Kamis, 06 September 2018

Hukum Oral Seks Dalam Islam

Sebelumnya mohon maaf kepada semua pembaca jika dalam pembahasan topik ini dan semisalnya didapatkan kata, kalimat atau ungkapan yang vulgar terkait aurot. Dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat tentu hal demikian tidak terpuji, namun dalam pembahasan hukum Syara’ tindakan tersebut bahkan diperlukan untuk menghindari keambiguan dan ketidak jelas hukum. Sejumlah ulama besar yang terhormatpun melakukannya. Misalnya Imam Malik, diriwayatkan beliau berkata;

كشاف القناع عن متن الإقناع (17/ 409)

وَقَالَ ) الْإِمَامُ ( مَالِكُ ) بْنُ أَنَسٍ ( لَا بَأْسَ بِالنَّخْرِ عِنْدَ الْجِمَاعِ

“Imam Malik berkata; Tidak mengapa desahan/lenguhan panjang saat Jimak (Kassyaf Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’,vol.18 hlm 409) ”

Imam Malik dengan segala kehormatan dan reputasi beliau sebagai Ulama panutan, tidak perlu merasa jatuh kehormatannya ketika berbicara tentang fikih hubungan suami istri sampai urusan yang sedetail ini. Desahan, jeritan tertahan, rintihan, lenguhan panjang dan yang semakna dengannya memang termasuk persoalan cabang dalam Fikih hubungan suami istri dalam Islam, dan beliau menyebutnya dengan lugas karena memang diperlukan untuk penjelasan hukum fikih.

Demikian pula Abu Hanifah. As-Syarbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj mengutip riwayat dialog antara Abu Hanifah dengan muridnya Abu Yusuf;

مغني المحتاج (12/ 68)

سَأَلَ أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنْ مَسِّ الرَّجُلِ فَرْجَ زَوْجَتِهِ وَعَكْسِهِ ، فَقَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ أَجْرُهُمَا

“Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang lelaki yang menyentuh (untuk merangsang) kemaluan istrinya dan sebaliknya. Abu Hanifah menjawab; Tidak mengapa, dan saya berharap pahala keduanya besar” (Mughni Al-Muhtaj, vol.12 hlm 68)

Demkian pula Mujahid ketika merekomendasikan bagaimana contoh cara bersenang-senang dengan istri saat istri dalam kondisi Haid. At-Thabari meriwayatkan;

تفسير الطبري (4/ 380)

عن ليث قال: تذاكرنا عند مجاهد الرجل يلاعب امرأته وهي حائض، قال:اطعن بذكرك حيث شئت فيما بين الفخذين والأليتين والسرة، ما لم يكن في الدبر أو الحيض

“Dari Laits beliau berkata; kami berdiskusi di dekat Mujahid tentang seorang lelaki yang mencumbu istrinya saat Haid. Mujahid berkata; “Tusukkan penismu di manapun yang engkau kehendaki diantara dua paha, dua pantat, dan pusar. Selama tidak di anus atau saat Haid” (tasfir At-Thobari, vol; 4 hlm 380)

Demikian pula As-Suyuthi yang disebut  mengarang kitab Fikih Jimak yang berjudul نواضر الأيك في معرفة النيك.  Di dalamnya, beliau berbicara begitu detail sampai tataran praktis dalam hal rekomendasi posisi, gerakan, tehnik mencapai puncak dsb. Judul yang beliau ambil saja memakai istilah An-Naik. An-Naik dalam bahasa Arab termasuk kata yang paling vulgar untuk menyebut hubungan suami istri. Jika bahasa indonesia punya kata-kata halus untuk berhubungan suami istri seperti bercinta, berhubungan intim, ML (serapan dari bahasa inggris), maka An-Naik  dari segi kevulgaran setara dengan istilah senggama atau bersetubuh. Jadi kira-kira terjemahan judul beliau adalah “Hijaunya pepohonan untuk mengenal ilmu senggama”

Memang fikih harus jelas, lugas, exactly, dan tidak ambigu. Fikih harus hitam-putih karena berbicara halal-haram yang berkonsekuensi pahala dan dosa. Membahas masalah fikih dengan cara yang samar-samar bisa malah membuat timbulnya problem baru, kesalahfahaman, ketidakjelasan, salah konsep, salah penerapan, dan akibat-akibat negatif lainnya. Oleh kerena hal itu, dimohon para pembaca memahami alas fikir ini, sehingga bisa memaklumi jika dalam pembahasan yang menyentuh aurot seperti yang kita angkat pada topik ini, ditemukan ungkapan-ungkapan vulgar yang diperlukan untuk penjelasan hukum.

Oral seks yang  dilakukan pasangan sah secara Syar’i, hukumnya  Mubah tanpa ada keberatan baik  oral seks  yang berupa Fellatio maupun Cunnilungus, dilakukan untuk pemanasan sebelum berhubungan seks (foreplay), mencapai ejakulasi/orgasme, maupun sekedar kesenangan, selama kemaluan dibersihkan dari najis dan dalam pelaksanaan tidak sampai menelan benda najis secara sengaja. Semuanya dihukumi  mubah dan pasangan sah bisa memilih untuk melakukannya atau  tidak. Jika hal tersebut dipandang bagian kenikmatan, maka  silakan melakukan, tetapi jika  malah dipandang membuat tidak nyaman maka  silakan menghindari. Semuanya menjadi pilihan pasangan, karena hukum mubah bermakna kebebasan untuk memilih antara melakukan ataukah tidak.

Oral seks (الجنس الفموي/ الجنس عن طريق الفم/الجنس الشفوي/الجماع الفموي) adalah aktivitas  mencium,mengecup, menjilat, mengulum,  menghisap, dan mempermainkan kemaluan pasangan memakai mulut, lidah, gigi atau kerongkongan dengan tujuan merangsang atau mencapai klimaks (ejakulasi/orgasme). Dalam istilah kontemporer, aktivitas menghisap penis lelaki oleh seorang wanita disebut dengan istilah Fellatio sementara aktivitas menghisap clitoris wanita oleh seorang lelaki disebut dengan istilah Cunnilingus. Umumnya orang melakukan oral seks untuk kepentingan pemanasan (foreplay) sebelum berhubungan seksual, atau dinikmati sebagai  intercourse/senggama sebagai salah satu tehnik mencapai klimaks (ejakulasi atau orgasme).

Dalam kajian budaya, Romawi Kuno, Kristen, dan penduduk Sub Sahara Afrika menghindarinya karena dianggap tabu, kotor, menghambat perkembangbiakan, dan tidak natural. Taoisme menganggap oral seks malah dikaitkan dengan keyakinan spiritual membuat umur panjang. Adapun dalam budaya Barat saat ini, oral seks dianggap biasa dan secara luas dipraktekkan sebagaimana seks bebas yang juga dianggap biasa.

Oral seks dihukumi Mubah berdasarkan dua argumentasi berikut;

Pertama; Syara’ membolehkan Istimta’/الاستمتاع (bersenang-senang/berlezat-lezat/bernikmat-nikmat) kepada pasangan yang sah dalam bentuk  umum dan mutlak tanpa batasan, dan hanya dikecualikan dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan oleh Nash.

Dalil yang menunjukkan bolehnya Istimta’ secara mutlak tanpa batasan adalah Nash-Nash berikut;

{هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ} [البقرة: 187]

Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka (Al-Baqoroh; 187)

Dalam ayat di atas pasangan suami istri diumpamakan seperti pakaian. Suami menjadi pakaian istri dan istri menjadi pakaian suami. Ungkapan ini adalah kinayah intimnya relasi  suami istri dan kedekatannya yang maksimal sehingga bersenang-senang model apapun selama dalam batas-batas Syariat diizinkan. Suami boleh menikmati, bersenang-senang, dan berlezat-lezat dengan  istri dengan cara dan model apapun, sebagaimana istri boleh menikmati, bersenang-senang, dan berlezat-lezat dengan suami dengan cara dan model apapun.  Bersenang-senang itu tidak dibatasi hanya dalam Jimak saja, namun berlaku pula pada jenis menikmati tubuh yang lain. Jadi ayat ini menjadi dalil atas bolehnya Istimta’ pasangan suami istri yang bersifat umum dan mutlak tanpa batasan.

Secara khusus, Istimta’ berupa kontak seksual dibolehkan dengan gaya dan posisi apapun. Allah berfirman;

{نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ} [البقرة: 223]

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (Al-Baqoroh; 223)

Artinya, mensetubuhi istri  pada kemaluannya boleh dilakukan dengan cara apapun baik terlentang, miring, duduk, berdiri, bersujud, rukuk, dll. Ayat ini menegaskan kebolehan saling menikmati bagi suami istri dengan cara apapun yang diinginkan.

Dalam hadis riwayat Bukhari dijelaskan kebolehan Istimta’ dengan mencium mulut dan menghisap ludah istri. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (16/ 17)

مُحَارِبٌ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ تَزَوَّجْتُ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَزَوَّجْتَ فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا فَقَالَ مَا لَكَ وَلِلْعَذَارَى وَلِعَابِهَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَمْرِو بْنِ دِينَارٍ فَقَالَ عَمْرٌو سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَّا جَارِيَةً تُلَاعِبُهَا وَتُلَاعِبُكَ

Muharib berkata; Aku mendengar Jabir bin Abdullah radliallahu ‘anhuma berkata; aku telah menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya padaku: “siapa wanita yang kamu nikahi? Kujawab; aku menikahi seorang janda.” Beliau bersabda: “Kenapa tidak dengan seorang gadis, dengan segenap air ludahnya?” Lalu aku pun menuturkan hal itu pada Amru bin Dinar, lalu Amru berkata; Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda padaku: “(Kenapa bukan) wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu.” (H.R.Bukhari)

Ungkapan

“Kenapa tidak dengan seorang gadis, dengan segenap air ludahnya?”

Maknanya adalah mencium dan mengecup bibir istri sembari menghisap ludahnya dengan maksud bersenang-senang. Lafadz

“(Kenapa bukan) wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu.”

malah lebih umum lagi menjelaskan kebolahan bersenang-senang secara mutlak tanpa pembatasan. Karena lafadz “(Kenapa bukan) wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu.” Bisa diberlakukan pada jenis kontak fisik apapun yang bersifat bersenang-senang, sehingga mencakup  aktivitas memegang, meraba, mengelus, meremas,menggelitik, mengecup,  mencium, menjilat, menghisap, mengulum, menggigit ringan,  dan sebagainya. Karena itu Hadis ini menguatkan kebolehan Istimta’ secara mutlak tanpa batasan bagi suami istri.

Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakaukan Istimta’ saat Istrinya Haid dengan kontak kulit yang diungkapkan dalam riwayat dalam bentuk umum dan mutlak. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 499)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ

Dari ‘Aisyah berkata, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang Haid.” (H.R.Bukhari)

Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersenang-senang dengannya melalui kontak kulit tanpa menerangkan jenis kontak kulit apa yang terlarang. Hal ini menguatkan bahwa hukum asal Istimta’ bagi suami istri adalah mubah dengan cara apapun selama tidak ada dalil yang melarang.

Rekomendasi Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada lelaki yang ingin bersenang-senang dengan istri sementara istri dalam keadaan Haid lebih jelas lagi dalam menerangkan kebolehan Istimta’ secara mutlak. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – م (1/ 107)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إِذَا حَاضَتْ مِنْهُمُ امْرَأَةٌ أَخْرَجُوهَا مِنَ الْبَيْتِ وَلَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُشَارِبُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِى الْبَيْتِ فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ (وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِى الْمَحِيضِ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « جَامِعُوهُنَّ فِى الْبُيُوتِ وَاصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ غَيْرَ النِّكَاحِ »

Dari Anas bin Malik bahwa orang-orang Yahudi apabila seorang isteri mengalami Haid maka mereka mengeluarkannya dari rumah, dan tidak makan bersamanya, tidak minum bersamanya, dan tidak menggaulinya di rumah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai hal tersebut; kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang Haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu Haidh.” Hingga akhir ayat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bergaullah dengan mereka di rumah dan lakukan segala sesuatu selain bersenggama.” (H.R.Abu Dawud)

Lafadz

“lakukan segala sesuatu selain bersenggama”

menunjukkan izin tegas bersenang-senang secara umum dan mutlak dengan cara apapun yang inginkan. Lafadz ini bermakna kebolehan Istimta’ secara umum dan mutlak tanpa batasan dan hanya boleh dibatasi oleh dalil yang jelas yang menunjukkan pengecualian itu.

Di zaman shahabat, ada riwayat bagaimana Shahabat tidak mengingkari  Istimta’ yang dilakukan dengan mengulum dan menghisap payudara istri. Imam Malik meriwayatkan;

موطأ مالك (4/ 0)

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَإِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ

Dari Malik dari Yahya bin Sa’id berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al Asy’ari; “Saya pernahmenghisap payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam perutku?” Abu Musa menjawab; “Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahram kamu.” Abdullah bin Mas’ud pun berkata; “Lihatlah apa yang telah kamu fatwakan kepada lelaki ini! ” Abu Musa bertanya; “Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa penyusuan.” Kemudian Abu Musa berkata; “Janganlah kalian menanyakan suatu perkara kepadaku selama orang alim ini (Ibnu Mas’ud) masih berada di tengah-tengah kalian.” (H.R.Malik)

Semua riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Syara membolehkan Istimta’ bagi pasangan suami istri secara mutlak dan bersifat umum tanpa pembatasan. Kebolehan Istimta’ tersebut juga tidak membatasi apakah dilakukan dengan tangan, hidung, mulut, lidah, gigi, telinga, leher,  ,payudara, pantat,  betis, kaki dll. Oleh karena itu, kebolehan itu tidak boleh dibatasi kecuali dengan pembatasan yang dinyatakan oleh Nash. Artinya, Selama tidak ada Nash yang melarang, semua jenis cara Istimta’ diizinkan sehingga hukumnya mubah berdasarkan dalil umum kebolehan Istimta’ tersebut.

Pengecualian yang dinyatakan Nash atas kebolehan Istimta’ mutlak tersebut hanyalah dua cara; yakni mensetubuhi istri saat Haid dan mensetubuhi istri pada dubur/anusnya. Dalil yang menunjukkan haramnya mensetubuhi istri saat Haid adalah ayat berikut;

{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ} [البقرة: 222]

Mereka bertanya kepadamu tentang Haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu Haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  (Al-Baqoroh; 222)

Dalil haramnya mensetubuhi istri pada duburnya diantaranya adalah hadis berikut;

مسند أحمد (16/ 157)

عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا

Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di dubur.” (H.R.Ahmad)

Adapula larangan mensetubuhi istri dalam momen-momen tertentu seperti saat puasa Ramadhan dan saat Haji sebelum Tahallul.

Nash-Nash pengecualian ini saja yang layak dan boleh dijadikan pembatas keumuman dan kemutlakan kebolehan Istimta’. Selain selain hal-hal yang dinyatakn oleh Nash, maka Istimta’ kembali pada hukum umum kemubahannya dan tidak bisa diharamkan. Semua  jenis Istimta’ yang dilarang telah diterangkan oleh Syara’ dan tidak ada yang luput tidak diterangkan karena Islam sudah turun dengan sempurna dan Allah menegaskan bahwa tidak ada yang diluputkan dari penjelasan hukumnya. Allah berfirman;

{ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ } [الأنعام: 38]

Tiadalah Aku alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab  (Al-An’am; 38)

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan seluruh Nash-Nash yang dipaparkan sebelumnya tentang kebolehan Istimta’ secara mutlak, oral seks hukumnya mubah karena termasuk keumuman Istimta’ yang dimubahkan dan tidak termasuk pengertian mensetubuhi istri saat Haid atau mensetubuhi istri pada duburnya. Oral seks dengan maksud mencapai ejakulasi atau orgasme atau sekedar bersenang-senang hukumnya mubah berdasarkan keumuman mubahnya Istimta’.

Kedua (yakni argumentasi kedua mubahnya oral seks); Syara’ memerintahkan  mengawali Jimak dengan pemanasan (foreplay).

Dalam kitab-kitab fikih yang membahas adab Jimak, telah disepakati sunnahnya melakukan pemanasan sebelum melakukan kontak seksual. Pemanasan yang dimaksud di sini adalah aktivitas saling merangsang sebagai persiapan dan pengkondisian agar Jimak berlangsung dengan penuh kenikmatan dan menyenangkan.  Secara dalil, sebenarnya tidak ada dalil khusus yang Shahih dan Marfu’ yang memerintahkan dilakukan pemanasan sebelum Jima’. Namun secara fakta, pemanasan memang diperlukan karena jika diabaikan maka pihak wanita akan kesakitan dan merasa tidak nyaman padahal suami diperintahkan syara mempergauli istri dengan baik. Karena itu, sunnahnya pemanasan sebelum jimak termasuk keumuman perintah mempergauli istri dengan baik seperti dalam ayat;

{وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [النساء: 19]

Dan bergaullah dengan mereka ma’ruf (An-Nisa; 19)

Dan juga hadis’

سنن الترمذى – مكنز (14/ 53، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ

“Dari Aisyah; beliau berkata; Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik bagi istrinya (H.R.At-Tirmidzi)

Atsar yang ditemukan berkaitan sunnahnya foreplay ini, disebutkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Ibnu Qudamah menulis;

المغني (16/ 46)

 رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { لَا تُوَاقِعْهَا إلَّا وَقَدْ أَتَاهَا مِنْ الشَّهْوَةِ مِثْلُ مَا أَتَاك ، لِكَيْ لَا تَسْبِقَهَا بِالْفَرَاغِ .

“Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dari Nabi SAW bahwasanya beliau berkata; janganlah engkau menjimakinya kecuali  dia telah bangkit syahwatnya sebagaimana dirimu, agar engkau tidak mendahuluinya dalam klimaks”

Cara merangsang sebagai pemanasan sebelum Jimak ini tidak dibatasi dengan cara tertentu atau anggota badan tertentu. Oleh karena itu, mubah hukumnya merangsang dengan tangan, leher, payudara, punggung, betis, gesekan tubuh, termasuk mulut. Merangsang dengan mulut bisa dilakukan dengan mencium, mengecup lembut,  menghisap, mengulum, dan menjilat. Daerah yang menjadi obyek rangsangan mulut juga tidak dibatasi. Rangsangan dengan mulut boleh diterapkan pada bibir, leher, payudara, perut, pinggang, termasuk kemaluan. Dari sini, oral seks sebenarnya tidak ada bedanya dengan merangsang anggota tubuh yang lain memakai mulut. Oleh karena itu oral seks dari sisi ini, yakni disyariatkannya pemanasan sebelum Jimak, hukumnya mubah karena termasuk uslub (teknik) melaksanakan tuntunan syara, yakni melakukan foreplay sebelum berhubungan seks.

Catatan Kritis Terhadap Pendapat Yang Mengharamkan Oral Seks

Berikut ini akan dipaparkan sejumlah argumentasi yang dijadikan dasar untuk mengharamkan oral seks dengan disertai ulasan terhadap argumentasi tersebut.

Diantara argumentasi yang dipakai untuk mengharamkan oral seks adalah;

Pertama; Surat Al-Baqoroh ayat; 222. Allah berfirman;

{فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ} [البقرة: 222]

Apabila mereka telah Suci, maka campurilah mereka itu “Min Haitsu Amarokumullah”-dari sisi yang diperintahkan Allah- (Al-Baqoroh; 222)

Dari ayat diatas difahami bahwa Allah memerintahkan mensetubuhi istri ditempat yang diperintahkan, yaitu kemaluan. Oleh karena itu oral seks hukumnya haram karena mensetubuhi istri bukan pada tempat yang diperintahkan.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Makna lafadz  “Min Haitsu Amarokumullah” bukanlah perintah mensetubuhi istri pada kemaluannya. Artinya, tekanan makna dalam ayat ini bukan perintah mensetubuhi istri pada kemaluannya. Makna lafadz “Min Haitsu Amarokumullah” adalah; setubuhilah istri dalam kondisi yang suci, karena itulah kondisi yang diperintahkan Allah mengingat Allah hanya memperbolehkan mensetubuhi istri dalam kondisi suci dan melarang mensetubuhi istri dalam kondisi Haid. Konteks ayat tersebut yang berbicara tentang haramnya mensetubuhi istri saat Haid menguatkan pemaknaan ini. Apalagi lanjutan ayat berikutnya menerangkan bahwa Allah menyukai orang –orang yang bersuci. Jadi, pemaknaan lafadz “Min Haitsu Amarokumullah” lebih tepat difahami ; mensetubuhi istri saat suci, yakni berhenti dari Haid dan mandi Janabah. Lagi pula, seandainya tekanan maknanya adalah berbicara “lokasi” ditempatkannya kemaluan, seharusnya lafadznya Fii Haitsu, bukan “Min Haitsu Amarokumullah”. Penggunaan lafadz  Min Haitsu menunjukkan bahwa Syara tidak memaksudkan menekankan perintah menyetubuhi pada kemaluan istri, tapi tekanannya adalah pada kondisi istri, yaitu kondisi suci dari Haid. Dalam Tafsir Jalalain dinyatakan;

تفسير الجلالين (1/ 231)

مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ اللَّه” بِتَجَنُّبِهِ فِي الْحَيْض وَهُوَ الْقُبُل وَلَا تَعْدُوهُ إلَى غَيْره

“Min Haitsu Amarokumullah, yakni; dengan menjauhinya  saat Haid yakni pada kemaluannya dan jangan melampaui pada yang lebih dari itu (Tafsir Al-Jalalain; vol.1 hlm 231)

Al-Farro’ juga menyatakan dalam Ma’ani Al-Qur’an;

معانى القرآن للفراء (1/ 128)

{فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ} ولم يقل: فى حَيْثُ، وهو الفرج. وإنما قال: من حيث كما تقول للرجل: اِيت زيدا من مأتاه من الوجه الذى يؤتى منه.

“Fa’tuhunna Min Haitsu Amarokumullah. Allah tidak mengatakan Fi Haitsu yang bermakna farji/kemaluan tetapi mengatakan Min Haitsu seperti  ucapan Anda kepada seseorang; datangilah zaid dari waktu/tempat/hal kedatangannya, yakni dari sisi yang di didatangi darinya” (Ma’ani Al-Qur’an. Vol 1, hlm 128)

Lagipula, dengan asumsi bahwa penafsiran lafadz “Min Haitsu Amarokumullah”yang dimaknai perintah mensetubuhi pada kemaluan diterima, maka pemahaman  ini belum cukup untuk mengharamkan oral seks mengingat Istimta’ secara mutlak hukumnya Mubah sehingga para Fuqoha membolehkan usaha mencapai ejakulasi dengan paha, payudara, pantat atau kocokan tangan istri. Padahal seharusnya jika cara pemahaman seperti yang disebutkan dalam argumen pertama pendapat yang mengharamkan oral seks diikuti, seharusnya usaha mencapai ejakulasi dengan jepitan plus gesekan payudara, paha, dan pantat, atau kocokan tangan istri semuanya juga dihukumi haram karena bermakna mensetubuhi istri bukan pada “tempat yang diperintahkan Allah/kemaluannya”. Pemahaman ini tidak dapat diterima karena mencapai ejakulasi dengan jepitan payudara, paha, pantat, atau kocokan tangan istri semuanya dihukumi Mubah.

Kedua (yaitu argumentasi kedua yang dipakai pendapat yang mengharamkan oral seks); Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Aisyah tidak pernah saling melihat kemaluan sebagaimana dinyatakan dalam riwayat berikut;

سنن ابن ماجه (1/ 217)

عن عائشة : – قالت ما نظرت أو ما رأيت فرج رسول الله صلى الله عليه و سلم قط

“Dari Aisyah beliau berkata; Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sama sekali” (H.R.Ibnu Majah)

” ما أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم أحدا من نسائه إلا متقنعا، يرخي الثوب على رأسه، وما رأيته من رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا رآه مني “.

“Tidaklah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam menggauli seorangpun dari istri-istrinya kecuali dalam keadaan memakai selubung, beliau melabuhkan kain pada kepalanya. Dan aku tidak pernah melihat milik Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana beliau tidak pernah melihat milikku” (H.R.Abu as-Syaikh)

Oral seks jelas akan melihat kemaluan pasangan, dan ini bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sehingga dihukumi haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Riwayat diatas tidak bisa dijadikan dalil karena tidak shahih. Riwayat pertama Dhoif, karena salah satu perawinya Majhul (tidak dikenal) yaitu maula Aisyah, sementara riwayat kedua malah Maudhu (palsu) karena salah seorang perawinya yang bernama Muhammad bin Al-Qosim Al-Asadi adalah seorang pendusta.

Lagipula, riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat shahih yang menjelaskan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Aisyah mandi bersama dalam satu bejana. Bukhari meriwayatkan;

صحيح البخاري (1/ 499)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ

Dari ‘Aisyah berkata, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang Haid.” (H.R.Bukhari)

Ketiga; oral seks sama dengan menjimaki dubur wanita. Karena mensetubuhi dubur haram, maka oral seks juga haram karena bisa diqiyaskan.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Oral seks tidak bisa disamakan dengan mensetubuhi dubur karena mulut bukan dubur dan tidak bisa disamakan dengan dubur. Mulut adalah tempat masuk makanan, dubur untuk pelepasan. Mulut adalah tempat masuk makanan yang suci, sedangkan dubur adalah  tempat keluar benda najis

Lagipula, Qiyas yg Syar’i harus ada illat (penyebab hukum)nya. Illat pun juga harus Syar’i dan digali dari Nash, tidak boleh ditetapkan dengan akal. Larangan jimak dubur tidak ada Illatnya sama sekali sehingga tdk bisa diqiyaskan dengan yg lain.

Keempat; tidak ada riwayat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan para Shahabat melakukan oral seks sehingga oral seks termasuk bid’ah yang hukumnya haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Tidak adanya riwayat tidak bermakna tidak dilakukan. Karena riwayat tidak mungkin menampung semua kejadian hidup suatu generasi secara mendetail, apalagi hal-hal yang terlalu teknis yang sudah tercakup dalam pengertian Nash-Nash umum. Lagipula, tidak boleh memahami bahwa apa yang tidak dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat maka hal itu langsung dihukumi haram. Perbuatan baru tidak haram, selama masih tercakup dalam kandungan lafadz Nash yang dinyatakan dalam bentuk umum, mutlak dan garis-garis besar. Orang yang membiasakan membaca Quran setelah shalat shubuh misalnya, tidak boleh perbuatannya dihukumi haram dengan alasan tidak ada riwayat bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan shahabat melakukannya. Membiasakan membaca Al-Quran setelah shubuh diizinkan secara syar’i karena ada Nash yang memerintahkan membaca Al-Quran dalam bentuk umum dan mutlak yang tidak dibatasi waktunya. Latihan baris-berbaris dalam rangka persiapan jihad tidak bisa diharamkan dengan alasan tidak ada riwayat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat melakukan,  karena Nash yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan jihad dinyatakan dalam bentuk umum sehingga mencakup semua persiapan menuju ke arah sana. Demikianlah seterusnya. Abu Bakar menulis Quran dalam satu Mushaf, Utsman menyeragamkan mushaf dan memerintahkan  pembakaran semua mushaf selain mushaf utsmani, dll semua adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam namun diizinkan secara syar’i karena didasarkan oleh Nash-Nash yang dinyatakan secara umum dan mutlak.

Boleh jadi juga akan ditemukan kesulitan jika berusaha mencari riwayat lugas bagaimana generasi awal umat ini meremas payudara, menjilat ketiak, mengulum pubis dll karena hal ini terlalu teknis dan tidak perlu. Karena itu alasan bahwa tidak ditemukannya riwayat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat melakukan oral seks adalah alasan yang belum cukup kuat untuk mengharamkan oral seks.

Kelima; melakukan oral seks termasuk melampaui batas karena mencari pemuasan selain pada kemaluan istri atau budak sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat berikut;

{وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ } [المؤمنون: 5 – 7]

5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minun; 5-7)

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Ayat tersebut belum cukup dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan oral seks, karena maksud  ayat tersebut adalah celaan kapada orang yang mencari pemuasan dari selain istri, misalnya dengan cara berzina atau yang semakna dengannya. Adapun oral seks, aktivitas ini justru mencari pemuasan dari istri sehingga tercakup dalam pengertian menjaga kemaluan memakai istri yang didukung oleh Nash2 kebolehan Istimta’ yang bersifat mutlak tanpa pembatasan. Jika Istimta’ yang berupa Jimak diizinkan secara Syar’i,  maka Istimta’ dengan cara oral seks lebih utama dimubahkan karena oral seks lebih ringan daripada Jimak.

Keenam; oral seks itu menjijikkan,menghinakan manusia dan memalukan karena kotor dan  hewanpun tidak ada yang melakukan. Mulut adalah suci, yang digunakan untuk berdzikir dan membaca Al-Quran, sehingga tidak pantas dibuat mengulum dan menjilati kemaluan.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Alasan kotor, jijik, hina, tidak pantas dilakukan dan semisalnya adalah perasaan subyektif manusia yang tidak bisa dijadikan standar untuk menentukan status hukum syara. Perasaan jijik orang bisa saja berbeda-beda, tetapi hukum syara tetap satu. Biawak hukumnya halal, namun Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam merasa jijik sehingga tidak mau memakannya yang itu berbeda dengan Khalid yang sama sekali tidak merasa jijik sehingga memakannya. Air kencing unta barangkali sebagian orang merasa jijik meminumnya, namun sejumlah orang di zaman Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam meminumnya sebagai obat atas perintah Nabi. Wanita-wanita Anshor memandang jijik dan hina disetubuhi dengan gaya Doggy Style sehingga menolaknya, namun ternyata turun ayat yang mengoreksi bahwa gaya demikian boleh saja. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود (6/ 68)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَرًا وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ وَقَالَتْ إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ{ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ }أَيْ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata; sesungguhnya Ibnu Umar semoga Allah mengampuninya, ia telah silap. Sesungguhnya terdapat sebuah kampong anshar yang merupakan para penyembah berhala, hidup bersama kampong yahudi yang merupakan ahli kitab. Dan mereka memandang bahwa orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Dan mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang yahudi. Diantara keadaan ahli kitab adalah bahwa mereka tidak menggauli isteri mereka kecuali dengan satu cara yaitu dengan miring berhadapan, dan hal tersebut dipandang lebih menjaga rasa malu seorang wanita. Dan orang-orang anshar ini mengikuti perbuatan mereka dalam hal tersebut. Sementara orang-orang Quraisy menggauli isteri-isteri mereka dengan cara menelentangkan istri sesukanya dan menikmati mereka, dalam keadaan menghadap dan membelakangi serta dalam keadaan terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang diantara mereka menikahi seorang wanita anshar. Kemudian ia melakukan hal tersebut. Kemudian wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata; sesungguhnya kami didatangi dengan satu cara, maka lakukan hal tersebut, jika tidak maka jauhilah aku! akhirnya tersebarlah permasalahan mereka, dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. kemudian Allah ‘azza wajalla menurunkan ayat: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” Yakni dalam keadaan menghadap (saling berhadapan), membelakangi dan terlentang, yaitu pada tempat lahirnya anak (farj). (H.R. Abu Dawud)

Umar juga merasa tidak enak ketika menjimaki istrinya dari belakang sehingga berkonsultasi dengan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, namun ternyata Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam membolehkan. Ahmad meriwayatkan;

مسند أحمد (6/ 101)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا الَّذِي أَهْلَكَكَ قَالَ حَوَّلْتُ رَحْلِيَ الْبَارِحَةَ قَالَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ الْآيَةَ{ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ}أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata; Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata; “Wahai Rasulullah, aku telah binasa.” Beliau bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Umar menjawab; “Aku membalik tungganganku (yakni istriku) tadi malam.” Ibnu Abbas berkata; Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai itu. Ibnu Abbas melanjutkan; Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini: (Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki) (lalu beliau mengatakan): “Bagaimana saja kamu kehendaki, dari depan atau belakang tapi hindarilah dubur dan Haidl.” (H.R.Ahmad)

Alasan bahwa islam mencintai kebersihan, sementara oral seks itu kotor dan najis, juga kurang kuat, karena  peluang munculnya kotor saat bersenang-senang tidak  diharamkan dengan bukti foreplay yg mubah, padahal berpeluang mengeluarkan Madzi yang mengenai tubuh, bantal, selimut, kasur. dll.

Alasan  bahwa  lisan itu dipakai berdzikir dan membaca Al-Quran sehingga tidak layak berinteraksi dengan kemaluan juga kurang kuat, karena menghisap ketiak, payudara,pusar, punggung, telinga, dan mulut yang berpeluang gusinya berdarah hukumnya mubah.

Ringkasnya, perasaan manusia yang subyektif bukan standar halal-haram, dan tidak boleh dijadikan dalil untuk menentukan status keharaman sesuatu. Halal-haram hanya boleh ditetapkan dengan Nash, bukan perasaan subyektif manusia.

Statemen bahwa tidak ada hewan yang melakukan oral seks juga tidak benar, karena -dari sumber-sumber referensi dan realitas yang bisa disaksikan- kambing, primata, anjing hutan, kelelawar dan domba malakukan oral seks. Hanya saja oral seks yang dilakukan hewan bukan untuk bersenang-senang, namun pengkondisian aktivitas reproduksi biasa.

Ketujuh; Oral seks bisa membuat Madzi termakan, padahal memakan najis hukumnya haram. Jadi oral seks haram karena bisa membuat termakannya benda najis yang hukumnya haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Mengharamkan oral seks dengan alasan peluang tertelannya benda najis tidak bisa diterima, karena tidak pasti, tidak sengaja, bisa dimuntahkan, atau dilindungi dengan kondom. Seorang suami yang mencium dan menghisap mulut istrinya yang berpeluang keluarnya darah dari gusinya, tidak bisa dilarang  dan diharamkan dengan alasan peluang termakannya darah yang najis. Peluang darah tertelan adalah hal yang tidak pasti, tidak sengaja, dan bisa dimuntahkan, sehingga hal ini tidak bisa menjadi dalil haramnya ciuman.

Lagi  pula syara membedakan tubuh yg terkena najis dan tubuh yang telah disucikan. Tubuh yang  terkena najis haram dipakai untuk shalat, namun jika disucikan maka tidak lagi tercela. Tersentuhnya mulut oleh  najis tidak ada bedanya dengan tersentuhnya tangan atau anggota tubuh yang lain oleh Madzi.

Kedelapan; oral seks termasuk Tasyabbuh (menyerupai) orang Kafir sehingga hukumnya haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Menilai oral seks termasuk Tasyabbuh dengan orang Kafir sehingga hukumnya haram adalah penilaian yang belum bisa diterima karena maksud larangan Tasyabbuh adalah Tasyabbuh yang terkait dengan kekufuran, syiar dan adat-istiadat mereka yg bertentangan dengan Islam. Al-Ghazzi mendefinisikan Tasaybbuh dengan berkata;

“هو عبارة عن محاولة الإنسان أن يكون شبهَ المتشبَّه به وعلى هيئته وحليته ونعته وصفته، .(حسن التنبه لما ورد في التشبه (ق 2/2) (1/49).

Tasyabbuh adalah upaya seseorang agar menjadi mirip dengan yang ditiru dalam penampilan, perhiasan, sifat dan karakternya. (Husnu At-Tanabbuh Lima Waroda Fi At-Tasyabbuh, vol.1 hlm 49)

Jadi Tasyabbuh itu harus ada upaya/usaha sengaja untuk mengidentikkan diri dengan yang ditiru, bukan semata-mata melakukan perbuatan yang kebetulan sama. Fenomane fans-fans artis yang berusaha meniru gaya rambut, gaya berpakaian, gaya jalan, gaya berbicara artis yang diidolakan adalah contoh yang paling dekat dengan makna Tasyabbuh. Kesamaan melakukan perbuatan tidak bisa disebut Tasyabbuh jika tidak terealisasi sifat-sifat ini. Sistem Diwan dari Persia yang diadopsi Umar tidak bisa disebut Tasyabbuh dengan bangsa Persia yang Kafir karena tidak terkait kekufuran dan syiar-syiar yang bertentangan dengan islam. Terkait dengan hubungan seksual, yang tepat disebut Tasyabbuh adalah jika kaum muslimin ikut-ikutan bergaya seks bebas, merekam adegan intim, lalu menyebarkannya apalagi memkomersialkannya. Adapun oral seks, maka hal ini tidak termasuk ciri kekufuran suatu kaum, tetapi hanyalah teknik dan kreasi Istimta’, fore play, dan bersenang-senang.

Lagipula, Romawi Kuno, Kristen, dan penduduk Sub Sahara Afrika konon juga “mengharamkan” oral seks. Jika cara penarikan kesimpulan Tasyabbuh pendapat yang mengharomkan oral seks diikuti, maka mengharamkan oral seks juga bisa difahami Tasyabbuh kepada romawi kuno dan kristen yang Kafir yang hukumnya haram.

Kesembilan; oral seks menyerupai hewan, sehingga hkumnya haram

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Mengharamkan oral seks dengan alasan menyerupai hewan tidak bisa diterima, karena gaya bersetubuh dari belakang yang diistilahkan di zaman sekarang dengan nama Doggy Style hukumnya mubah dan dilakukan shahabat-Shahabat Muhajirin termasuk Umar, padahal Doggy Style jelas menyerupai anjing dalam bersetubuh. Larangan-larangan menyerupai hewan seperti dinyatakan dalam hadis-hadis berikut;

سنن أبى داود – م (1/ 322)

 عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوَطِّنَ الرَّجُلُ الْمَكَانَ فِى الْمَسْجِدِ كَمَا يُوَطِّنُ الْبَعِيرُ. هَذَا لَفْظُ قُتَيْبَةَ.

Dari Abdurrahman bin Syibl dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang (sujud dengan cepat) seperti burung gagak mematuk dan (menghamparkan lengan ketika sujud) seperti binatang buas yang sedang membentangkan kakinya dan melarang seseorang mengambil lokasi khusus di Masjid (untuk ibadatnya) sebagaimana unta menempati tempat berderumnya.” (H.R.Abu Dawud)

سنن ابن ماجه (3/ 139)

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَلِيُّ لَا تُقْعِ إِقْعَاءَ الْكَلْبِ

dari Ali ia berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hai Ali, janganlah duduk seperti duduknya anjing (dalam shalat). ” (H.R. Ibnu Majah)

صحيح البخاري (3/ 314)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Seimbanglah kalian salam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya.” (H.R.Bukhari)

صحيح مسلم (2/ 421)

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ اسْكُنُوا فِي الصَّلَاةِ

Dari Jabir bin Samurah dia berkata, “Mengapa aku melihat kalian mengangkat tangan kalian, seakan-akan ia adalah ekor kuda yang tidak bisa diam. Kalian tenanglah di dalam shalat.” (H.R.Muslim)

Semuanya terkait dengan perbuatan shalat, sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan perbuatan yang lain. Duduk seperti anjing saat buang air besar adalah alami dan hukumnya mubah, menderum seperti unta saat tiarap latihan militer demi kepentingan jihad juga mubah karena bagian dari persiapan Jihad.

Kesepuluh; oral seks itu tidak natural, menyimpang, keluar dari fitrah dan zalim sebagaimana orang makan pakai hidung, jadi hukumnya haram.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Oral seks tidak bisa disebut penyimpangan karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa itu penyimpangan. Malah Nash-Nash Istimta’ dan perintah foreplay membuat oral seks termasuk cakupan makna kebolehannya. Alasan bahwa hal  itu tdk natural/menyimpang dari  fitrah tidak punya batasan dan standar baku yg didukung/digali dari Nash, sehingga argumen ini hanyalah  penilaian subyektif perasaan. Sama seperti perasaan tidak natural saat bersetubuh dengan gaya doggy style.

Kesebelas; oral seks bertentangan dengan adab yang luhur dan akhlaq yang mulia sehingga hukumnya haram

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Alasan bahwa oral seks bertentangan dengan adab yang luhur dan akhlaq yang tinggi sulit ditemukan batasannya, karena jimak dari belakang misalnya, secara perasaan bertentangan dengan adab yang tinggi karena menyerupai hewan, akan tetapi ternyata Nash jelas membolehkannya. Jadi alasan ini tidak boleh dijadikan dalil mengharamkan oral seks.

Keduabelas;  oral seks tidak  menghasilkan anak, tidak sesuai dengan maksud penciptaan syahwat, dan bisa membinasakan spesies  manusia sehingga hukumnya haram

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Argumentasi bahwa oral seks haram karena tidak sesuai dengan maksud diciptakannya syahwat dan kecenderungan berhubungan seks, yaitu untuk melestarikan spesies manusia, maka argumen ini tidak bisa diterima karena syara’ memubahkan berhubungan seksual semata-mata untuk bersenang-senang  meski  tanpa maksud untuk memperoleh keturunan sebagaimana tampak pada hadis Azl berikut;

صحيح مسلم (7/ 315)

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ لِي جَارِيَةً هِيَ خَادِمُنَا وَسَانِيَتُنَا وَأَنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ فَقَالَ اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ

Dari Jabir bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam sambil bertanya; “Saya memiliki seorang budak perempuan yang bekerja melayani dan menyirami tanaman kami, saya sering mensetubuhinya, akan tetapi saya tidak ingin jika dia hamil.” Lantas beliau bersabda: “Jika kamu mau, lakukanlah azl/coitus interuptus/senggama terputus (H.R.Muslim)

Lelaki yang ingin mensetubuhi tetapi tidak ingin anak dalam hadis di atas jelas sekali tujuan persetubuhannya adalah sekedar berlezat-lezat dan bersenang-senang. Ternyata Nabi membolehkan, sehingga hadis ini menjadi dalil bahwa bersetubuh dengan maksud bersenang senang, termasuk oral seks dengan maksud bersenang-senang hukumnya mubah.

Lagipula, dalil keumuman bolehnya Istimta’ menunjukkan bahwa bersenang-senang suami istri tanpa niat punya anak hukumnya Mubah, sehingga oral seks termasuk di dalamnya. Fakta oral seks juga ada yang dimaksudkan hanya sebagai pemanasan sebelum berhubungan seksual sehingga argumen memusnahkan keturunan menjadi tidak relevan.

Ketigabelas; oral seks menimbulkan berbagai macam resiko penyakit seperti; herpes, kanker mulut, penyakit kulit, jamur pada vagina, kanker tenggorokan,hepatitis A/B/C, syphilis, Shigella, Campylobacter, Chlamydia, Gonorrhea dan aids. Jadi, hal oral seks bisa menimbulkan Dhoror dan Dhoror diharamkan oleh islam.

Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;

Peluang terjdinya Dhoror karena dilakukannya suatu perbuatan tidak bisa dijadikan dalil mengharomkan suatu perbuatan. Orang  naik sepeda motor, makan mie, dan makan sate bisa terkena resiko penyakit, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil haramnya naik sepeda, makan mie dan makan sate. Dhoror yang membuat suatu perbuatan diharamkan harus bersifat pasti dan langsung, bukan sesuatu yang tidak pasti dan tidak langsung. Persetubuhan normalpun juga mengandung resiko seperti otot tertarik, punggung terluka, luka bakar, leher terkilir, lutut atau siku tersentak, memar bahu, lutut bengkok, terkilir di pergelangan tangan, terkilir di pergelangan kaki, jari bengkok,lecet dan memar, sakit otot dan persendian, lecet pada organ genital, dehidrasi, infeksi saluran kencing, sakit punggung, kerusakan urat syaraf, penglihatan terganggu, serangan jantung, penis patah, memadamkan hasrat yang bersifat alami, organ-organ tubuh yang alami menjadi lemah, dan hal-hal yang tidak alami menjadi kuat, daya tahan tubuh melemah, semangat menurun, gerakan tubuh berkurang, perut menjadi besar dan hati melemah, proses pencernaan di dalamnya menjadi tidak baik, sel darah menjadi rusak, urat-urat menjadi lemah, proses penuaan menjadi lebih cepat, keceriaan dan kewibawaan wajah menghilang, pandangan mata melemah, rambut menjadi tipis dan mudah rontok, bahkan dapat menimbulkan kebotakan dan darah membeku, membahayakan urat syaraf, menimbulkan gemetar dan gerakan yang lemah, serta membahayakan dada dan paru-paru. Termasuk pula resiko diserangnya berbagai penyakit kelamin seperti Syphilis, Gonorhe & Chlamiydia, Herpes, Infeksi Jamur, Bisul Pada Alat Kelamin, Kutu Kelamin, Hpv, Pid, Bv, Vaginistis, Aids, Keputihan, Kondiloma Akuminata, dll.  Namun resiko-resiko ini tidak bisa dijadikan dalil haramnya bersetubuh bagi suami istri.

Dengan demikian, semua argumentasi pendapat yang mengharamkan oral seks perlu ditinjau ulang dengan ulasan-ulasan yang telah dipaparkan diatas.

Adapun pendapat yang memakruhkan oral seks, maka pendapat ini sulit diikuti karena tidak ada dalil yang mendasarinya. Dalil yang dipakai tidak lebih perasaan jijik terhadap oral seks yang dikombinasi dengan kenyataan tidak ditemukannya Nash lugas yang mengharamkan oral seks. Perasaan jijik tidak bisa dijadikan standar penetapan hukum karena bersifat relatif dan bukan dalil Syara’

Statemen-Statemen Ulama Salaf  Yang menunjukkan Bahwa Oral Seks Hukumnya Mubah

Terdapat sejumlah ulama yang membahas fikih hubungan suami istri dan menyatakan statemen yang bisa difahami bahwa oral seks menurut mereka hukumnya mubah. Diantara mereka adalah Ashbagh, salah seorang ulama bermadzhab maliki. Al-Qurthubi menyatakan;

تفسير القرطبي (12/ 232)

قال ابن العربي. وقد قال أصبغ من علمائنا: يجوز له أن يلحسه بلسانه

“Ibnu Al-‘Aroby berkata; Ashbagh salah satu ulama kami berkata; Boleh baginya (suami) menjilatnya (kemaluan istrinya) dengan lidahnya (Tafsir Al-Qurthubi,vol.12, hlm 232)

Termasuk pula Al-Milyabary. Beliau berkata dalam kitabnya Fathu Al-Mu’in;

فتح المعين (3/ 340)

يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها

“Boleh bagi suami menikmati semua jenis aktivitas menikmati dari istrinya selain lingkaran anusnya, meskipun (menikmati tersebut dilakukan) dengan menghisap Clitorisnya (Fathu Al-Mu’in, vol.3. hlm 340)

Diriwayatkan Imam Malik juga termasuk membolehkan. Ar-Ru’ainy berkata;

مواهب الجليل لشرح مختصر الخليل (5/ 23)

 روي عن مالك أنه قال لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع وزاد في رواية ويلحسه بلسانه

“Diriwayatkan dari Imam Malik bahwasanya beliau berkata; Tidak apa-apa melihat kemaluan saat Jimak” dan menambah dalam riwayat yang lain; serta menjilat kemaluan tersebut dengan lidahnya” (Mawahib Al-Jalil Li Syarhi Mukhtashor Al-Kholil, vol.5, hlm 23)

Termasuk pula Qodhi Iyadh. Al-Buhuti berkata;

كشاف القناع عن متن الإقناع (16/ 436)

قَالَ الْقَاضِي يَجُوزُ تَقْبِيلُ فَرْجِ الْمَرْأَةِ قَبْلَ الْجِمَاعِ

“Al-Qodhi (Iyadh) berkata; Boleh mencium vagina wanita sebelum Jimak” (Kassyaf Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vol 16 hlm 436)

Termasuk pula Al-Mirdawi, beliau berkata dalam Al-Inshof;

الإنصاف (8/ 27)

 ليس لها استدخال ذكر زوجها وهو نائم بلا إذنهولها لمسه وتقبيله بشهوة

“Tidak ada hak bagi istri memasukkan penis suaminya sementara suami dalam keadaan tidur tanpa izinnya, namun istri boleh merabanya dan menciumnya dengan syahwat” (Al-Inshof, vol 8 hlm 27)

Demikianlah hukum oral seks. Sejumlah ulama kontemporer juga berpendapat mubahnya oral seks seperti Sa’id Romadhon Al-Buthi , Ali Jumu’ah , Salman Audah, Ahmad Al-Kurdy, Abdullah Al-Faqih, Mas’ud Shobri, Sabri Abdur Rauf, dan Musa Hasan Mayan. As-Syafii dalam Al-Umm menyinggung juga masalah oral seks, namun masih sulit diidentifikasi sikap beliau dalam hal ini. Dalam Al Umm dinyatakan;

الأم (1/ 37)

وَلَا نُوجِبُ الْغُسْلَ إلَّا أَنْ يُغَيِّبَهُ في الْفَرْجِ نَفْسِهِ أو الدُّبُرِ فَأَمَّا الْفَمُ أو غَيْرُ ذلك من جَسَدِهَا فَلَا يُوجِبُ غُسْلًا إذَا لم يُنْزِلْ

“Kami tidak mewajibkan mandi kecuali dia memasukkan kemaluannya kedalam farji atau anus. Adapun (memasukkan penis ke dalam) mulut atau yang lainnya dari tubuh istri, maka hal itu tidak membuat wajib mandi jika tidak mengeluarkan mani (Al-Umm, vol 1, hlm 37)

Yang Perlu Diperhatikan Dalam Oral Seks

Orang yang melakukan oral, sebagian dari mereka, sudah banyak yang dalam kondisi ereksi atau tegang sehingga tidak jarang para pasangan suami-istri ini sudah mengeluarkan pelumas berupa cairan bening atau biasa disebut dengan istilah madzi.

Jika ditelisik lebih dalam, selain air kencing, ada tiga jenis air yang keluar dari kemaluan manusia. Pertama, air sperma (mani). Sperma bisa diidentifikasi dari salah satu beberapa cirinya, yaitu keluar dengan memancar dan tersendat, ada bau yang khas seperti adonan roti/kue, terasa nikmat saat air itu keluar.

Kedua, air wadi, yaitu air keruh, kental yang biasa keluar setelah orang mengeluarkan air kencing mungkin disebabkan faktor capai atau hal lain.

Ketiga, air madzi, yaitu air bening yang keluar dari kemaluan, baik dari seorang pria maupun wanita yang biasanya disebabkan karena faktor syahwat. Baik disebabkan karena membayangkan, melihat atau sedang pemanasan (foreplay).

Di antara semua air yang keluar tersebut hukumnya najis kecuali sperma. Seseorang yang mengeluarkan sperma, wajib mandi. Sedangkan wadi dan madzi hanya mewajibkan wudhu, tidak harus mandi, serta harus dibersihkan sebagaimana membersihkan najis seperti biasanya.

Bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan intim, tentu sangat kesulitan jika harus menghindari madzi ini. Karena madzi memang diciptakan Allah untuk melengkapi kegiatan jima' yang dilegalkan dalam syara' bagi pasangan yang sah. Ia menjadi pelumas untuk sebuah lancarnya hubungan senggama.

Padahal apabila kita melihat fiqih dasarnya, ada sebuah aturan bahwa seseorang tidak diperkenankan mengotori tubuh dengan najis tanpa ada alasan yang jelas, apalagi memasukkan najis tersebut ke dalam tubuh, tentu tidak diperbolehkan.

Madzi merupakan cairan najis. Ia berlaku hukum yang sama. Artinya tidak boleh sampai masuk ke dalam tubuh, termasuk masuk ke kelamin seorang istri. Tetapi karena hal ini sangat sulit dihindari, maka syara' memberikan toleransi sehingga madzi bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan suami-istri hukumnya dima'fu (diampuni).

ومحل طهارة المنى ان كان رأس الذكر والفرج الذى خرج منه المنى طاهرا والا كان متنجسا وحرم الجماع كالمستنجى بالحجر اذا خرج منه منى فانه يتنجس به نعم يعفى عمن ابتلى به بالنسبة للجماع إهـ


Artinya, “Tempat sucinya sperma itu jika memang kepala batang dzakar dan farji yang keluar murni berupa mani yang suci. Jika tidak murni suci, hukumnya (mani itu) najis dan haram bersenggama dengan kondisi seperti demikian sebagaimana orang orang istinja' dengan batu ketika air sperma keluar dari situ. Karena hal itu menjadikan najis. Iya, diampuni dari orang yang kesulitan menghindari hal tersebut dengan nisbat untuk jima',” (Lihat I'anatuth Thalibin, juz I, halaman 85).

Hukum ma'fu hanya mempunyai arti diampuni, tidak mengubah status najis menjadi suci. Maksudnya najis tetap najis, tidak bisa berubah menjadi suci. Madzi itu najis. Selamanya, hukum madzi tetap najis. Tidak bakal berubah menjadi suci. Hanya saja, bagi suami istri yang sedang bercinta, cairan ini diampuni. Sedangkan madzi jika dalam kondisi selain jima', hukumnya tetap najis.

Contoh, darah nyamuk yang sedikit itu hukumnya najis, tetapi dima'fu jika terkena tubuh atau pakaian. Ini dinisbatkan untuk shalat. Jadi orang yang tangannya terkena darah nyamuk, boleh langsung melaksanakan shalat tanpa harus membersihkan darah tersebut karena dima'fu.

Diampuninya darah pada tangan untuk shalat ini tidak berlaku apabila tangan yang terkena darah nyamuk kemudian dicelupkan ke dalam air satu gelas untuk kemudian diminum. Jika dicelupkan ke dalam air segelas, semua air dalam gelas menjadi najis. Ia dima'fu untuk shalat namun tidak dima'fu untuk diminum.

Kembali tentang pembahasan madzi. Madzi merupakan kebutuhan wajib bagi pasangan senggama dan sangat sulit menghindarinya. Oleh karena itu hukumnya dima'fu. Tetapi dima'funya ini tidak berlaku jika madzi masuk mulut bagi orang yang melakukan oral seks. Karena mulut itu bukan tujuan utama orang bercinta yang madzi tidak diciptakan untuk menjadi pelumas mulut, namun pelumas vagina.

Di sinilah alasan sebagian ulama yang tidak memperbolehkan oral seks itu karena hampir pasti akan ada pelumas yang masuk ke mulut. Ini tidak boleh.

Adapun ulama yang memperbolehkan oral seks, mereka tidak melihat dari sudut pandang najis tidaknya madzi. Mereka lebih melihat pada hukum dasar bahwa hal tersebut diperbolehkan tanpa memandang hukum madzi. Mungkin saja ada orang yang hubungan senggamanya kering sehingga ia tidak punya madzi. Jadi tidak mempunyai alasan untuk melarang hubungan oral seks.

Kesimpulannya, pertama, madzi atau air lubricant yang diproduksi tubuh hukumnya najis tetapi dima'fu jika masuk ke vagina istrinya karena hal ini sangat susah untuk dihindari.

Kedua, oral seks diperbolehkan namun tidak boleh mengabaikan hukum bahwa madzi atau cairan yang masuk ke mulut hukumnya adalah najis. Ia dima'fu jika masuk ke liang vagina saja. Jika masuk ke mulut, itu bukan keadaan yang sulit dihindari, maka hukumnya tetap najis tidak dima'fu.

Ketiga, pasangan yang ingin melakukan hubungan oral seks bisa memakai kondom yang suci supaya yang masuk ke mulut adalah benda suci. Jika tidak memakai kondom, apabila ada najis yang masuk ke mulut, harus segera dikeluarkan kembali, tidak boleh ditelan. Setelah itu mulutnya harus disucikan secepatnya dengan mekanisme pembersihan najis sebagaimana pada umumnya yaitu dengan berkumur dan lain sebagainya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar