Rabu, 05 September 2018

Hukum Seputar Masalah Haidh

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

اعلم ان باب الحيض من عويص الابواب ومما غلط فيه كثيرون من الكبار لدقة مسائله واعتنى به المحققون وأفردوه بالتصنيف في كتب مستقلة وافرد أبو الفرج الدارمي من أئمة العراقيين مسألة المتحيرة في مجلد ضخم ليس فيه الا مسألة المتحيرة وما يتعلق بها وأتي فيه بنفائس لم يسبق إليها وحقق أشياء مهمة من أحكامها

“Ketahuilah, bahwasannya permasalahan haidl termasuk masalah yang rumit. Dan termasuk di antara permasalahan dimana banyak orang besar telah tersalah di dalamnya, dikarenakan sulitnya permasalahan. Para peneliti (muhaqqiqiin) merasa perlu untuk menuliskannya dalam satu buku tersendiri untuk membahasnya. Abul-Faraj Ad-Daarimiy – salah seorang ulama ‘Iraq – telah menuliskannya dalam satu jilid yang besar dimana tidak ada permasalahan di dalamnya kecuali permasalahan yang membingungkan (bagi banyak orang) dan yang berkaitan dengannya. Beliau menyebutkan dalam kitab tersebut bermacam-macam permasalahan berharga yang belum pernah disebutkan sebelumnya serta melakukan penelitian sesuatu yang penting dari hukum-hukumnya [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 2/380, tahqiq : Muhammad Najiib Al-Muth’iy; Maktabah Al-Irsyaad].

Beliau rahimahullah melanjutkan :

ولا التفات إلى كراهة ذوى المهانة والبطالة فان مسائل الحيض يكثر الاحتياج إليها لعموم وقوعها.

وقد رأيت ما لا يحصي من المرات من يسأل من الرجال والنساء عن مسائل دقيقة وقعت فيه لا يهتدى إلى الجواب الصحيح فيها الا أفراد من الحذاق المعتنين بباب الحيض ومعلوم أن الحيض من الامور العامة المتكررة ويترتب عليه ما لا يحصي من الاحكام كالطهارة والصلاة والقراءة والصوم والاعتكاف والحج والبلوغ والوطئ والطلاق والخلع والايلاء وكفارة القتل وغيرها والعدة والاستبراء وغير ذلك من الاحكام فيجب الاعتناء بما هذه حاله

وقد قال الدارمي في كتاب المتحيرة : (الحيض كتاب ضائع لم يصنف فيه تصنيف يقوم بحقه ويشفي القلب). وانا أرجو من فضل الله تعالى ان ما أجمعه في هذا الشرح يقوم بحقه أكمل قيام وانه لا تقع مسألة الا وتوجد فيه نصا أو استنباطا لكن قد يخفى موضعها على من لا تكمل مطالعته وبالله التوفيق

“Tidak perlu perlu untuk ditengok kebencian orang-orang yang merendahkan dan menghalangi (pembahasan ini). Sesungguhnya permasalahan haidl banyak dibutuhkan karena kejadiannya telah umum menyebar.

Aku telah melihat, tidak terkira banyaknya orang-orang yang bertanya, baik laki-laki maupun wanita, atas permasalahan-permasalahan rumit yang ada padanya, dimana permasalahan itu tidak akan dapat dijawab dengan benar melainkan orang yang memang ahli dan memberikan perhatian kepada masalah haidl. Telah diketahui bahwa haildl merupakan perkara-perkara umum yang terjadi secara berulang, dan berpengaruh pada hukum-hukum yang tidak terhitung banyaknya seperti :thaharah (bersuci), shalat, membaca Al-Qur’an, puasa,i’tikaf, haji, masa baligh, jima’, thalaq, khulu’, iilaa’, kafarat pembunuhan, ‘iddah, istibraa’, dan hukum-hukum yang lainnya. Maka wajib bagi setiap orang untuk memberkan perhatian terhadap permasalahan ini.

Ad-Daarimiy telah berkata dalam kitab Al-Mutahayyirah : “Haidl adalah kitab yang hilang yang tidak ditulis di dalamnya satu tulisan yang dapat yang dapat menerangkannya dengan sebenar-benarnya dan melegakan hati”. Dan aku (An-Nawawi) berharap dari keutamaan Allah bahwa apa yang aku himpun dalam penjelasan ini (yaitu dalam kitab Al-Majmu’) dapat menjelaskan dengan sebenar-benarnya secara sempurna. Dan agar tidak ada satu masalah pun kecuali didapatkan nash atau kesimpulan hukum padanya. Akan tetapi terkadang satu permasalahan menjadi samar bagi orang yang tidak mengkajinya secara menyeluruh. Wabillaahit-taufiq” [idem, 2/381].

Definisi Haidl

1.    Definisi Secara Etimologis (Bahasa)

Al-Mawardi :

وَسُمِّيَ حَيْضًا لِسَيَلَانِهِ مِنْ رَحِمِ الْمَرْأَةِ ، مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِ : حَاضَ السَّبِيلُ ، وَفَاضَ إِذَا سَالَ..... الشَّرْعُ لَهُ بِسِتَّةِ أَسْمَاءٍ : الْحَيْضُ وَالطَّمْثُ وَالْعَرْكُ وَالضَّحِكُ وَالْإِكْبَارُ وَالْإِعْصَارُ

“Darah haidl dinamakan haidl, karema darah itu mengalir dari rahim wanita. Pengertian ini diambil dari perkataan : ‘haadlas-sailu idzaa faadla’ (banjir meluap)”…… Dan syara’ mempunyai enam nama untuk darah haidl, yaitu : al-haidlu, ath-thamtsu, al-‘arku, adl-dlahiku, al-ikbaaru, dan al-i’shaaru” [Al-Haawiy, 2/378-379; Daarul-Fikr – dengan peringkasan].

