Senin, 22 Oktober 2018

SEJARAH TUAN GURU LONING

Pada tanggal 06 Juli 1704, Pangeran Puger yang mempunyai nama asli Raden Mas Drajat ( Beliau adalah putera dari Amangkurat I dengan isteri permaisuri keturunan Keluarga Kajoran ) diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Pakubuwana Senapati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau disingkat dengan Pakubuwana I.

Pangeran Puger wafat pada tahun 1719.
Salah satu putera Pangeran Puger adalah RM. Suryo Putro. Dikisahkan ia meninggalkan kraton Mataram menuju ke arah timur / brang wetan, tepatnya sampai di Pondok Pesantren Gedangan Surabaya yang pada saat itu diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin. Hal ini dikarenakan adanya perebutan tahta dan perselisihan antar saudara di kalangan istana yang merupakan ulah adu domba Belanda. RM. Suryo Putro kemudian menjadi santri disana dengan berganti nama M. Ihsan. Pada suatu saat tepatnya dalam kegiatan rutin selapanan ( 35 hari sekali ) yang diadakan di ponpes tersebut, diadakan pengajian yang tanpa disangka dihadiri oleh Adipati Wironegoro ( ini adalah gelar anugrah yang diberikan Amangkurat II kepada Untung Suropati yang ikut membantu dalam pembunuhan Pimpinan Kompeni yang bernama Kapten Tack), M. Ihsan menjadi ketua santri dan ikut menghidangkan hidangan untuk para tamu yang hadir. Saat mondar mandir di depan Adipati tersebut, ia diamati oleh sang Adipati. Karena merasa bahwa adipati pernah bertemu sebelumnya dan yakin bahwa santri tersebut adalah seorang bangsawan, maka setelah pengajian selesai, sang adipati tidak langsung pulang tetapi malah menyuruh Kyai A. Muhsin untuk memanggil Santri M. Ihsan tersebut. Setelah bertemu dan bercakap- cakap akhirnya diketahuilah bahwa M. Ihsan memang seorang bangsawan. M. Ihsan dan Adipati akhirnya berpesan agar Kyai merahasiakan keberadaan M. Ihsan dan menganggap ia sebagai santri biasa agar tidak sampai ketahuan oleh keluarga kerajaan. Sebelum pulang, Adipati Wironegoro berpesan agar M. Ihsan sudi berkunjung ke kadipaten dengan menyamar.
Akhirnya pada waktu yang telah ditentukan M Ihsan bersama Kyai datang ke kadipaten dengan alasan akan menyampaikan pesan kepada adipati tersebut agar tetap merahasiakan keberadaannya kepada kelurga Kraton. Setelah beberapa waktu berjalan dan melalui pertimbangan yang matang, akhirnya diambillah kesepakatan antara Adipati, kyai A. Muhsin dan M. Ihsan untuk menikahkan M Ihsan dengan Putri Adipati tersebut yang bernama RA. Retno Susilowati. Setelah menikah, putri tersebut diboyonglah ke ponpes Gedangan.

Sementara itu, sepeninggal RM. Suryo Putro ternyata keadaan kerajaan semakin kacau hingga akhirnya terciumlah keberadaan M. Ihsan oleh keluarga Kraton. Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput pulang M. Ihsan ke Mataram. Karena itu merupakan perintah Raja, maka M. Ihsan tidak berani menolak. Sebelum ia pulang ke kraton, ia menitipkan istrinya yang sedang hamil ke kyai A. Muhsin dan berpesan "Kelak jika anaknya lahir laki laki harap diberi nama RM. Sandeyo, tetapi jika perempuan, pemberian nama terserah Kyai". Kyai juga diminta mengasuhnya dan mendidiknya hingga mumpuni, karena kelak ia kan dijemput pulang ke kraton Mataram. Ternyata bayi yang lahir itu benar laki - laki dan kemudian oleh kyai diberi nama RM. Sandeyo, selain itu oleh Kyai bayi itu juga diberi nama M. Nur Iman.

Setibanya di kraton Mataram, RM. Suryo Putro langsung dinobatkan sebagai raja bergelar Amangkurat JAWA/ Amangkurat IV. Ia memerintah pada tahun 1719 - 1726. Sebelum Beliau meninggal, Beliau teringat pernah menitipkan istri pertamanya yang sedang hamil di ponpes Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin, dan mungkin anak dalam kandungan itu telah lahir dan telah dewasa. Akhirnya Beliau mengutus utusan untuk menjemput pulang anak tersebut.

Seiring waktu berlalu Nur Iman / RM Sandeyo telah tumbuh dewasa dan telah menjadi pemuda yang mumpuni dalam ilmu agama dan lainnya, hingga pada suatu saat datang lah utusan tersebut dan meminta RM Sandeyo untuk pulang ke Mataram. Akhirnya M. nur Iman mau untuk pulang, akan tetapi Beliau tidak mau pulang bersama dengan utusan tersebut. setelah pamit pada Kyai Abdullah Muhsin dan mendengarkan semua pesan nasihat dari Kyai, maka RM. Sandeyo berangkat ke Mataram dengan ditemani dua sahabat dekatnya yang bernama Sanusi dan Tanmisani. Sesuai dengan nasihat Kyai, maka sepanjang perjalanannya mereka tanpa henti berdakwah menyebarkan ilmu agama dan mendirikan Ponpes, hingga perjalan sampai ke Mataram memakan waktu agak lama. Ponpes yang didirikan M. Nur Iman antara lain ponpes yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Kyai Abdullah Muhsin juga mempunyai keyakinan kuat bahwa kelak M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar dan termasyhur.

Sesampainya di Kraton, M. Nur Iman langsung sungkem kepada Ayahhandanya ( Amangkurat Jawa / IV ) dan kemudian dikenalkan kepada semua kerabat kraton , juga adik - adiknya. Selain itu ia juga dianugerahi gelar KGHP. Kertosuro dan mendapat rumah kediaman di Sukowati.

Pada saat terjadinya perang saudara antara adik - adiknya yakni Pangeran Sambernyowo / RM. Said dan Pangeran Mangkubumi / RM. Sujono, juga dengan terjadinya huru - hara antara bangsa Tionghoa dengan kompeni Belanda yang terkenal dengan GEGER Pecinan, M. Nur Iman bersama sahabatnya memilih meninggalkan istana ke arah barat. Selain berdakwah, mereka juga menanamkan jiwa patriotisme melawan kompeni kepada para rakyat yang mereka temui. Perjalanan ke barat itu sampai pada daerah yang bernama Kulon Progo. kedatangannya diterima dengan senang hati oleh demang yang bernama Hadiwongso ( penguasa daerah Gegulu ), yang kemudian demang beserta keluarganya tersebut memeluk islam. Dengan sangat hormat demang tersebut memohon agar M. Nur Iman sudi menikah dengan putrinya. Akhirnya M. Nur Iman dinikahkan dengan putri nya yang bernama Mursalah, sedangkan kedua sahabatnya juga dinikahkan dengan putrinya yang lain yang bernama Maemunah ( menikah dengan Sanusi ) dan Romlah ( menikah dengan Tanmisani).

Perselisihan antar kedua saudara M.Nur Iman tersebut akhirnya berakhir dengan perjanjian di desa Giyanti pada tahun 1755, kemudian dikenal dengan perjanjian Giyanti yang isinya antara lain :

1. Kerajaan Mataram Kertosuro dibagi menjadi 2 bagian,
- dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono III, beribukota di Surokarto
- dari Prambanan ke barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwana I, beribukota di Yogyakarta.

2. Pangeran Sambernyowo / RM. Said diberi kedudukan sebagai adipati dengan gelar Adipati Mangkunegara I dan diperbolehkan mendirikan sebuah Puro yang kemudian diberi nama Puro Mangkunegara.

