Jumat, 26 Oktober 2018

KISAH KEKERAMATAN MBAH KYAI IDRIS PLUMBON SELOPAMPANG

Suatu ketika Mbah Mangli muda menghadap sowan ke rumah Mbah Idris Plumbon. Sowan mengadap Kyai sepuh memang membawa aura tersendiri, beda tipis dengan pisowanan agung kepada Sang Ratu penguasa kedaton. Melihat Mbah Mangli datang kerumah, sontak Mbah Idris menyambut kedatangan beliau. "Monggo Kyaine Mangli, pinarak monggo mlebu mrene...!", perintah Mbah Idris menerima pisowanan Mbah Mangli muda. "Injih Mbah", jawaban Mbah Mangli muda atas sambutan tuan rumah. "Brengos dingu koyo majusi...!” kata Mbah Idris di depan Mbah Mangli muda. “Wonten pemes Mbah?” jawab Mbah Mangli muda. Tanpa menunda waktu, Mbah Mangli muda langsung menggunduli kumisnya. “Alhamdulillah bagos-bagos...” celetuk Mbah Idris melihat Mbah Mangli muda mencukur kumisnya

Itulah sekelumit cerita tentang kharisma Mbah Idris yang masyhur di masyarakat Selopampang dan sekitarnya. Cerita di atas juga sebagai contoh ketakdhiman Mbah Mangli muda kepada Kyai yang lebih tua dari beliau. Sesuai falsafah kita, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda.

Tempat Tinggal Mbah Idris

Bertempat di sebuah desa kecil yang berdampingan dengan sungai progo, perbatasan Temanggung-Windusari Magelang, tepatnya Temanggung pojok selatan. Terdapat sebuah desa dengan nama Desa Plumbon. Desa tersebut merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Selopampang. Tepat berdampingan di ‘emperan’ selatan masjid Miftachul Huda Plumbon terdapat sebuah makam satu komplek dengan makam muslim desa Plumbon, di dalam makam tersebut terdapat jenazah Kyai Sepuh winasis satu kurun dengan Simbah Raden Alwi. Orang memanggil beliau dengan sebutan Mbah Idris Plumbon. Masjid Miftachul Huda Plumbon tersebut tepat berada di Garis Lintang -7.3824002 dan Garis Bujur 110.2123826. Masjid tersebut didirikan tahun 1951 dan di rehabilitasi ulang tahun 1997. Dan merupakan tanah wakaf dari Mbah Idris berikut komplek pelataran dan makam di samping masjid.

Jalur Nasab Mbah Idris

Mbah Idris Plumbon bernama panjang KH.Muhammad Idris bin KH.Hasan Wira'i. Ibu beliau bernama Ibu Pairah. Simbah KH.Hasan Wira’i adalah sosok seorang Kyai yang berasal dari Ndungus Sukorejo dan nyantri di jawa timur kemudian di sana di angkat sebagai menantu seorang Demang. Karena suatu hal, KH.Hasan Wira’i berpindah tempat ke Plumbon. Ketika bermukim di Plumbon beliau menikah dengan Simbah Pairah dan dikaruniai 2 keturunan bernama Ahmad Joyo Puspito dan Muhammad Idris. Ketika itu Mbah Pairah merupakan seorang janda yang sudah memiliki putra dengan nama Bapak Muradi yang akhirnya melahirkan seorang Kyai dengan nama Kyai Abdul Rosyid pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Plumbon saat ini.

Mbah Nyai Hj.Muntikanah (menantu) bercerita sambil peninggalan Mbah Idris berupa jubah, sarung, peci puluk dan serban yang pernah dipakai oleh Mbah Idris serta kitab kuning peninggalan Mbah Idris, bahwa :”Kitab – kitab niku tilaran saking Pangeran Trenggono Kusumo , keranten Mbah Idris niku tesih keturunan Pangeran Trenggono”, tutur Mbah Nyai.

Pernah suatu ketika Mbah Idris ziaroh ke Makam Pangeran Trenggono Kusumo di Muneng Candiroto, kebetulan makam di kunci dan Mbah Idris berujar :”Nek aku pancen keturunan Mbah Trenggono Kusumo mesthi wae kunci iki arep bukak dewe”. Setelah itu peristiwa ajaib muncul, tiba-tiba kunci makam tersebut membuka dengan sendirinya, sampai-sampai sang juru kunci marah-marah, dan akhirnya juru kunci tersebut meminta maaf kepada Mbah Idris.

Menurut Bapak Abdurrohman—cucu Mbah Idris dari Bp.KH.Djufri—Mbah Idris lahir pada Tahun 1870 Masehi. Beliau semasa dengan simbah Raden Alwi Tonoboyo Bandongan Magelang. Istri beliau yang ke-9 Hj. Siti Aminah berasal dari Kuwaraan Pirikan Secang, beliau merupakan adik dari KH.Sirodj Payaman yang masyhur dengan nama Simbah Romo Agung Payaman. Mbah Idris berkesempatan naik haji pada tahun 1921.

Bila kita amati dari petikan perbincangan Mbah Idris dengan Mbah Mangli muda tadi, bisa kita amati bahwa Mbah Idris lebih tua dari pada Mbah Mangli (KH.Hasan Asy'ari,Mangli Ngablak Magelang). Itu artinya beliau juga di atas lebih tua ketimbang Simbah Kyai Mandhur dan Simbah Kyai Chudlori Tegal Rejo Magelang, terbukti Mbah Idris sering menyuruh Mbah Mandhur atau Mbah Chudlori untuk mempimpin do'a bila berlangsung sebuah acara. “Dongani Kyaine Mandhur ! utowo Kyaine Chudlori ! sik luwi enom”, demikian kenang Nyai Hj.Muntikanah dalam ceritannya. Mbah Mandhur atau Mbah Chudlori sering sowan kepada Mbah Idris kala itu. Selain Mbah Mandhur dan Mbah Chudlori, Simbah Kyai Mangli juga sempat nyantri kepada Mbah Idris, meskipun sebatas ngaji tabarukan ataupun menyambung nasab kepada muallif kitab. Mbah Mangli ngaji dengan cara membuka kitab bagian awal, kemudian dilanjutkan membuka bagian akhir kitab begitu seterusnya. Demikian penuturan Simbah Nyai Hj.Muntikanah—menantu Mbah Idris. Bapak Abdurohman juga menuturkan bahwa Mbah Idris merupakan salah satu wali kutub pada zamannya.

Guru Mbah Idris

Pada usia muda, beliau hampir mengabiskan waktu mudanya untuk menuntut ilmu kepada Simbah KH.Makshum Punduh Salaman. Tak tanggung-tanggung, Mbah Idris muda menuntut ilmu kepada Simbah Makshum Punduh selama 21 tahun. Hingga akhirnya menikah dengan Ibu Nyai Siti Aminah salah satu Neng dari Kuwaraan Pirikan Secang Magelang kala itu. Pernikahan itu merupakan yang ke-9 kalinya. Dari hasil pernikahan itu dikaruniai 7 keturunan yakni Muslimah, Aminah, Abdul ghoni, Muhammad Rum, Asmuni, Komariyah dan Djufri.

Kedermawanan Mbah Idris

Beliau sosok yang sangat dermawan, ketika itu pernah memberikan sawah (3 kesuk red.jawa) kepada salah satu penduduk yang sering membantu beliau di sawah.

Pada zaman belanda rumah beliau pernah dijadikan sebagai camp markas para pejuang kemerdekaan. Menantu beliau bercerita bahwa ketika itu ada seseorang yang mau minta makan kepada Mbah Idris :”Mbah ajeng nyuwun maem’me”, kemudian Mbah Idris menjawab :”Raono panganane wis tak wehke tentara” jawab Mbah Idris kepada peminta tersebut. Setelah itu peminta tersebut lari hendak melaporkan infomasi tersebut kepada Belanda dan akhirnya dikejar mati di tembak oleh tentara, ternyata dia adalah telik sandi belanda. Dalam hal besedekah beliau tak tanggung-tanggung akan tetapi beliau sangat anti bila mentasyarufkan hartanya kepada hal yang tak ada manfaatnya, apalagi berfoya-foya.

Dalam membina 30 santrinya, beliau menanggung seluruh kebutuhan santri setiap harinya baik makan ataupun pakaian. Semua santri pun demikian, semuanya senantiasa membantu segala kerepotan Mbah Idris, khususnya dalam mengolah sawah olahan beliau. Bahkan beliau sering membagi-bagikan mukena kepada masyarakat.

Karomah Mbah Idris

Ketika itu beliau juga memiliki Kuda dengan nama Kuda Sukro, sebagai kendaraan dalam mengantar perjuangan beliau. Menurut penuturan salah satu santri beliau, Mbah Idris juga memiliki kemampuan untuk berjalan cepat, atau sering dikenal dengan Ilmu Lempit Bumi. Ketika itu sang santri menemani Mbah Idris untuk berdakwah di desa Butuh Selopampang, berangkat dari Plumbon hampir maghrib dan sampai di Butuh masih maghrib, padahal jarak Plumbon—Butuh berkisar 10 KM dengan medan yang terjal. Pernah pula, Mbah Idris berjalan dari Wonoroto Windusari pulang menuju Plumbon bersama santrinya menempuh perjalanan satu puntung rokok pun tidak habis. Selain itu Mbah Idris juga akan tahu kesalahan seseorang dalam membaca dalam Al Qur’an, padahal itu dalam usia yang cukup senja, ketika mendengar kesalahan tersebut Mbah Idris langsung menghardir si pembaca Qur’an tersebut.

Beliau juga terkenal sebagai pengamal ‘Dawamul Wudlu’ atau melanggengkan dalam keadaan suci dari hadas.

Ke-winasisan Mbah Idris juga menetes kepada salah satu salah satu putra beliau,  yakni KH.Djufri. ketika di mintai pendapat keponakannya, yang ketika hijrah untuk bekerja di Jakarta. Keponakannya bermimpi bahwa, Ia sering diikuti babi hutan, Ia menanyakan tafsiran mimpi tersebut kepada KH.Djufri walhasil KH.Djufri memberikan tafsiran bahwa dalam Ia mencari nafkah di Jakarta, kebanyakan mendekati perkara yang di haramkan. Kemudian Beliau menyarankan untuk pulang dan menempuh pendidikan nyantri di Pondok Pesantren I’anatut Mujtahidin Blembeng Magelang di bawah asuhan Simbah KH.Mukhlasin—santri dari Simbah Chudlori Tegal Rejo. Suatu waktu beliau juga sempat berujar kepada keponakannya, bahwa suatu ketika kamu akan mendirkan pondok pesantren di tempat itu. Tunjuk KH.Djurfi kepada keponakannya tersebut, dan kini terbukti keponakan beliau yang bernama Abdul Rosyid telah mendirikan Pondok Pesantren Salafiyah Plumbon di tempat yang Beliau tunjuk tersebut sebagai penerus perjuangan Simbah Idris Plumbon. Kini dalam melanjutkan perjuangan Mbah Idris dan KH.Djufri itu, Kyai Abdul Rasyid melanjutkan Pengajian Kemisan yang merupakan wiridan Mbah Idris ketika itu.

Pada tahun 1960 beliau mendirikan pengajian di desa Ngemplak Petung Windusari bersama Pak Bakin, ditengah perbincangan dengan Mbah Bakin—tokoh Ngempak—beliau pernah berkata bahwa yang menjadi Presiden setelah Pak Karno adalah Soeharto, ”Kin, saiki dewe wis duwe presiden anyar jenenge Soekarno, sak lebare Soekarno sesuk jenenge Soeharto”, kata Mbah Idris kepada Pak Bakin. Dan hingga kini pengajian selapanan itu masih dilestarikan oleh cucu beliau. Tiap tanggal 8 Syawal di adakan Pengajian Syawalan dan Haul Simbah Demang Surwo Purwoto.

Menurut penuturan simbah Son Haji Sumber Ketandan (Alm) : beliau menuturkan bahwa di alam barzah Mbah Idris terlihat duduk nyaman dan berlapiskan Karpet Hijau tebal yang tebalnya tidak dapat di ukur dengan jemari tangan (berkisar 15-san cm) ini menjadi salah satu pertanda kemuliaan beliau.

Di tengah-tengah perjalanannya beliau sering mengamalkan bacaan Hauqolah (bacaan Lahaula Wala Quwwata Illa Billahil ‘aliyyil ‘adzim) dan Hizib Autad 7 kali setelah sholat maktubah, serta tak pernah putus dalam bertahajud.

Mbah Idris di Rindukan Sang Kholik

Malam kamis legi Pukul 19.30 17 April 1976 bertepatan 29 Robi’ul Akhir  malam, rupanya Sang Kholik telah merindukan kehadiran Mbah Idris, beliau menghadap Sang Kholiq pada usia 106 tahun. Usia yang di habiskan untuk mengabdikan diri kepada agama dan masyarakat. Dalam sambutannya kewafatan Mbah Idris, Mbah Raden Alwi—Randucanan Bandongan Magelang—menuturkan bahwa :”Niki sing ajeng ngantos benjing putro ragil nak Djufri”. Terbukti kurun waktu setelahnya KH.Djufri-lah yang melanjutkan pesantren Mbah Idris.

Itulah Sedikit Sejarah Mbah Idris Plumbon Selopampang Temanggung. Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar