tidak merusakkan shalat. Tetapi Ibnul Mundzir meriwayatkan kewajiban mengulangi (shalat) dari al Hasan”. [Fathul Bari, syarh hadits no. 809].
Termasuk “menahan pakaian” adalah menyingsingkan celana panjang atau lengan baju.
وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرُ الِاعَادَةُ فِيْهِ عَنِ الْحَسَنِ الْبَصَرِي ثُمَّ مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ الْجُمْهُوْرِ أَنَّ النَّهْيَ لِكُلِّ مَنْ صَلَّي كَذَلِكَ سَوَاءٌ تَعَمَّدَهُ لِلصَّلَاةِ أَمْ كَانَ كَذَلِكَ قَبْلَهَا لِمَعْنَى آخَرٍ وَصَلَّي عَلَى حَالِهِ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ
Sedangkan Ibnul Mundzir menceritakan dari al-Hasan al-Bashri bahwa wajibnya mengulangi shalat. Kemudian, menurut madzhab kami (madzhab Syafi’i) dan madzhab jumhur bahwa larangan itu berlaku mutlak bagi orang yang shalat dalam keadaan seperti itu, sama saja apakah dia sengaja melakukannya untuk shalat atau dia telah melakukan sebelumnya untuk maksud lain sehingga ia shalat dalam kondisi seperti itu, padahal tidak dalam keadaan mendesak.
وَقَالَ مَالِكٌ النَهْيُ مُخْتَصٌّ بِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ لِلصَّلَاةِ والاَوَّلُ الَذِى يَقْتَضِيْهِ اطْلَاقُ الْاَحَادِيْثُ الصَّحِيْحَةُ وَهُوَ ظَاهِرُ المَنْقُوْلُ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
Imam Malik berkata, “Larangan itu hanya khusus bagi orang yang menyengaja melakukannya untuk shalat.” Pendapat yang lebih utama adalah yang menghukuminya secara muthlak sebagaimana keumuman hadits-hadits shalih. Dan inilah pendapat yang lebih kuat yang dinukil dari para sahabat.” (al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain an-Nawawi ad-Dimasyqiy, 4/98)
Zakariya al-Anshari rahimahumullah berkata,
وَيُكْرَهُ لِلْمُصَلِّي ضَمُّ شَعْرِهِ وَثِيَابِهِ في سُجُودِهِ أو غَيْرِهِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ أُمِرْت أَنْ أَسْجُدَ على سَبْعَةِ أَعْظُمٍ وَلَا أَكُفَّ ثَوْبًا وَلَا شَعْرًا.
Bagi orang yang shalat dimakruhkan menggulung rambut dan pakaiannya ketika hendak sujud atau kondisi yang lainnya tanpa ada kebutuhan. Hal ini karena terdapat hadits shahihain “Aku diperintah untuk sujud dengan tujuh anggota badan, tidak menahan rambut, tidak pula menahan pakaian”. (Asna al-Mathalib fi syarhi Raudhi at-Thalib, Zakaria al-Anshari, 1/ 163)
Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi al-Maliki rahimahumullah berkata,
يُكْرَهُ لِلْمُصَلِّي تَشْمِيرُ كُمِّهِ وَضَمُّهُ لِأَنَّ فِي ذَلِكَ ضَرْبًا مِنْ تَرْكِ الْخُشُوعِ وَأَوْلَى ذَيْلُهُ عَنْ السَّاقِ وَمِثْلُهُ إذَا صَلَّى مُحْتَزِمًا أَوْ جَمَعَ شَعْرَهُ وَهَذَا إذَا فَعَلَهُ لِأَجْلِ الصَّلَاةِ
Dimakruhkan bagi orang yang shalat untuk menggulung dan melipat pakaiannya. Terutama menggulung atau melipat ujung pakaian sampai ke betis jika itu dilakukan karena hendak melaksanakan shalat. Sebab itu dapat menghilangkan kekhusyukan.
أَمَّا لَوْ كَانَ ذَلِكَ لِبَاسُهُ أَوْ كَانَ لِأَجْلِ شُغْلٍ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَصَلَّى بِهِ فَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ قَالَهُ ابْنُ يُونُسَ.
Namun jika pakaiannya memang sudah tergulung atau terlipat karena ada kepentingan tertentu harus dilipat hingga datang waktu shalat, maka ketika ia shalat dalam kondisi pakaiannya tergulung atau terlipat tidaklah dimakruhkan, ini adalah pendapat Ibnu Yunus. (Syarhu Mukhtashar Khalil lil Kharasyi, Muhammad bin Abdullah al-Kharasyi, 3/ 222)
Imam Nawawi rahimahullah- berkata,
اتفق العلماء علي النهي عن الصلاة وثوبه مشمرا وكمه أو نحوه أو ورأسه معقوص أو مردود شعره تحت عمامته أو نحو ذلك فكل هذا مكروه باتفاق العلماء وهي كراهة تنزيه فلو صلى كذلك فقد ارتكب الكراهة وصلاته صحيحة
"Para ulama telah sepakat tentang terlarangnya melakukan shalat sedang pakaian atau lengannya tersingsingkan. Larangan menyingsingkan pakaian adalah larangan makruh tanzih. Kalau dia shalat dalam keadaan seperti itu, berarti dia telah memperburuk shalatnya, meskipun shalatnya tetap sah.".
Lewat penjelasan diatas kita ketahui bahwa hukum shalat dalam keadaan pakaian atau rambut tergulung hukumnya makruh tanzih (makruh yang ringan).
Walau pun dinilai hanya Makruh namun melipat rambut dan pakaian ketika shalat tetap boleh diingkari, hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam satu riwayat:
عن عبد الله بن عباس أنه رأى عبد الله بن الحارث يصلى ورأسه معقوص من ورائه فقام فجعل يحله فلما انصرف أقبل إلى ابن عباس فقال ما لك ورأسى فقال إنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إنما مثل هذا مثل الذى يصلى وهو مكتوف
Dari Abdullah bin ‘Abbas Radliyallahu ‘Anhuma , sesungguhnya beliau pernah melihat Abdullah bin al-Harits sedang shalat dalam keadaan rambutnya Ma’qush (dilipat ke bagian akar rambut) dari bagian belakangnya, maka Abdullah bin Abbas berdiri dan mengurai rambutnya abdullah bin al-harits, dan manakala ia telah selesai dari shalatnya ia pun menghampiri Abdullah bin Abbas seraya berkata: “ada apa engkau dengan rambutku?” Abdullah bin Abbas menjawab: “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya seperti yang (kamu lakukan) ini seperti orang yang shalat dalam keadaan Maktuf.(yaitu rambutnya yang panjang dibawa ke bagaian atas dibawah imamah atau peci).
[Hadits riwayat Imam Muslim Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim No. 1101 / al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Bin Hajjaj/ 3-4/Hal.432/Cet. Darul Makrifah/Tahun 2001.M/1422.H.]
Imam an-Nawawy Rahimahullah memberikan keterangan atas riwayat Abdullah bin Abbas di atas dan beliau berkata:
فيه الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وأن ذلك لا يؤخر إذ لم يؤخره بن عباس رضي الله عنهما حتى يفرغ من الصلاة وأن المكروه ينكر كما ينكر المحرم
“Di dalam hadits ini ada anjuran amar makruf nahi munkar dan hal itu boleh diundur karena Ibnu Abbas Radliyallahu ‘Anhuma tidak mengundurkannya sampai ia (abdullah bin al-harits) selesai dari shalatnya, dan sesungguhnya yang Makruh boleh diingkari sebagaimana diingkarinya sesuatu yang diharamkan.”
[al-Minhaj Sharh Shahih Muslim ibnul Hajjaj 3-4/432./Cet. ke-2 Darul-Makrifah Tahun 2001.M/1422.H]
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Selasa, 25 September 2018
Keutamaan Ziaroh Orang Tua Pada Hari Jum'at
Masalah-masalah furu’iyyah yang di besar-besarkan dan mengklaim hanya golongannya yang selalu benar telah membuat ummat berpecah dan saling musuh memusuhi, padahal sejak dahulu perbedaan cabang (furu’) ini memang sudah ada dan para generasi Salaf dan ulama-ulama terdahulu tetap mengedepankan persaudaraan, dan tak pernah membesar-besarkan.
Ziarah kubur merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan dalam agama Islam. Karena ia mempunyai hikmah, keutamaan dan manfaat bagi orang yang berziarah maupun orang mati yang diziarahi.
Hikmah disyariatkannya ziarah kubur untuk mengingatkan kematian dan akhirat sehingga pelakunya menjadi zuhud terhadap dunia. Memang terlihat ada hubungannya ziarah kubur ini dengan kabar akan terjadinya kiamat di hari Jum’at. Namun mengususkannya di hari Jum’at tidak ada dalil shahih yang mendasarinya. Padahal, ziarah kubur termasuk ibadah, tidak diketahui keistemewaan dan kekhususannya kecuali dengan dalil.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda;
لَا تَخُصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي ، وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ ، إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
“Janganlah menghususkan malam Jum’at untuk mengerjakan shalat dari malam-malam lainnya, dan janganlah menghususkan siang hari Jum’at untuk mengerjakan puasa dari hari-hari lainnya, kecuali bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukan oleh salah seorang kalian.” (HR. Muslim, al-Nasai, al-Baihaqi, dan Ahmad)
Para ulama menjelaskan, bahwa maksud larangan ini adalah mengistimewakan (menghususkan) malam Jum’at dengan melaksanakan ibadah tertentu untuk mengagungkannya, seperti shalat dan tilawah yang tidak biasa dilakukan pada hari-hari lain, kecuali ada dalil khusus yang memerintahkannya seperti membaca surat Al-Kahfi. Sehingga ziarah kubur yang dikhususkan pada hari Jum’at termasuk yang dilarang. Namun jika dikerjakan bukan sebagai penghususan terhadap hari Jum’at –mungkin karena ada waktunya pada hari itu, bebarengan dengan mengantarakan jenazah, dan semisalya- maka tak mengapa.
Memang benar terdapat satu hadits yang menerangkan keutamaan menziarahi kubur orang tua pada hari Jum’at. Ganjarananya, orang tersebut akan diampuni dosanya dan tercatat sebagai anak yang berbakti.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا
“Barangsiapa menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka pada setiap hari Jum’at, maka dia diampuni dan dicatat sebagai seorang anak yang berbakti (kepada orang tuanya).“ (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, Al-Thabrani dalam Al-Ausath no. 6293 dan al-Shaghir no. 952, Al-Hakim, dan lainnya)
Sejumlah ulama menghukumi hadits tersebut antara dhaif jiddan (lemah banget) dan maudhu’ (palsu). Al-Hafidz Ibnul Hajar berkata, “Hadits tersebut dengan isnad ini adalah batil.” (Fathul Baari: 4/364). Dan dalam Miizan al-I’tidal (5/316) menyebutkan, “di dalamnya terdapat Amru bin Ziyad bahwa dia tertuduh suka memalsukan hadits.”
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا ، أَوْ عِنْدَهُ يس ، غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةِ أَوْ حَرْفٍ. ( رواه أبو نعيم الأصبهاني في أخبار أصبهان : 2026 (10/ 123)
Dari Abu Bakr ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu ia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap hari Jum’at, kemudian membaca surat Yasin di sisinya atau salah satunya, maka dosanya akan diampuni sejumlah ayat-ayat atau huruf-huruf yang dibacanya. (HR. Abu Nu’aim al Ashbihani dalam kitab Akbar Ashbihan : 2026 (10/ 123)
– عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ:”مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا” (رواه الطَّبَرَانِيُّ في مُعْجَمِهِ الْكَبِيْرِ : 193 (19/ 85)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu ia berkata : Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya setiap hari Jum’at, maka dosanya akan diampuni dan dicatat sebagai orang yang telah berbuat baik kepada orang tua. (HR. ath Thabarani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir : 193 (19/ 85) )
Kedua hadits tersebut memang dha’if dari segi sanad, tapi para Ulama hadits dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sepakat bolehnya mengamalkan hadits dha’if dalam masalah fadhailul a’mal. Di samping itu, ada banyak hadits-hadits shahih lain yang menjadi penguat hadits tersebut. Dengan demikian kedua hadits ini bisa diamalkan. Meski dalam hadits ini tentang ziarah ke makam kedua orang tua yang telah wafat, tentunya juga berlaku ke makam-makam lain, mengingat keutamaan tentang hari Jum’at yang cukup banyak telah disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah.
Dalam Kitab I'anatuthalibin Juz II.