Setelah keadaan menjadi tenteram, raja - raja yang merupakan adik dari M. Nur Iman tersebut teringat akan kakaknya yang bernama RM. Sandeyo / M. Nur Iman, kemudian masing- masing raja mengutus prajuritnya untuk mencari keberadaan M. Nur Iman.

Sementara itu , setelah demang Hadiwongso ( mertua KGPH Sandeyo / M. Nur Iman ) wafat, M. Nur Iman sekeluarga pindah ke utara, di sebelah timur Kali Progo tepatnya di desa Kerisan. Di desa inilah RM. Sandeyo bertemu dengan Sultan Hamengku Buwana I ( yang tidak lain adalah adiknya ). Sultan Hamengku Buwana I kemudian meminta agar M. Nur Iman kembali ke kraton.
Pada tahun 1776, saat Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Khalifatulloh Ngabdurrohman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan, yang kemudian lebih umum disebut Hamengku Buwana I, M. Nur Iman Mlangi diberi hadiah tanah oleh Hamengku Buwana I berupa tanah Perdikan / tanah bebas pajak . Tanah tersebut kemudian dijadikan desa dan dugunakan untuk pengembangan agama Islam. Didirikan pula Pondok pesantren untuk mulangi atau mengajar agama. Atas dasar kata mulangi inilah kemudian desa tersebut dikenal menjadi desa Mlangi.

Zaman Pemerintahan Hamengku Buwana I merupakan zaman keemasan Yogyakarta Hadiningrat. Setelah Hamengku Buwana I wafat, pemerintahan digantikan oleh putranya yang bernama RM. Sundoro yang bergelar Hamengku Buwana II. Beliau sangat nasionalis dan rela berkorban untuk rakyatnya. Terlebih dalam pengembangan agama. hal ini terlihat dengan baiknya hubungan antara ulama dan umaro pada saat itu.

Pada masa pemerintahaan Hamengku Buwana II inilah Kyai Nur Iman Mlangi mengarahkan agar Raja membangun Empat Masjid besar untuk melengkapi dan mendampingi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu yaitu masjid yang berada di kampung Kauman , di samping kraton. Masjid yang akan dibangun tersebut disaranklan oleh Kyai Nur iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut adalah :
di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi
di sebelah Timur terletak di desa Babadan
di sebelah Utara terletak di desa Ploso Kuning
Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan.

Adapun pengurus masjid tersebut adalah putra - putra Kyai Nur Iman Mlangi yakni :

Masjid Ploso Kuning di urus oleh Kyai Mursodo
Masjid babadan diurus oleh kyai Ageng Karang Besari
Masjid Dongklelan diurus oleh Kyai Hasan Besari
Masjid Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman Mlangi sendiri

Masjid - masjid tersebut kemudian terkenal dengan Masjid Kagungan Dalem atau Masjid Kasultanan, dan pengurus takmir pada saat itu termasuk abdi dalem kraton.

Sesuai dengan Amanah Hamengku Buwana II, maka Hamengku Buwana III melakukan perlawanan kepada penjajah. Sikap patroitisme dan nasionalisme tersebut beliau wariskan kepada putranya yang bernama Kanjeng Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dengan semangat tinggi dan keyakinan Jihad Fi sabillillah memerangi Belanda. Hal ini tercermin dari pakaian yang ia kenakan. Perang Diponegoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830. Perang Diponegoro ini pun melibatkan anak cucu dari Mbah Kyai Nur Iman Mlangi. salahsatu putra Kyai Nur Iman Mlangi yang gugur dalam perang ini bernama Kyai Salim. Beliau wafat di desa Ndimoyo. Selanjutnya beliau terkenal dengan sebutan Kyai Sahid.

Tipu daya licik Belanda akhirnya dapat mengakhiri perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro tertangkap di Magelang dalam sabuah perundingan. Pengawal Pribadi Pangeran Diponegoro juga iku ditangkap saat itu. Ia bernama Kyai Hasan Besari yang merupakan putra dari Kyai Nur Iman Mlangi. Mereka kemudian diasingkan ke Menado.

Setelah Perang Diponegoro berakhir, kompeni berani menghadap Hamengku Buwana V. Kompeni membujuk dan memutar balikkan fakta kepada Sultan dengan mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro dan pengikutnya adalah pemberontak. hal ini membuat pengikut Pangeran Diponegoro yang masih tersisa termasuk para putra wayah Mbah Kyai Nur Iman Mlangi tidak berani kembali ke desanya karena takut ditangkap kompeni. Di mana tempat yang dianggap aman, disanalah mereka tinggal. Sehingga secara tidak langsung terjadilah penyebaran penduduk dan keturunan dari Kyai Nur Iman Mlangi yang tidak hanya tersebar di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah saja , tetapi juga menyebar hingga ke Jawa Barat dan Jawa Timur, bahkan ada yang di luar Jawa. Sementara itu Mbah Kyai Nur Iman memilih tinggal di desa Mlangi sampai akhir hayatnya. Kyai Nur Iman Mlangi dimakamkan di belakang masjid. Makam tersebut kemudian terkenal denan sebutan makan Pangeran Bei / Pesareyan Kagungan Dalem Kasultanan, sehingga gapura masuk Kompeks tersebut bercirikan Kraton.

Seperti makam para Auliya' dan Ulama besar yang lain, makam Mbah Kyai Nur Iman juga banyak dikunjungi peziarah baik rombongan maupun perorangan yang berasal dari luar daerah, bahkan ada yang berasal dari luar pulau Jawa.

Putra mbah Kyai Nur Iman Mlangi ada yang diangkat sebagai Bupati Kedu, Beliau bernama Kyai Taptojani. Ada juga yang diangkat sebagai penghulu Kraton Yogyakarta. Beliau bernama Kyai Nawawi.

Mbah Kyai Nur Iman Mlangi, para Alim Ulama dan tokoh masyarakat sepakat mengadakan khaul yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Suro / Muharram malam tanggal 15.

Silsilah Mataram Kertosuro ( PUSTAKA DARAH ) dan Kyai Ageng Mlangi

Prabu Browodjoyo V;
R Bondan Gejawan ( Kyai Ageng tarub III );
Kyai Ageng Abdulloh Getas Pandawa ;
Kyai Ageng Selo ;
Ki Ageng Nis;
Kyai Ageng Pemanahan;
Panembahan Senopati;
Prabu Hanyokrowati;
Prabu Sultan Agung Anyokrokusumo
Prabu Amangkurat I
Prabu Paku Buwono I ( Pangeran Puger )
Prabu Amangkurat IV ( Amangkurat Jawa ) RM. Suryo Putro

RM Suryo Putro menurunkan;
1. RM. Sandeyo ( Kyai Nur Iman Mlangi / KGP Angabehi Kertosuro )
2. KPA. Mangkunegoro I
3. KPA. Danupojo
4. RA. Pringgolojo
5. K. Susuhunan PB. II Surokarto
6. KPA. Pamot
7. KPA. Hadiwidjojo
8. KPA. Hadinegoro
9. K. Ratu Madunegoro
10. Kanjeng Sultan HB. I Ngajogjakarta
11. KP. Ronggo Purboyo
12. KGPA. Panular
13. KGPA. Blitar
14. RA. Surodiningrat
15. KPA. Buminoto - Sultan Dandun Mertengsari - Adipati Setjoningrat - Panembahan Bintoro
16. KP. Singosari ( KP. Joko )
17. KGPA. Mataram
18. KGP. Martoseno
19. RA. Hendronoto
20. KGPA. Selarong
21. KGPA. Prang Wadono
22. KGPA. Buminoto

RM. sandeyo ( Kyai Nur Iman Mlangi ) mempungai 5 orang istri yaitu :
1. Garwa Gegulu, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Mursodo
2. RM. Nawawi
3. RM Syafangatun
4. RM. Taptojani - Kyai Kedu
5. RA. Cholifah / Kyai Mansyur
6. RA. Muhammad
7. RA. Nurfakih / Murfakiyyah
8. RA. Muso - Kyai Sragen
9. RM Chasan Bisri / Muhsin Besari
10. RA. Mursilah Ngabdul Karim

2. Garwa Surati, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA Muhammad Soleh
2. RM Salim
3. RA. Jaelani

3. Garwa Kitung, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Abutohir
2. RA. Mas Tumenggung

4. Garwa Bijanganten, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Nurjamin

5. Garwa Putri Campa, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Masyur Muchyidinirofingi ( Kyai Guru Loning )

Saat Kyai Nur Iman wafat, salah seorang istri beliau yakni Putri Cina Keturunan Campa dalam keadaan hamil tua . Pada suatu ketika Putri Cina tersebut mendengar suara gaib yang sebenarnya adalah Ruh bayi yang kelak di lahirkannya. Suara itu menyuruh Putri untuk meninggalkan Mlangi. Suara gaib itu berkata " Ibu sak punika kula aturi pundah saking mriki. Monggo Ibu kula derekaken " ( Ibusekarang saya silahkan pindah dari sini, mari saya ikuti ).
Putri Campa akhirnya mengikuti suara tersebut dan meninggalkan Mlangi menuju ke arah Selatan melewati tepian pantai. Sesampainya di daerah Grabag, suara tersebut menuntunnya ke arah Utara hingga sampai di desa Kemiri. Dari Kemiri kembali Putri Campa di tuntun untuk berjalan ke arah Barat sampai di desa Kroyo. Dari Kroyo, Putri Campa kemudian berjalan sampai di desa Bedungus sesuai dengan petunjuk suara gaib tersebut. Sesampainya di desa Bedungus suara itu berkata lagi “ Ibu pun cekap dumugi mriki kemawon, ibu lenggaha wonten dalemipun kaum Bedungus “( Ibu cukupsampai disini saja dan menetaplah di rumah kaum Bedungus ). Ternyata benar , setelah Kaum Bedungus tersebut melihat Putri Cina yang tengah hamil, ia menyuruh Putri tersebut untuk tinggal di rumahnya.

Putri Cina tinggal dan dirawat oleh Kaum Bedungus hingga melahirkan.

Saat bayi Putri tersebut telah lahir ( tahun 1799 masehi ), Putra - putra Kyai Nur Iman dari istri yang lain yang berada di Mlangi segera di undang untuk menjenguk bayi / adiknya tersebut di rumah Kaum Bedungus. Sesampainya di sana, mereka kemudian menamai bayi tersebut dengan nama RM. Mansyur.

RM. Mansyur dibesarkan di rumah Kaum Bedungus hingga dewasa. Setelah dewasa RM. Mansyur pergi menuntut ilmu di pesantren milik Kyai Soleh Qulhu Magelang, di Aceh serta di Mekah. Di samping itu, Raden Mas Mansoer juga sering mendapat bantuan dari Patih Dipodirdjo, Purworejo, sehingga beliau dapat menunaikan ibadah haji. Beliau diambil menantu oleh Patih Dipodirdjo. Pada wkatu Raden Mas Mansoer mengaji di Demak, beliau dijadikan menantu oleh Pengulu Demak. Dari Pernikahan ini beliau mempunyai putera Raden Mas Haji Ngaburrochman. yang kemudian menjadi pengulu Demak. Raden Mas Mansoer juga memperdalam agama Islam di Aceh. Lama beliau berada di Aceh.

Sepulang dari Aceh, beliau tetruko (berdiam dan membangun tempat tinggal) di Loning, warisan dari keraton yang berupa pada ilalang seluas k.l. 40 bahu atau sekitar 28.000 m2. Kemudian dibantu oleh Glondong (setingkat dengan Kepala Desa atau lurah sekarang) Loning Dipomenggolo, beliau mendirikan pesantren berupa mesjid dan pondok untuk para santri yang datang dari luar daerah seperti Denak, Magelang, Kendal, Cirebon, Surabaya, Pacitan, Banten (Jawa Barat) dan lain sebagainya. Sehingga Raden Mas Mansoer yang bergelar Kyai Muchyidin Nurrofingi sejak itu dikenal sebagai Kyai Guru Loning. Sosok Kyai Guru Loning merupakan seorang ulama yang mahir dalam ilmu agama Islam, guru Kurro' dan hafal al Qur'an.

Beliau adalah seorang Guru yang mempunyai sifat kasih sayang, seorang ulama ahli wirangi, tidak bersedia mengerjakan yang tidak sepantasnya, tidak menyukai bebauan apa yang disebut mingsri (bahasa Jawa), tidak mau makan makanan dari orang tidak bertaqwa. Beliau juga sering berpuasa dan banyak mengerjakan sholat sunnah, sehari semalam bisa mencapai 41 rekaat.
Beliau merupakan penyebar Agama Islam, dengan mesjid dan pondoknya di Loning, beliau mengajarkan selain beberapa kitab kuning, mengajarkan Al Qur'an dengan fasih dengan lagu Misriy, lagu Mukiyyi, Bashority.

Raden Mas Mansoer mempunyai beberapa isteri : 1. Puteri Penghulu Demak, berputera:
- RM Hj. Ngabdurrachman, yang kemudian menjadi Penghulu Demak

2. Puteri Ngalang-alang Ombo, berputera
- R.A. Fatimah, suami Kyai Taslim (Tirip)
- R.A. Nyai Sangid (Djamilah)
- R.M. Hj. Muhammad Nur, Pengulu Landrat, Purworejo
- R.M. Kyai Busram, Loning

3. Puteri Patih Dipodirdjo berputera:
- R.M. Mohamad Djen - Guru Qurro' Solotiyang
- R.M. Kyai Machmud, Loning
- R.A. Nyai Istad (Kyai Ngabdurrachman, Bedug)
- R.M. Haji Soleh (Loning)

4. Puteri Lurah Kroyo, berputera:
- R.M. Chamid (Sucen, Tritir, Bayan, Purworejo)

5. Puteri Kyai Soleh Qulhu, berputera
- R.M. Haji Ngabdullah Mahlan, yang menggantikan Kyai Guru Loning dalam Mengelola Masjid Loning)

R.M. Haji Ngabdullah Mahlan, berputera:
1. R.M. Imam
2. R.M. Djupri
3. R.A. Kuroisyin
4. R.A. Sofiah menikah dengan : Hadiwinangoen
5. R.A. Muthoharatun menikah dengan : Sosrowardojo
6. R.M. Mohammad, mengelola Mesjid Loning
7. R.A. Machmoedah menikah dengan : Soerodikoesoemo
8. R.A. Istifaiyah

Atas ketulusan Kaum Bedungus (Mbah Sanusi)  yang dengan ikhlas merawat Putri Cina dan RM. Mansyur ( anaknya ), akhirnya anak Kaum Bedungus yang bernama Kyai Zarkasih diangkat menjadi keluarga Mlangi. Kyai Zarkasih kemudian berputra Kyai sidiq,sedangkan Kyai Sidiq berputra Kyai Nawawi Berjan. Kyai Nawawi Berjan berputra Kyai Khalwani Nawawi yang kini meneruskan perjuangan pendahulunya dalam menegakkan syiar Islam dan mengasuh pondok pesantren Berjan Purworejo.

Kyai Guru Luning tidak kembali ke Mlangi akan tetapi Beliau tinggal di Loning kemiri kutoarjo hingga Akhir hayatnya pada usia 56 tahun pada bulan syawal 1855 masehi. Kyai Guru Loning ( RM. Mansyur Muhyidin Arrofingi ) dimakamkan di sebelah barat pengimaman masjid Loning. Peringatan Khoul Kyai Guru Loning juga rutin diadakan setiap tahun di masjid Loning, sedangkan Putri Cina (Ibu Kyai Guru Luning ) kemudian terkenal dengan sebutan Nyai Ngadiluwih yang makamnya terletak di desa Kemiri Purworejo.

16 komentar:

  1. Terima kasih atas info& penjabaran silsilah Tuan Guru Loning 🙏

    BalasHapus
  2. Pertanyaan nya itu si mbh dipomenggolo sebagai kepala desa yang membantu syaid aroffingi anak nya siapa? Sejarah ny bagaimana

    BalasHapus
  3. Mohon di bantu silsilah ke atas dan sejarah nya mbh glondong diponmenggolo, krn sya cicit langsung nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Panjenengan bisa silaturrahim ke Loning masih ada keturunan nya mas Sukamto rumahnya di barat masjid loning

      Hapus
  4. Mohon penjelasannya Apakah yg di maksud simbah kyai Nur Muhamad yg ada di kalangan salaman magelang itu juga terkait hubungan keluarga dengan simbah kyai loning/tuan guru loning... Mohon sejarahnya....

    BalasHapus
  5. Terimakasih sejarah nya begitu indah

    BalasHapus
  6. Mohon maaf izin bertanya, apakah mbah kyai imam Puro murid dari mbah kyai loning? Mohon penjelasan sejarahnya🙏🏻

    BalasHapus
  7. Mungkin boleh dijelaskan lebih detail tentang nasab dari almaghfurlah mbh kyai zarkasi berjan

    BalasHapus
  8. Setahu kami... KH. Much Siddiq bin KH. Zarkasi bin KH. Asnawi Tanggung bin Kiyai Noer Qosim Sabrang bin Kiyai Burhan Joho bin Tumenggung Suratman Tridadi bin Cinde Amoh... Dan seterunsnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nahh kulo ngertose nggih niki silsilahnga

      Hapus
  9. Ijin bertanya, untuk Puteri Alang Alang Ombo itu apakah ayahnya adalah kyai nur Muhammad yang makamnya di Pituruh?

    BalasHapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  11. Maaf .. Kalo yg dimaksud Mbah Glondong Dipomenggolo itu adalah termasuk putra Mbah Gagak Pranolo 2, sepertinya apa tidak terlalu sepuh jika satu waktu dg Patih Tumenggung Dipodirjo 1 yg ikut membantu RM Mansyoer Ar Rofingi ( Tuan Guru Loning ).

    Mbah Dipomenggolo adalah adik dari Mbah Gagak Pranolo 3.
    Mbah Gagak Pranolo 3 berputra Mbah Demang Surodrono.
    Mbah Demang Surodrono berputra Mbah Patih Tumenggung Dipodirjo 1.

    Kemungkinannya bisa jadi waktu itu kerjasama antara Mbah Lik Glondong Dipomenggolo dengan cucu ponakannya yaitu Mbah Patih Tumenggung Dipodirjo 1.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau diliat urutannya .. Mbah Patih Dipodirjo 1 ini malah terhitung seangkatan buyutnya Mbah Glondong Dipomenggolo.

      Tetep ada kemungkinannya kerjasama, karena bisa jadi biarpun terhitung buyut, Mbah Dipomenggolo mungkin masih jauh lebih muda dibanding kakaknya Mbah Gagak Pernolo 3.

      Hapus
    2. Kemungkinan lain lagi, bisa jadi Mbah Glondong Dipomenggolo ini mungkin adalah Mbah Dipomenggolo 2, atau Mbah Dipomenggolo 3 ( sebutan 2 dan 3 itu utk mempermudah gambaran saja dalam rangka mempersamakan waktu dg Mbah Patih Dipodirjo 1).

      Hapus
    3. Mohon maaf kalau salah ...
      Saya hanya berdasar catatan urutan trah Purworejo.

      Hapus