Selasa, 09 Oktober 2018

JEJAK PERJUANGAN KHR SUMOMIHARDHO

Kiai Haji Raden Sumomihardo atau Kiai Sumogunardho adalah pengasuh Pesantren Parakan Kauman,Kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, dan dikenal sebagai “Kyai Parak Bambu Runcing”. Bersama KH. Subchi Parakan, ayahanda KH. Muhaiminan Gunardo.

Kiai Sumomihardo bin Kiai Kholil lahir pada tahun 1881 di Kauman, Magelang, Jawa Tengah, dengan nama kecil Raden Gunardo atau Abu Hasan dari keluarga penghulu agama. Ayahnya, kiai Raden Kholil, adalah penghulu bupati magelang.

Demikian pula, kakek beliau, kiai Raden Idris, adalah ajung-penghulu Bupati magelang. Beriku silsilah beliau seperti dicatat oleh putra beliau, Kiai Muhaimin Gunardo: Kiai Sumomihardo bin kiai Kholil bin Raden Aryo Atmodipuro (Kiai Idris) bin Raden Tumenggung Wiryodiningrat bin Sultan, Hamengku Buwono II Yogyakarya (1882).

Silsilah beliau juga terhubung dengan Kiai Nur Iman (BPH Sandiyo) (kakak Sultan Hamengku Buwono I) dan pendiri Pesantren Mlangi, Yogyakarta, sekitar tahun 1760-an. Sejak kecil Kiai Sumomihardo diasuh oleh ayahnya, lalu disekolahkan di sekolah Belanda HIS Magelang,

Sebagaimana lazimnya anak-anak penghulu yang merupakan pejabat pemerintah kolonial Belanda. Namun, karena ayahnya ingin mengkader putranya itu sebagai ulama, beliau kemudian dipondokkan di Pondok Pesantren Punduh Magelang, lalu nyantri di beberapa pesantren di Jawa Timur dan Cirebon.

Setelah menuntut ilmu di beberapa pesantren, Kiai Sumomihardo membangun rumah tangga. Semasa hidupnya beliau menikah tiga kali. Pertama menikah dengan Raden Khadijah, adik kandung KH. R. Amar bin KR. Mursyid, penghulu Parakan, lalu menetap di Parakan, Temanggung. Dari istri pertama ini beliau memperoleh dua orang putri dan seorang putra, yaitu Zubaidah, Muawanah dan Fatchullah.

Setelah istri pertama meninggal dunia pada tanggal 20 Maret 1922 dan dimakamkan di Parakan, beliau menikah lagi dengan Nyai Aminah binti Kiai Darwis (janda H. Afandi) Kauman Parakan. Dari istri yang kedua lahir seorang putri, yaitu Mariyatul Qibtiyah dan seorang putra, yakni Masyudi.

Beberapa tahun kemudian istri kedua ini pun meninggal dunia pada tanggal 14 September 1936 dan dimakamkan di makam Gandik Parakan. Kemudian beliau menikah lagi untuk ketiga kalinya, yakni dengan Nyai Mahwiyah binti Kiai Bahrun (sesepuh ulama Kauman Parakan yang berpengaruh karena kedalaman ilmu agamanya). Dari istri terakhir ini lahir dua orang putra dan seorang putri: Muhaiminan Gunardho, Sofiyudin Gunardho dan Munawaroh.

Kiai Sumomihardho ikut merintis pendirian pesantren di Kauman Parakan bersama dengan beberapa kiai lainnya, seperti KH. Subchi Parakan (wafat 1959) dan KH. Ali Parakan (wafat 1955). Selain mengajar santri ngaji al-Quran dan kitab-kitab kuning dasar, beliau merupakan yang pertama memberi latihan atau kursus pidato (sesorah) di kalangan santri di Parakan, terutama dalam pertemuan sinoman, yakni perkumpulan komunitas untuk memudahkan anggota-anggotanya dalam mengurus dan memakamkan jenazah anggota keluarga, maupun latihan pidato dalam pasrah penganten (upacara serah terima mempelai pengantin perempuan) dalam adat Jawa.

Ketika organisasi Sarekat Islam (SI) berdiri pada tahun 1909, Kiai Sumomihardho juga ikut bergabung dalam pendirian organisasi keislaman kebangsaan ini di Temanggung pada tahun 1913, serta menjabat ketua pertama Sarekat Islam Temanggung yang bermarkas di Parakan. Beliau lalu menfasilitasi pelaksanaan pertemuan SI di rumah Abdul Kadir Parakan yang dipimpin langsung oleh H.O.S. Cokroaminoto, pimpinan pusat SI, bersama Kiai Sumomihardho. Waktu itu pemimpin SI ini rajin menggelar rapat dan pengkaderan (kader-vorming) di beberapa kota di Jawa.