2.    Definisi Secara Terminologis (Syar’iy).

Al-Kasaaniy rahimahullah berkata :

اسم لدم خارج من الرحم لا يعقب الولادة مقدر بقدر معلوم في وقت معلوم

“Nama bagi darah yang keluar dari rahim wanita yang bukan disebabkan karena melahirkan, dengan dibatasi batas dan waktu tertentu” [Badaai’ush-Shanaai’ oleh ‘Alaauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kassaaniy, 1/39; Daarul-Kutub Al-‘Arabiy, Cet. 1].

Haidl merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah bagi seluruh kaum wanita, sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

فإن هذا أمر كتبه الله على بنات آدم

“Sesungguhnya perkara ini (haidl) telah dituliskan (ditetapkan) oleh Allah kepada anak-anak perempuan Adam” [HR. Al-Bukhari no. 294, Muslim no. 1213, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 4/344 no. 8725, dan yang lainnya].

Bahkan Hawaa’ ‘alaihas-salaam merupakan wanita pertama yang mengalami haidl sebagaimana disebutkan Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul-Bariy (1/400) dari Al-Haakim dan Ibnul-Mundzir dengan sanad shahih, bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata :

أن ابتداء الحيض كان على حواء بعد أن أهبطت من الجنة

“Sesungguhnya wanita pertama yang mengalami haidl adalah Hawaa’ seteah ia diturunkan dari surga”.

Haidl adalah Salah Satu Tanda Baligh Bagi Wanita

Para ulama telah ijma’ bahwasannya haidl merupakan tanda baligh bagi seorang wanita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

لا تقبل صلاة حائض إلا بخمار

“Tidak diterima shalat wanita yang telah mengalami haidl kecuali ia memakai khimar” [HR. Ahmad 6/259; hasan lighairihi – sebagaimana dijelaskan oleh Abu ‘Amr Dibyaan bin Muhammad Ad-Dibyaan dalam Al-Haidl wan-Nifaas,hal. 46-50]

Lamanya Waktu Haidl

Para ulama berbeda pendapat dalam banyak ragam perkataan. Pendapat yang rajih adalah tidak ada batas minimal dan maksimal bagi wanita yang haidl.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وأما الذين يقولون‏:‏ أكثر الحيض خمسة عشر، كما يقوله‏:‏ الشافعي وأحمد، ويقولون‏:‏ أقله يوم، كما يقوله الشافعي وأحمد‏.‏ أو لا حد له كما يقوله مالك، فهم يقولون‏:‏ لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه في هذا شيء، والمرجع في ذلك إلى العادة، كما قلنا‏.‏ واللّه أعلم‏.

“Baik ulama yang menyatakan bahwa batas waktu haidl paling lama adalah lima belas hari, sebagaimana pendapat Asy-Syafi’iy dan Ahmad, dan paling sedikit satu hari sebagaimana pendapat Asy-Syafi’iy dan Ahmad juga; atau tidak ada batas waktu tertentu seperti Maalik – semua mengakui bahwa tidak ada dalil yang datang dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat dalam hal ini. Sehingga dasar pertimbangan waktu haidl dikembalikan pada kebiasaan, seperti yang telah kami katakan. Wallaahu a’lam” [Majmu’ Fataawaa, 21/623].

Ketentuan di atas berlaku untuk wanita yang mempunyai kebiasaan tetap. Adapun yang kebiasaannya tidak tetap (karena kelainan atau penyakit), maka dia melakukan perbandingan. Maksudnya, jika kebiasaannya terdahulu dari waktu haidl adalah lima sampai tujuh hari dalam setiap bulannya, maka ia hitung masa haidlnya selama waktu itu dan selebihnya dihitung darah istihadlah. Ia mandi dan mengerjakan segala kewajibannya (shalat, puasa, dan yang lainnya) bersamaan dengan darah yang masih keluar. Berkenaan dengan ini terdapat hadits Ummu Salamah yang ia meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan wanita yang mengeluarkan darah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لتنظر عدة الليالي والأيام التي كانت تحيضهن من الشهر قبل أن يصيبها الذي أصابها فلتترك الصلاة قدر ذلك من الشهر فإذا بلغت ذلك فلتغتسل ثم تستثفر بثوب ثم تصلي

“Hendaklah ia menghitung malam-malam dan hari-hari dimana ia haidl di bulan sebelum ia tertimpa (kelainan/penyakit) yang menimpanya. Maka, ia tinggalkan shalat sebanyak hari di bulan tersebut. Apabila ia telah melampaui hitungan hari itu, hendaklah ia mandi dan kemudian mengencangkan pakaiannya, lalu ia melaksanakan shalat” [HR. Ahmad 6/320, shahih].

Dan bila hal itu terus berlanjut pada dirinya, sementara ia tidak memiliki kebiasaan tetap yang diketahui, maka haidlnya terhitung enam atau tujuh hari sesuai dengan kebiasaan kebanyakan wanita.

عن حمنة بنت جحش قالت : كنت أُسْتَحاضُ حيضةً كثيرة شديدة، فأتيت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم أستفتيه وأُخبره، فوجدته في بيت أختي زينب بنت جحش، فقلت: يا رسول اللّه؛ إني امرأةٌ أُستحاض حيضة كثيرة شديدة فما ترى فيها؟ قد منعتني الصلاة والصوم؟ فقال: "أنعت لك الكرسف فإِنّه يذهب الدّم" قالت: هو أكثر من ذلك قال: "فاتّخذي ثوباً" فقالت: هو أكثر من ذلك، إنما أثجُّ ثجّا، قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: "سآمرك بأمرين أيَّهما فعلت أجزأ عنك من الآخر، فإِن قويت عليهما فأنت أعلم" قال لها: "إنّما هذه ركضةٌ من ركضات الشّيطان فتحيّضي ستَّة أيَّامٍ أو سبعة أيَّامٍ في علم اللّه تعالى، ثمَّ اغتسلي، حتى إذا رأيت أنك قد طهرت واستنقأت فصلي ثلاثاً وعشرين ليلةً أو أربعاً وعشرين ليلةً وأيامها، وصومي؛ فإِن ذلك يجزيك، وكذلك فافعلي [في] كلِّ شهر كما تحيض النساء وكما يطهرن، ميقات حيضهنَّ وطهرهنَّ، ...

Dari Hamnah binti Jahsy, ia berkata : Aku pernah mengalami istihadlah yang banyak dan kencang (mengalir). Maka aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa dan mengkhabarkannya. Dan aku mendapati beliau di rumah saudara wanitaku, Zainab binti Jahsy. Lalu aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang ber-istihadlah banyak lagi kencang (mengalir). Apa pendapatmu mengenai hal ini ? (Perlu engkau ketahui) bahwa ia telah mencegahku untuk melakukan shalat dan puasa”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Gunakanlah kapas untukmu sebagai penghambat, karena hal itu menghilangkan darah”. Aku berkata : “Ia lebih banyak mengalir dari itu”. Beliau bersabda : “Ambillah secarik kain”. Aku berkata : “Ia bahkan lebih banyak mengalir dari itu”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Aku akan memerintahkanmu dua hal. Mana saja yang engkau lakukan dari itu, niscaya telah mencukupimu dari yang lain. Engkaulah yang lebih mengetahui jika engkau lakukan keduanya”. Beliau bersabda kepadanya (Hamnah) : “Sesungguhnya ia hanyalah satu gangguan dan gangguan-gangguan syaithan. Maka, bagimu haidl enam hari atau tujuh hari dalam ilmu Allah. Kemudian mandilah hingga engkau lihat bahwa engkau telah dalam keadaan suci dan bersih. Shalatlah dua puluh tiga atau dua puluh empat hari, dan juga berpuasalah. Sesungguhnya hal itu telah mencukupi bagimu. Begitu pula lakukanlah setiap bulan sebagaimana haidl dan sucinya wanita-wanita yang lain di waktu haidl dan sucinya…” [HR. Abu Dawud no. 287; Ahmad 6/381,439; At-Tirmidzi no. 128; Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 797; dan yang lainnya. Sanad hadits ini hasan].

Kendati demikian, di kalangan syafi’iyah sendiri terdapat perbedaan pendapat. Untuk itu baiklah disimak keterangan Imam Nawawi dalam karyanya Raudhotut Tholibin.

وأقل الحيض يوم وليلة على المذهب، وعليه التفريع. وأكثره خمسة عشر يوما. وغالبه ست أو سبع. وأقل الطهر بين حيضتين خمسة عشر يوما وغالبه تمام الشهر بعد الحيض، ولا حد لأكثره. ولو وجدنا امرأة تحيض على الاطراد أقل من يوم وليلة أو أكثر من خمسة عشر أو بطهر أقل من خمسة عشر، فثلاثة أوجه. الأصح لا عبرة به. والثاني يتبعه. والثالث إن وافق ذلك مذهب بعض السلف، أتبعناه. وإلا فلا

Haid paling sebentar hanya sehari semalam menurut ini Madzhab. Atas dasar pendapat ini persoalan bisa bercabang. Paling lama 15 hari. Lazimnya 6-7 hari. Masa suci antara satu dan haid lainnya, 15 hari. Biasanya masa suci sebulan penuh. Paling banyak, tiada batas. Kalau kita dapati seorang perempuan mengalami haid secara teratur kurang dari sehari semalam atau lebih dari 15 hari; atau perempuan yang suci kurang dari 15 hari, maka sekurangnya ada 3 pendapat berbeda di kalangan ulama. Pendapat pertama, tidak ada model pada kasus ini. Kedua, ia harus mengikuti pola siklus demikian. Ketiga, kalau pola ini sesuai dengan temuan sebagian madzhab ulama salaf, kita ikuti pola demikian. Kalau tidak sesuai, kita tidak terima pola demikian.

Iklim dingin dan panas juga memengaruhi siklus haid perempuan. Ini pula yang membuat penetapan bilangan hari-hari haid menjadi berbeda di kalangan ulama. Demikian diterangkan Imam Nawawi dalam Raudhohnya.

Imam Nawawi dalam Al-Majemuk, Syarah Muhadzdzab menyebutkan sejumlah pendapat ulama yang menyatakan bahwa haid perempuan paling lama 15. Ada lagi yang mengatakan, 17 hari. Ada lagi yang menyatakan, 20 hari.

Ibrahim Al-Baijuri dalam hasyiyatul Baijuri ala Fathil Qarib menyebutkan

قوله والمعتمد في ذلك الاستقراء أي المعول عليه في كون الأقل كذا والأكثر كذا والغالب كذا

Pendapat muktamad pada kasus haid ini harus dadasarkan pada metode istiqra, induktif dengan menarik prinsip umum dari banyak kasus. Artinya prinsip yang bisa dijadikan pedoman dalam menetapkan batas minimal, maksimal, hingga standar kelaziman haid.

Demikian disebutkan Abdurahman Zaidi dalam karyanya Al-Ijtihad bi Tahqiqil Manath wa Sulthonihi fil Fiqhil Islami, Kairo, Darul Hadits, Halaman 429.

اختلف الفقهاء في عدد أيام الحيض فقال مالك والشافعي: أكثره خمسة عشر يوما وقال أبو حنيفة: أكثره عشرة أيام. وليس في ذلك نص صريح يضبطه. والظاهر أن السبب لا يرجع إلى اختلاف الأدلة وإنما هو اختلاف عادات النساء في ذلك

Para ahli fiqih berbeda pendapat di dalam bilangan lamanya haid. Imam Malik dan imam Syafi’I menyebutkan 15 hari sebagai batasan maksimal. Sementara Imam Hanafi, 10 hari. Sementara tidak ada nash jelas yang menyebutkan ketentuan haid ini. yang jelas, sebab itu tidak bisa dipulangkan pada perbedaan dalil, tetapi pada perbedaan kebiasaan masing-masing perempuan.

وإضافة إلى هذا فإنه يمكن معرفة عادة المرأة عن طريق الاستعانة بالكشف الطبي، وما قيل في مسئلة الحيض يقال في مسئلة النفاس

Bersandar pada kaidah ini, bantuan keterangan ahli medis untuk mengetahui kebiasaan haid perempuan sangat dimungkinkan. Demikian halnya pada kasus haid, begitu juga pada kasus nifas.

وإذا كانت المسئلة لا ترجع إلى النصوص حقيقةـوإنستأنس بعضهم ببعضها ـ أمكن الاستعانة بما يقرره الأطباء في تحديد نوع الدم هل هو دم حيض أو استحاضة أو نفاس؟ وبهذا تنتهي مشكلة النساء وحيرتهن في هذا الموضوع

Bila masalah ini tidak bisa dirujuk pada nash secara hakiki-yang mana sebagian dari para ulama merasa nyaman pada sebagian nash-maka dimungkinkan bisa dibantu dengan ketetapan para dokter perihal batasan jenis darah apakah itu memang darah haid, istihadloh, atau nifas. Dengan ini, kesulitan dan kebimbangan perempuan pada isu ini selesai.

Menurut hemat kami, yang lebih pas penetapan jenis darah haid berikut penghitungannya mesti didasarkan pada riset kalangan medis. Mengingat tidak ada nash perihal ini, maka keterangan dokter yang bisa dipercaya akan sangat membantu kita dalam menetapkan apakah darah yang bersangkutan betul darah haid atau bukan.

Jadi, kalau kita memakai patokan sederhana Imam Syafi’i, haid paling lama 15 hari. Lebih dari itu dihukumi sebagai darah istikhadzoh atau darah haid yang tidak lazim dan yang bersangkutan wajib melakukan shalat kembali seperti biasa.

Namun penjelasan dari dokter atau bidan yang mengerti soal ini penting juga sebagai acuan. Pasalnya, makanan, cuaca, macam-macam bahan kimia sudah masuk ke dalam manusia sekarang ini. Itu semua tentu akan memengaruhi darah haid berikut siklus regulernya.

Permulaan dan Akhir Masa Haidl

1.    Permulaan haidl diketahui dengan keluarnya darah pada masa kemungkinan terjadinya haidl. Darah tersebut berwarna kehitaman, kental, dan bau.

عن فاطمة بنت أبي حبيش : أنها كانت تستحاض فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: "إذا كان دم الحيضة فإِنَّه دمٌ أسود يعرف، فإِذا كان ذلك فأمسكي عن الصَّلاة، فإِذا كان الآخر فتوضَّئي وصلِّي فإِنما هو عرقٌ".

Dari Faathimah binti Jahsy : Bahwasannya ia pernah mengalami istihadlah. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apabila darah haidl, maka darah itu warnanya hitam lagi diketahui (ciri-cirinya). Apabila memang seperti itu, hendaklah kamu menahan diri dari shalat. Namun jika yang lain (tidak seperti ciri-ciri darah haidl), maka berwudlulah dan shalatlah. Sesungguhnya ia hanyalah penyakit” [HR. Abu Dawud no. 286; An-Nasa’i no. 215, 362; Ibnu Hibban no. 1348; dan yang lainnya. Sanad hadits ini shahih].

2.    Akhir masa diketahui dengan berhentinya darah, keluar cairan berwarna kuning, dan keruh. Haidl benar-benar berakhir jika terjadi salah satu dari keadaan berikut :

a. Daerah sekitar rahim telah kering. Ini terbukti jika dimasukkan sesuatu ke dalam kemaluannya seperti kain atau kapas, ketika dikeluarkan tetap kering.


b. Keluarnya cairan putih setelah darah haidl berhenti.


Ini berdasarkan dari ‘Alqamah bin Abi ‘Alqamah, dari ibunya, Marjanah maula ‘Aisyah, ia berkata :

كانت النساء يبعثن إلى عائشة بالدرجة فيها الكرسف فيه الصفرة فتقول لا تعجلن حتى ترون القصة البيضاء

“Kaum wanita membawa dirajah (sejenis tas tangan) yang di dalamnya ada kapas berwarna kuning. Lalu ‘Aisyah berkata : ‘Janganlah kalian terburu-buru hingga kalian melihat cairan berwarna putih” [HR. Malik 1/334-335 no. 135 dan Al-Bukhari secara mu’allaq sebagaimana terdapat dalam Mukhtashar Shahih Al-Bukhari 1/119; shahih lighairihi].

Hukum Cairan Berwarna Kuning dan Keruh yang Keluar Setelah Bersuci dari Haidl

Cairan kuning keruh adalah cairan yang nampak seperti nanah yang didominasi warna kuning. Apabila seorang wanita melihat cairan ini setelah darah haidl berhenti atau kering, maka tidak dianggap sebagai darah haidl. Dia tetap suci sehingga ia tetap wajib mengerjakan shalat, puasa, dan boleh melakukan jima’.

عن أم عطية، قالت : كنّا لا نَعُـَدُّ الكدرة والصُّفرة بعد الطهر شيئاً.

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata : “Kami tidak menghitung/menganggap cairan keruh berwarna kuning setelah suci sebagai apapun” [HR. Abu Dawud no. 307, Ibnu Majah no. 647, dan An-Nasa’i no. 368; shahih].

Mandi Bagi Wanita yang Telah Selesai dari Haidl

1.    Hukum Mandi Haidl

Wajib hukumnya bagi wanita untuk mandi apabila ia telah bersih dari haidl. Allah ta’ala telah berfirman :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” [QS. Al-Baqarah : 222].

عن أم سلمة قالت : قال النبي صلى الله عليه وسلم : دعي قدر تلك الأيام والليالي التي كنت تحيضين فيها ثم اغتسلي واستثفري وصلي

Dari Ummu Salamah ia berkata : Telah bersabda Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tinggalkanlah sejumlah hari yang engkau mengalami haidl padanya, kemudian mandilah, kencangkanlah (pakaianmu), dan shalatlah”[HR. An-Nasa’i no. 354, Ibnu Majah no. 623, dan yang lainnya; shahih].

2.    Niat Merupakan Bagian Syarat Sahnya Mandi.

Allah ta’ala telah berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”[QS. Al-Bayyinah : 5].

Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Setiap  perbuatan hanyalah tergantung niatnya.  Dan sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan” [HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 1907, Abu Dawud no. 2201, At-Tirmidzi no. 1647, dan yang lainnya].

3.    Rukun Mandi Haidl

Rukun mandi haidl adalah niat dan membasahi seluruh badan, karena hakekat mandi wajib adalah menuangkan air ke seluruh bagian tubuh hingga mengenai rambut dan kulit. Tidak ada kewajiban lain selain itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada wanita yang bertanya apakah ia harus menguraikan rambutnya yang dikepang :

إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثلاث حثيات. ثم تفيضين عليك الماء فتطهري

"Cukuplah engkau mengguyurkan (air) di atas kepalamu sebanyak tiga kali guyuran, kemudian guyurkan air pada seluruh tubuhmu" [HR. Muslim no. 330, At-Tirmidzi no. 105, Ibnu Majah no. 603, Ibnu Khuzaimah no. 246, dan yang lainnya].

4.    Tata Cara (Kaifiyah) Mandi Haidl

Adapun tata cara mandi bagi wanita yang telah selesai dari haidl sama seperti mandi junub/janabah. Beberapa hadits yang menjelaskan diantaranya adalah :

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا اغتسل من الجنابة بدأ فغسل يديه ثم يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ثم يدخل أصابعه في الماء فيخلل بها أصول شعره ثم يصب على رأسه ثلاث غرف بيديه ثم يفيض الماء على جلده كله

Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamapabila mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan, dilanjutkan dengan wudlu seperti wudlu untuk shalat. Setelah itu, beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air lalu membasahi pangkal rambut. Beliau melanjutkan dengan menuangkan air pada kepala tiga kali, lalu membasahi seluruh kulit (tubuhnya)” [HR. Al-Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316].

عن ميمونة قالت أدنيت لرسول الله صلى الله عليه وسلم غسله من الجنابة فغسل كفيه مرتين أو ثلاثا ثم أدخل يده في الإناء ثم أفرغ به على فرجه وغسله بشماله ثم ضرب بشماله الأرض فدلكها دلكا شديدا ثم توضأ وضوءه للصلاة ثم أفرغ على رأسه ثلاث حفنات ملء كفه ثم غسل سائر جسده ثم تنحى عن مقامه ذلك فغسل رجليه ثم أتيته بالمنديل فرده

Dari Maimunah ia berkata : “Aku pernah berada di dekat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mandi junub. Beliau membasuh kedua telapak tangannya dua atau tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana (untuk mengambil air), lalu beliau tuangkan air itu ke kemaluannya dan mencucinya dengan tangan kirinya. Setelah itu, beliau memukulkan tangan kirinya ke tanah dan menggosoknya dengan sungguh-sungguh. Kemudian beliau wudlu seperti wudlunya untuk shalat. Lalu beliau tuangkan air ke kepalanya tga kali ciduk, dan diteruskan menyiramkan air ke seluruh tubuhnya. Masing-masing ciduk sepenuh dua telapak tangannya. Kemudian beliau bergeser dari tempatnya itu. Lalu beliau membasuh kedua kakinya. Kemudian aku memberi beliau sapu tangan/handuk (untuk mengelap air), namun beliau menolaknya” [HR. Al-Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317].

عن إبراهيم بن المهاجر؛ قال : سمعت صفية تحدث عن عائشة؛ أن أسماء سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن غسل المحيض؟ فقال "تأخذ إحداكن ماءها وسدرتها فتطهر [فتطّهّر؟؟]. فتحسن الطهور. ثم تصب على رأسها فتدلكه دلكا شديدا. حتى تبلغ شؤون رأسها. ثم تصب عليها الماء. ثم تأخذ فرصة ممسكة فتطهر بها" فقالت أسماء: وكيف تطهر بها؟ فقال "سبحان الله! تطهرين بها" فقالت عائشة (كأنها تخفي ذلك) تتبعين أثر الدم. وسألته عن غسل الجنابة؟ فقال "تأخذ ماء فتطهر، فتحسن الطهور. أو تبلغ الطهور. ثم تصب على رأسها فتدلكه. حتى تبلغ شؤون رأسها. ثم تفيض عليها الماء". فقالت عائشة: نعم النساء نساء الأنصار! لم يكن يمنعهن الحياء أن يتفقهن في الدين.

Dari Ibrahim bin Al-Kuhaajir ia berkata : Aku mendengar Shafiyyah menceritakan hadits dari ‘Aisyah : Bahwasannya Asma’ pernah bertanya kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi haidl. Maka beliau menjawab : “Hendaknya dia mengambil mengambil air dan daun bidara. Lalu bersuci dan menyempurnakannya dan membaguskannya. Kemudian menyiram air di kepalanya, lalu dia menggosoknya dengan gosokan yang kuat hingga menyentuh kulit kepalanya. Lalu dia menuangkan air di kepalanya. Kemudian dia ambil kapas yang diberi minyak wangi, lalu dia bersuci dengan kapas itu”. Asmaa’ bertanya lagi : “Bagaimana aku bersuci dengan kapas itu ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Subhaanallaah, engkau pakai kapas itu untuk bersuci”. ‘Aisyah mengatakan : “(sepertinya dia merahasiakan hal itu). Kamu gunakan kapas itu untuk membersihkan bekas darah”. Asmaa’ bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamtentang mandi junub. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Engkau ambil air dan bersihkan diri sebaik-baiknya. Lalu engkau tuangkan air pada kepala dengan menggosoknya sampai kotoran hilang. Kemudian engkau tuangkan air lagi di atas kepala”. ‘Aisyah berkata : “Sebaik-baik wanita adalah wanita kaum Anshar. Malu tidak menghalanginya memahami agama” [HR. Muslim no. 245].

Dengan menggabungkan beberapa riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa cara mandi yang dianjurkan adalah seperti berikut :

a.      Membasuh kedua tangan tiga kali.

b.      Membasuh kemaluan dengan tangan kiri, tanpa harus memasukkan air ke dalam kemaluan.

c.      Menggosok tangan kiri ke tanah/tembok.

d.      Berwudlu seperti wudlu untuk shalat. Akan tetapi boleh mengakhirkan basuhan pada kedua kaki hingga selesai mandi, jika menggunakan air dari bak atau semisalnya.

e.      Membasahi kepala tiga kali hingga mencapai pangkal rambut serta menggosoknya dengan kuat. Jika rambutnya dikepang, maka ia harus menguraikannya untuk memastikan bahwa air telah mencapai pangkal rambut. ‘Aisyahradliyallaahu ‘anhaa meriwayatkan bahwa ketika dia hendak mandi setelah haidl, maka Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :

انقضي شعرك واغتسلي

“Uraikan (kepangan) rambutmu, lalu mandilah”[HR. Ibnu Majah no. 641 dan Ibnu Abi Syaibah 1/78; shahih].

f.       Membasahi seluruh badan dengan memulai bagian kanan, dilanjutkan dengan bagian kiri.

كَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

"Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam menyenangi yang kanan dalam bersendal (sepatu), bersisir, bersuci dan dalam seluruh perkaranya".

Dianjurkan memakai sabun atau semisalnya ketika mandi.

g.      Seusai mandi, dianjurkan mengambil kapas atau kain yang telah diolesi minyak wangi untuk digunakan mengusap bekas darah sampai baunya hilang.

Catatan :

Cara mandi di atas hukumnya mustahab (dianjurkan/disukai), karena diambil dari gabungan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berkenaan dengannya. Namun jika ada seorang wanita yang mengikuti sebagian saja dari cara di atas, maka tetap sah – dengan syarat : ia harus membasahi seluruh badan (dan rambut)-nya dengan air. Artinya, jika ada seorang wanita mandi di bawah shower atau menyelam di dalam air, maka cara mandi seperti ini tetap diperbolehkan dan hukumnya sah.

5.    Apabila Seorang Wanita Junub, kemudian Mendapatkan Haidl, Berapa Mandi yang Wajib Baginya ?

Apabila wanita junub dan sebelum mandi dia mengalami haidl, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat. Jumhur ulama mengatakan sahnya mandi satu kali mandi setelah haidl dengan dua niat sekaligus (yaitu niat mandi junub dan mandi haidl), sebagaimana disebutkan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla(1/291) dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/220). Akan tetapi sebagian ulama lain seperti Jabir bin Zaid, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Ibrahim An-Nakha’iy, Al-Haakim bin ‘Utaibah, Thawus, ‘Atha’, ‘Amr bin Syu’aib, Az-Zuhri, dan Maimun bin Mihraan menyatakan wajibnya dua kali mandi (yaitu ia mandi junub, dan ketika selesai haidl, ia mandi lagi).

Yang rajih dalam hal ini adalah pendapat kedua yang mengatakan wajib dua kali mandi. Sebab, satu kewajiban tidaklah mengugurkan kewajiban yang lainnya sebagaimana kewajiban puasa kaffarat tidaklah sah diniatkan juga untuk puasa qadla atau puasa nadzar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Setiap  perbuatan hanyalah tergantung niatnya.  Dan sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan” [HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 1907, Abu Dawud no. 2201, At-Tirmidzi no. 1647, dan yang lainnya].

6.    Jika terjadi sesuatu yang membatalkan wudlu saat mandi haidl, maka tidak wajib mengulangi mandi, melainkan melanjutkan mandi hingga selesai. Dia hanya wajib wudlu setelah selesai mandi. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Alasannya, karena hadats tidak membatalkan mandi, sehingga keberadaannya tidak berpengaruh. Sama seperti tidak terjadi hadats [lihat Al-Mughni 1/290].

7.    Apabila wanita merasa telah suci dari haidl, namun ia tidak mendapatkan air untuk mandi, maka dia diperbolehkan untuk tayamum dan berhubungan badan (jima’) dengan suaminya. Ini merupakan pendapat kebanyakan ulama [lihat Majmu’ Al-Fataawaa1/625, Al-Muhalla 2/171, Syarh Shahih Muslim 1/593, dan Jaami’ Ahkaamin-Nisaa’ 1/152.

Darah yang Mengalir/Keluar dari Kemaluan Saat Hamil : Dihukumi Haidl ?

Para ulama berbeda pendapat mengenai darah yang keluar selama masa kehamilan. Ada dua pendapat mengenai hal ini :

1.    Darah yang muncul saat masa kehamilan dihukumi sebagai darah haidl yang mewajibkan untuk meninggalkan shalat.

Ini merupakan pendapat madzhab Malikiyyah dan Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-jadiid, bahkan ini yang mu’tamad dalam madzhabnya. Telah diriwayatkan dari Az-Zuhriy, Qatadah, Al-Laits, dan Ishaaq. Ibnu Qudamah menegaskan bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang shahih dari ‘Aisyah. Ini juga merupakan pendapat Yahya bin Sa’iid, Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman, dan Ibnu Abi Salamah.

2.    Darah yang muncul di masa kehamilan bukanlah darah haidl, namun ia hanyalah darah rusak, sehingga wanita tersebut tidak boleh meninggalkan shalat.

Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyyah dan Hanabilah. Telah diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Tsaubaan; dan hal itu merupakan perkataan jumhur tabi’in, diantaranya : Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Atha’, Al-Hasan, Jaabir bin Zaid, ‘Ikrimah, Muhammad bin Al-Munkadir, Asy-Sya’biy, Mak-huul, Hammaad, Ats-Tsauriy, Al-Auza’iy, Abu Tsaur, Sulaiman bin Yasaar, dan ‘Ubaidillah bin Al-Hasan.

Yang rajih dari dua pendapat di atas adalah pendapat yang kedua, dengan dalil diantaranya :

a.    Hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا توطأ حاملٌ حتى تضع، ولا غير ذات حملٍ حتى تحيض حيضةً

“Wanita hamil tidak boleh dikumpuli/digauli hingga ia melahirkan; dan tidak pula wanita yang tidak hamil hingga dia haidl sekali” [HR. Abu Dawud no. 2157, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 9/124, Ad-Daarimiy no. 2341, dan yang lainnya; shahih lighairihi].

Adanya haidl menjadi indikasi atas bersihnya rahim dimana semua itu menunjukkan bahwa kehamilan tidak bisa bersatu dengan haidl.

b.    Hadits Salim dari bapaknya, bahwa bapaknya (Ibnu ‘Umar) telah menceraikan istrinya dalam keadaan haidl. Lalu ‘Umar bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau bersabda :

مره فليراجعها. ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا

“Perintahkanlah ia untuk merujuknya, kemudian agar ia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil” [HR. Muslim no. 1471 dan Ahmad 2/58].

Hamil telah dijadikan indikasi atas tidak adanya haidl, sebagaimana suci dijadikan indikasi haidl. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata :

فأقام الطهر مقام الحمل". والله عز وجل يقول: ﴿ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ ﴾ [الطلاق: من الآية : 1]. أي بالطهر في غير جماع

“Kedudukan suci menempati kedudukan kehamilan. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman : ‘Maka hendaklah kalian menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar)’ (QS. Ath-Thalaq : 1). Yaitu : dalam keadaan suci sebelum dicampuri” [lihat Tafsi Ath-Thabari, 23/432].

b)      Seorang suami boleh tetap bermesraan dengan istrinya dengan mencumbuinya, asalkan tidak melakukan jima’ pada kemaluannya.

قال مسروق لعائشة : إني أريد أن أسألك عن شيء وأنا أستحيي! فقالت: إنما أنا أمُّك، وأنت ابني! فقال : ما للرجل من امرأته وهي حائض؟ قالت له: كل شيء إلا فرجها.

Masruq pernah berkata kepada ‘Aisyah : “Sesungguhnya aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu, namun aku malu”. ‘Aisyah berkata : “Tidak perlu malu, karena aku adalah ibumu dan engkau adalah anakku”. Masruq berkata : “Apa yang boleh dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haidl ?”. ‘Aisyah menjawab : “Dia boleh melakukan apa saja selain pada kemaluannya (jima’)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 4/378; dengan sanad shahih].

c)      Apabila wanita yang haidl telah suci, maka suami tidak boleh melakukan hubungan badan dengannya kecuali setelah istrinya mandi.

Allah ta’ala telah berfirman :

وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” [QS. Al-Baqarah : 222].

عن مجاهد قال : للنساء طهران طهر قوله : حتى يطهرن. يقول إذا تطهرن من الدم قبل أن يغتسلن وقوله : فإذا تطهرن. أي إذا اغتسلن ولا تحل لزوجها حتى تغتسل .يقول : فأتوهن من حيث أمركم الله. من حيث يخرج الدم فإن لم يأتها من حيث أمر فليس من التوابين ولا من المتطهرين

Dari Mujaahid, ia berkata : “Bagi wanita, mereka memiliki dua bentuk kesucian. Pertama, kesucian yang dinyatakan dalam firman Allah ta’ala : ‘hatta yathhurna’, yaitu jika mereka suci dari darah haidl sebelum mereka mandi. (Dan kesucian yang kedua) adalah seperti dalam firman Allah ta’ala :‘faidzaa tathahharna’, yaitu apabila mereka telah mandi. Dan tidak dihalalkan bagi suaminya untuk menggaulinya hingga ia mandi. Allah ta’alaberfirman : ‘fa’tuuhunna min haitsu amarakumullah’, yaitu dari tempat keluarnya darah, sehingga jika suami tidak menggaulinya di tempat yang diperintahkan Allah itu, maka ia tidak termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang membersihkan diri” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq no. 1272; shahih].

d)      Jika seorang suami muslim mempunyai istri dari kalangan Ahli-Kitab, maka ia (istri) harus dipaksa mandi (setelah suci dari haidl) agar halal untuk digauli, karena ayat Al-Qur’an di atas tidak mengkhususkan perintahnya hanya untuk wanita muslimah saja [lihat Tafsir Al-Qurthubi, 3/90].

4.    Thawaf

Ijma’ ulama menyatakan bahwa wanita yang haidl diharamkan melakukan thawaf. Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa ia mengalami haidl saat hendak melaksanakan ibadah haji. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

افعلي كما يفعل الحاج، غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري

“Lakukan semua amalan yang dikerjakan oleh orang yang melaksanakan ibadah haji. Hanya saja engkau tidak boleh thawaf di sekitar Ka’bah, hingga engkau suci” [HR. Al-Bukhari 1650].

5.    Menyentuh dan Membawa Al-Qur’an.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا يمس القرآن إلا طاهر

“Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci” [HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir; shahih, lihat Irwaaul-Ghaliil no. 122].

Sisi pendalilannya adalah : Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci. Dan yang dimaksud dengan hal itu adalah suci dari hadats, termasuk dalam hal ini haidl. Pendapat ini yang beredar di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum. Mereka tidak berselisih pendapat mengenai itu. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’(2/85) dan Ibnu Taimiyyah dalam Al-Fatawaa (26/179-180).

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وأما الجنب والحائض فإنه يحرم عليهما قراءة القرآن سواء كان آية أو أقل منها ويجوز لهما إجراء القرآن على قلبهما من غير تلفظ به

“Ada pun junub dan haid, maka keduanya diharamkan membaca Al Quran, sama saja apakah yang dibacanya hanya satu ayat atau lebih sedikit. Dibolehkan bagi keduanya membacanya dalam hati tanpa dilafazkan.” (At Tibyan, Hal. 74)

Beliau juga mengatakan, dibolehkan membacaInna lillahi wa inna ilaihi raji’un, selama tidak dimaksudkan sebagai Al Quran. Kalangan Syafi’iyah di Khurasan juga membolehkan membaca doa naik kendaraan: Subhanalladzi sakhara lana hadza .., juga doa: Rabbana atina fid dunya hasanah …, selama tidak dimaksudkan sebagai Al Quran. Imam Al Haramain mengatakan:“Membaca bismillahirrahmanirrahim jika dimaksudkan sebagai bagian dari  Al Quran maka  itu maksiat, jika tidak bermaksud apa-apa, maka tidak berdosa. “ (Ibid) Ini juga menjadi pendapat Syaikh Wahbah Az Zuhaili dan kalangan Hanafiyah.(Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/474. Al Maktabah Al Misykat)

Imam An Nawawi juga mengatakan dalam Al Majmu’:

مذهبنا أنه يحرم على الجنب والحائض قراءة القرآن قليلها وكثيرها حتى بعض آية؛ وبهذا قال أكثر العلماء كذا حكاه الخطابي وغيره عن الأكثرين، وحكاه أصحابنا عن عمر بن الخطاب وعلي وجابر رضي الله عنهم والحسن والزهري والنخعي وقتادة وأحمد وإسحاق.

“Madzhab kami adalah bahwa haram bagi orang junub dan haid membaca Al Quran sedikit dan banyak,  walau sebagian ayat. Ini juga pendapat kebanyakan ulama, demikianlah diceritakan pleh Al Khathabi dan selainnya dari banyak manusia. Para sahabat kami juga menceritakan dari Umar bin Al Khathab, Ali, Jabir –semoga Allah meridhai mereka-, Al Hasan, Az Zuhri, An Nakha’i, Qatadah, Ahmad, dan Ishaq.” (Al Majmu’ Syarh Al Muadzdzab, 2/127)

Disebutkan  dalam Tuhfah Al Wahdzi   , mengutip dari Imam Al Baihaqi, bahwa Umar bin Al KhathabRadhiallahu ‘Anhu ‘hanya’ memakruhkan saja, berikut teksnya:

وصح عن عمر أنه كان يكره أن يقرأ القرآن وهو جنب

“Telah shahih dari Umar bahwa Beliau memakruhkan membaca Al Quran dalam keadaan junub.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri,Tuhfah Al Wahdzi, 1/412. Cet. 1. 1963M-1383H. Maktabah As Salafiyah. Madinah)

Tetapi, ketika kami periksa langsung ke kitab As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi, tertulis Ibnu Umar, bukan Umar bin Al Khathab, dan juga MENYENTUH MUSHAF, bukan MEMBACA AL QURAN, dan juga WANITA HAID bukan  ORANG JUNUB. Berikut teksnya (perhatikan):

ويذكر عن بن عمر أنه كره للحائض مس المصحف

“Disebutkan dari Ibnu Umar bahwa Beliau memakruhkan wanita haid menyentuh Al Quran.”(As Sunan Al Kubra Al Baihaqi No. 1374. Begitu pula setelah dilihat di As Sunan Al Kubra Imam Al Baihaqi yang kami Download dari shamela.ws, juga seperti ini lafaznya. Lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi versi Syamilah, No. 1534)

Tentang larangan membaca Al Quran bagi orang yang junub dan haid, berkata Imam At TirmidziRahimahullah dalam Sunannya:

وهو قول أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم والتابعين ومن بعدهم، مثل: سفيان الثوري، وابن المبارك، والشافعي، وأحمد، وإسحق، قالوا: لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن إلا طرف الآية والحرف ونحو ذلك، ورخصوا للجنب والحائض في التسبيح والتهليل.

“Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tabi’in, dan orang setelah mereka seperti Sufyan At Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka mengatakan: Janganlan wanita haid dan orang junub membaca sedikit pun dari Al Quran kecuali  melihat ujung ayat dan huruf dan semisalnya. Mereka memberikan keringanan bagi orang junub dan wanita haid dalam bertasbih dan tahlil.” (Sunan At Tirmidzi, Juz. 1, Hal.  236, No. 131)

Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

وَيَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ عِنْدَ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ

“Diharamkan bagi orang junub membaca Al Quran menurut umumnya para ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah,dan  Hanabilah.” Lalu disebutlah hadits dari Ali dan Ibnu Umar. (Al Mausu’ah, 16/53)

Demikianlah pandangan  kelompok yang melarang orang berhadats besar membaca Al Quran. Tetapi mereka membolehkan jika baca di hati saja,  atau membaca doa-doa dari Al Quran dengan tidak memaksudkannya sebagai Al Quran. Mereka juga membolehkan berdzikir seperti tahmid, tahlil, takbir, dan tasbih, bahkan kebolehan dzikir ini adalah ijma’, sebagaimana disebutkan dalam At Tibyan-nya Imam An Nawawi.

Menyelisihi hal ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, Al-Albani rahimahumullah, dan yang lainnya dari kalangan muta’akhkhiriin. Namun pendapat ini lemah. Wallaahu a’lam.

6.    Menetap/berdiam diri di masjid

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Pendapat pertama mengatakan tidak bolehnya wanita haidl menetap/berdiam diri di masjid. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’iy, dan Ahmad. Pendapat kedua mengatakan bolehnya wanita haidl menetap/berdiam diri di masjid. Ini adalah pendapat Dawud Adh-Dhahiriy, Ibnu Hazm, dan Al-Muzaanniy [Al-Haidl wan-Nifaas, hal. 695].

Dalam pembahasan panjang pendiskusian di antara dua pendapat tersebut, yang rajih adalah pendapat jumhur. Salah satu dalil yang melandasi adalah adalah :

عن أم عطية قالت كنا نؤمر أن نخرج يوم العيد حتى نخرج البكر من خدرها حتى نخرج الحيض فيكن خلف الناس فيكبرن بتكبيرهم ويدعون بدعائهم يرجون بركة ذلك اليوم وطهرته

Dari Ummu ‘Athiyyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari ’Ied, hingga kami pun mengeluarkan wanita-wanita gadis dari tempat pingitannya dan para wanita haidl untuk ditempatkan di belakang orang-orang. Maka mereka pun bertakbir mengikuti takbir kaum laki-laki dan berdoa mengikuti doa kaum laki-laki. Mereka mengharapkan barakah dan kesucian pada hari itu” [HR. Al-Bukhari no. 971 dan Muslim no. 890; ini adalah lafadh Al-Bukhari].

Pada riwayat lain disebutkan :

وأمر الحيض أن يعتزلن مصلى المسلمين

”....dan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan para wanita haidl menjauhi tempat shalat kaum muslimin” [HR. Muslim no. 890].

Segi pendalilannya adalah bahwa wanita haidl dipisahkan dari tempat orang yang shalat kaum muslimin. Sesuai dengan keumumannya, masjid termasuk dalam hal ini.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar