Minggu, 30 September 2018

Masalah Impotensi Dan Cara Mengatasinya

Allah perintahkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik. Dengan memenuhi setiap kebutuhannya, baik nafkah lahir, dan tentu saja nafkah bathin. Sebagaimana lelaki juga ingin mendapatkan kenikmatan syahwat, wanita juga ingin mendapatkan kenikmatan batin bersama suaminya.

Allah berfirman,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Wanita punya hak (yang harus ditunaikan suaminya sesuai ukuran kelayakan), sebagaimana dia juga punya kewajiban (yang harus dia tunaikan untuk suaminya).” (QS. al-Baqarah: 228)

Karena itulah, yang secara sengaja tidak memenuhi kebutuhan bathin istrinya, sampai menyakiti istrinya, maka suami berdosa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan beberapa sahabatnya yang waktunya hanya habis beribadah, sehingga tidak pernah menjamah istrinya.

Diantaranya, peristiwa yang dialami Utsman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu. Sahabat yang menghabiskan waktunya untuk beribadah.

Aisyah bercerita,
Saya pernah menenui Khoulah bintu Hakim, istrinya Utsman bin Madz’un. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Khoulah suasananya kusam, seperti tidak pernah merawat dirinya. Beliaupun bertanya kepada A’isyah,

يَا عَائِشَةُ، مَا أَبَذَّ هَيْئَةَ خُوَيْلَةَ؟

“Wahai Aisyah, Khoulah kok kusut kusam ada apa?”

Jawab Aisyah,
“Ya Rasulullah, wanita ini punya suami, yang setiap hari puasa, dan tiap malam tahajud. Dia seperti wanita yang tidak bersuami. Makanya dia tidak pernah merawat dirinya.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang untuk memanggil Utsman bin Madz’un. Ketika beliau datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat,

يَا عُثْمَانُ، أَرَغْبَةً عَنْ سُنَّتِي؟ ” قَالَ: فَقَالَ: لَا وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَلَكِنْ سُنَّتَكَ أَطْلُبُ، قَالَ: ” فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ، فَاتَّقِ اللهَ يَا عُثْمَانُ، فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَصَلِّ وَنَمْ

“Wahai Utsman, kamu membenci sunahku?”
“Tidak Ya Rasulullah. Bahkan aku selalu mencari sunah anda.” Jawab Ustman.
“Kalau begitu, perhatikan, aku tidur dan aku shalat tahajud, aku puasa dan kadang tidak puasa. Dan aku menikah dengan wanita. Wahai Utsman, bertaqwalah kepada Allah. Karena istrimu punya hak yang harus kau penuhi. Tamumu juga punya hak yang harus kau penuhi. Dirimu punya hak yang harus kau penuhi. Silahkan puasa, dan kadang tidak puasa. Silahkan tahajud, tapi juga harus tidur.” (HR. Ahmad 26308 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Pesan ini juga pernah disampaikan Salman kepada Abu Darda radhiyallahu ‘anhuma, karena beliau tidak pernah tidur dengan istrinya,

إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya dirimu punya hak yang harus kau tunaikan. Tamumu punya hak yang harus kau tunaikan. Istrimu punya hak yang harus kau tunaikan. Berikan hak kepada masing-masing sesuai porsinya.”
Pernyataan Salman ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Turmudzi 2413 dan dishahihkan al-Albani).

Al-Imam Muslim berkata dalam Shahih-nya :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ..........

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Amru An-Naaqid dengan lafadh dari ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Suatu ketika istri Rifaa'ah menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : “Aku adalah istri Rifaa'ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya sepertihudbatuts-tsaub (ujung kain)”.  Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa'ah ? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu….” [Shahih Muslim no. 1433].


Hudbatuts-tsaub maknanya adalah kemaluan suami lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga tidak bisa memuaskan [An-Nihaayah].

Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa tuntutan pemenuhan ‘nafkah biologis’ (= jima’) seorang istri kepada suaminya merupakan suatu hal yang lumrah, diperbolehkan, dan bahkan disyari’atkan. Dengan adanya ikatan pernikahan, seorang istri mempunyai hak dari suami atas nafkah jima’ dan bersenang-senang.

Lantas bagaimana halnya apabila suami tidak dapat memenuhi karena adanya gangguan atau penyakit seperti impotensi dan semisalnya ? Para ulama telah membahas hal ini.

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata saat membahas cacat yang dapat membatalkan nikah :

فاختلف الفقهاءُ فى ذلك، فقال داود، وابنُ حزم، ومَنْ وافقهما: لا يُفْسَخْ النكاحُ بعيب ألبتة، وقال أبو حنيفة: لا يفسخ إلا بالجَبِّ والعُنَّةِ خاصة. وقال الشافعى ومالك: يُفْسَخُ بالجنونِ والبَرَصِ، والجُذامِ والقَرَن، والجَبِّ والعُنَّةِ خاصة، وزاد الإمام أحمد عليهما: أن تكونَ المرأة فتقاءَ منخرِقة ما بينَ السبيلين، ولأصحابه فى نَتَنِ الفرج والفم، وانخراقِ مخرجى البول والمنى فى الفرج، والقروح السيالة فيه، والبواسير، والنَّاصور، والاستحاضة، واستطلاقِ البول، والنجو، والخصى وهو قطعُ البيضتينِ، والسَّل وَهو سَلُّ البيضتين، والوجء وهو رضُّهما، وكونُ أحدهما خُنثى مشكلاً، والعيبِ الذى بصاحبه مثلُه مِن العيوب السبعة، والعيبِ الحادث بعد العقد، وجهان.
وذهب بعضُ أصحابِ الشافعى إلى ردِّ المرأة بكُلِّ عيبٍ تُردُّ به الجاريةُ فى البيع وأكثرُهم لا يَعْرِفُ هذا الوجهَ ولا مظِنَّتَه، ولا مَنْ قاله. وممن حكاه: أبو عاصم العبادانى فى كتاب طبقات أصحاب الشافعى، وهذا القولُ هو القياس، أو قولُ ابن حزم ومن وافقه.
وأما الاقتصارُ على عيبين أو ستة أو سبعة أو ثمانية دون ما هو أولى منها أو مساو لها، فلا وجه له،

“Para fuqahaa telah berbeda pendapat tentang hal tersebut. Abu Daawud, Ibnu Hazm, dan yang sependapat dengan mereka berdua berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan sama sekali pernikahan dengan sebab adanya cacat’. Abu Haniifah berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan kecuali suaminya terpotong kemaluannya (dikebiri) dan impoten’. Asy-Syaafi’iy dan Maalik berkata : ‘(Pernikahan) dibatalkan dengan sebab gila, kusta, lepra, qaran (= semacam kelainan dari kemaluan seorang wanita akibat adanya daging tumbuh atau semacamnya sehingga tersumbat yang mengakibatkan tidak bisa melakukan jima’), terpotong kemaluannya, dan impoten’. Al-Imam Ahmad menambahkan dari yang telah disebutkan keduanya : ‘Jika si wanita mempunyai kelainan pada kemaluannya karena sobek pembatas antara dua lubang (qubul dan dubur)’. Dan menurut shahabat-shahabatnya termasuk bau busuk yang keluar dari farji dan mulut, robeknya saluran kencing dan mani pada kemaluan, luka nanah pada kemaluan, wasir, sembelit, istihadlah, kencing terus-menerus, najwu (= penyakit/kelainan pada perut sehingga mengeluarkan bau busuk dan kotoran), khashaa (terpotong buah dzakarnya), tidak memiliki buah dzakar, waj’u (buah dzakarnya hancur/rusak), berkelamin ganda, dan cacat-cacat lain yang sejenis dengan tujuh cacat ini yang ada pada suami/istri.

Sedangkan cacat yang terjadi setelah ‘aqad, ada dua pendapat. Sebagian shahabat Asy-Syaafi’iy berpendapat untuk mengembalikan wanita (kepada keluarganya) untuk setiap cacat yang ada yang mana jika cacat itu ada pada seorang budak wanita, boleh dikembalikan kepada tuannya. Kebanyakan shahabat Asy-Syaafi’iy tidak mengetahui alasan dan dalil pendapat ini dan tidak mengetahui siapa yang mengatakannya. Dan dari yang dikatakan Abu ‘Aashim Al-‘Abbaadaaniy dalam kitab Thabaqaat Asy-Syaafi’iy, pendapat ini merupakan hasil dari qiyas, atau pendapat Ibnu Hazm dan orang yang sependapat dengannya.

Adapun pembatasan atas dua, enam, tujuh, atau delapan cacat tanpa cacat lain yang lebih tinggi derajatnya (parah) atau sama, maka pendapat itu tidak punya sandaran/dalil….” [Zaadul-Ma’aad, 5/182; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 3/1406].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

ومن الحقوق الأبضاع، فالواجب الحكم بين الزوجين بما أمر الله ـ تعالى ـ به، من إمساك بمعروف أو تسريح بإحسان‏.‏ فيجب على كل من الزوجين أن يؤدي إلى الآخر حقوقه، بطيب نفس وانشراح صدر؛ فإن للمرأة على الرجل حقًا في ماله، وهو الصداق والنفقة بالمعروف‏.‏ وحقًا في بدنه، وهو العشرة و المتعة؛ بحيث لو إلى منها استحقت الفرقة بإجماع المسلمين، وكذلك لو كان مجبوبًا أو عنينًا لا يمكنه جماعها فلها الفرقة؛ ووطؤها واجب عليه عند أكثر العلماء‏.‏

“Termasuk di antara hak-hak (yang harus dipenuhi) adalah hubungan intim. Maka wajib hukumnya bagi suami suami istri melaksanakannya sesuai dengan perintah Allah ta’ala, termasuk di antaranya mempergauli atau menceraikannya dengan baik. Wajib pula bagi setiap pasangan suami istri untuk memenuhi haknya satu dengan lainnya dengan ikhlash dan lapang dada. Sesungguhnya bagi seorang wanita mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh laki-laki (suaminya) dari harta yang berupa mahar dan nafkah secara ma’ruf, dan hak badan yang berupa jima’ dan bersenang-senang – dimana jika hak-hak tersebut tidak bisa dipenuhi, maka istrinya berhak menuntut cerai berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Begitu pula apabila suaminya terpotong kemaluannya atau impoten sehingga tidak memungkinkan untuk berjima’, maka si istri juga berhak menuntut cerai. Hal itu dikarenakan menggauli (menjimai) istri hukumnya wajib menurut kebanyakan ulama” [Majmu’ Al-Fataawaa, 28/383].

وكذلك يوجب العقد المطلق سلامة الزوج من الجَبّ والعِنَّة عند عامة الفقهاء‏.‏ وكذلك يوجب عند الجمهور سلامتها من موانع الوطء كالرتق، وسلامتها من الجنون، والجذام، والبرص‏.‏ وكذلك سلامتهما من العيوب التي تمنع كماله، كخروج النجاسات منه أو منها، ونحو ذلك، في أحد الوجهين في مذهب أحمد وغيره ‏‏

“Begitu pula diwajibkan dalam akad pernikahan yang bersifat mutlak, yaitu bebasnya seorang suami dari cacat terpotong kemaluannya dan impotensi menurut jumhur fuqahaa’. Selain itu juga bebas dari penghalang untuk bisa berjima’ seperti tertutupnya lubang kemaluan (ratq), bebas dari gila, lepra, dan kusta. Juga bebas dari cacat yang menghalangi kesempurnaannya seperti keluarnya najis dari kemaluan laki-laki atau wanita; dan yang lainnya. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan lainnya…” [idem, 29/175].

Apabila seorang suami menderita cacat impotensi setelah menjalani bahtera pernikahan, maka dalam hal ini suami diberi tenggang satu tahun. Jika setelah tenggang waktu itu ia belum sembuh, maka istri berhak menuntut cerai.

نا أبو طلحة نا بندار نا عبد الرحمن نا سفيان عن الركين بن الربيع قال : سمعت أبي وحصين بن قبيصة يحدثان عن عبد الله قال يؤجل سنة فإن أتاها وإلا فرق بينهما

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thalhah : Telah mengkhabarkan kepada kami Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Ar-Rukain bin Ar-Rabii’, ia berkata : Aku mendengar ayahku dan Hushain bin Qabiishah menceritakan dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun. Apabila ia mendatangi (mampu menjimai kembali) istrinya, (maka pernikahan itu diteruskan). Jika tidak, maka (boleh) dipisahkan (cerai) antara keduanya” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3814; sanadnya shahih].

حدثنا أبو طلحة حدثنا بُندار حدثنا عبد الرحمن عن سفيان عن الركين عن أبي النعمان قال : أتينا المغيرة بن شعبة في العنين، فقال : يؤجل سنة

Telah menceritakan kepada kami Abu Thalhah : Telah menceritakan kepada kami Bundaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman, dari Sufyaan, dari Ar-Rukain, dari Abun-Nu’maan, ia berkata : “Kami mendatangi Al-Mughiirah bin Syu’bah (untuk bertanya) tentang orang yang impoten. Lalu ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3815; kemungkinan Abun-Nu’maan ini bernama Nu’aim bin Handhalah atau dikatakan juga An-Nu’maan bin Handhalah atau dikatakan juga nama yang lainnya. Jika benar ini adalah ia, maka shahih].

حدثنا علي أنا شعبة قال سألت قتادة وحمادا فقالا يؤجل سنة في العنين

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Qataadah dan Hammaad (tentang orang yang impotensi), mereka berdua berkata : “Diberikan waktu satu tahun bagi orang yang impoten” [Musnad Ibni Ja’d no. 1039; sanadna shahih].

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

أن كُلَّ عيب ينفِرُ الزوجُ الآخر منه، ولا يحصُل به مقصودُ النكاح مِن الرحمة والمودَّة يُوجبُ الخيارَ، وهو أولى مِن البيع، كما أن الشروطَ المشترطة فى النكاح أولى بالوفاءِ مِن شروط البيع، وما ألزم اللَّهُ ورسولُه مغروراً قطُّ، ولا مغبوباً بما غُرَّ به وغُبِنَ به، ومن تدبَّر مقاصد الشرع فى مصادره وموارِده وعدله وحِكمته، وما اشتمل عليه مِن المصالح لم يخفَ عليه رجحانُ هذا القول، وقربُه من قواعد الشريعة.

“Bahwasannya setiap cacat yang dapat membuat lari pasangannya darinya serta (keberadaan faktor yang) tidak dicapai dengannya tujuan pernikahan yaitu (terwujudnya) cinta dan kasih-sayang; maka mengkonsekuensikan pilihan (untuk meneruskan rumah tangga atau melakukan perceraian). Dan itu lebih dikedepankan daripada akad jual-beli sebagaimana keberadaan syarat yang dipersyaratkan dalam pernikahan lebih dikedepankan untuk dipenuhi daripada persyaratan jual-beli. Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan orang yang tertipu dan terpedaya menerima sesuatu yang tidak diinginkan. Dan barangsiapa yang mentadaburi/memikirkan tujuan-tujuan syari’at berupa prinsip-prinsip keadilan dan hikmah dari suatu hukum dan maslahat-maslahat yang terkandung di dalamnya, tentu tahu kuatnya pendapat ini dan sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at yang ada” [Zaadul-Ma’aad, 5/183].

Al-Imam Al-Qodhi 'Iyadh -rahimahullah- berkata,

اتَّفَقَ كَافَّةُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ حَقًّا فِي الْجِمَاعِ، فَيَثْبُتُ الْخِيَارُ لَهَا إِذَا تَزَوَّجَتِ الْمَجْبُوبَ وَالْمَمْسُوحَ جَاهِلَةً بِهِمَا، وَيُضْرَبُ لِلْعِنِّينِ أَجَلُ سَنَةٍ لِاحْتِمَالِ زَوَالِ مَا بِهِ.

"Para ulama sepakat bahwa seorang wanita punya hak dalam hal jimak. Karenanya, telah tetap baginya pilihan (antara pisah dan tidak), jika ia menikah dengan suami yang kehilangan pelir atau kehilangan kemaluan dalam kondisi ia tak tahu (sebelumnya); dan bagi suami yang impoten diberi masa tenggang selama setahun, karena masih mungkinnya hal itu hilang." [Lihat FathulBari (9/468)]

Al-Imam Utsman Ibnush Sholah -rahimahullah- berkata,

لا يثبت لها الفسخ بعد ثبوت التعنين حتى يضرب له الحاكم أجل سنة فإذا مضت السنة ولم يطأها فلها الفسخ بحكم الحاكم والله أعلم

"Tidak sah baginya fasakh setelah jelasnya padanya impotensi sampai pemerintah menetapkan bagi suami (masa tenggang) selama setahun. Jika setahun telah berlalu dan ia tak mampu menggauli istri, maka istri berhak menggugat fasakh berdasarkan keputusan pemerintah, wallahu a'lam."[Lihat Fatawa Ibnish Sholaah (jld. 1/hlm. 72)]


Syaikh Athiyyah Shoqr Al-Mishriy -rahimahullah- berkata dalam kumpulan fatwa ulama Al-Azhar,

وإذا ظهر أن بالزوج عيبا يمنع الإنجاب . كأن كان مجبوبا -أى مقطوع الذكر-أو عنينا - أى غير قادر على الجماع لضعف خلقى أو كبر السن مثلا-أو خصيا-أى مقطوع الخصيتين -فللزوجة أن ترفع الأمر إلى القضاء لطلب التفريق بينه وبينها ، وإذا ثبت ذلك عند القاضى بأى طريق من طرق الإثبات أمر الزوج بتطليقها ، فإن لم يطلقها ناب عنه القاضى فى تطليقها منعا للضرر الذى يلحقها -وهذا الطلاق يكون بائنا بينونة صغرى

"Jika tampak bahwa pada suami ada aib yang menghalangi terjadinya kelahiran, misalnya: suami terputus dzakarnya atau ia impoten (ia tak mampu berjimak) karena kelemahan fisik, atau lansia –misalnya-, atau terputus pelirnya, maka si istri berhak mengajukan gugatan ke pengadilan demi meminta adanya pemisahan antara suami dan istri. Jika hal itu terbukti di sisi hakim dengan suatu metode diantara metode-metode pembuktian, maka suami diperintah untuk menalak istrinya. Jika ia tidak mentalaknya, maka suami diganti oleh hakim dalam sang istri demi mencegah madhorot yang akan menimpa istri. Talak ini merupakan talak ba'in shugro."[Lihat Fatawa Al-Azhar (10/89)]

Al-Imam Abdullah bin Mahmud bin Mawdud Al-Maushiliy Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata,

فإذاكان الزوج عنينا وخاصمته المرأة في ذلك أجّله القاضي سنة فإن وصل إليها، وإلا فرق بينهما إن طلب المرأة ذلك، لأن لها حقا في الوطء فلها المطالبة به ، ويجوز أن يكون ذلك لمرض ، ويحتمل أن يكون لآفة أصلية فجعلت السنة معرفة لذلك لاشتمالها على الفصول الأربعة ؛ فإن كان المرض من برودة أزاله حر الصيف ، وإن كان من رطوبة أزاله يبس الخريف ، وإن كان من حرارة أزاله برد الشتاء ، وإن كان من يبس أزاله رطوبة الربيع على ما عليه العادة ، وروي ذلك عن عمر وعلي وابن مسعود رضي الله عنهم ، فإذا مضت السنة، ولم يصل إليها علم أنه لآفة أصلية فتخير

"Jika suami impoten, dan istri menggugatnya dalam hal itu, maka hakim memberi masa tempo kepada suami selama setahun. Jika ia telah sampai setahun. Jika ia sudah bisa berhubungan, (maka tidak dipisah). Namun jika tidak mampu, maka dipisah diantara keduanya, jika si istri meminta hal itu. Karena istri punya hak jimak, sehingga ia punya hak tuntutan dalam hal itu.

Impotensi tersebut boleh jadi karena penyakit. Mungkin juga karena gangguan alami, sehingga masa tempo setahun dijadikan sebagai tanda pengenal bagi hal itu, karena setahun itu mencakup empat musim. Jika penyakit impoten itu terjadi karena (pengaruh) dingin, maka ia akan dihilangkan oleh panasnya musim panas. Jika impoten karena kelembaban, maka ia dihilangkan oleh udara kering di musim gugur. Jika impotennya karena  panas, maka ia akan dihilangkan oleh dinginnya musim dingin. Jika impoten karena udara kering, maka ia akan dihilangkan dengan kelembaban musim semi sebagai biasanya. Hal itu (masa tenggang setahun) telah diriwayatkan dr Umar, Ali, Ibnu Mas'ud -radhiyallahu anhum-.

Jika telah lewat setahun, namun suami masih saja belum mampu berjimak dg istrinya, maka diketahuilah bahwa penyakit impotennya (lahir) karena gangguan pembawaan, sehingga si istri diberi pilihan (antara berpisah atau tidak)." [Lihat Al-Ikhtiyar li Ta'lil Al-Mukhtar (3/128-129)]

Syaikh Abdur Rohman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah- berkata,

وَإِذَا وَجَدَتْهُ عَنِيْناً: أُجِّلَ إِلَى سَنَةٍ، فَإِنْ مَضَتْ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ، فَلَهَا الْفَسْخُ

“Jika istri mendapati suaminya impoten, maka ditunda (diberi waktu kesempatan) satu tahun, jika telah berlalu dan suami masih impoten, maka istri berhak menuntut fasakh.”

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj diterangkan bahwa mereka yang terbiasa dengan ejakulasi dini haruslah berusaha untuk menjadi lebih baik. Karena pada hakikatnya ejakulasi dini adalah penyakit yang bisa disembuhkan. Entah dengan berolah raga ataupun mengatur pola makan dan lain sebagainya. Dengan demikian keutuhan rumah tangga masih layak dan bisa dipertahankan.

وخرج بهذه الخمسة غيرها كالعذيوط بكسر أوله المهمل وسكون ثانيه المعجم وفتح التحتية وضمها ويقال عذوط كعتور وهو فيهما من يحدث عند الجماع وفيه من ينزل قبل الايلاج فلاخيار به مطلقا على المعتمد وسكوتهما فى موضع على ان المرض المأيوس منه زواله ولايمكن معه الجماع فى معنى العنة انما هو لكون ذلك من طرق العنة فليس قسما خارجا عنها.  

Berbeda dengan kasus impoten (unnah) sebagai penyakit yang sangat susah sekali disembuhkan (المرض المأيوس منه زواله ) maka bagi seorang perempuan berhak mengundurkan diri sebagai seorang istri. Artinya jika ternyata seorang suami terbukti impoten maka seorang istri berhak memilih antara meneruskan perkawinannya atau membatalkannya. Akan tetapi ada baiknya bagi istri bersabar barang setahun barangkali ada sebab gangguan psikologis dari organ lain yang diharapkan bisa sembuh.

Seperti kasus yang pernah terjadi pada zaman sahabat Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Al-baihaqy bahwa ada seorang wanita datang kepada Umar mengadukan bahwa suaminya tidak mampu melayani kebutuhan biologisnya. Kemudian Sayyidina Umar memberikan saran agar sang istri memberi waktu satu tahun, dengan harapan penyakit itu dapat disembuhkan. Akan tetapi setelah satu tahun, ternyata sang suami belum juga mampu melayani, dan sang istripun minta untuk diceraikan. Maka kemudian istri punya hak untuk minta cerai.

Air Hujan Untuk Mengobati Berbagai Penyakit Diantaranya Impotensi

Seiring dengan berkembangnya akhir zaman ini, banyak penyakit yang terkendala bagi ummat yang sulit untuk di obatinya. Biasanya penyakit tersebut terjadi pada umur telah berusia lanjut bahkan terkadang rilis bagi pemuda yang berusia muda. Hal ini bukan lain melainkan faktor yang paling banyak adalah disaat kita salah mengkonsumsi makanan yang telah berbaur dengan alat-alat pengawet. sehingga dengan inilah, menjadi efek mudahnya terkena penyakit yang telah beredar pada saat ini. Oleh sebab itu, Maka sedikit kami lansirkan referinsi serta terjemahan kitab yang menyatakan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit dan juga bisa bermanfaat bagi istri yang tidak hamil, lalu akan hamil setelah meminum air ini disertai tidur bersama suaminya, haraplah do'a pada Allah sesungguhnya Allahlah sebaik-baik pertolongan.

Diceritakan sebuah hadits dalam kitab An Nawaadir ; Dari Malaikat Jibril kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang obat super ampuh air hujan;

فائدة ; روي أنه صلى الله عليه وسلم قال: علمني جبريل دواء لا أحتاج معه إلى دواء ولا طبيب ، فقال أبو بكر وعمر وعثمان وعلي رضي الله عنهم ; وما هو يا رسول الله ؟ إن بنا حاجة إلى هذا الدواء . فقال ; يؤخذ شيئ من ماء المطر وتتلى عليه فاتحة الكتاب ، وسورة الإخلاص ، والفلق ، والناس ، وآية الكرسي ، كل واحدة سبعين مرة ويشرب غدوة وعشية سبعة أيام . فو الذي بعثني بالحق نبيا ، لقد قال لي جبريل ; إنه من شرب من هذا الماء رفع الله عن جسده كل داء وعافاه من جميع الأمراض والأوجاع ، ومن سقي منه امرأته ونام معها حملت بإذن الله تعالى “. ويشفي العينين ، ويزيل السحر ، يقطع البلغم ، ويزيل وجع الصدر والأسنان والتخم والعطش وحصر البول ، ولا يحتاج إلى حجامة ولا يحصى ما فيه من المنافع إلا الله تعالى ، وله ترجمة كبير اختصرناها، والله اعلم . ( كتاب النوادر للإمام القليوبي رحمه الله تعالى آمين ، ص ؛ ١٩٤ ).

Artinya: “Faedah”; Diriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda di hadapan para sahabatnya :
“Di ajarkan kepadaku oleh Malaikat Jibril tentang satu obat yang tidak memerlukan kepada obat yang lain dan tidak pula membutuhkan kepada para dokter.

Kemudian sahut Abu Bakar, Umar, Utsman, dan sahabat Ali radhiyallahu an’hum bertanya:
“Apa itu wahai Rasulullah? Sesungguhnya kami sangat membutuhkan obat itu ?”

Kemudian Rosulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata :
“Ambillah secukupnya dari air hujan, lalu bacakanlah surat Al-fatihah, surat Al-ikhlas, surat Al-falaq, surat An-nas dan Ayat Al-Kursi. Setiapnya (masing-masing) dibaca 70 kali, Dan diminum pada pagi dan petang selama tujuh hari.
Demi Dzat yang mengutuskanku dengan yang benar sebagai seorang nabi, kata Rasulullah : Sesungguhnya malaikat jibril telah menyatakan kepadaku:
Barang siapa yang meminum air ini niscaya Allah akan menghilangkan semua penyakit yang ada dalam tubuhnya dan menyembuhkan dari segala penyakit yang ada.

Dan barangsiapa yang memberi air itu untuk istrinya dan tidur bersama istrinya niscaya istrinya akan hamil dengan izin Allah swt.
Dan air tersebut juga dapat menyembuhkan dua mata yang sakit, menghilangkan penyakit sihir, dan menghilangkan dahak dan menghilangkan sakit dada, gigi, pencernaan, sembelit, dan kencing yang tidak lancar.
Dan juga tidak dibutuhkan kepada membekam, serta masih banyak faedah-faedahnya yang lain tidak terhingga kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengenai tentang keutamaan air tersebut ada satu tarjamah besar yang telah kami (mushannif) ringkas. Sesungguhnya Allah Subahanahu wa Ta’ala lah yang maha mengetahui…
(Kitab An-nawadir halaman 194 karya Syaikh Syihabuddin bin Salamah Al-qalyubi)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

1 komentar:

  1. I am typically to running a blog and i really recognize your content. The article has really peaks my interest. I'm going to bookmark your site and maintain checking for new information. best online casinos

    BalasHapus