وورد أيضا أن ارواح المؤمنين تأتى فى كل ليلة الى سماء الدنيا وتقف بحذاء بيوتها وينادى كل واحد منها بصوت خزين يااهل واقاربى وولدى يامن سكنوابيوتنا ولبسوا ثيابنا واقتسموا اموالنا هل منكم من أحد يذكرنا ويتفكرنا فى غربتنا ونحن فى سجن طويل وحصن شديد فارحمونا يرحمكم الله. ولاتبخلوا علينا قبل أن تصيروا مثلنا ياعباد الله ان الفضل الذى فى ايديكم كان فى ايدينا وكنا لاتنفق منه فى سبيل الله وحسابه ووباله علينا والمنفعة لغيرنا فان لم تنصرف اى الارواح بشيئ فتنصرف بالحسرة والحرمان وورد أيضا عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال مالميت فى قبره إلاكالغريق المغوث ينتظر دعوة تلحقه من ابنه او اخيه اوصديق له فاذا لحقته كانت أحب اليه من الدنيا ومافيها.
Keterangan dari hadits bahwa arwah orang-orang mukmin datang pada tiap malam ke langit dunia, dan berhenti di jurusan rumah-rumahnya dan berseru-seru dengan suara yang mengharukan seribu kali “wahai keluargaku, sanak-saudara, dan anak-anakku, wahai kau yang mendiami rumah-rumahku, memakai pakaianku dan membagi-bagi hartaku. Apakah ada diantara kalian yang mengingat dan memikirkanku dalam pengasinganku ini dan aku berada dalam tahanan yang cukup lama dalam benteng yang kuat. Kasihanilah kami, maka Allah akan mengasihanimu. Janganlah kamu semua bakhil kepadaku sebelum kamu (berposisi) sepertiku.Wahai hamba-hamba Allah sesungguhnya apa yang kau miliki sekarang dulu juga (pernah) ku miliki, hanya saja dulu aku tidak membelanjakannya di jalan Allah, dimana pemeriksaannya dan bahayanya menimpaku sedang kegunaannya bermanfaat kepada orang lain”. Jika kamu (sanak, saudara dll) tidak memperhatikannya (arwah), maka mereka (arwah-arwah itu) tidak mendapatkan oleh-oleh sesuatupun dan mereka hanya akan mendapatkan penyesalan dan kerugian. Ada pula hadits Rasulullah saw.beliau bersabda ”mayit itu di dalam kuburnya seperti orang hanyut yang meminta-minta tolong, mereka menungu-nunggu do’a dari anaknya, saudaranya atau teman-temannya. Makajika doa itu sampai kepadanya nilainya jauh kebih baik dibandingkan dunia seisinya.
Hadis Rasulullah Saw. Dalam kitab: Hadiyatul Ahya’ lil Amwat hlm: 184-185, karya Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Yusuf bin Ja’far Al-Hakkari (w=486 H) disebutkan:
«إن أرواح المؤمنين يأتون كل جمعة إلى سماء الدنيا فيقفون بحذاء دورهم وبيوتهم فينادي كل واحد منهم بصوت حزين: يا أهلي وولدي وأهل بيتي وقراباتي، اعطفوا علينا بشيء، رحمكم الله، واذكرونا ولا تنسونا، وارحموا غربتنا، وقلة حيلتنا، وما نحن فيه، فإنا قد بقينا في سحيق وثيق، وغم طويل، ووهن شديد، فارحمونا رحمكم الله، ولا تبخلوا علينا بدعاء أو صدقة أو تسبيح، لعل الله يرحنا قبل أن تكونوا أمثالنا، فيا حسرتاه وانداماه يا عباد الله، اسمعوا كلامنا، ولا تنسونا، فأنتم تعلمون أن هذه الفضول التي في أيديكم كانت في أيدينا، وكنا لم ننفق في طاعة الله، ومنعناها عن الحق فصار وبالاً علينا ومنفعته لغيرنا، «فينادي كل واحد منهم ألف مرةٍ من الرجال والنساء، اعطفوا علينا بدرهم أو رغيف أو كسرة» قال: فبكى رسول الله صلى الله عليه وسلم وبكينا معه، فلم نستطع أن نتكلم ثم قال: «أولئك إخوانكم كانوا في نعيم الدنيا، فصاروا رميماً بعد النعيم والسرور» ، قال: «ثم يبكون وينادون بالويل والثبور والنفير على أنفسهم يقولون: يا وليتنا لو أنفقنا ما كان في أيدينا ما احتجنا فيرجعون بحسرة وندامة
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya ruh-ruh orang mukmin datang setiap malam jumat pada langit dunia. Lalu mereka berdiri di depan pintu-pintu rumah mereka. Masing-masing mereka memanggil-manggil dengan suara yang memelas: “Wahai isteriku (suamiku), anakku, keluargaku, dan kerabatku! Sayangilah kami dengan sesuatu, maka Allah akan merahmati kalian. Ingatlah kami, jangan kalian lupakan! Sayangilah kami dalam keterasingan kami, minimnya kemapuan kami dan segala apa yang kami berada di dalamnya. Sesungguhnya kami berada dalam tempat yang terpencil, kesusahan yang yang panjang dan duka yang dalam. Sayangilah kami, maka Allah akan menyayangi kalian. Jangan kalian kikir kepada kami dengan memberikan doa, shadaqah dan tasbih. Semoga Allah memberikan rasa nyaman kepada kami, sebelum kalian sama seperti kami. Sungguh rugi!, Sungguh menyesal! Wahai hamba Allah! Dengarkanlah ucapan kami, dan jangan lupakan kami. Kalian tahu bahwa keutamaan yang berada di tangan kalian sekarang adalah keutamaan yang sebelumnya milik kami. Sementara kami tidak menafkahkannya untuk taat kepada Allah. Kami tidak mau terhadap kebenaran, hingga ia menjadi musibah bagi kami. Manfaatnya diberikan kepada orang lain, sementara pertanggungjawaban dan siksanya diberikan kepada kami.”Masing-masing mereka memanggil-manggil sebanyak 1000 kali: “Kasihanilah kami dengan satu dirham atau sepotong roti!” Lalu Rasulullah menangis, dan kamipun (para sahabat) menangis. Dan kami tidak mampu bicara. Rasulullah bersabda: Mereka adalah saudara-saudara kalian yang sebelumnya berada dalam kenikmatan dunia. Dan kini mereka menjadi debu setelah sebelumnya berada dalam kenikmatan dan kegembiraan. Rasulullah SAW bersabda: Lalu mereka menangis dan mengucapkan kutukan kepada mereka sendiri dan berkata: “Celakalah kita! Jika kami menafkahkan apa yang kita miliki, maka kita tidak akan membutuhkan ini.” Lalu mereka pulang dengan penyesalan
Dalam kitab Hasyiah al-Bujairami alal Khatib juz II hal 302 disebutkan bahwa ruh seorang mukmin mempunyai keterkaitan dengan kuburannya dan tidak akan terpisah selamanya. Namun keterkaitan itu menjadi sangat dimulai dari asar hari kamis sampai terbenam matahari hari Sabtu. Oleh sebab itu masyarakat melakukan ziarah kubur pada hari Jumat, yaitu pada Asar hari kamis. Ziarah yang dilakukan Rasulullah Saw ke makam Syuhada Uhud dilakukan hari Sabtu, karena pada hari Jumat beliau jadikan sebagai waktu untuk memperbanyak amal
Ada waktu-waktu khusus untuk ziarah kubur agar lebih dekat dengan penghuninya. Demikian disebutkan Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bujairimi dalam At-Tajrid li Naf‘il ‘Abid ala Syarhil Manhaj.
فائدة: روح الميت لها ارتباط بقبره ولا تفارقه أبدا لكنها أشد ارتباطا به من عصر الخميس إلى شمس السبت، ولذلك اعتاد الناس الزيارة يوم الجمعة وفي عصر الخميس، وأما زيارته صلى الله عليه وسلم لشهداء أحد يوم السبت فلضيق يوم الجمعة عما يطلب فيه من الأعمال مع بعدهم عن المدينة ق ل وبرماوي و ع ش على م ر
“Informasi, roh mayit itu memiliki tambatan pada kuburnya. Ia takkan pernah berpisah selamanya. Tetapi, roh itu lebih erat bertambat pada kubur sejak turun waktu Ashar di hari Kamis hingga fajar menyingsing di hari Sabtu. Karenanya, banyak orang melazimkan ziarah kubur pada hari Jum‘at dan waktu Ashar di hari Kamis. Sedangkan ziarah Nabi Muhammad SAW kepada para syuhada di perang Uhud pada hari Sabtu lebih karena sempitnya hari Jum‘at oleh pelbagai amaliyah fadhilah Jum‘at sementara mereka jauh dari kota Madinah. Demikian keterangan Qaliyubi, Barmawi, dan Ali Syibromalisi atas M Romli.”
“Kesunahan ziarah menjadi muakad dihari kamis sore dan hari jumat dan makruh dihari sabtu” (al-Irsyaadaat as-Sunniyah hal. 111)
زيارة القبور مندوبة للاتعاظ وتذكر الآخرة وتتأكد يوم الجمعة ويوما قبلها ويوما بعدها عند الحنفية والمالكية وخالف الحنابلة والشافعية فانظر مذهبيهما تحت الخط ( الحنابلة قالوا : لا تتأكد الزيارة في يوم دون يوم
الشافعية قالوا : تتأكد من عصر يوم الخميس إلى طلوع شمس يوم السبت . وهذا قول راجح عند المالكية
Ziarah kubur disunahkan agar dapat mengambil pertimbangan, peringatan serta teringat kehidupan akhirat, kesunahannya menjadi mauakad dihari hari jumat dan hari sebelumnya (kamis) serta hari setelahnya menurut kalangan Hanafiyah dan Malikiyyah berbeda menurut kalangan Hanabilah yang menyatakan “ziarah tidak muakad, tidak dihari tertentu juga hari lainnya” dan kalangan Syafi’iyyah yang menyatakan “Menjadi sunah yang muakkad mulai asharnya hari kamis hingga terbitnya matahari di hari sabtu” dan pernyataan ini sesuai pendapat yang unggul dikalangan Malikiyyah. (Al-Fiqh ala Madzaahib al-Arbaah I/855.)
Di dalam kitab Ar Ruh, Ibnul Qoyyim Al Jauzy murid Ibnu Taimiyyah juga meriwayatkan tentang bacaan Surat Yasin yang dibacakan oleh seorang anak di setiap hari Jum’at di sisi kuburan orang tuanya. Ini redaksinya :
الروح – (ج 1 / ص 11)
أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك
Ada seorang anak mendatangi kuburan ibunya pada hari Jum’at, lalu dibacakannya surat Yasin. Kemudian dia datang lagi di sebagian hari2nya kemudian membacakan surat Yasin, dia berkata : Ya Allah apabila Engkau membagi pahala pada surat ini, maka jadikanlah pahalanya untuk ahli kuburan2 ini. Ketika hari Jum’at berikutnya datang seorang wanita seraya berkata : Kamu fulan bin fulanah ??? Dia menjawab : Ya. Wanita tersebut berkata : Sesungguhnya anak perempuanku telah meninggal, kemudian aku melihatnya dalam mimpi sedang duduk ditepi kuburannya, lalu Aku bertanya kepadanya : Apa yg membuat kamu di dudukkan di sini ??? Dia menjawab : Sesungguhnya fulan bin fulanah datang ke kuburan ibunya, lalu dia membaca Surat Yasin dan menjadikan pahalanya untuk ahli kuburan2, maka rahmatnya mengenai kita atau diampunilah kita atau hal semacamnya.
Kiranya golongan yang selalu menuduh saudara-saudara muslimnya tentang bid’ah memperhatikan kalam, dan anjuran para ‘ulama di atas, dan sebagai peringatan berikut kami kutipkan perkatataan Syekh Ibnu Qoyyim Jauziyah:
والقائل: إنَّ أحداً من السلف لم يفعل ذلك، قائل ما لا علم له به،فإنَّ هذه شهادة على نفي ما لم يعلمه، وما يدريه أن السلف كانوايفعلون ذلك ولايشهدون من حضرهم عليه
“ Orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya seorang dari salaf pun tidak ada yang melakukannya, maka dia adalah orang yang berucap tanpa dasar ilmu, karena hal itu adalah kesaksian atas penafian apa yang ia tidak ketahui, dan dia tidak mengetahui mungkin saja ada salaf yang melakukan hal itu akan tetapi tidak ada yang menyaksikan dari orang yang hadir.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Ziarah kubur merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan dalam agama Islam. Karena ia mempunyai hikmah, keutamaan dan manfaat bagi orang yang berziarah maupun orang mati yang diziarahi.