Setelah Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926, beliau juga pernah menjadi sekretaris pertama Syuriyah organisasi ulama itu di Parakan. Sementara Kiai Subchi memegang posisi Rais Syuriyah Pengurus Cabang NU Temanggung, didampingi KH. Ali (pendiri Pesantren Zaidatul Ma’arif Parakan, wafat 1955) sebagai wakil rais dan KH. Nawawi (wafat 1968) bertindak sebagai ketua tanfidziyah pertama.

Keempat ulama perintis NU Temanggung inilah yang kemudian dikenal sebagai “kiai-kiai bambu runcing” di masa revolusi kemerdekaan. Ceritanya waktu itu tentara Sekutu yang dibonceng tentara Belanda dari Semarang merebut kota Magelang di bulan November 1945. Ancaman terhadap keutuhan Republik Indonesia yang baru merdeka mulai terasa di Temanggung.

Sutikwo, Bupati Temanggung, mengumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat dalam sebuah pertemuan di Pendopo Kawedanan Parakan, dan dihadiri juga H. Sukirman dari partai Masyumi Temanggung dan KH. Siradj Payaman, ulama kharismatik Magelang yang waktu itu mewakili MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia).

Di hadapan para ulama dan tokoh masyarakat tersebut, Sutikwo berkata bahwa tidak lama lagi Belanda akan kembali menjajah Indonesia karena Jepang telah kalah perang melawan sekutu. Bupati Sutikno berharap kepada para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir agar dapat memberikan jalan keluar terbaik, yaitu apakah Belanda akan mereka terima kembali sebagai bangsa penjajah ataukah Belanda akan dilawan begitu mereka masuk ke bumi Temanggung.

Bupati Sutikno mengingatkan para hadirin bahwa jika misalnya mereka sepakat untuk melawan, apakah mereka benar-benar sudah memperhitungkan dengan seksama kekuatan yang mereka miliki karena Belanda mempunyai senjata perang dan bom sedang bangsa kita tidak mempunyai persenjataan sama sekali. Setelah mendengarkan penjelasan Bupati Sutikno tersebut, para ulama dan tokoh masyarakat yang hadir, tidak ada yang berani angkat bicara, apalagi mau mengajukan usul.

Sampai akhirnya di tengah kesunyian yang mencekam peserta musyawarah ketika itu, ada seseorang yang mengangkat tangan guna memohon waktu untuk menyampaikan buah pikirannya. dan peserta tersebut adalah dari kalangan ulama, bernama Kiai Raden Sumomihardho. "Menurut hemat saya, sebaiknya Belanda kita lawan begitu mereka tiba di bumi Temanggung", demikian usulan berani beliau. "Kita tidak rela diperbudak lagi oleh bangsa penjajah. Perkara hidup dan mati semuanya terjadi atas kehendak Allah. Masalah hidup dan mati itu semua adalah urusan Allah, dan kita memang tidak mempunyai persenjataan seperti yang dimiliki bangsa penjajah, tapi kita punya Allah".

Mendengarkan alasan yang disampaikan oleh Kiai Raden Sumomihardho, akhirnya semua ulama dan tokoh masyarakat yang hadir ketika itu menyetujui pendapat beliau. Setelah itu diputuskan sebuah gerakan pertahanan rakyat yang disebut Gerakan Cucukan atau Gerakan Bambu Runcing. Nama organisasinya adalah Barisan Bambu Runcing atau Barisan Muslimin Temanggung (disingkat BMT) bermarkas di Parakan. Dan Kiai Sumomihardho menjadi salah seorang penasehat laskar rakyat itu bersama Kiai Subchi.

Beberapa hari kemudian para pemuda pejuang datang ke pondok pesantren Kiai Sumomihardho. Mereka disuruh mencari bambu wulung (Gigantochloa atroviolacea, berwarna kehitaman nan kokoh) untuk dibuat bambu runcing, lalu dibawa langsung ke rumah Kiai Sumomihardho untuk diberi doa atau disepuh di setiap hari Selasa Kliwon, agar bertuah dan dapat dijadikan senjata untuk melawan musuh. Sementara bagi pemegang senjata bambu runcing tersebut ada persyaratan. Yakni jika bambu runcing itu telah diberi doa atau sudah disepuh, maka tidak boleh dilangkahi. Sebab sangat berbahaya.

Bambu runcing yang sudah diberi asma' (bacaan khusus dan doa-doa) oleh beliau itu memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, siapa saja yang memegang bambu runcing itu tidak memiliki rasa takut terhadap musuh (tentara penjajah), sementara musuh yang melihat bambu runcing tersebut akan kehilangan akalnya. Menurut penuturan Muhammad Asraf, cicit KH. Subchi dan cucu KH. Abdurrahman bin KH. Subchi, ada cerita tentang penunjukan Kiai Sumogunardho sebagai penyepuh bambu runcing.

Pada waktu itu Kiai Sumogunardho muda pernah meletakkan sebilah bambu di tanah. Teman-teman sebayanya mencoba melangkahi bambu itu. Namun, anehnya, tak ada seorang pun yang berhasil melangkahi bambu itu karena selalu terjatuh. Melihat keampuhannya maka Kiai Sumogunardho didapuk untuk melakukan penyepuhan bambu runcing di masa revolusi kemerdekaan.

Kegiatan penyepuhan bambu runcing lalu dipindah ke markas BMT dari rumah beliau karena tidak mampu menampung ribuan orang yang datang meminta barakah penyepuhan bambu runcing. Ada yang datang dengan kereta api dari berbagai kota-kota di Jawa, bahkan ada yang berjalan kaki berhari-hari dari Solo, malah ada pula yang berasal dari Banyuwangi.

Di saat itu ada pembagian tugas di antara kiai-kiai Parakan dalam prosesi penyepuhan ini. KH. Abdurrohman bin Haji Nur Karang Tengah, Parakan (wafat 1947) memberi asma' nasi diberi gula pasir (sehingga disebut sego manis atau nasi manis) untuk kekebalan; Kiai Ali memberi asma' air keberanian (banyu wani) untuk keberanian dan menghilangkan kecapaian; KH. Subchi sebagai kiai paling sepuh dipercaya memberi doa “Bismillahi bi 'Aunillah”, “Allah Ya Hafizhu”, “Allahu Akbar” (masing-masing lafaz dibaca tiga kali) kepada para anggota laskar pejuang pemegang senjata bambu runcing.

Sementara Kiai Sumomihardho sendiri menyepuh bambu runcing menjadi senjata andalan rakyat kita dalam berperang. Tidak heran, dengan persiapan seperti ini, rakyat kita sudah siap terjun menghadapi musuh bangsa asing.

Di awal Desember 1945 seluruh komponen bangsa di Jawa Tengah, baik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) maupun para pejuang laskar rakyat, akan menyerbu tentara Sekutu dan mengusir mereka dari Ambarawa yang punya posisi strategis kala itu. Jarak ibukota Kabupaten Semarang itu ke Parakan sekitar 40 kilometer. Lebih dari itu, tokoh besar TKR juga hadir ke Parakan. Kiai Saifudin Zuhri maupun Kiai Muhaiminan Gunardo menyebut kedatangan Kolonel Soedirman beserta pasukannya membawa peralatan tempur lengkap.

Panglima Divisi V TKR ini – sebelum menjadi Panglima Besar setahun kemudian – sempat singgah dari markasnya di Purwokerto ke markas BMT di Parakan dalam perjalanan menuju perang Ambarawa. Beliau sempat sowan dan minta barakah kepada Kiai Subchi dan Kiai Sumomihardho. Itu terjadi setelah bawahan beliau, Letnan Kolonel Isdiman, selaku komandan pasukan TKR dalam pertempuran Ambarawa gugur diserang Sekutu pada tanggal 26 November 1945.

Komando pertempuran Ambarawa lalu diambilalih oleh tentara kader PETA ini. Maka meletuslah pertempuran yang dikenal dengan Palagan Ambarawa pada tanggal 12-15 Desember 1945, yang membuat tentara Sekutu menyerah hingga ke Semarang.

Ini bukti bahwa perjuangan bersenjata melawan penjajah bangsa asing bukan hanya milik militer kita, tapi juga milik rakyat kita, yang memiliki semangat, keuletan dan motivasi tinggi untuk ikut berjuang membela kemerdekaan negara Indonesia – dengan mengorbankan segala yang dimiliki. Dimana lagi semangat, keuletan dan motivasi tinggi itu ditempa kalau bukan di kalangan ulama yang memberi mereka modal kepercayaan diri dalam bela agama dan bela negara. Dan itulah peran yang pernah dimainkan oleh Kiai Sumomihardho di masa-masa awal kelahiran Republik Indonesia.

KR. Sumomihardho wafat pada tahun 1946, dalam usia 65 tahun, di rumah kediamannya di Kampung Parak, Kauman, Parakan, lalu dimakamkan di pemakaman Kyai Parak Tsani (Kyai Parak II) yang kini berada di sebelah timur Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing Parakan, Temanggung. Pesantren ini didirikan oleh putra beliau, KH. Muhaiminan Gunardho, di tahun 1980-an khusus untuk melanjutkan perjuangan KH. Sumomihardho Parakan yang dikenal sebagai “Kyai Parak Bambu Runcing”. Wallahu A'lam.

2 komentar:

  1. Selamat sore, semoga dibalas komentar saya, karena saya sangat membutuhkan sumber dari informasi ini. dikarenakan saya lagi menyelesaikan skripsi. terima kasihh banyakk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. atau boleh minta no WA biar mudah untuk komunikasinya. terimakasihh

      Hapus