Hikmah disyariatkannya ziarah kubur untuk mengingatkan kematian dan akhirat sehingga pelakunya menjadi zuhud terhadap dunia. Memang terlihat ada hubungannya ziarah kubur ini dengan kabar akan terjadinya kiamat di hari Jum’at. Namun mengususkannya di hari Jum’at tidak ada dalil shahih yang mendasarinya. Padahal, ziarah kubur termasuk ibadah, tidak diketahui keistemewaan dan kekhususannya kecuali dengan dalil.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda;
لَا تَخُصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي ، وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ ، إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
“Janganlah menghususkan malam Jum’at untuk mengerjakan shalat dari malam-malam lainnya, dan janganlah menghususkan siang hari Jum’at untuk mengerjakan puasa dari hari-hari lainnya, kecuali bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukan oleh salah seorang kalian.” (HR. Muslim, al-Nasai, al-Baihaqi, dan Ahmad)
Para ulama menjelaskan, bahwa maksud larangan ini adalah mengistimewakan (menghususkan) malam Jum’at dengan melaksanakan ibadah tertentu untuk mengagungkannya, seperti shalat dan tilawah yang tidak biasa dilakukan pada hari-hari lain, kecuali ada dalil khusus yang memerintahkannya seperti membaca surat Al-Kahfi. Sehingga ziarah kubur yang dikhususkan pada hari Jum’at termasuk yang dilarang. Namun jika dikerjakan bukan sebagai penghususan terhadap hari Jum’at –mungkin karena ada waktunya pada hari itu, bebarengan dengan mengantarakan jenazah, dan semisalya- maka tak mengapa.
Memang benar terdapat satu hadits yang menerangkan keutamaan menziarahi kubur orang tua pada hari Jum’at. Ganjarananya, orang tersebut akan diampuni dosanya dan tercatat sebagai anak yang berbakti.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا
“Barangsiapa menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka pada setiap hari Jum’at, maka dia diampuni dan dicatat sebagai seorang anak yang berbakti (kepada orang tuanya).“ (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, Al-Thabrani dalam Al-Ausath no. 6293 dan al-Shaghir no. 952, Al-Hakim, dan lainnya)
Sejumlah ulama menghukumi hadits tersebut antara dhaif jiddan (lemah banget) dan maudhu’ (palsu). Al-Hafidz Ibnul Hajar berkata, “Hadits tersebut dengan isnad ini adalah batil.” (Fathul Baari: 4/364). Dan dalam Miizan al-I’tidal (5/316) menyebutkan, “di dalamnya terdapat Amru bin Ziyad bahwa dia tertuduh suka memalsukan hadits.”
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا ، أَوْ عِنْدَهُ يس ، غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةِ أَوْ حَرْفٍ. ( رواه أبو نعيم الأصبهاني في أخبار أصبهان : 2026 (10/ 123)
Dari Abu Bakr ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu ia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap hari Jum’at, kemudian membaca surat Yasin di sisinya atau salah satunya, maka dosanya akan diampuni sejumlah ayat-ayat atau huruf-huruf yang dibacanya. (HR. Abu Nu’aim al Ashbihani dalam kitab Akbar Ashbihan : 2026 (10/ 123)
– عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ:”مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا” (رواه الطَّبَرَانِيُّ في مُعْجَمِهِ الْكَبِيْرِ : 193 (19/ 85)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu ia berkata : Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya setiap hari Jum’at, maka dosanya akan diampuni dan dicatat sebagai orang yang telah berbuat baik kepada orang tua. (HR. ath Thabarani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir : 193 (19/ 85) )
Kedua hadits tersebut memang dha’if dari segi sanad, tapi para Ulama hadits dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sepakat bolehnya mengamalkan hadits dha’if dalam masalah fadhailul a’mal. Di samping itu, ada banyak hadits-hadits shahih lain yang menjadi penguat hadits tersebut. Dengan demikian kedua hadits ini bisa diamalkan. Meski dalam hadits ini tentang ziarah ke makam kedua orang tua yang telah wafat, tentunya juga berlaku ke makam-makam lain, mengingat keutamaan tentang hari Jum’at yang cukup banyak telah disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah.
Dalam Kitab I'anatuthalibin Juz II.
وورد أيضا أن ارواح المؤمنين تأتى فى كل ليلة الى سماء الدنيا وتقف بحذاء بيوتها وينادى كل واحد منها بصوت خزين يااهل واقاربى وولدى يامن سكنوابيوتنا ولبسوا ثيابنا واقتسموا اموالنا هل منكم من أحد يذكرنا ويتفكرنا فى غربتنا ونحن فى سجن طويل وحصن شديد فارحمونا يرحمكم الله. ولاتبخلوا علينا قبل أن تصيروا مثلنا ياعباد الله ان الفضل الذى فى ايديكم كان فى ايدينا وكنا لاتنفق منه فى سبيل الله وحسابه ووباله علينا والمنفعة لغيرنا فان لم تنصرف اى الارواح بشيئ فتنصرف بالحسرة والحرمان وورد أيضا عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال مالميت فى قبره إلاكالغريق المغوث ينتظر دعوة تلحقه من ابنه او اخيه اوصديق له فاذا لحقته كانت أحب اليه من الدنيا ومافيها.
Keterangan dari hadits bahwa arwah orang-orang mukmin datang pada tiap malam ke langit dunia, dan berhenti di jurusan rumah-rumahnya dan berseru-seru dengan suara yang mengharukan seribu kali “wahai keluargaku, sanak-saudara, dan anak-anakku, wahai kau yang mendiami rumah-rumahku, memakai pakaianku dan membagi-bagi hartaku. Apakah ada diantara kalian yang mengingat dan memikirkanku dalam pengasinganku ini dan aku berada dalam tahanan yang cukup lama dalam benteng yang kuat. Kasihanilah kami, maka Allah akan mengasihanimu. Janganlah kamu semua bakhil kepadaku sebelum kamu (berposisi) sepertiku.Wahai hamba-hamba Allah sesungguhnya apa yang kau miliki sekarang dulu juga (pernah) ku miliki, hanya saja dulu aku tidak membelanjakannya di jalan Allah, dimana pemeriksaannya dan bahayanya menimpaku sedang kegunaannya bermanfaat kepada orang lain”. Jika kamu (sanak, saudara dll) tidak memperhatikannya (arwah), maka mereka (arwah-arwah itu) tidak mendapatkan oleh-oleh sesuatupun dan mereka hanya akan mendapatkan penyesalan dan kerugian. Ada pula hadits Rasulullah saw.beliau bersabda ”mayit itu di dalam kuburnya seperti orang hanyut yang meminta-minta tolong, mereka menungu-nunggu do’a dari anaknya, saudaranya atau teman-temannya. Makajika doa itu sampai kepadanya nilainya jauh kebih baik dibandingkan dunia seisinya.
Hadis Rasulullah Saw. Dalam kitab: Hadiyatul Ahya’ lil Amwat hlm: 184-185, karya Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Yusuf bin Ja’far Al-Hakkari (w=486 H) disebutkan:
«إن أرواح المؤمنين يأتون كل جمعة إلى سماء الدنيا فيقفون بحذاء دورهم وبيوتهم فينادي كل واحد منهم بصوت حزين: يا أهلي وولدي وأهل بيتي وقراباتي، اعطفوا علينا بشيء، رحمكم الله، واذكرونا ولا تنسونا، وارحموا غربتنا، وقلة حيلتنا، وما نحن فيه، فإنا قد بقينا في سحيق وثيق، وغم طويل، ووهن شديد، فارحمونا رحمكم الله، ولا تبخلوا علينا بدعاء أو صدقة أو تسبيح، لعل الله يرحنا قبل أن تكونوا أمثالنا، فيا حسرتاه وانداماه يا عباد الله، اسمعوا كلامنا، ولا تنسونا، فأنتم تعلمون أن هذه الفضول التي في أيديكم كانت في أيدينا، وكنا لم ننفق في طاعة الله، ومنعناها عن الحق فصار وبالاً علينا ومنفعته لغيرنا، «فينادي كل واحد منهم ألف مرةٍ من الرجال والنساء، اعطفوا علينا بدرهم أو رغيف أو كسرة» قال: فبكى رسول الله صلى الله عليه وسلم وبكينا معه، فلم نستطع أن نتكلم ثم قال: «أولئك إخوانكم كانوا في نعيم الدنيا، فصاروا رميماً بعد النعيم والسرور» ، قال: «ثم يبكون وينادون بالويل والثبور والنفير على أنفسهم يقولون: يا وليتنا لو أنفقنا ما كان في أيدينا ما احتجنا فيرجعون بحسرة وندامة
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya ruh-ruh orang mukmin datang setiap malam jumat pada langit dunia. Lalu mereka berdiri di depan pintu-pintu rumah mereka. Masing-masing mereka memanggil-manggil dengan suara yang memelas: “Wahai isteriku (suamiku), anakku, keluargaku, dan kerabatku! Sayangilah kami dengan sesuatu, maka Allah akan merahmati kalian. Ingatlah kami, jangan kalian lupakan! Sayangilah kami dalam keterasingan kami, minimnya kemapuan kami dan segala apa yang kami berada di dalamnya. Sesungguhnya kami berada dalam tempat yang terpencil, kesusahan yang yang panjang dan duka yang dalam. Sayangilah kami, maka Allah akan menyayangi kalian. Jangan kalian kikir kepada kami dengan memberikan doa, shadaqah dan tasbih. Semoga Allah memberikan rasa nyaman kepada kami, sebelum kalian sama seperti kami. Sungguh rugi!, Sungguh menyesal! Wahai hamba Allah! Dengarkanlah ucapan kami, dan jangan lupakan kami. Kalian tahu bahwa keutamaan yang berada di tangan kalian sekarang adalah keutamaan yang sebelumnya milik kami. Sementara kami tidak menafkahkannya untuk taat kepada Allah. Kami tidak mau terhadap kebenaran, hingga ia menjadi musibah bagi kami. Manfaatnya diberikan kepada orang lain, sementara pertanggungjawaban dan siksanya diberikan kepada kami.”Masing-masing mereka memanggil-manggil sebanyak 1000 kali: “Kasihanilah kami dengan satu dirham atau sepotong roti!” Lalu Rasulullah menangis, dan kamipun (para sahabat) menangis. Dan kami tidak mampu bicara. Rasulullah bersabda: Mereka adalah saudara-saudara kalian yang sebelumnya berada dalam kenikmatan dunia. Dan kini mereka menjadi debu setelah sebelumnya berada dalam kenikmatan dan kegembiraan. Rasulullah SAW bersabda: Lalu mereka menangis dan mengucapkan kutukan kepada mereka sendiri dan berkata: “Celakalah kita! Jika kami menafkahkan apa yang kita miliki, maka kita tidak akan membutuhkan ini.” Lalu mereka pulang dengan penyesalan
Dalam kitab Hasyiah al-Bujairami alal Khatib juz II hal 302 disebutkan bahwa ruh seorang mukmin mempunyai keterkaitan dengan kuburannya dan tidak akan terpisah selamanya. Namun keterkaitan itu menjadi sangat dimulai dari asar hari kamis sampai terbenam matahari hari Sabtu. Oleh sebab itu masyarakat melakukan ziarah kubur pada hari Jumat, yaitu pada Asar hari kamis. Ziarah yang dilakukan Rasulullah Saw ke makam Syuhada Uhud dilakukan hari Sabtu, karena pada hari Jumat beliau jadikan sebagai waktu untuk memperbanyak amal
Ada waktu-waktu khusus untuk ziarah kubur agar lebih dekat dengan penghuninya. Demikian disebutkan Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bujairimi dalam At-Tajrid li Naf‘il ‘Abid ala Syarhil Manhaj.
فائدة: روح الميت لها ارتباط بقبره ولا تفارقه أبدا لكنها أشد ارتباطا به من عصر الخميس إلى شمس السبت، ولذلك اعتاد الناس الزيارة يوم الجمعة وفي عصر الخميس، وأما زيارته صلى الله عليه وسلم لشهداء أحد يوم السبت فلضيق يوم الجمعة عما يطلب فيه من الأعمال مع بعدهم عن المدينة ق ل وبرماوي و ع ش على م ر
“Informasi, roh mayit itu memiliki tambatan pada kuburnya. Ia takkan pernah berpisah selamanya. Tetapi, roh itu lebih erat bertambat pada kubur sejak turun waktu Ashar di hari Kamis hingga fajar menyingsing di hari Sabtu. Karenanya, banyak orang melazimkan ziarah kubur pada hari Jum‘at dan waktu Ashar di hari Kamis. Sedangkan ziarah Nabi Muhammad SAW kepada para syuhada di perang Uhud pada hari Sabtu lebih karena sempitnya hari Jum‘at oleh pelbagai amaliyah fadhilah Jum‘at sementara mereka jauh dari kota Madinah. Demikian keterangan Qaliyubi, Barmawi, dan Ali Syibromalisi atas M Romli.”
“Kesunahan ziarah menjadi muakad dihari kamis sore dan hari jumat dan makruh dihari sabtu” (al-Irsyaadaat as-Sunniyah hal. 111)
زيارة القبور مندوبة للاتعاظ وتذكر الآخرة وتتأكد يوم الجمعة ويوما قبلها ويوما بعدها عند الحنفية والمالكية وخالف الحنابلة والشافعية فانظر مذهبيهما تحت الخط ( الحنابلة قالوا : لا تتأكد الزيارة في يوم دون يوم
الشافعية قالوا : تتأكد من عصر يوم الخميس إلى طلوع شمس يوم السبت . وهذا قول راجح عند المالكية
Ziarah kubur disunahkan agar dapat mengambil pertimbangan, peringatan serta teringat kehidupan akhirat, kesunahannya menjadi mauakad dihari hari jumat dan hari sebelumnya (kamis) serta hari setelahnya menurut kalangan Hanafiyah dan Malikiyyah berbeda menurut kalangan Hanabilah yang menyatakan “ziarah tidak muakad, tidak dihari tertentu juga hari lainnya” dan kalangan Syafi’iyyah yang menyatakan “Menjadi sunah yang muakkad mulai asharnya hari kamis hingga terbitnya matahari di hari sabtu” dan pernyataan ini sesuai pendapat yang unggul dikalangan Malikiyyah. (Al-Fiqh ala Madzaahib al-Arbaah I/855.)
Di dalam kitab Ar Ruh, Ibnul Qoyyim Al Jauzy murid Ibnu Taimiyyah juga meriwayatkan tentang bacaan Surat Yasin yang dibacakan oleh seorang anak di setiap hari Jum’at di sisi kuburan orang tuanya. Ini redaksinya :
الروح – (ج 1 / ص 11)
أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك
Ada seorang anak mendatangi kuburan ibunya pada hari Jum’at, lalu dibacakannya surat Yasin. Kemudian dia datang lagi di sebagian hari2nya kemudian membacakan surat Yasin, dia berkata : Ya Allah apabila Engkau membagi pahala pada surat ini, maka jadikanlah pahalanya untuk ahli kuburan2 ini. Ketika hari Jum’at berikutnya datang seorang wanita seraya berkata : Kamu fulan bin fulanah ??? Dia menjawab : Ya. Wanita tersebut berkata : Sesungguhnya anak perempuanku telah meninggal, kemudian aku melihatnya dalam mimpi sedang duduk ditepi kuburannya, lalu Aku bertanya kepadanya : Apa yg membuat kamu di dudukkan di sini ??? Dia menjawab : Sesungguhnya fulan bin fulanah datang ke kuburan ibunya, lalu dia membaca Surat Yasin dan menjadikan pahalanya untuk ahli kuburan2, maka rahmatnya mengenai kita atau diampunilah kita atau hal semacamnya.
Kiranya golongan yang selalu menuduh saudara-saudara muslimnya tentang bid’ah memperhatikan kalam, dan anjuran para ‘ulama di atas, dan sebagai peringatan berikut kami kutipkan perkatataan Syekh Ibnu Qoyyim Jauziyah:
والقائل: إنَّ أحداً من السلف لم يفعل ذلك، قائل ما لا علم له به،فإنَّ هذه شهادة على نفي ما لم يعلمه، وما يدريه أن السلف كانوايفعلون ذلك ولايشهدون من حضرهم عليه
“ Orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya seorang dari salaf pun tidak ada yang melakukannya, maka dia adalah orang yang berucap tanpa dasar ilmu, karena hal itu adalah kesaksian atas penafian apa yang ia tidak ketahui, dan dia tidak mengetahui mungkin saja ada salaf yang melakukan hal itu akan tetapi tidak ada yang menyaksikan dari orang yang hadir.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Keutamaan Hari Jum'at
Jumat adalah hari yang agung, dengannya Allah mengagungkan dan menghiasi Islam. Allah memuliakan umat Muhammad shallallahu 'alahi wasallam dengan hari Jumat, yang tidak diberikan kepada umat-umat nabi terdahulu.
Terdapat beberapa dalil yang menunjukan keutamaan hari Jumat. Bahkan ada beberapa ulama yang secara khusus menjadikannya dalam satu bentuk karya, seperti kitab al-Lum’ah Fi Khashaish al-Jumat, karya Syekh Jalaluddin al-Suyuthi.
Berikut ini di antara dalil yang menyebutkan keutamaan hari Jumat.
Al-Imam al-Syafi’i dan al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubadah sebuah hadits:
سَيِّدُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَهُوَ أَعْظَمُ مِنْ يَوْمِ النَّحَرِ وَيَوْمُ الْفِطْرِ وَفِيْهِ خَمْسُ خِصَالٍ فِيْهِ خَلَقَ اللهُ آدَمَ وَفِيْهِ أُهْبِطَ مِنَ الْجَنَّةِ إِلَى الْأَرْضِ وَفِيْهِ تُوُفِّيَ وَفِيْهِ سَاعَةٌ لَا يَسْأَلُ الْعَبْدُ فِيْهَا اللهَ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ مَا لَمْ يَسْأَلْ إِثْمًا أَوْ قَطِيْعَةَ رَحِمٍ وَفِيْهِ تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَمَا مِنْ مَلَكٍ مُقّرَّبٍ وَلَا سَمَاءٍ وَلَا أَرْضٍ وَلَا رِيْحٍ وَلَا جَبَلٍ وَلَا حَجَرٍ إِلَّا وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Rajanya hari di sisi Allah adalah hari Jumat. Ia lebih agung dari pada hari raya kurban dan hari raya Fithri. Di dalam Jumat terdapat lima keutamaan. Pada hari Jumat Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari Jumat pula Nabi Adam wafat. Di dalam hari Jumat terdapat waktu yang tiada seorang hamba meminta sesuatu di dalamnya kecuali Allah mengabulkan permintaannya, selama tidak meminta dosa atau memutus tali shilaturrahim. Hari kiamat juga terjadi di hari Jumat. Tiada Malaikat yang didekatkan di sisi Allah, langit, bumi, angin, gunung dan batu kecuali ia khawatir terjadinya kiamat saat hari Jumat”.
Mengapa langit, bumi, batu dan benda-benda mati lainnya mengalami kekhawatiran? Padahal benda-benda tersebut merupakan makhluk yang tidak bernyawa?
Syekh Ihsan bin Dakhlan dalam Manahij al-Imdad menjelaskan sebagai berikut:
أَيْ يَخْلُقُ اللهُ تَعَالَى لَهَا إِدْرَاكًا لِمَا يَقَعُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَتَخَافُ...الى ان قال....وَالسِّرُّ فِيْ ذَلِكَ أَنَّ السَّاعَةَ كَمَا تَقَدَّمَ تَقُوْمُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الصُّبْحِ وَطُلُوْعِ الشَّمْسِ فَمَا مِنْ دَابَّةٍ اِلَّا وَهِيَ مُشْفِقَةٌ مِنْ قِيَامِهَا فِيْ صَبَاحِ هَذَا الْيَوْمِ فَإِذَا أَصْبَحْنَ حَمِدْنَ اللهَ تَعَالَى وَسَلَّمْنَ عَلَى بَعْضِهِنَّ وَقُلْنَ يَوْمٌ صَالِحٌ حَيْثُ لَمْ تَقُمْ فِيْهَا السَّاعَةُ
“Maksudnya, Allah menciptakan kepada makhuk-makhluk tidak bernyawa ini pengetahuan tentang hal-hal yang terjadi pada hari Jumat tersebut. Rahasia dari kekhawatiran mereka adalah bahwa hari kiamat sebagaimana telah dijelaskan terjadi pada hari Jumat di antara waktu Subuh dan terbitnya matahari. Maka tidaklah binatang-binatang kecuali khawatir akan datangnya hari kiamat pada pagi hari Jumat ini. Saat pagi hari tiba, mereka memuji kepada Allah dan memberi ucapan selamat satu sama lain, mereka mengatakan; ini hari baik. Kiamat tidak terjadi pada pagi hari ini”. (Syekh Ihsan bin Dakhlan, Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz.1, hal.286, cetakan Ponpes Jampes Kediri, tt).
Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abdillah bin ‘Amr bin al-‘Ash sebuah hadits:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tiada seorang Muslim yang mati di hari atau malam Jumat, kecuali Allah menjaganya dari fitnah kubur”.
Syekh Ihsan bin Dakhlan dalam kitab Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz.1, hal.286 cetakan Pondok Pesantrena Jampes Kediri, mengutip keterangan dari Imam al-‘Azizi bahwa hadits tersebut mencapai derajat hadits Hasan.
Ulama berbeda pendapat mengenai maksud terjaganya orang yang wafat di hari Jumat dari fitnah kubur. Menurut Imam al-Manawi orang tersebut tidak ditanya Malaikat di kuburan. Sedangkan menurut pendapat yang dipegang oleh Imam al-Zayadi, bahwa orang yang mati di hari Jumat tetap ditanya malaikat, namun ia diberi kemudahan dalam menjalaninya.
Syekh Ihsan bin Dakhlan mengatakan:
قَالَ الْمَنَاوِيُّ بِأَنْ لَا يُسْأَلَ فِيْ قَبْرِهِ اِنْتَهَى وَهَذَا خِلَافُ ظَاهِرِ الْحَدِيْثِ وَالَّذِيْ اِعْتَمَدَهُ الزَّيَادِيُّ أَنَّ السُّؤَالَ فِي الْقَبْرِ عَامٌّ لِكُلِّ مُكَلَّفٍ اِلَّا شَهِيْدَ الْمَعْرِكَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَنَّهُمْ لَا يُسْئَلُوْنَ مَحْمُوْلٌ عَلَى عَدَمِ الْفِتْنَةِ فِيْ الْقَبْرِ أَيْ يُسْئَلُوْنَ وَلَا يُفْتَنُوْنَ.
“Maksud dari hadits tersebut, Imam al-Manawai mengatakan dengan sekira ia tidak ditanya malaikat di kuburnya. Pendapat al-Manawi ini menyalahi makna zhahirnya hadits. Pendapat yang dipegang Imam al-Zayadi bahwa pertanyaan malaikat di alam kubur menyeluruh untuk setiap orang mukallaf kecuali syahid yang gugur di medan pertempuran. Keterangan yang menyebutkan bahwa segolongan ulama tidak ditanya malaikat di alam kubur diarahkan pada arti ketiadaan fitnah, maksudnya mereka tetap ditanya malaikat dan tidak mendapatkan fitnah”. (Syekh Ihsan bin Dakhlan, Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz.1, hal.286, cetakan Ponpes Jampes Kediri, tt).
Menjalankan shalat Jumat merupakan hajinya orang-orang yang tidak mampu. Imam al-Qadla’i dan Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
اَلْجُمُعَةُ حَجُّ الْفُقَرَاءِ
“Jumat merupakan hajinya orang-orang fakir”.
Terkait hadits tersebut, Syekh Ihsan bin Dakhlan menjelaskan:
يَعْنِيْ ذَهَابُ الْعَاجِزِيْنَ عَنِ الْحَجِّ اِلَى الْجُمُعَةِ هُوَ لَهُمْ كَالْحَجِّ فِيْ حُصُوْلِ الثَّوَابِ وَاِنْ تَفَاوَتَ وَفِيْهِ الْحَثُّ عَلَى فِعْلِهَا وَالتَّرْغِيْبُ فِيْهِ.
“Maksudnya, berangkatnya orang-orang yang tidak mampu berhaji menuju shalat Jumat, seperti berangkat menuju tempat haji dalam hal mendapatkan pahala, meskipun berbeda tingkat pahalanya. Dalam hadits ini memberi dorongan untuk melakukan Jumat”. (Syekh Ihsan bin Dakhlan, Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz.1, hal.282, cetakan Ponpes Jampes Kediri, tt).
Dalam hadits lain disebutkan:
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
“Barang siapa membasuh pakaian dan kepalanya, mandi, bergegas Jumatan, menemui awal khutbah, berjalan dan tidak menaiki kendaraan, dekat dengan Imam, mendengarkan khutbah dan tidak bermain-main, maka setiap langkahnya mendapat pahala berpuasa dan shalat selama satu tahun. (HR. Al-Tirmidzi dan al-Hakim).
Hadits ini menurut Imam al-Tirmidzi berstatus hadits Hasan dan menurut al-Hakim mencapai derajat hadits Shahih.
Dalam hadits Imam Muslim disebutkan:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
“Barang siapa berwudlu kemudian memperbaiki wudlunya, lantas berangkat Jumat, dekat dengan Imam dan mendengarkan khutbahnya, maka dosanya di antara hari tersebut dan Jumat berikutnya ditambah tiga hari diampuni”. (HR. Muslim).
Muslim yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jumat, ia akan dinanugi cahaya di antara dua Jumat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
“Barang siapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jumat, maka Allah memberinya sinar cahaya di antara dua Jumat”.
Hadits tersebut diriwayatkan dan dishahihkan oleh imam al-Hakim.
Juga dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قرأ سورة الكهف كما أنزلت ، كانت له نورا يوم القيامة من مقامه إلى مكة ، ومن قرأ عشر آيات من آخرها ثم خرج الدجال لم يسلط عليه ، ومن توضأ ثم قال : سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك كتب في رق ، ثم طبع بطابع فلم يكسر إلى يوم القيامة
“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi sebagaimana diturunkan, maka ia akan mendapatkan cahaya dari tempat ia berdiri hingga Mekkah. Barangsiapa membaca 10 akhir ayatnya, kemudian keluar Dajjal, maka ia tidak akan dikuasai. Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia ucapkan: Subhanakallahumma wa bi hamdika laa ilaha illa anta, astagh-firuka wa atuubu ilaik (Maha suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku senantiasa memohon ampun dan bertaubat pada-Mu), maka akan dicatat baginya dikertas dan dicetak sehingga tidak akan luntur hingga hari kiamat.”
Nabi menganjurkan agar memperbanyak membaca shalawat pada hari Jumat. Dalam sebuah hadits ditegaskan:
أَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“Pebanyaklah membaca shalawat kepadaku di hari dan malam Jumat. Barangsiapa membaca shalawat untuku satu kali, maka Allah membalasnya sepuluh kali”.
Hadits tersebut diriwayatkan al-Baihaqi dengan beberapa sanad yang baik (hasan).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Terdapat beberapa dalil yang menunjukan keutamaan hari Jumat. Bahkan ada beberapa ulama yang secara khusus menjadikannya dalam satu bentuk karya, seperti kitab al-Lum’ah Fi Khashaish al-Jumat, karya Syekh Jalaluddin al-Suyuthi.
Berikut ini di antara dalil yang menyebutkan keutamaan hari Jumat.
Al-Imam al-Syafi’i dan al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubadah sebuah hadits:
سَيِّدُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَهُوَ أَعْظَمُ مِنْ يَوْمِ النَّحَرِ وَيَوْمُ الْفِطْرِ وَفِيْهِ خَمْسُ خِصَالٍ فِيْهِ خَلَقَ اللهُ آدَمَ وَفِيْهِ أُهْبِطَ مِنَ الْجَنَّةِ إِلَى الْأَرْضِ وَفِيْهِ تُوُفِّيَ وَفِيْهِ سَاعَةٌ لَا يَسْأَلُ الْعَبْدُ فِيْهَا اللهَ شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ مَا لَمْ يَسْأَلْ إِثْمًا أَوْ قَطِيْعَةَ رَحِمٍ وَفِيْهِ تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَمَا مِنْ مَلَكٍ مُقّرَّبٍ وَلَا سَمَاءٍ وَلَا أَرْضٍ وَلَا رِيْحٍ وَلَا جَبَلٍ وَلَا حَجَرٍ إِلَّا وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Rajanya hari di sisi Allah adalah hari Jumat. Ia lebih agung dari pada hari raya kurban dan hari raya Fithri. Di dalam Jumat terdapat lima keutamaan. Pada hari Jumat Allah menciptakan Nabi Adam dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari Jumat pula Nabi Adam wafat. Di dalam hari Jumat terdapat waktu yang tiada seorang hamba meminta sesuatu di dalamnya kecuali Allah mengabulkan permintaannya, selama tidak meminta dosa atau memutus tali shilaturrahim. Hari kiamat juga terjadi di hari Jumat. Tiada Malaikat yang didekatkan di sisi Allah, langit, bumi, angin, gunung dan batu kecuali ia khawatir terjadinya kiamat saat hari Jumat”.
Mengapa langit, bumi, batu dan benda-benda mati lainnya mengalami kekhawatiran? Padahal benda-benda tersebut merupakan makhluk yang tidak bernyawa?
Syekh Ihsan bin Dakhlan dalam Manahij al-Imdad menjelaskan sebagai berikut:
أَيْ يَخْلُقُ اللهُ تَعَالَى لَهَا إِدْرَاكًا لِمَا يَقَعُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَتَخَافُ...الى ان قال....وَالسِّرُّ فِيْ ذَلِكَ أَنَّ السَّاعَةَ كَمَا تَقَدَّمَ تَقُوْمُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَيْنَ الصُّبْحِ وَطُلُوْعِ الشَّمْسِ فَمَا مِنْ دَابَّةٍ اِلَّا وَهِيَ مُشْفِقَةٌ مِنْ قِيَامِهَا فِيْ صَبَاحِ هَذَا الْيَوْمِ فَإِذَا أَصْبَحْنَ حَمِدْنَ اللهَ تَعَالَى وَسَلَّمْنَ عَلَى بَعْضِهِنَّ وَقُلْنَ يَوْمٌ صَالِحٌ حَيْثُ لَمْ تَقُمْ فِيْهَا السَّاعَةُ
“Maksudnya, Allah menciptakan kepada makhuk-makhluk tidak bernyawa ini pengetahuan tentang hal-hal yang terjadi pada hari Jumat tersebut. Rahasia dari kekhawatiran mereka adalah bahwa hari kiamat sebagaimana telah dijelaskan terjadi pada hari Jumat di antara waktu Subuh dan terbitnya matahari. Maka tidaklah binatang-binatang kecuali khawatir akan datangnya hari kiamat pada pagi hari Jumat ini. Saat pagi hari tiba, mereka memuji kepada Allah dan memberi ucapan selamat satu sama lain, mereka mengatakan; ini hari baik. Kiamat tidak terjadi pada pagi hari ini”. (Syekh Ihsan bin Dakhlan, Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz.1, hal.286, cetakan Ponpes Jampes Kediri, tt).
Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abdillah bin ‘Amr bin al-‘Ash sebuah hadits:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tiada seorang Muslim yang mati di hari atau malam Jumat, kecuali Allah menjaganya dari fitnah kubur”.
Syekh Ihsan bin Dakhlan dalam kitab Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz.1, hal.286 cetakan Pondok Pesantrena Jampes Kediri, mengutip keterangan dari Imam al-‘Azizi bahwa hadits tersebut mencapai derajat hadits Hasan.
Ulama berbeda pendapat mengenai maksud terjaganya orang yang wafat di hari Jumat dari fitnah kubur. Menurut Imam al-Manawi orang tersebut tidak ditanya Malaikat di kuburan. Sedangkan menurut pendapat yang dipegang oleh Imam al-Zayadi, bahwa orang yang mati di hari Jumat tetap ditanya malaikat, namun ia diberi kemudahan dalam menjalaninya.
Syekh Ihsan bin Dakhlan mengatakan:
قَالَ الْمَنَاوِيُّ بِأَنْ لَا يُسْأَلَ فِيْ قَبْرِهِ اِنْتَهَى وَهَذَا خِلَافُ ظَاهِرِ الْحَدِيْثِ وَالَّذِيْ اِعْتَمَدَهُ الزَّيَادِيُّ أَنَّ السُّؤَالَ فِي الْقَبْرِ عَامٌّ لِكُلِّ مُكَلَّفٍ اِلَّا شَهِيْدَ الْمَعْرِكَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَنَّهُمْ لَا يُسْئَلُوْنَ مَحْمُوْلٌ عَلَى عَدَمِ الْفِتْنَةِ فِيْ الْقَبْرِ أَيْ يُسْئَلُوْنَ وَلَا يُفْتَنُوْنَ.
“Maksud dari hadits tersebut, Imam al-Manawai mengatakan dengan sekira ia tidak ditanya malaikat di kuburnya. Pendapat al-Manawi ini menyalahi makna zhahirnya hadits. Pendapat yang dipegang Imam al-Zayadi bahwa pertanyaan malaikat di alam kubur menyeluruh untuk setiap orang mukallaf kecuali syahid yang gugur di medan pertempuran. Keterangan yang menyebutkan bahwa segolongan ulama tidak ditanya malaikat di alam kubur diarahkan pada arti ketiadaan fitnah, maksudnya mereka tetap ditanya malaikat dan tidak mendapatkan fitnah”. (Syekh Ihsan bin Dakhlan, Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz.1, hal.286, cetakan Ponpes Jampes Kediri, tt).
Menjalankan shalat Jumat merupakan hajinya orang-orang yang tidak mampu. Imam al-Qadla’i dan Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
اَلْجُمُعَةُ حَجُّ الْفُقَرَاءِ
“Jumat merupakan hajinya orang-orang fakir”.
Terkait hadits tersebut, Syekh Ihsan bin Dakhlan menjelaskan:
يَعْنِيْ ذَهَابُ الْعَاجِزِيْنَ عَنِ الْحَجِّ اِلَى الْجُمُعَةِ هُوَ لَهُمْ كَالْحَجِّ فِيْ حُصُوْلِ الثَّوَابِ وَاِنْ تَفَاوَتَ وَفِيْهِ الْحَثُّ عَلَى فِعْلِهَا وَالتَّرْغِيْبُ فِيْهِ.
“Maksudnya, berangkatnya orang-orang yang tidak mampu berhaji menuju shalat Jumat, seperti berangkat menuju tempat haji dalam hal mendapatkan pahala, meskipun berbeda tingkat pahalanya. Dalam hadits ini memberi dorongan untuk melakukan Jumat”. (Syekh Ihsan bin Dakhlan, Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz.1, hal.282, cetakan Ponpes Jampes Kediri, tt).
Dalam hadits lain disebutkan:
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
“Barang siapa membasuh pakaian dan kepalanya, mandi, bergegas Jumatan, menemui awal khutbah, berjalan dan tidak menaiki kendaraan, dekat dengan Imam, mendengarkan khutbah dan tidak bermain-main, maka setiap langkahnya mendapat pahala berpuasa dan shalat selama satu tahun. (HR. Al-Tirmidzi dan al-Hakim).
Hadits ini menurut Imam al-Tirmidzi berstatus hadits Hasan dan menurut al-Hakim mencapai derajat hadits Shahih.
Dalam hadits Imam Muslim disebutkan:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
“Barang siapa berwudlu kemudian memperbaiki wudlunya, lantas berangkat Jumat, dekat dengan Imam dan mendengarkan khutbahnya, maka dosanya di antara hari tersebut dan Jumat berikutnya ditambah tiga hari diampuni”. (HR. Muslim).
Muslim yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jumat, ia akan dinanugi cahaya di antara dua Jumat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
“Barang siapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jumat, maka Allah memberinya sinar cahaya di antara dua Jumat”.
Hadits tersebut diriwayatkan dan dishahihkan oleh imam al-Hakim.
Juga dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قرأ سورة الكهف كما أنزلت ، كانت له نورا يوم القيامة من مقامه إلى مكة ، ومن قرأ عشر آيات من آخرها ثم خرج الدجال لم يسلط عليه ، ومن توضأ ثم قال : سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك كتب في رق ، ثم طبع بطابع فلم يكسر إلى يوم القيامة
“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi sebagaimana diturunkan, maka ia akan mendapatkan cahaya dari tempat ia berdiri hingga Mekkah. Barangsiapa membaca 10 akhir ayatnya, kemudian keluar Dajjal, maka ia tidak akan dikuasai. Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia ucapkan: Subhanakallahumma wa bi hamdika laa ilaha illa anta, astagh-firuka wa atuubu ilaik (Maha suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku senantiasa memohon ampun dan bertaubat pada-Mu), maka akan dicatat baginya dikertas dan dicetak sehingga tidak akan luntur hingga hari kiamat.”
Nabi menganjurkan agar memperbanyak membaca shalawat pada hari Jumat. Dalam sebuah hadits ditegaskan:
أَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“Pebanyaklah membaca shalawat kepadaku di hari dan malam Jumat. Barangsiapa membaca shalawat untuku satu kali, maka Allah membalasnya sepuluh kali”.
Hadits tersebut diriwayatkan al-Baihaqi dengan beberapa sanad yang baik (hasan).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Senin, 17 September 2018
Kafirkah Kaum Khawarij???
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan,
قَوْمٌ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Mereka adalah satu kaum yang membaca Al-Qur’an namun tidak malampaui kerongkongan mereka (tidak memahami Al-Qur’an dengan baik), mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang menembus buruannya, mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan kaum musyrikin. Andaikan aku bertemu mereka, maka akan kubunuh mereka seperti pembunuhan kepada kaum ‘Aad.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu]
Mereka juga membunuh Sahabat yang Mulia Abdullah bin Khabbab radhiyallahu’anhuma dan budak perempuannya yang sedang hamil secara sadis dan kejam. Al-Hafiz Ibnu Hajar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
ثُمَّ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ لَا يَعْتَقِدُ مُعْتَقَدَهُمْ بِكفْر وَيُبَاحُ دَمُهُ وَمَالُهُ وَأَهْلُهُ وَانْتَقَلُوا إِلَى الْفِعْلِ فَاسْتَعْرَضُوا النَّاسَ فَقَتَلُوا مَنِ اجْتَازَ بِهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَمَرَّ بِهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ وَكَانَ وَالِيًا لِعَلِيٍّ عَلَى بَعْضِ تِلْكَ الْبِلَادِ وَمَعَهُ سُرِّيَّةٌوَهِيَ حَامِلٌ فَقَتَلُوهُ وبقروا بطن سُرِّيَّتِهِ عَنْ وَلَدٍ فَبَلَغَ عَلِيًّا فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فِي الْجَيْشِ الَّذِي كَانَ هَيَّأَهُ لِلْخُرُوجِ إِلَى الشَّامِ فَأَوْقَعَ بِهِمْ بِالنَّهْرَوَانِ وَلَمْ يَنْجُ مِنْهُمْ إِلَّا دُونَ الْعَشَرَةِ وَلَا قُتِلَ مِمَّنْ مَعَهُ إِلَّا نَحْوُ الْعَشَرَةِ
“Kemudian mereka (kaum Khawarij) bersepakat atas kafirnya orang yang tidak meyakini keyakinan mereka dan halal darahnya, hartanya dan keluarganya, setelah itu mereka berpindah kepada tindakan fisik; mereka menghadang manusia lalu membunuh siapa pun kaum muslimin yang melewati daerah mereka, dan tatkala Abdullah bin Khabbab bin Al-Aratt radhiyallahu’anhuma melewati mereka –beliau ketika itu adalah Gubernur Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu di sebagian wilayah yang mereka tempati- beliau lewat bersama seorang budak perempuan yang sedang hamil, maka mereka membunuh beliau dan merobek perut budak perempuannya untuk mengeluarkan bayinya, maka sampailah berita tersebut kepada Ali, beliau pun segera keluar menuju mereka bersama pasukan yang tadinya beliau siapkan untuk menuju Syam, beliau memerangi mereka di Nahrawan, dan tidak ada dari mereka yang selamat kecuali kurang dari sepuluh orang, dan tidak ada yang terbunuh dari pasukan Ali radhiyallahu’anhu kecuali sekitar sepuluh orang saja.”
Sebagaimana mereka juga membunuh orang tua Tabi’in yang Mulia Sa’id bin Jumhan rahimahullah, sebagaimana penuturan beliau,
أَتَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى وَهُوَ مَحْجُوبُ الْبَصَرِ ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ، قَالَ لِي : مَنْ أَنْتَ ؟ فَقُلْتُ : أَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ ، قَالَ : فَمَا فَعَلَ وَالِدُكَ ؟ قَالَ : قُلْتُ : قَتَلَتْهُ الأَزَارِقَةُ ، قَالَ : لَعَنَ اللَّهُ الأَزَارِقَةَ ، لَعَنَ اللَّهُ الأَزَارِقَةَ ، حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كِلاَبُ النَّارِ ، قَالَ : قُلْتُ : الأَزَارِقَةُ وَحْدَهُمْ أَمِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا ؟ قَالَ : بَلِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا . قَالَ : قُلْتُ : فَإِنَّ السُّلْطَانَ يَظْلِمُ النَّاسَ ، وَيَفْعَلُ بِهِمْ ، قَالَ : فَتَنَاوَلَ يَدِي فَغَمَزَهَا بِيَدِهِ غَمْزَةً شَدِيدَةً ، ثُمَّ قَالَ : وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ ، وَإِلاَّ فَدَعْهُ ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ.
“Aku pernah mendatangi Abdullah bin Abi Aufa -radhiyallahu’anhu- dan beliau adalah seorang yang buta. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia berkata kepadaku, “Siapakah kamu?” Aku berkata, “Aku Sa’id bin Jumhan”. Beliau berkata, “Apa yang terjadi pada bapakmu?” Aku berkata, “Kaum Khawarij Al-Azaariqoh telah membunuhnya”. Beliau berkata, “Semoga Allah melaknat Al-Azariqoh, semoga Allah melaknat Al-Azariqoh. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- mengabarkan kepada kami bahwa mereka dalah anjing-anjing neraka”. Aku berkata, “Apakah Al-Azariqoh saja atau Khawarij seluruhnya?” Beliau berkata, “Bahkan Khawarij seluruhnya”. Aku berkata, “Sesungguhnya penguasa telah menzalimi manusia dan semana-mena terhadap mereka”. Beliau pun menarik tanganku dengan keras seraya berkata, “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah), hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah). Apabila penguasa mau mendengar nasihatmu, maka datangilah ia di rumahnya, lalu kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui, semoga ia menerima nasihat darimu. Jika tidak, maka tinggalkan ia, karena sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/382), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (no. 6435) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 905)]
Itulah mazhab mereka yang menunjukkan bahaya bid’ah dalam agama, sebagaimana telah diperingatkan para ulama sejak dulu. Al-Imam Abu Qilabah rahimahullah berkata,
ما ابتدع قوم بدعة إلا استحلوا فيها السيف
“Tidaklah satu kaum berbuat bid’ah (mengada-ada dalam agama) kecuali mereka akan menghalalkan pedang dalam kebid’ahan itu.”
Al-Imam Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah menganggap ahlul bid’ah seluruhnya adalah Khawarij (pemberontak) dan beliau berkata,
إن الخوارج اختلفوا في الاسم، واجتمعوا على السيف
“Sesungguhnya kaum Khawarij (pemberontak) itu berbeda-beda namanya, namun bersatu di atas pedang.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أَهْلُ الْبِدَعِ مَعَ الْقُدْرَةِ يُشْبِهُونَ الْكُفَّارَ فِي اسْتِحْلَالِ قَتْلِ الْمُؤْمِنِينَ وَتَكْفِيرِهِمْ كَمَا يَفْعَلُهُ الْخَوَارِجُ وَالرَّافِضَةُ وَالْمُعْتَزِلَةُ وَالْجَهْمِيَّةُ وَفُرُوعُهُمْ لَكِنَّ فِيهِمْ مَنْ يُقَاتِلُ بِطَائِفَةٍ مُمْتَنِعَةٍ كَالْخَوَارِجِ وَالزَّيْدِيَّةِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْعَى فِي قَتْلِالْمَقْدُورِ عَلَيْهِ مِنْ مُخَالِفِيهِ إمَّا بِسُلْطَانِهِ وَإِمَّا بِحِيلَتِهِ وَمَعَ الْعَجْزِ يُشْبِهُونَ الْمُنَافِقِينَ يَسْتَعْمِلُونَ التَّقِيَّةَ وَالنِّفَاقَ كَحَالِ الْمُنَافِقِينَ
“Ahlul bid’ah apabila memiliki kekuatan maka mereka menyerupai orang-orang kafir dalam menghalalkan darah dan mengkafirkan kaum muslimin seperti yang dilakukan Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan cabang-cabang mereka, akan tetapi di tengah-tengah mereka ada yang berperang dengan kelompok yang tidak mau tunduk seperti Khawarij dan Zaidiyyah, dan diantara mereka ada yang masih tetap membunuh orang yang telah mereka kuasai yang menyelisihi mereka, apakah mereka membunuhnya dengan kekuasaan ataukah dengan tipu daya. Dan sebaliknya, ahlul bid’ah apabila dalam keadaan lemah maka mereka menyerupai orang-orang munafiq, mereka menggunakan taqiyyah (berpura-pura) dan kemunafikan seperti keadaan orang-orang munafiq.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengingatkan,
وكذلك الخوارج: لمّا كانوا أهل سيف وقتال، ظهرت مخالفتهم للجماعة؛ حين كانوا يقاتلون الناس. وأما اليوم فلا يعرفهم أكثر الناس.
“Demikian pula Khawarij, tatkala mereka menyandang senjata dan perang, maka nampaklah penyelisihan mereka terhadap al-jama’ah ketika mereka memerangi manusia, adapun hari ini kebanyakan orang tidak mengenali mereka.”
Dan diantara bentuk kekejaman mereka di masa ini adalah membunuh kaum muslimin dengan api, padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُعَذِّبَ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ
“Sungguh tidak boleh menyiksa dengan api kecuali (Allah) Rabb-nya api.” [HR. Abu Daud dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 487]
Bahkan kepada orang kafir pun, walau ada khilaf ulama, pendapat yang kuat insya Allah bahwa hal itu terlarang, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata,
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْثٍ فَقَالَ: «إِنْ وَجَدْتُمْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا فَأَحْرِقُوهُمَا بِالنَّارِ»، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَرَدْنَا الخُرُوجَ: «إِنِّي أَمَرْتُكُمْ أَنْ تُحْرِقُوا فُلاَنًا وَفُلاَنًا، وَإِنَّ النَّارَ لاَ يُعَذِّبُ بِهَا إِلَّا اللَّهُ، فَإِنْ وَجَدْتُمُوهُمَا فَاقْتُلُوهُمَا»
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus kami dalam sebuah pasukan seraya bersabda: “Apabila kalian berhasil menangkap fulan dan fulan bakarlah keduanya dengan api”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda ketika kami sudah hendak berangkat: Sesungguhnya aku telah memerintahkan kalian untuk membakar fulan dan fulan, sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah, maka apabila kalian berhasil menangkap keduanya maka bunuhlah mereka (tanpa dibakar).” [HR. Al-Bukhari]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وَأَمَّا حَدِيثُ الْبَابِ فَظَاهِرُ النَّهْيِ فِيهِ التَّحْرِيمُ
“Adapun hadits ini maka yang nampak jelas adalah larangan dalam hadits ini merupakan pengharaman.”
Adapun perbuatan sebagian sahabat yang mungkin belum sampai kepada mereka larangan ini sehingga mereka membakar sebagian orang kafir berdasarkan ijtihad, seperti ijtihad Abu Bakr radhiyallahu’anhu yang memerintahkan Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu untuk membakar orang-orang yang murtad dan ijtihad Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu ketika membakar orang-orang Syi’ah yang menuhankan beliau, tidaklah patut dipertentangkan dengan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Kafirkah Kaum Khawarij??
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini yang secara umum terbagi menjadi dua pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang kekafirannya berdasarkan dhahir hadits :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ، حَدَّثَنَا الشَّيْبَانِيُّ، حَدَّثَنَا يُسَيْرُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ، قُلْتُ لِسَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ: هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي الْخَوَارِجِ شَيْئًا؟، قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ وَأَهْوَى بِيَدِهِ قِبَلَ الْعِرَاقِ: " يَخْرُجُ مِنْهُ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid : Telah menceritakan kepada kami Asy-Syaibaaniy : Telah menceritakan kepada kami Yusair bin ‘Amru, ia berkata : Aku berkata kepada Sahl bin Hunaif : “Apakah engkau pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda sesuatu tentang Khawarij ?”. Ia menjawab : “Aku pernah mendengar beliau bersabda sambil mengarahkan tangannya ke ‘Iraaq : ‘Akan keluar darinya satu kaum yang membaca Al-Qur’aan namun tidak melebihi/melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti keluarnya anak panah dari busurnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6934].
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الصَّامِتِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ بَعْدِي مِنْ أُمَّتِي قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَلَاقِيمَهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَخْرُجُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، ثُمَّ لَا يَعُودُونَ إِلَيْهِ، شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Al-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Humaid : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ash-Shaamit, dari Abu Dzarr, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya sepeninggalku nanti ada satu kaum dari kalangan umatku yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya, yang kemudian ia tidak kembali padanya (agama). Seburuk buruk makhluk dan ciptaan” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, 5/31; shahih].
Ulama lain berpendapat kelompok Khawaarij tidak dikafirkan. Inilah pendapat jumhur ulama. Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَذَهَبَ أَكْثَرُ أَهْل الْأُصُول مِنْ أَهْل السُّنَّة إِلَى أَنَّ الْخَوَارِج فُسَّاق وَأَنَّ حُكْم الْإِسْلَام يَجْرِي عَلَيْهِمْ لِتَلَفُّظِهِمْ بِالشَّهَادَتَيْنِ وَمُوَاظَبَتِهِمْ عَلَى أَرْكَان الْإِسْلَام ، وَإِنَّمَا فُسِّقُوا بِتَكْفِيرِهِمْ الْمُسْلِمِينَ مُسْتَنِدِينَ إِلَى تَأْوِيل فَاسِد وَجَرَّهُمْ ذَلِكَ إِلَى اِسْتِبَاحَة دِمَاء مُخَالِفِيهِمْ وَأَمْوَالهمْ وَالشَّهَادَة عَلَيْهِمْ بِالْكُفْرِ وَالشِّرْك
“Kebanyakan ahli ushul dari kalangan Ahlus-Sunnah berpendapat bahwasannya Khawaarij itu adalah fasiq dan hukum Islam (muslim) berlaku pada mereka karena dua kalimat syahadat yang mereka ucapkan dan rukun-rukun Islam yang mereka lakukan. Mereka difasikkan hanyalah karena pengkafiran mereka terhadap kaum muslimin dengan bersandar pada ta’wil fasid (rusak); sehingga menyebabkan mereka menghalalkan darah dan harta orang-orang yang yang menyelisihi mereka, serta mempersaksikannya dengan kekufuran dan kesyirikan” [Fathul-Baariy, 12/300].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
الْخَوَارِجُ الَّذِينَ يُكَفِّرُونَ بِالذَّنْبِ ، وَيُكَفِّرُونَ عُثْمَانَ وَعَلِيًّا وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرَ ، وَكَثِيرًا مِنْ الصَّحَابَةِ ،وَيَسْتَحِلُّونَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمْوَالَهُمْ ، إلَّا مَنْ خَرَجَمَعَهُمْ ، فَظَاهِرُ قَوْلِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّهُمْ بُغَاةٌ ، حُكْمُهُمْ حُكْمُهُمْ. وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ ، وَالشَّافِعِيِّ ، وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ ،وَكَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ
“Khawaarij yang mengkafirkan dengan sebab dosa besar, mengkafirkan ‘Utsmaan, ‘Aliy, Thalhah, Az-Zubair, dan banyak orang dari kalangan shahabat, serta menghalalkan darah dan harta kaum muslimin kecuali orang yang keluar bersama mereka; maka yang dhahir pendapat para fuqahaa’ dan shahabat-shahabat kami belakangan menyatakan mereka itu bughat (pembangkang). Hukum mereka (Khawaarij) adalah hukum bughat (tidak kafir). Ini adalah pendapat Abu Haniifah, Asy-Syaafi’iy, jumhur fuqahaa’, dan banyak ulama dari kalangan ahli hadits” [Al-Mughniy, 8/106].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
لأَنَّ الْمَذْهَبَ الصَّحِيْحَ الْمُخْتَارَ الَّذِي قَالَهُ الأَكْثَرُوْنَ وَالْمُحَقِّقُوْنَ أَنَّ الْخَوَارِجَ لاَ يَكْفُرُوْنَ كَسَائِرِ أَهْلِ الْبِدَعِ
“Karena madzhab/pendapat yang benar yang terpilih yang merupakan pendapat mayoritas dan para ahli tahqiq bahwasanya khawarij tidaklah kafir sebagaimana ahlu bid’ah yang lainnya’ (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 2/50)
Al-Khotthoobi rahimahullah berkata:
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُمْ عَلَى ضَلاَلِهِمْ مُسْلِمُوْنَ
“Mereka telah ijmak/sepakat bahwasanya meskipun khawarij di atas kesesatan akan tetapi mereka adalah kaum muslimin” (Faidul Qodiir 3/679).
Ibnu Abdil Bar rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Abi Tholib bahwasanya beliau tidak mengkafirkan khawarij.
أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ أَهْلِ النَّهْرَوَانِ أَكُفَّارٌ هُمْ؟ قَالَ : مِنَ الْكُفْرِ فَرُّوْا، قِيْلَ فَمُنَافِقُوْنَ هُمْ؟ قَالَ : إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاَ. قِيْلَ : فَمَا هُمْ؟ قَالَ : قَوْمٌ أَصَابَتْهُمْ فِتْنَةٌ فَعَمُوْا فِيْهَا وَصَمُّوْا وَبَغَوْا عَلَيْنَا وَحَارَبُوْنَا وَقَاتَلُوْنَا فَقَتَلْنَاهُمْ
Ali bin Abi Tholib ditanya tentang ahlu Nahrawan (yaitu kahawrij), “Apakah mereka kafir?”, maka beliau menjawab, “Mereka (khawarij) lari dari kekufuran”. Maka dikatakan kepada beliau, “Apakah khawarij munafiq?”, beliau berkata, “Kaum munafiq tidaklah mengingat Allah kecuali hanya sedikit”. Lantas siapa mereka?, beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang tertimpa fitnah sehingga akhirnya mereka menjadi buta dan tuli dalam fitnah tersebut, dan memberontak kepada kami, serta memerangi kami, maka kamipun membunuh mereka”
Riwayat perkataan Ali bin Abi Tholib ini banyak disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka dan dijadikan dalil oleh mereka bahwasanya khawarij tidaklah kafir, seperti Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 19/193, Ibnu Bathhool dalam syarah Shahih Al-Bukhari, 8/585, Ibnu Qudaamah Al-Hanbali dalam kitab Al-Mughni 10/46, Az-Zarqooni dalam syarh Muwattho’ Al-Imam Malik 2/26, Al-Munaawi As-Syafii dalam kitab Faidul Qodiir 3/679. Ibnu Bathhool berkata tentang riwayat Ali ini :
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ مِنْ طُرُقٍ
“Telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dari beberapa jalan” (Syarh Shahih Al-Bukhari 8/585)
Oleh karenanya tidak kafirnya khawarij adalah pendapat Ali bin Abi Tholib dan pendapat para sahabat yang ikut dalam pasukan Ali tatkala memerangi khawarij. Karenanya Ali bin Abi Tholib tidaklah menjadikan istri-istri khawarij sebagai gonimah.
Demikianlah pendapat para sahabat dan mayoritas ulama tentang kaum khawarij yang telah diperangi oleh Ali bin Abi Tholib, kaum yang bengis yang telah disifati oleh Nabi dengan sifat-sifat yang brutal dan bodoh, serta Nabi menjanjikan ganjaran besar bagi orang-orang yang memerangi mereka.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
قَوْمٌ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Mereka adalah satu kaum yang membaca Al-Qur’an namun tidak malampaui kerongkongan mereka (tidak memahami Al-Qur’an dengan baik), mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang menembus buruannya, mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan kaum musyrikin. Andaikan aku bertemu mereka, maka akan kubunuh mereka seperti pembunuhan kepada kaum ‘Aad.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu]
Mereka juga membunuh Sahabat yang Mulia Abdullah bin Khabbab radhiyallahu’anhuma dan budak perempuannya yang sedang hamil secara sadis dan kejam. Al-Hafiz Ibnu Hajar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
ثُمَّ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ لَا يَعْتَقِدُ مُعْتَقَدَهُمْ بِكفْر وَيُبَاحُ دَمُهُ وَمَالُهُ وَأَهْلُهُ وَانْتَقَلُوا إِلَى الْفِعْلِ فَاسْتَعْرَضُوا النَّاسَ فَقَتَلُوا مَنِ اجْتَازَ بِهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَمَرَّ بِهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ وَكَانَ وَالِيًا لِعَلِيٍّ عَلَى بَعْضِ تِلْكَ الْبِلَادِ وَمَعَهُ سُرِّيَّةٌوَهِيَ حَامِلٌ فَقَتَلُوهُ وبقروا بطن سُرِّيَّتِهِ عَنْ وَلَدٍ فَبَلَغَ عَلِيًّا فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فِي الْجَيْشِ الَّذِي كَانَ هَيَّأَهُ لِلْخُرُوجِ إِلَى الشَّامِ فَأَوْقَعَ بِهِمْ بِالنَّهْرَوَانِ وَلَمْ يَنْجُ مِنْهُمْ إِلَّا دُونَ الْعَشَرَةِ وَلَا قُتِلَ مِمَّنْ مَعَهُ إِلَّا نَحْوُ الْعَشَرَةِ
“Kemudian mereka (kaum Khawarij) bersepakat atas kafirnya orang yang tidak meyakini keyakinan mereka dan halal darahnya, hartanya dan keluarganya, setelah itu mereka berpindah kepada tindakan fisik; mereka menghadang manusia lalu membunuh siapa pun kaum muslimin yang melewati daerah mereka, dan tatkala Abdullah bin Khabbab bin Al-Aratt radhiyallahu’anhuma melewati mereka –beliau ketika itu adalah Gubernur Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu di sebagian wilayah yang mereka tempati- beliau lewat bersama seorang budak perempuan yang sedang hamil, maka mereka membunuh beliau dan merobek perut budak perempuannya untuk mengeluarkan bayinya, maka sampailah berita tersebut kepada Ali, beliau pun segera keluar menuju mereka bersama pasukan yang tadinya beliau siapkan untuk menuju Syam, beliau memerangi mereka di Nahrawan, dan tidak ada dari mereka yang selamat kecuali kurang dari sepuluh orang, dan tidak ada yang terbunuh dari pasukan Ali radhiyallahu’anhu kecuali sekitar sepuluh orang saja.”
Sebagaimana mereka juga membunuh orang tua Tabi’in yang Mulia Sa’id bin Jumhan rahimahullah, sebagaimana penuturan beliau,
أَتَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى وَهُوَ مَحْجُوبُ الْبَصَرِ ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ، قَالَ لِي : مَنْ أَنْتَ ؟ فَقُلْتُ : أَنَا سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ ، قَالَ : فَمَا فَعَلَ وَالِدُكَ ؟ قَالَ : قُلْتُ : قَتَلَتْهُ الأَزَارِقَةُ ، قَالَ : لَعَنَ اللَّهُ الأَزَارِقَةَ ، لَعَنَ اللَّهُ الأَزَارِقَةَ ، حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كِلاَبُ النَّارِ ، قَالَ : قُلْتُ : الأَزَارِقَةُ وَحْدَهُمْ أَمِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا ؟ قَالَ : بَلِ الْخَوَارِجُ كُلُّهَا . قَالَ : قُلْتُ : فَإِنَّ السُّلْطَانَ يَظْلِمُ النَّاسَ ، وَيَفْعَلُ بِهِمْ ، قَالَ : فَتَنَاوَلَ يَدِي فَغَمَزَهَا بِيَدِهِ غَمْزَةً شَدِيدَةً ، ثُمَّ قَالَ : وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ ، وَإِلاَّ فَدَعْهُ ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ.
“Aku pernah mendatangi Abdullah bin Abi Aufa -radhiyallahu’anhu- dan beliau adalah seorang yang buta. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia berkata kepadaku, “Siapakah kamu?” Aku berkata, “Aku Sa’id bin Jumhan”. Beliau berkata, “Apa yang terjadi pada bapakmu?” Aku berkata, “Kaum Khawarij Al-Azaariqoh telah membunuhnya”. Beliau berkata, “Semoga Allah melaknat Al-Azariqoh, semoga Allah melaknat Al-Azariqoh. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- mengabarkan kepada kami bahwa mereka dalah anjing-anjing neraka”. Aku berkata, “Apakah Al-Azariqoh saja atau Khawarij seluruhnya?” Beliau berkata, “Bahkan Khawarij seluruhnya”. Aku berkata, “Sesungguhnya penguasa telah menzalimi manusia dan semana-mena terhadap mereka”. Beliau pun menarik tanganku dengan keras seraya berkata, “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah), hendaklah engkau mengikuti as-sawaadul a’zhom (Ahlus Sunnah). Apabila penguasa mau mendengar nasihatmu, maka datangilah ia di rumahnya, lalu kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui, semoga ia menerima nasihat darimu. Jika tidak, maka tinggalkan ia, karena sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/382), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (no. 6435) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (no. 905)]
Itulah mazhab mereka yang menunjukkan bahaya bid’ah dalam agama, sebagaimana telah diperingatkan para ulama sejak dulu. Al-Imam Abu Qilabah rahimahullah berkata,
ما ابتدع قوم بدعة إلا استحلوا فيها السيف
“Tidaklah satu kaum berbuat bid’ah (mengada-ada dalam agama) kecuali mereka akan menghalalkan pedang dalam kebid’ahan itu.”
Al-Imam Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah menganggap ahlul bid’ah seluruhnya adalah Khawarij (pemberontak) dan beliau berkata,
إن الخوارج اختلفوا في الاسم، واجتمعوا على السيف
“Sesungguhnya kaum Khawarij (pemberontak) itu berbeda-beda namanya, namun bersatu di atas pedang.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أَهْلُ الْبِدَعِ مَعَ الْقُدْرَةِ يُشْبِهُونَ الْكُفَّارَ فِي اسْتِحْلَالِ قَتْلِ الْمُؤْمِنِينَ وَتَكْفِيرِهِمْ كَمَا يَفْعَلُهُ الْخَوَارِجُ وَالرَّافِضَةُ وَالْمُعْتَزِلَةُ وَالْجَهْمِيَّةُ وَفُرُوعُهُمْ لَكِنَّ فِيهِمْ مَنْ يُقَاتِلُ بِطَائِفَةٍ مُمْتَنِعَةٍ كَالْخَوَارِجِ وَالزَّيْدِيَّةِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْعَى فِي قَتْلِالْمَقْدُورِ عَلَيْهِ مِنْ مُخَالِفِيهِ إمَّا بِسُلْطَانِهِ وَإِمَّا بِحِيلَتِهِ وَمَعَ الْعَجْزِ يُشْبِهُونَ الْمُنَافِقِينَ يَسْتَعْمِلُونَ التَّقِيَّةَ وَالنِّفَاقَ كَحَالِ الْمُنَافِقِينَ
“Ahlul bid’ah apabila memiliki kekuatan maka mereka menyerupai orang-orang kafir dalam menghalalkan darah dan mengkafirkan kaum muslimin seperti yang dilakukan Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan cabang-cabang mereka, akan tetapi di tengah-tengah mereka ada yang berperang dengan kelompok yang tidak mau tunduk seperti Khawarij dan Zaidiyyah, dan diantara mereka ada yang masih tetap membunuh orang yang telah mereka kuasai yang menyelisihi mereka, apakah mereka membunuhnya dengan kekuasaan ataukah dengan tipu daya. Dan sebaliknya, ahlul bid’ah apabila dalam keadaan lemah maka mereka menyerupai orang-orang munafiq, mereka menggunakan taqiyyah (berpura-pura) dan kemunafikan seperti keadaan orang-orang munafiq.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengingatkan,
وكذلك الخوارج: لمّا كانوا أهل سيف وقتال، ظهرت مخالفتهم للجماعة؛ حين كانوا يقاتلون الناس. وأما اليوم فلا يعرفهم أكثر الناس.
“Demikian pula Khawarij, tatkala mereka menyandang senjata dan perang, maka nampaklah penyelisihan mereka terhadap al-jama’ah ketika mereka memerangi manusia, adapun hari ini kebanyakan orang tidak mengenali mereka.”
Dan diantara bentuk kekejaman mereka di masa ini adalah membunuh kaum muslimin dengan api, padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُعَذِّبَ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ
“Sungguh tidak boleh menyiksa dengan api kecuali (Allah) Rabb-nya api.” [HR. Abu Daud dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 487]
Bahkan kepada orang kafir pun, walau ada khilaf ulama, pendapat yang kuat insya Allah bahwa hal itu terlarang, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata,
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْثٍ فَقَالَ: «إِنْ وَجَدْتُمْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا فَأَحْرِقُوهُمَا بِالنَّارِ»، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَرَدْنَا الخُرُوجَ: «إِنِّي أَمَرْتُكُمْ أَنْ تُحْرِقُوا فُلاَنًا وَفُلاَنًا، وَإِنَّ النَّارَ لاَ يُعَذِّبُ بِهَا إِلَّا اللَّهُ، فَإِنْ وَجَدْتُمُوهُمَا فَاقْتُلُوهُمَا»
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus kami dalam sebuah pasukan seraya bersabda: “Apabila kalian berhasil menangkap fulan dan fulan bakarlah keduanya dengan api”. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda ketika kami sudah hendak berangkat: Sesungguhnya aku telah memerintahkan kalian untuk membakar fulan dan fulan, sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah, maka apabila kalian berhasil menangkap keduanya maka bunuhlah mereka (tanpa dibakar).” [HR. Al-Bukhari]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وَأَمَّا حَدِيثُ الْبَابِ فَظَاهِرُ النَّهْيِ فِيهِ التَّحْرِيمُ
“Adapun hadits ini maka yang nampak jelas adalah larangan dalam hadits ini merupakan pengharaman.”
Adapun perbuatan sebagian sahabat yang mungkin belum sampai kepada mereka larangan ini sehingga mereka membakar sebagian orang kafir berdasarkan ijtihad, seperti ijtihad Abu Bakr radhiyallahu’anhu yang memerintahkan Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu untuk membakar orang-orang yang murtad dan ijtihad Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu ketika membakar orang-orang Syi’ah yang menuhankan beliau, tidaklah patut dipertentangkan dengan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Kafirkah Kaum Khawarij??
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini yang secara umum terbagi menjadi dua pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang kekafirannya berdasarkan dhahir hadits :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ، حَدَّثَنَا الشَّيْبَانِيُّ، حَدَّثَنَا يُسَيْرُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ، قُلْتُ لِسَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ: هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي الْخَوَارِجِ شَيْئًا؟، قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ وَأَهْوَى بِيَدِهِ قِبَلَ الْعِرَاقِ: " يَخْرُجُ مِنْهُ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid : Telah menceritakan kepada kami Asy-Syaibaaniy : Telah menceritakan kepada kami Yusair bin ‘Amru, ia berkata : Aku berkata kepada Sahl bin Hunaif : “Apakah engkau pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda sesuatu tentang Khawarij ?”. Ia menjawab : “Aku pernah mendengar beliau bersabda sambil mengarahkan tangannya ke ‘Iraaq : ‘Akan keluar darinya satu kaum yang membaca Al-Qur’aan namun tidak melebihi/melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti keluarnya anak panah dari busurnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6934].
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الصَّامِتِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ بَعْدِي مِنْ أُمَّتِي قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَلَاقِيمَهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَخْرُجُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، ثُمَّ لَا يَعُودُونَ إِلَيْهِ، شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Al-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami Humaid : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ash-Shaamit, dari Abu Dzarr, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya sepeninggalku nanti ada satu kaum dari kalangan umatku yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya, yang kemudian ia tidak kembali padanya (agama). Seburuk buruk makhluk dan ciptaan” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, 5/31; shahih].
Ulama lain berpendapat kelompok Khawaarij tidak dikafirkan. Inilah pendapat jumhur ulama. Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَذَهَبَ أَكْثَرُ أَهْل الْأُصُول مِنْ أَهْل السُّنَّة إِلَى أَنَّ الْخَوَارِج فُسَّاق وَأَنَّ حُكْم الْإِسْلَام يَجْرِي عَلَيْهِمْ لِتَلَفُّظِهِمْ بِالشَّهَادَتَيْنِ وَمُوَاظَبَتِهِمْ عَلَى أَرْكَان الْإِسْلَام ، وَإِنَّمَا فُسِّقُوا بِتَكْفِيرِهِمْ الْمُسْلِمِينَ مُسْتَنِدِينَ إِلَى تَأْوِيل فَاسِد وَجَرَّهُمْ ذَلِكَ إِلَى اِسْتِبَاحَة دِمَاء مُخَالِفِيهِمْ وَأَمْوَالهمْ وَالشَّهَادَة عَلَيْهِمْ بِالْكُفْرِ وَالشِّرْك
“Kebanyakan ahli ushul dari kalangan Ahlus-Sunnah berpendapat bahwasannya Khawaarij itu adalah fasiq dan hukum Islam (muslim) berlaku pada mereka karena dua kalimat syahadat yang mereka ucapkan dan rukun-rukun Islam yang mereka lakukan. Mereka difasikkan hanyalah karena pengkafiran mereka terhadap kaum muslimin dengan bersandar pada ta’wil fasid (rusak); sehingga menyebabkan mereka menghalalkan darah dan harta orang-orang yang yang menyelisihi mereka, serta mempersaksikannya dengan kekufuran dan kesyirikan” [Fathul-Baariy, 12/300].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
الْخَوَارِجُ الَّذِينَ يُكَفِّرُونَ بِالذَّنْبِ ، وَيُكَفِّرُونَ عُثْمَانَ وَعَلِيًّا وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرَ ، وَكَثِيرًا مِنْ الصَّحَابَةِ ،وَيَسْتَحِلُّونَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمْوَالَهُمْ ، إلَّا مَنْ خَرَجَمَعَهُمْ ، فَظَاهِرُ قَوْلِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّهُمْ بُغَاةٌ ، حُكْمُهُمْ حُكْمُهُمْ. وَهَذَا قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ ، وَالشَّافِعِيِّ ، وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ ،وَكَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ
“Khawaarij yang mengkafirkan dengan sebab dosa besar, mengkafirkan ‘Utsmaan, ‘Aliy, Thalhah, Az-Zubair, dan banyak orang dari kalangan shahabat, serta menghalalkan darah dan harta kaum muslimin kecuali orang yang keluar bersama mereka; maka yang dhahir pendapat para fuqahaa’ dan shahabat-shahabat kami belakangan menyatakan mereka itu bughat (pembangkang). Hukum mereka (Khawaarij) adalah hukum bughat (tidak kafir). Ini adalah pendapat Abu Haniifah, Asy-Syaafi’iy, jumhur fuqahaa’, dan banyak ulama dari kalangan ahli hadits” [Al-Mughniy, 8/106].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
لأَنَّ الْمَذْهَبَ الصَّحِيْحَ الْمُخْتَارَ الَّذِي قَالَهُ الأَكْثَرُوْنَ وَالْمُحَقِّقُوْنَ أَنَّ الْخَوَارِجَ لاَ يَكْفُرُوْنَ كَسَائِرِ أَهْلِ الْبِدَعِ
“Karena madzhab/pendapat yang benar yang terpilih yang merupakan pendapat mayoritas dan para ahli tahqiq bahwasanya khawarij tidaklah kafir sebagaimana ahlu bid’ah yang lainnya’ (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 2/50)
Al-Khotthoobi rahimahullah berkata:
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُمْ عَلَى ضَلاَلِهِمْ مُسْلِمُوْنَ
“Mereka telah ijmak/sepakat bahwasanya meskipun khawarij di atas kesesatan akan tetapi mereka adalah kaum muslimin” (Faidul Qodiir 3/679).
Ibnu Abdil Bar rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Abi Tholib bahwasanya beliau tidak mengkafirkan khawarij.
أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ أَهْلِ النَّهْرَوَانِ أَكُفَّارٌ هُمْ؟ قَالَ : مِنَ الْكُفْرِ فَرُّوْا، قِيْلَ فَمُنَافِقُوْنَ هُمْ؟ قَالَ : إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاَ. قِيْلَ : فَمَا هُمْ؟ قَالَ : قَوْمٌ أَصَابَتْهُمْ فِتْنَةٌ فَعَمُوْا فِيْهَا وَصَمُّوْا وَبَغَوْا عَلَيْنَا وَحَارَبُوْنَا وَقَاتَلُوْنَا فَقَتَلْنَاهُمْ
Ali bin Abi Tholib ditanya tentang ahlu Nahrawan (yaitu kahawrij), “Apakah mereka kafir?”, maka beliau menjawab, “Mereka (khawarij) lari dari kekufuran”. Maka dikatakan kepada beliau, “Apakah khawarij munafiq?”, beliau berkata, “Kaum munafiq tidaklah mengingat Allah kecuali hanya sedikit”. Lantas siapa mereka?, beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang tertimpa fitnah sehingga akhirnya mereka menjadi buta dan tuli dalam fitnah tersebut, dan memberontak kepada kami, serta memerangi kami, maka kamipun membunuh mereka”
Riwayat perkataan Ali bin Abi Tholib ini banyak disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka dan dijadikan dalil oleh mereka bahwasanya khawarij tidaklah kafir, seperti Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 19/193, Ibnu Bathhool dalam syarah Shahih Al-Bukhari, 8/585, Ibnu Qudaamah Al-Hanbali dalam kitab Al-Mughni 10/46, Az-Zarqooni dalam syarh Muwattho’ Al-Imam Malik 2/26, Al-Munaawi As-Syafii dalam kitab Faidul Qodiir 3/679. Ibnu Bathhool berkata tentang riwayat Ali ini :
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ مِنْ طُرُقٍ
“Telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dari beberapa jalan” (Syarh Shahih Al-Bukhari 8/585)
Oleh karenanya tidak kafirnya khawarij adalah pendapat Ali bin Abi Tholib dan pendapat para sahabat yang ikut dalam pasukan Ali tatkala memerangi khawarij. Karenanya Ali bin Abi Tholib tidaklah menjadikan istri-istri khawarij sebagai gonimah.
Demikianlah pendapat para sahabat dan mayoritas ulama tentang kaum khawarij yang telah diperangi oleh Ali bin Abi Tholib, kaum yang bengis yang telah disifati oleh Nabi dengan sifat-sifat yang brutal dan bodoh, serta Nabi menjanjikan ganjaran besar bagi orang-orang yang memerangi mereka.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda