Senin, 25 Februari 2019

Penjelasan Tentang Kisah Israiliyat

Israiliyat adalah berita yang dinukil dari orang Bani Israil, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani. Dan umumnya berasal dari masyarakat Yahudi.

Sudut Pandang Kualitas Sanad

Sudut pandang ini memperlihatkan dua bagian, yaitu isrȃȋliyȃt yang shahȋh dan isrȃȋliyȃt yang dha’ȋf.

a.    Isrȃȋliyȃt yang shahȋh, seperti riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dari Ibnu Jarir al-Thabari, dari al-Mutsanna, dari ‘Usman bin ‘Umar, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, dari Atha’ bin Abi Rabbah. Atha’ berkata:

لقيت عبد الله بن عَمْرو بن العاص، فقلت: أخبرني عن صفة رسول الله صلى الله عليه وسلم في التوراة. فقال: أجل، والله إنه لموصوف في التوراة بصفته في القرآن: يا أيها النبي إنا أرسلناك شاهدًا ومبشرًا ونذيرًا، وحرزًا للأميين، وأنت عبدي ورسولي، سميتك المتوكل، لا فظٍّ ولا غليظ ، ولا يدفع بالسيئة السيئة ولكن يعفو ويغفر، ولن يقبضه حتى يقيم به الملة العوجاء، بأن يقولوا: لا إله إلا الله. فيفتح به أعينا عُمْيًاوآذانًا صُمًّا، وقلوبا غُلْفًا

Artinya:”Aku bertemu ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan berkata kepadanya:ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasulullah yang diterangkan dalam kitab Taurat!, ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: Ya, demi Allah sesungguhnya sifat Rasulullah di dalam Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam al-Qur’an:”Wahai Nabi “Sesungguhnya kami (Allah) mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan pemelihara orang-orang yang Ummi, engkau hambaku dan Rasulku, Aku menamakanmu dengan al-Mutawakil, engkau (Muhammad) tidak kasar dan tidak pula keras, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi memaafkan dan mengampuni, dan Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum agama Islam tegak dan lurus, yaitu dengan ucapan:” laa Ilaaha illa Allah”. Lalu Allah akan membuka mata yang buta, membuka telinga yang tuli, membuka hati yang tertutup”.

b.    Isrȃȋliyȃt yang dha’ȋf, seperti atsaryang diriwayatkan oleh Abu Muhammad bin ‘Abdurrahman dari Abi Hȃtim al-Rȃziy, kemudian di-nukil-kan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika menguraikan surat Qaf (50):1. Kemudian ia berkata:”Sesungguhnya atsar tersebut adalah atsar yang gharȋb yang tidakshahȋh, dan ia menganggapnya sebagai cerita khurafat Bani Israil”.

إن الإمام أبا محمد عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي، رحمه الله، أورد هاهنا أثرا غريبا لا يصح سنده عن ابن عباس فقال:حدثنا أبي قال: حدثت عن محمد بن إسماعيل المخزومي: حدثنا ليث بن أبي سليم، عن مجاهد، عن ابن عباس قال: خلق الله من وراء هذه الأرض بحرًا محيطًا، ثم خلق من وراء ذلك جبلا يقال له "ق" السماء الدنيا مرفوعة عليه. ثم خلق الله من وراء ذلك الجبل أرضا مثل تلك الأرض سبع مرات. ثم خلق من وراء ذلك بحرا محيطًا بها، ثم خلق من وراء ذلك جبلا يقال له "ق" السماء الثانية مرفوعة عليه، حتى عد سبع أرضين، وسبعة أبحر، وسبعة أجبل، وسبع سموات. قال: وذلك قوله: { وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ }.


Artinya:”................dari Ibnu ‘Abbas semoga Allah meridhoinya berkata”Allah telah menciptakan di bawah ini laut yang melingkupnya, di dasar laut ia menciptakan sebuah gunung yang disebut gunung Qaf, langit dunia ditegakkan di atasnya. Di bawah gunung tersebut Allah menciptakan bumi seperti bumi ini yang jumlahnya tujuh lapis, kemudian di bawahnya Ia menciptakan laut yang melingkupnya. Di bawahnya lagi ia menciptakan sebuah gunung lagi yang bernama gunung Qaf. Langit jenis kedua diciptakan di atasnya sehingga jumlah semuanya tujuh lapis langit. Kemudian ia berkata”uraian ini merupakan maksud dari firman Allah:

 وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ (Q.S: Luqman:27)

Sudut Pandang Kaitannya dengan Islam

Ditinjau dari statusnya, israiliyat dibagi menjadi 3:

Pertama, berita yang diakui kebenarannya dalam Islam. Berita israiliyat semacam ini boleh dibenarkan. Dan yang menjadi standar dalam hal ini adalah dalil Alquran atau hadis shahih.

Di antara contohnya adalah hadis dari Ibnu Mas’ud, bahwa ada seorang pendeta Yahudi yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengatakan,

يا محمد، إنا نجد أن الله يجعل السماوات على إصبع، وسائر الخلائق على إصبع فيقول: أنا الملك

“Wahai Muhammad, kami mendengar bahwa Allah menjadikan langit di satu jari dan semua makhluk juga di salah satu jari. Lalu Allah berfirman: “Sayalah Raja.”

Mendengat hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung tertawa, sehingga terlihat gigi geraham beliau, karena membenarkan ucapan si pendeta. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)

(HR. Bukahri no. 4811 dan Muslim 2786)

Kedua, berita yang didustakan dalam Islam; berita semacam ini statusnya batil, dan wajib diingkari. Misal, Nabi Isa adalah putra Allah, atau seperti yang disebutkan dalam hadis Jabir berikut:

كانت اليهود تقول إذا جامعها من ورائها، جاء الولد أحول

“Orang Yahudi mengatakan, jika seorang suami mendatangi istrinya dari belakang maka anaknya nanti juling.”

Kemudian Allah dustakan anggapan orang Yahudi ini dengan menurunkan firman-Nya:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Istri kalian addalah ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian, dari mana saja yang kalian inginkan.” (QS. Al-Baqarah: 223)

(HR. Bukhari 4528 dan Muslim 1435)

Ketiga, berita yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan dalam Islam. Status berita semacam ini disikapi pertengahan (tawaquf), tidak boleh didustakan, karena bisa jadi itu benar, dan tidak dibenarkan, karena bisa jadi itu dusta.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Orang ahli kitab membaca Taurat dengan bahasa ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada kaum muslimin.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم، وقولوا: آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ

“Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, namun ucapkan: Kami beriman dengan kitab yang diturunkan kepada kami (alquran) dan kitab yang diturunkan kepada kalian.” (HR. Bukhari, 4485)

Hanya saja, dalam syariat kita, dibolehkan menceritakan berita Bani Israil, tanpa untuk tujuan diimani dan dibenarkan atau didustakan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده م النار

“Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat. Sampaikan kabar dari Bani Israil, dan tidak perlu merasa berat. Siapa yang berdusta atas namaku, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari 3461)

Dan umumnya, kabar israiliyat ini tidak memiliki banyak manfaat penting dalam agama. Hanya sebatas cerita atau dongeng, seperti warna bulu anjing Ashabul Kahfi, siapa namanya, kisah tentang keluarga nabi-nabi masa silam, yang itu jika diketahui, tidak menambah amal kita.

Contoh kriteria yang pertama, yakni yang sesuai dengan syariat kita, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan redaksi dari Imam Bukhari ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukhari ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukhari, dari Lais, dari Khalid, dari Sa’id bin Abu Hilal, dari Zaid bin Aslam, dari Ata’ bin Yasir, dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda:

تكون الارض يوم القيامة خبزة واحدة يتكفؤها الجبار بيده كما يكفأ احدكم خبزته ف السفر نزلالاهل الجنة فاتي رجل من اليهود، فقال: بارك الرحمان عليك يأبا القاسم، الا اخبرك بنزل الجنة يوم القيامة؟ قال بلي، قال: تكون الارض خبزة واحيدة كما قال النبي صلي الله عليه و سلم : فنظر النبي صلي الله عليه و سلم الينا، ثم ضحك حلي بدت نواجذه...

Artinya:
“Adalah bumi itu pada hari kiamat nanti seperti segenggan roti. Allah memegangnya dengan kekuasan-Nya, sebagaimana seseorang menggenggam sebuah roti di perjalanan. Ia merupaka tempat bagi ahli sruga. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari Yahudi, dan berkata: Semoga Allah menganggungkan engkau wahai Abal Qasim, tidaklah aku ingin menceritakan kepadamu tempat ahli surga pada hari kiamat nanti? Rasul menjawab ya tentu. Kemudian laki-laki tadi menyatakan bahwasanya bumi ini seperti segenggam roti sebagaimana dinyatakan Nabi, kemudian Rasul melihat kepada kami semua, lalu tertawa sampai terlihat geraham giginya”.

Contoh cerita Israiliyat kriteria kedua, yakni yang bertentangan dengan syariat kita, keterangan yang telah kita ketahui terdahulu dalam Kitab Safarul-Khuruj bahwasanya harun as. Adalah Nabi yang membuat anak sapi untuk Bani Israil, lalu ia mengajak mereka untuk menyebahknya. Demikian pula riwayat yang telah kita dapati dari Kitab Safarut-Takwim, bahwasanya Allah menyelesaikan seluruh pekerjaan-Nya pada hari yang ketujuh, lalu bersitirahatlah pada hari yang ketujuh tersebut. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya, ketika menerangkan firman Allah dalam Quran surat Shad ayat 34:

ولقد فتنا سليمان والقينا علي كرسيه جسدا ثم اناب

Artinya:
“Dan sesungguhnya kami telah menguji Sulaiman dan kami jadikan (dia) tergeletak di atas krusinya sebagai tubuh yang lemah (karena sakti), kemduian ia bertobat”. (QS. Shad: 34).

Contoh cerita Israiliyyat ketiga, yakni yang didiamkan oleh syariat kita, dalam arti tidak ada yang memperkuat ataupun menolaknya, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Kasir dari Su’udi di dalam tafsirnya ketika menerangkan ayat-ayat tetnang sapi betina, sebagaimana dinyatakan di dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 67-74. Keterangannya adalah: “Seorang laki-laki dari Bani Israil, memiliki harta yang banyak dan memiliki seorang anak wanita. Ia mempunyai pula seorang anak laki-laki dari saudara laki-lakinya yang miskin. Kemudian anak laki-laki tersebut melamar anak perempuan itu. Akan tetapi saudara laki-laki tersebut enggan mengawinkannya, dan akibatnya, pemuda tadi menjadi marah, dan ia berkata: Demi Allah akan kubunuh pamannya, bertepatan dengan datangnya sebagian pedagang Bani Israil. Ia berkata kepada pamannya: Wahai pamanku, berjalanlah bersamaku, aku akan minta pertolongan kepada para pedagang Bani Israil, mudah-mudahan aku berhasil, dan jika mereka melihat engkau bersamaku pasti akan memberinya. Kemudian keluarlah pemuda itu beserta pamannya pada suatu malam, dan ketika mereka sampai disuatu gang, maka si pemuda tadi membunuh pamannya kemudian ia kembali kepada keluarganya. Ketika datang waktu pagi, seolah-olah ia tidak mengetahui di mana pamannya itu berada, dan berkata: Kalian membunuh pamanku, bayarlah diyatnya. Kemudian ia menangis sambil melempar-lempar tanah ke atas kepalanya dan berteriak: Wahai paman! Lalu ia melaporkan persoalannya kepada Nabi Musa dan Nabi Musa menetapkan diyat bagi pedagang tersebut. Mereka berkata kepada Musa: Wahai Rasulullah, berdoalah engkau kepada Tuhan, mudah-mudahan Tuhan memberi petunjuk kepada kita, siapa yang melakukan hal ini, nanti keputusan diberikan kepada pelaku. Demi Allah, sesungguhnya membayar diyat itu bagig kami adalh sangat mudah, akan tetapi kami sangat malu dengan perbuatan tersebut”.

Peristiwa tersebut dinyatakan Allah dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 72:


Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama Ini kamu sembunyikan.” (QS. Al-baqarah: 72).

SIKAP PARA ULAMA TERHADAP ISRAILIYYAT

Para ulama, terlebih lagi para ahli tafsir berbeda-beda sikapnya, dalam masalah ini terdapat empat macam.

1. Ada yang banyak membawakan riwayat Israiliyyat dengan disertai sanadnya, dia memandang, bahwa dengan menyebutkan sanad, maka dia dapat keluar dari lingkup larangannya, seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari.

2. Ada yang banyak membawakan riwayat Israiliyyat tanpa disertai sanad, maka dia seperti penyulut api di tengah malam, misalnya : Al-Baghawi yang di katakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang tafsirnya : “Tafsirnya adalah ringkasan dari tafsir Ats-Tsa’labi, akan tetapi dia menjaganya dari hadits-hadits palsu dan pandangan-pandangan bid’ah”, beliau mengatakan tentang Ats-Tsalabi : “Dia adalah penyulut api di tengah malam, dia menukil apa yang dia dapati dalam kitab-kitab tafsir dari riwayat-riwayat shahih,dhaif atau palsu”.

3. Ada yang banyak menyebutkannya, namun sebagian besar yang disebutkan diberi komentar dha’if atau diingkari, seperti Imam Ibnu Katsir.

4. Ada yang berlebih-lebihan dalam menolaknya sehingga tidak menyebutkan riwayat Israiliyyat sedikitpun sebagai penafsiran bagi Al-Qur’an, seperti Muhammad Rasyid Ridha.

Hukum Menceritakan Riwayat Israiliyat

Sebelum mengemukakan hukum meriwayatkan kisah-kisah Isrȃȋliyȃt, terlebih dahulu penulis kemukakan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. yang ada kaitannya dengan kedudukan periwayatan Isrȃȋliyȃt.

1.    Dalil-dalil yang melarang

Adapun dalil-dalil yang melarang meriwayatkan isrȃȋliyȃt, di antaranya:

a.    Banyaknya ayat-ayat al-Quran yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani telah merubah dan menyembunyikan kebenaran isi kitab suci mereka, dan mereka sangat berambisi sekali untuk mengacaukan akidah umat Islam, serta pengetahuan mereka sebenarnya hanyalah berupa angan-angan, dugaan, dan ilusi belaka yang menyebabkan mereka tidak dapat dipercayai sebagai sumber sejarah. Seperti firman Allah Swt:

 وَمِنَ الَّذِينَ هِادُواْ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِن بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَـذَا فَخُذُوهُ وَإِن لَّمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُواْ وَمَن يُرِدِ اللّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللّهِ شَيْئًا أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya:”........dan di antara orang-orang Yahudi itu sangat suka mendengar (berita-berita) bohong, dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan,”jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah diubah-ubah) terimalah, dan jika kamu diberi bukan yang ini, maka hati-hatilah. Barang siapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikitpun engkau tidak akan mampu meolak sesuatupun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar”. (al-Ma’idah:41).

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لاَ يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ

Artinya:”Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak memahami kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga”. (al-Baqarah: 78).

b.    Rasulullah Saw. melarang umat Islam secara terang-terangan untuk mengambil  sesuatu dari kaum Yahudi. Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Bukhȃriy:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ ، وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لأَهْلِ الإِسْلاَمِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ ، وَقُولُوا ( آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ ) الآيَةَ

Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, menceritakan kepada kami ‘Usman bin ‘Umar, membertahukan kepada kami ‘Ali bin al-Mubarak dari Yahya bin Katsir dari Abi Salamah dari Abi Hurairah RA berkata:”pada suatu hari ahl al-kitȃb membaca Taurat dengan bahasa ‘Ibrani dan diuraikan dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam, maka Rasulullah Saw. bersabda:”janganlah kamu membenarkan (perkataan) ahl al-kitȃb dan jangan pula kamu dustakan mereka, berkatalah kamu sekalian “kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami (ayat al Qur’an)”.

c.    Rasulullah Saw. menegur Umar bin Khattab ketika melihat lembaran dari ahl al-kitȃb ada pada Umar.

حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا مُجَالِدٌ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيِ.

Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Suraij bin al-Nu’mȃn, menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengkabarkan kepada kami Mujȃlid dari al Sya’bȋ, dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa ‘Umar bin al-Khattȃb Ra. datang kepada Nabi SAW dengan membawa sebuah kitab yang didapatnya dari sebagian ahl al kitȃb, lalu dibacakannya kepada beliau, maka serta merta Rasulullah Saw. marah seraya mengatakan”apakah kamu ragu dan bimbang padanya wahai ibn al-Khattȃb?, demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepadamu dengan membawa ajaran yang putih dan jernih. Janganlah kamu bertanya kepada mereka tentang sedikitpun, maka mereka memberitahukan kepadamu dengan kebenaran, lalu kamu mendustakannya, atau memberitahukan kepadamu dengan kebatilan, lalu kamu membenarkannya. Demi yang jiwaku di tangan-Nya, kalau Musa Aa. hidup niscaya ia akan mengikuti”.

d.   Para sahabat menegur orang yang pergi kepada Bani Israil dan mengambil cerita Isrȃȋliyȃt dari mereka. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhȃriy dari ‘Abdullah bin ‘Abbȃs:

  حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ ، كَيْفَ تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ ، وَكِتَابُكُمُ الَّذِى أُنْزِلَ عَلَى نَبِيِّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَحْدَثُ الأَخْبَارِ بِاللَّهِ ، تَقْرَءُونَهُ لَمْ يُشَبْ ، وَقَدْ حَدَّثَكُمُ اللَّهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ وَغَيَّرُوا بِأَيْدِيهِمُ الْكِتَابَ ، فَقَالُوا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ، لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً أَفَلاَ يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مُسَاءَلَتِهِمْ ، وَلاَ وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلاً قَطُّ يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِى أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ.

Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bakir, menceritakan kepada al Laits bin Yunus, dari Ibnu Syihȃb dari Ibnu ‘Abbas Ra. berkata:”Wahai umat Islam, bagaimana kalian bertanya kepada ahl al kitȃb? padahal kitab suci kalian yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Muhammad Saw. adalah yang paling banyak menceritakan cerita dengan (wahyu) Allah, yang mana kalian membacanya tidak akan usang, dan Allah telah mengatakan kepada kalian bahwa ahl al kitȃb telah mengubah-ubah yang ditulis Allah dan menganti-ganti dengan tangan mereka, lalu mereka mengatakan:” ini adalah (kitab) yang datang dari Allah, untuk membeli dengannya harga yang murah, apakah yang telah datang kepada kalian dari ilmu pengetahuan (al Qur’an) itu tidak menghentikan kalian dari bertanya kepada mereka (ahl al kitȃb)? Tidak! Demi Allah, tidaklah pernah sama sekali seorangpun dari kalangan mereka menanyakan kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian”.

Berdasarkan dalil-dalil di atas adanya larangan untuk mengambil informasi dariahl al-kitȃb karena kitab Taurat dan Injil yang sampai kepada generasi sekarang sudah tidak asli lagi, sehingga kebenaran informasi tersebut dikeragui, apalagi watak dan karakter orang-orang Yahudi dan Nasrani yang jelek sebagaimana digambarkan dalam ayat-ayat di atas mengindikasikan bahwa informasi dari mereka tidak dapat dipercayai.

2.    Dalil-dalil yang membolehkan

Ayat-ayat al Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. secara tegas dan eksplisit ada yang membolehkan untuk mengembalikan sebagian persoalan kepada ahl al-kitȃb dan membolehkan juga bertanya tentang suatu yang ada pada mereka. Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw.  berikut:

a.    Allah menyuruh Nabi Muhammad Saw. untuk bertanya kepada ahl al-kitȃb.Sebagaimana firman Allah Swt. SuratYunus ayat 94:

فَإِن كُنتَ فِي شَكٍّ مِّمَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَؤُونَ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءكَ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Artinya:”Maka jika engkau (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang yang membaca kitab sebelummu. Sungguh telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu”.

Allah mengizinkan kepada Nabi-Nya untuk bertanya kepada ahl al-kitȃb, demikian pula mengizinkan kepada umatnya untuk bertanya kepada meraka. Hal ini berdasarkan suatu ketetapan syara’, bahwa semua perintah Allah kepada Nabi-Nya, juga diperintahkan kepada umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

b.    Perintah mengembalikan persoalan kepada Taurat. Sebagaimana firman Allah swat.  surat Ali Imran ayat 93:

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِـلاًّ لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلاَّ مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُواْ بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Artinya:” semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah (Muhammad), maka bawalah Taurat dan bacalah, jika kamu orang-orang yang benar”.

c.    Penegasan bahwa Allah menjadi saksi antara Nabi Muhammad Saw. dan orang-orang yang mempunyai ahl al-kitȃb.Sebagaimana firman Allah Swt. Surat ar-Ra’du ayat 43:

 وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَسْتَ مُرْسَلاً قُلْ كَفَى بِاللّهِ شَهِيدًا بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَمَنْ عِندَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ

Artinya:”Dan orang-orang kafir berkata (Engkau Muhammad) bukanlah seorang Rasul. Katakanlah cukuplah Allah dan orang yang menguasai ilmu al kitȃb menjadi saksi antara aku dan kamu”.

Yang dimaksud dengan orang yang mempunyai ilmu al-kitȃb menurut pandangan mufassir adalah setiap ahl al-kitȃb yang mempunyai ilmu tentang Taurat dan Injil. Itu semua menunjukkan kebolehan mengembalikan persoalan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan maksud firman Allah:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِن كَانَ مِنْ عِندِ اللَّهِ وَكَفَرْتُم بِهِ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِهِ فَآمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Artinya:”Katakanlah,”terangkanlah kepadaku bagaimana pendapatmu jika sebenarnya (al Qur’an) ini datang dari Allah, dan kamu menginkarinya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui (kebenaran) yang serupa denga (yang disebut dalam) al Qur’an lalu dia beriman; kamu menyombongkan diri sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim”. (Al Ahqaf:10).

d.   Hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhȃriy dalam kitab shahȋh-nya:

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ȃshim al Dhahhȃk bin Makhlad, mengkabarkan kepada kami al Auzȃ’ȋ, menceritakan kepada kami Hassan bin ‘Athiyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdillah bin ‘Amru bahwasannya Nabi SAW berkata:” sampaikanlah olehmu apa saja yang berasal dariku walau satu ayat, ceritakanlah olehmu apa yang kamu peroleh dari Bani Israil (hal itu) tidak ada salahnya, siapa saja yang berbuat kedustaan atas namaku, maka bersiaplah untuk menempati tempat di neraka”.


e.    Hadis yang diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnad-nya bahwa Nabi Saw. mendengar sebagian orang Yahudi yang sedang membaca kitab.

حَدَّثَنَا رَوْحٌ وَعَفَّانُ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ عَفَّانُ عَنْ أَبِيهِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ابْتَعَثَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِدْخَالِ رَجُلٍ إِلَى الْجَنَّةِ فَدَخَلَ الْكَنِيسَةَ فَإِذَا هُوَ بِيَهُودَ وَإِذَا يَهُودِيٌّ يَقْرَأُ عَلَيْهِمْ التَّوْرَاةَ فَلَمَّا أَتَوْا عَلَى صِفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْسَكُوا وَفِي نَاحِيَتِهَا رَجُلٌ مَرِيضٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَكُمْ أَمْسَكْتُمْ قَالَ الْمَرِيضُ إِنَّهُمْ أَتَوْا عَلَى صِفَةِ نَبِيٍّ فَأَمْسَكُوا ثُمَّ جَاءَ الْمَرِيضُ يَحْبُو حَتَّى أَخَذَ التَّوْرَاةَ فَقَرَأَ حَتَّى أَتَى عَلَى صِفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمَّتِهِ فَقَالَ هَذِهِ صِفَتُكَ وَصِفَةُ أُمَّتِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ مَاتَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ لُوا أَخَاكُمْ

Artinya:” Telah menceritakan kepada kamu Rȗh dan ‘Affȃn al Ma’nȃ berkata, menceritakan kepada kami Hamȃd bin salamah dari ‘Ȃthȃ’ bin al Sȃ’ȋb dari Abȋ ‘Ubaidah bin ‘Ȃbdillah bin Mas’ud, ‘Affȃan berkata dari ayahnya Ibnu Mas’ȗd berkata:”sesungguhnya Allah Swt. mengutus NabiNya untuk memsukkan orang kesyurga. Kemudian Nabi Saw. masuk ke dalam kanisah (tempat ibadah Yahudi), ternyata ada seorang Yahudi yang sedang membaca kitab Taurat kepada mereka. Ketika mereka tiba pada sifat-sifat Nabi, mereka diam semuanya. Di antara mereka terdapat seorang yang sakit, lalu Nabi bertanya kepada mereka: mengapa kamu sekalian berhenti?, Orang sakit itu berkata: Mereka telah sampai pada bagian yang menjelaskan tentang sifat Nabi, lalu mereka diam. Lalu orang sakit itu merangkak untuk mengambil kitab Taurat, lalu dibacakannya sampai pada bagian yang menjelaskan sifat Nabi Saw. dan umatnya. Kemudian orang itu berkata “ ini adalah sifat engkau dan umat engkau, aku brsaksi tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi pula bahwa engkau adala utusanNya. Kemudian ia meninggal dunia, maka Nabi Saw. berkata kepada sahabatnya, dia adalah saudara kamu”.


f.     Telah menjadi ketetapan bahwa sebagian sahabat mengembalikan sebagian persoalan kepada ahl al-kitȃb yang telah masuk Islam, bertanya tentang sebagian isi dari kitab-kitab mereka, seperti Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud maupun sahabat-sahabat lainnya.

Dalil-dalil di atas menerangkan bahwa dalam kitab Taurat maupun Injil yang asli terkandung informasi tentang Nabi Muhammad Saw. dan nabi-nabi sebelumnya, sehingga ketika orang-orangahl al-kitȃb masih meragukan kebenaran yang disampaikan Nabi Muhammad Saw., maka dipersilakan untuk melihat kepada kitab-kitab mereka, pasti mereka akan mendapatkan kebenaran itu.

3.    Menyelesaikan antara dalil-dalil yang melarang dan membolehkan

Adanya dalil-dalil yang melarang dan dalil-dalil yang lahirnya membolehkan menerima periwayatan dari ahl al-kitȃb yang dikenal dengan isrȃȋliyȃt menunjukkan, bahwa dalam hal-hal tertentu periwayatan itu bisa saja dibenarkan dan dalam hal-hal tertentu juga dilarang untuk menerimanya. Untuk menyelaraskan apa yang telah dikemukakan di atas, imam al-Dzahabiy mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

a.    Pengetahuan dalam Islam tidak hanya terbatas di sekitar ruang lingkup kaum muslimin dan di sekitar batasan syariat yang khusus dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan sejarah kehidupan dan perjuangan yang panjang saja, akan tetapi pengetahuan itu berkaitan dengan umat-umat terdahulu dan agama-agama yang telah lalu. Pengetahuan Islam mengambil dari ahl al- kitȃb dalam rangka memperkuat kebenaran ajaran Islam, serta membuang kebatilan yang tidak sesuai dengan petunjuk Islam.

Adanya ayat-ayat al-Quran yang mengandung perintah untuk mengembalikan sebagian persoalan kepadaahl al-kitȃb adalah untuk menegaskan bahwa adanya Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. yang diberikan wahyu dan mukjizat kepada mereka sebagaimana halnya Nabi Muhammad Saw. diberikan wahyu oleh Allah. Kemudian ayat-ayat tersebut juga berisi tantangan bagi orang-orang yang masih meragukan, bahwa al-Quran itu benar-benar berasal dari Allah. Kebenaran itu terbukti, bahwa apa yang diinformasikan dalam al-Quran ternyata sama dengan apa yang telah menjadi pengetahuan orang-orang Yahudi dan Nasrani terutama yang berkaitan dengan agama mereka. Sebab itu, di sini dapat dipahami bahwa tujuan penginformasian itu adalah untuk memperlihatkan kebenaran-kebenaran terutama bagi ahl al-kitȃb yang dengannya diharapkan mereka mau mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.

b.    Adanya perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk bertanya kepada ahl al-kitȃb, menunjukkan kebolehan mengembalikan persoalan kepada mereka, akan tetapi tidak dalam semua masalah. Yaitu pada berita-berita yang dibenarkan al-Quran, serta untuk menegakkan hujjah kepada orang-orang yang mengingkarinya. Jika mereka menjelaskan keterangan yang terdapat dalam diri mereka sesuai dengan apa yang datang dari Allah, maka tegakkan hujjah tersebut. Jika mereka berusaha untuk menyamarkan atau menyembunyikannya, maka Allah mengingatkan Nabi-Nya terhadap perbuatan mereka, sehingga mereka terhalang dengan keinginannya.

c.    Dalam penerimaan terhadap informasi dari ahl al-kitȃb, tidak boleh menerimanya dengan mutlak, begitupula sebaliknya tidak boleh menolaknya dengan mutlak. Kaum muslimin boleh menerima sesuatu yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Kesesuaian ini menunjukkan bahwa apa yang diterima itu, bersih dari pergantian dan perubahan. Mereka pun harus menolaknya bila hal itu bertentangan dengan apa yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Saw., atau tidak sesuai dengan akal sehat. Atas dasar itu, maka semua berita dari Bani Israil yang sesuai dengan syariat Islam, boleh meriwayatkannya. Adapun yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan akal sehat, harus ditinggalkan. Sedangkan isrȃȋliyȃt yang didiamkan oleh syariat Islam tidak ada alasan yang membenarkan atau mendustakan, akan tetapi mengandung kemungkinan antara keduanya, maka hukumnya juga didiamkan, karena ada kemungkinan benar atau salah.

d.   Apabila berita yang didiamkan syariat Islam tidak diperkuat dan tidak pula disalahkan, dan kedatangannya dibawa oleh sahabat yang bukan berasal dari ahl al-kitȃb atau tidak dikenal sebagai orang yang suka mengambil berita dari mereka, maka apabila dipastikan kebenarannya, hukumnya sama dengan bagian pertama, yaitu harus diterima dan jangan ditolak. Tetapi jika berita yang tidak pasti itu diterima dari tabi’in, maka hukumnya harus dibiarkan, maksudnya jangan diputuskan benar atau salahnya, sebab besar kemungkinan orang tersebut menerima dari ahl al-kitȃb.

e.    Selama ada halangan untuk mengambil riwayat dari ahl al-kitȃb sebagaimana pada permulaan Islam, yaitu khawatir terjadinya fitnah, maka sebagaimana telah ditetapkan syariat, bahwasannya halangan (illat) itu akan bergerak sama dengan yang dihalanginya (ma’lȗl), baik keberadannya maupun ketiadaannya. Pada masa sekarang ini tetap dilarang untuk mengambil ataupun meriwayatkannya. Sedangkan bagi orang-orang yang telah dalam ilmunya, tajam pandangannya yang dengannya bisa membedakan yang hak dengan yang batil, maka tidak dilarang baginya untuk mengambil ataupun meriwayatkan dalam aturan batas syara’.

Jadi, menurut uraian al-Dzahabiy di atas, hukum meriwayatkan isrȃȋliyȃt  yang sesuai dengan syariat, dapat dibenarkan dan dibolehkan. Akan tetapi yang bertentangan dengan syariat harus ditolak dan diharamkan meriwayatkannya, kecuali untuk menerangkan kesalahannya. Sedangakan yang didiamkan oleh syariat jangan dihukumi dengan apapun, baik membenarkan maupun mendustakan, dan boleh meriwayatkannya karena sebagian besar yang diriwayatkan itu kembali kepada cerita-cerita dan berita-berita bukan kepada masalah akidah ataupun masalah hukum. Cara meriwayatkannya hanyalah sekedar mengemukakan hikayatnya saja, sebagaimana terdapat dalam kitab-kitabnya tanpa melihat apakah cerita itu benar atau salah.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Jauhilah Berdusta Atas Nama Nabi Muhammad SAW

عن أبي هريرة عَن رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ: سَيَكُوْنُ فىِ آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتىِ يُحَدِّثُوْنَكُمْ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَ لاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَ إِيَّاهُمْ

Dari Abu Hurairah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau bersabda, “Akan ada sekelompok orang dari umatku di akhir zaman yang menceritakan (hadits) kepada kalian yang tidak pernah didengar oleh kalian dan bapak-bapak kalian. Waspadalah kalian terhadap mereka”. [HR Muslim: 6]

Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar, bahkan bisa kafir.

Imam Adz Dzahabi dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran. Adapun perkara yang dibahas kali ini adalah untuk bentuk dusta selain itu.”

Beberapa dalil yang dibawakan oleh Imam Adz Dzahabi adalah sebagai berikut.

Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ  بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ

“Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)

Imam Dzahabi juga membawakan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berkata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”

Dalam hadits lainnya disebutkan pula,

يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلاَلِ كُلِّهَا إِلاَّ الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ

“Seorang mukmin memiliki tabiat yang baik kecuali khianat dan dusta.” (HR. Ahmad 5: 252. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif)

Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ

“Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).” (HR. Muslim dalam muqoddimah kitab shahihnya pada Bab “Wajibnya meriwayatkan dari orang yang tsiqoh -terpercaya-, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Setelah membawakan hadits-hadits di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Dengan ini menjadi jelas dan teranglah bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ -dari perowi pendusta- (hadits palsu) tidaklah dibolehkan.” (Lihat kitab Al Kabair karya Imam Adz Dzahabi)

Adapun hadits,

مَنْ كَذِبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka siapkan tempatnya itu di neraka”.

Hadits ini adalah mutawatir (yakni hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu shahabat). [HR al-Bukhoriy: 107 dari Zubair, 110, 7197 dari Abu Hurairah,Muslim: 3, at-Turmudziy: 2257, 2659 dari Ibnu Mas’ud, 2661 dari Anas, 2669 dari Ibnu Amr, Ibnu Majah: 30 dari Ibnu Mas’ud, 32 dari Anas, 33 dari Jabir, 36 dari Zubair, 37 dari Abu Sa’id, Abu Dawud: 3651 dari Zubair, dan Ahmad: II/ 159, 171, 214 dari Ibnu Amr, IV/ 47 dari Salamah bin al-Akwa’, I/ 389, 401, 402, 405, 436 dari Ibnu Mas’ud, II/ 410, 413, 469, 519 dari Abu Hurairah, III/ 39, 44, 56 dari Abu Sa’id, III/ 98, 113, 116, 166, 173, 176, 203, 223, 278, 279, 280 dari Anas. [Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6519].

Hadist palsu menyebabkan banyak bermunculan amalan-amalan yang bukan datang dari Allah dan Rasulnya beredar ditengah-tengah umat Islam. timbulnya ajaran syirik, khurafat, bid’ah, dsb.

Diantara golongan pemalsu hadist :

1. Kaum Zindiq Yakni mereka yang berpura-pura Islam tetapi sesungguhnya mereka adalah kafir dan munafiq. Mereka sangat hasad dan benci terhadap Islam dan bertujuan merusak Agama ini dari dalamnya

2. Kaum pengikut hawa nafsu. Mereka mengajak manusia mengikutinya ke dalam : Ta’ashub, madzhabiyah, firqahnya, qabilahnya, imamnya dll.

3. Kaum yang bertujuan baik menurut persangkaan mereka. Mereka buat hadits-hadits palsu tentang nasehat-nasehat dan lain-lain.

4. Al Qashshaas (Tukang cerita) Mereka memalsukan hadits dan memasukkannya kedalam cerita-cerita yang mereka buat.

5. Kaum penjilat penguasa yang mengharapkan kedudukan.

Berpegang dengan zhahirnya, yaitu hukum bunuh terhadap orang yang sengaja berdusta atas Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka ini ada yang berpendapat kafirnya dengan sebab itu. Ini pendapat sekelompok Ulama, di antaranya Abu Muhammad al-Juwaini.

Ibnu ‘Aqîl menyatakan dari gurunya, Abul Fadhl al-Hamdani, yang berkata, “Para pembuat bid’ah dalam agama Islam, para pendusta dan pembuat hadits palsu, lebih berbahaya daripada orang-orang mulhid (ateis). Karena orang-orang mulhid berniat merusak agama dari luar, sedangkan mereka ini berniat merusak agama dari dalam. Maka mereka ini seperti penduduk kota yang berusaha melakukan kerusakan keadaan-keadaan kota, sedangkan orang-orang mulhid seperti orang-orang yang mengepung dari luar. Orang-orang yang berada di dalam akan membukakan pintu benteng, sehingga mereka lebih buruk terhadap agama Islam daripada orang-orang yang bukan pemeluknya.”

Penjelasannya adalah berdusta atas Nabi merupakan bentuk berdusta atas nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Oleh karena itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ

Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain

Karena perkara yang diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam juga diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla , wajib untuk diikuti sebagaimana wajibnya mengikuti perintah Allâh Azza wa Jalla.

Dan perkara yang diberitakan oleh Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam wajib diyakini seperti wajibnya meyakini perkara yang diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa mendustakan berita dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam atau tidak mau meyakini perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , maka dia seperti orang yang mendustakan berita dari Allâh Azza wa Jalla atau tidak mau meyakini perintah Allâh Azza wa Jalla . Dan telah diketahui bahwa barangsiapa berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , dengan mengatakan bahwa dirinya utusan Allâh Azza wa Jalla , atau Nabi-Nya, atau dia memberitakan suatu berita dari Allâh Azza wa Jalla padahal dia bohong sebagaimana Musailamah, al-‘Ansi, dan para nabi palsu lainnya, maka dia kafir, halal darahnya.

Demikian juga orang yang sengaja berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , karena kedudukan berdusta atas Allâh sama dengan mendustakan-Nya. Oleh karenanya, Allâh menggabungkan keduanya dengan firmanNya:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ

Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allâh atau mendustakan al-haq (kebenaran) tatkala al-haq itu datang kepadanya? [Al-‘Ankabût/29: 68]

Bahkan kemungkinan berdusta atas nama Allâh lebih besar dosanya daripada mendustakan berita-Nya. Oleh karena itu, Allâh lebih mendahulukannya. Sebagaimana orang yang jujur berbicara tentang Allâh Azza wa Jalla lebih tinggi derajatnya daripada orang yang membenarkan berita-Nya. Maka jika orang yang berdusta seperti orang yang mendustakan, atau bahkan lebih besar, dan orang yang berdusta Allâh seperti orang yang mendustakan beritaNya, maka orang yang berdusta atas nama Rasul sama seperti orang yang mendustakannya, karena perbuatan mendustakan sama dusta. Karena mendustakan beritanya sama dengan menyataan bahwa dia tidak benar dalam beritanya, dan itu sama saja dengan menganggap agama Allâh itu bathil. Tidak ada beda antara mendustakannya dalam satu berita atau dalam dalam seluruh berita. Dan dia menjadi kafir karena hal itu memuat pembatalan terhadap risalah dan agama Allâh. Sedangkan orang yang berdusta atas nama-Nya, dengan sengaja telah memasukkan ke dalam agama Allâh suatu perkara yang bukan dari agama Islam, dan dia menganggap bahwa wajib bagi umat ini membenarkan berita tersebut dan melaksanakannya, karena itu merupakan bagian agama Allâh, padahal dia tahu itu bukan bagian dari agama Allâh. Menambahkan (sesuatu) ke dalam agama sama hukumnya dengan mengurangi (sesuatu) darinya. Dan tidak ada bedanya orang yang mendustakan satu ayat al-Qur’ân, atau sengaja menambahkan satu kalimat yang dia katakan sebagai surat dari al-Qur’ân.

Demikian juga, sesungguhnya sengaja berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla merupakan perbuatan memperolok-olok dan merendahkan Allâh Azza wa Jalla . Karena dia mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla memerintahkan perkara-perkara yang tidak pernah diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla , atau bahkan ada kemungkinan tidak boleh diperintahkan. Ini berarti menyemat sifat bodoh atau tidak tahu kepada Allâh Azza wa Jalla . Atau dia memberitakan perkara-perkara dusta, ini berarti menisbatkan dusta kepada Allâh Azza wa Jalla , dan ini merupakan kekafiran yang nyata.

Demikian juga seandainya dia mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan puasa satu bulan selain pada bulan Ramadhan, atau mewajibkan shalat keenam, dan semacamnya, atau bahwa Allâh mengharamkan roti dan daging dan lain sebagainya. Jika dia tahu dan sadar dengan perbuatan dustanya, maka dia menjadi kafir berdasarkan kesepakatan (Ulama).

Maka barangsiapa mengatakan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan sesuatu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wajibkan, atau Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan sesuatu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak haramkan, maka dia telah berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dia telah berdusta atas Nabi sejak awalnya, ditambah lagi dia mengatakan dengan terang-terangan bahwa Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkannya, atau Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan fatwa dan berkata, padahal dia tidak mengatakannya dengan ijtihad dan istimbath.

Intinya barangsiapa sengaja berdusta secara nyata atas nama Allâh Azza wa Jalla , maka dia seperti orang yang sengaja mendustakan Allâh Azza wa Jalla , atau bahkan keadaannya lebih buruk. Dan jelas bahwa orang yang berdusta atas nama seseorang yang wajib untuk diagungkan, maka dia itu meremehkannya dan merendahkan kehormatannya.

Demikian juga orang yang berdusta atas nama seseorang, dia pasti memberikan citra buruk kepadanya dan merendahkannya…

Adapun orang yang meriwayatkan sebuah hadits dan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka ini haram (hukumnya) sebagaimana telah shahih bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

Barangsiapa menceritakan sebuah hadits dariku, padahal dia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari para pendusta

Tetapi dia tidak kafir, kecuali dia memasukkan di dalam riwayatnya sesuatu yang menyebabkan kekafiran. Karena dia jujur saat mengatakan bahwa gurunya telah menceritakan hadits itu kepadanya, tetapi karena dia mengetahui bahwa gurunya berdusta dalam hadits tersebut maka dia tidak halal meriwayatkannya. Sehingga kedudukannya seperti bersaksi atas pernyataan atau persaksian atau perjanjian, sedangkan dia mengetahui bahwa hal itu batil. Persaksian tersebut haram hukumnya, tetapi bukan persaksian palsu”.

Wahai saudara-saudara muslimku, berdasarkan beberapa riwayat hadits di atas, dapat dipahami bahwa,

1]. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa sepeninggalnya nanti akan ada orang-orang yang suka berkata atas nama Beliau padahal Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak pernah mengatakannya.

Maka tak heran di masa sekarang ini banyak diantara umat yang mengaku-ngaku ustadz/ah, dai/ah, aa/ mamah dan yang semisalnya yang gemar mengatakan, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda/ berkata/ menyuruh/ melarang/ menganjurkan/ menyontohkan, melakukan ini dan itu,  dan sebagainya”, padahal tidak ada satupun dalil hadits yang menjadi rujukannya. Kalau toh ada, hadits itu ternyata (di dalam ilmu hadits) dikategorikan sebagai hadits dlo’if (lemah) atau maudlu” (palsu).

2]. Ada perintah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam agar waspada dari banyak menyampaikan hadits dari Beliau.

Artinya setiap muslim ketika akan menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maka hendaklah ia berusaha mencari tahu dulu (dari para ahli hadits) akan derajat hadits tersebut apakah termasuk hadits shahih atau tidak. Maksudnya hadits itu benar-benar dari Beliau atau hanya mengada-ada??

Mengapa???.

Jika nama kita saja dicatut oleh seseorang untuk keuntungan diri dan kelompoknya, tentu kita akan marah dan bahkan kalau perlu akan menuntutnya ke meja hijau. Lalu bagaimana jika nama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dicatut. Tidakkah kita marah..??

Lalu kenapa kepada para ahli hadits??? Kalau kita ingin memperbaiki apa yang ada pada kita saja kita harus datang kepada orang yang memang ahlinya. Mobil/ motor rusak, kita akan datang pada montir, rumah/ bangunan rusak, kita akan datang pada ahli bangunan, kita/ diantara keluarga kita ada yang sakit maka kita akan datang pada dokter spesialis, begitu seterusnya. Tiap-tiap sesuatu itu harus kepada ahlinya. Jadi untuk mengetahui akan keshahihan suatu hadits, ya tentu kita harus datang kepada ahlinya yaitu ahli hadits..

Sebagai umat yang berpendidikan dan berakhlak mulia, maka kita harus profesialisme yaitu mengembalikan sesuatu perkara itu kepada ahli/ profesinya. Kita tentu akan menghargai orang yang bekerja dan berbicara sesuai dengan keahliannya.

3]. Seseorang dikatakan berdusta jika ia selalu berbicara atau menyampaikan segala sesuatu yang didengar.

Di masa sekarang ini, banyak dari kaum muslimin yang suka menyampaikan ucapan-ucapan yang dianggap dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, padahal ia cuma dengar-dengar saja dari ustadz fulan dan fulan. Ia tidak mau tahu atau memang enggan mencari tahu akan keberadaan hadits tersebut. Coba jika ia bertanya kepada sang ustadz yang menyampaikan hadits tersebut akan keberadaan dan derajatnya tentu itu lebih baik untuk menguatkan keyakinannya. Sehingga ia dapat kembali menyampaikan hadits tersebut kepada keluarga atau kawannya dengan tenang tanpa keraguan.

Sebab bila ia gemar menyampaikan sesuatu yang ia dengar (tanpa mau mengetahui sumbernya) maka ia dicap oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai seorang “pendusta”.

4]. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengancam setiap orang yang berkata atas namanya padahal Beliau tidak pernah mengatakannya dengan mendapatkan tempat/ rumah di NERAKA. Apalagi dengan sengaja ia berdusta atas nama Beliau Shallallahu alaihi wa sallam.

Maksudnya jika ada orang yang karena kebodohannya berkata tentang sesuatu pada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apakah berupa ucapan ataupun perbuatan (hadits). Padahal perkataannya (yang dikutipnya) itu bukan sabda/ perbuatan Beliau karena hadits tersebut adalah hadits lemah atau palsu maka ia kelak akan masuk ke dalam neraka.

Maka bagaimana dengan orang yang sengaja berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, yaitu ia tahu hadits itu lemah/ palsu tetapi ia tetap menyampaikannya dan mengatakan kepada umat Islam sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

5]. Banyak mudlarat yang dapat ditimbulkan oleh hadits lemah dan palsu itu. Diantaranya; berbohong atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, menyebabkan terjadinya banyak tambahan dalam agama, khususnya di dalam perkara-perkara bid’ah, menyebabkan banyaknya terjadi perselisihan, perpecahan, pertikaian dan permusuhan dalam agama padahal Islam telah menganjurkan persatuan dan perdamaian, banyak di antara umat Islam yang lebih mengenal dan menghafal hadits-hadits lemah dan palsu daripada hadits-hadits shahih dan ayat-ayat alqur’an dan masih banyak lainnya.

6]. Terdapat larangan dari menyampaikan hadits lemah/ palsu. Hal ini dikarenakan untuk menjaga kemurnian agama dari campur tangan manusia di dalam menegakkan Islam. Sebab diantara keberadaannya hadits lemah dan palsu itu dikarenakan campur tangan manusia yang lemah agamanya untuk membela keyakinannya yang keliru, fanatik golongan, ingin dekat dengan para penguasa di saat itu, sengaja merusak Islam dan sebagainya. Jika setiap orang apalagi para ustadz itu dapat dengan bebasnya menyampaikan sesuatu perkara agama sesuai dengan akal logika atau hawa nafsunya tanpa dalil yang menyertainya niscaya agama kita akan rusak sebagaimana telah rusaknya agama-agama terdahulu. Kalau toh berdalil, sayangnya dalil hadits-hadits itu juga dalam keadaan cacat lantaran dikategorikan sebagai hadits lemah atau palsu. Na’udzu billah….

Wahai saudaraku, marilah kita muliakan Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dengan cara membaca, mempelajari, memahami, menghafal, mengamalkan dan menyebarluaskan hadits-haditsnya yang telah tsabit dari Beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Milikilah buku-buku hadits dan yang berkenaan dengannya sebagaimana kita mempunyai kitab suci alqur’an. Jangan hanya mendengar tanpa mau mengetahui sumber haditsnya dan jangan cuma menyampaikan tanpa mau menyebutkan asal dan derajat haditsnya…

Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan lain bagi kita dari sisi lain yang selama ini kita pahami dan yakini. Karena terkadang kita tidak akan melihat keberadaan kita di posisi yang mana, apakah di posisi yang salah atau benar?, jika kita tidak melihat kedudukan lainnya dan bersikap obyektif di dalam menilai kebenaran yang hakiki.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Minggu, 24 Februari 2019

Amal Harus Dengan Niat Serta Ikhlas

Setiap amalan sangat tergantung pada niat.

وعَنْ أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب بن نفيل بن عبد العزى بن رياح بن عبد اللَّه بن قرط بن رزاح بن عدي بن كعب بن لؤي بن غالب القرشي العدوي رَضيَ اللَّه عَنْهُ قَالَ سمعت رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم يقول: إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى. فمَنْ كانت هجرته إِلَى اللَّه ورسوله فهجرته إِلَى اللَّه ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إِلَى ما هاجر إليه. متفق عَلَى صحته. رواه إماما المحدثين: أبو عبد اللَّه محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه الجعفي البخاري، وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري رَضيَ اللَّه عَنْهما في كتابيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة.

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-’Adawi radhiyallahu ‘anhu  berkata:
 “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.

[Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]

Dan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ

“Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui”.” (QS. Ali Imran: 29)

Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan lawan dari ikhlas- dalam firman-Nya,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.” An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.”

Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang menutut  ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan materi duniawi, maka ia tidak akan pernah mencium bau surga pada hari kiamat nanti.”

Ikhlas merupakan suatu hal yang sangat rahasia dan memang hanya Allah yang mengetahui, karena ikhlas merupakan rahasia hati, sebagaimana Allah mengatakan bahwa ikhlas itu adalah rahasianya, dan ia memberikannya pada orang-orang yang ia cintai, sebagaimana Hadis Qudsi :

سالت جبريل عليه الاسلام عن الاخلاص, ما هو؟ قال: سالت رب العزة عن الاخلاص, ما هو؟ قال: سر من سري استودعته قلب من اجبته من عبادى.

Malaikat Jibril 'alaihissalam bertanya tentang ikhlas Alloh Pun menjawab ”Ikhlas merupakan salah satu rahasia-Ku yang Kutitipkan di dalam qalbu orang-orang yang Kucintai diantara hamba-hamba-Ku, tiada seorang Malaikatpun yang dapat melihatnya lalu mencatatnya, dan tiada satu  Syaitanpun yang melihatnya lalu merusaknya”.

Ikhlas diukur tinggi rendahnya berdasarkan kadar murninya. Ikhlas paling tinggi ialah apabila seseorang dapat melaksanakan amalnya sama berat dengan kadarnya, baik dilihat atau tidak dilihat oleh orang lain. Artinya terlepas dari pengaruh orang lain. Dan serendah-rendah ikhlas  ialah melaksanakan amal yang dilihat orang jauh berbeda dari melaksanakannya di hadapan manusia.

Keistimewaan ikhlas ialah merasa lezat bermunajat kepada Allah, pahala yang dilipatgandakan, bathin menjadi bersih, dan hati bercahaya karenanya, sehingga hati orang yang bersangkutan mau menerima pelajaran dan nasihat yang baik.

Hadis Nabi saw :

عن امير المؤمنين ابى حفصى عمر ابن الحطاب, قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: انما الاعمل بالنيات, و انما لكل امرء مانوا: فمن كان هجرته الى الله و رسوله فهجرته الى الله و رسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها, او امراة ينكها فهجرته الى ما هاجر اليه.

Artinya ;”Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafsin Umar ibn Khattab r.a, berkata; saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu dengan niat, dan setiap yang diperintahkan tergantung pada niatnya. Karena itu barangsiapa yang hijrah kepada keredhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya ialah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah untuk memperoleh keduniaan atau wanita yang bakal dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang telah dihijrahinya. (Muttafaqun ‘alaih).

Kata Innama al-A’malu bi an-Niyat mengandung makna penghargaan bagi amalan-amalan yang dilakukan oleh seorang mukallaf, atau sahnya suatu amal di sisi Allah adalah menurut niyat yang menggerakkan si mukallaf untuk mengerjakan amalannya itu.

Kata wa innama likullimri-in ma nawa, yakni tiap-tiap manusia, baik laki-laki ataupun perempuan memperoleh pahala dari apa yang diniyatkannya. Artinya seseorang yang mengerjakan sesuatu, menerima pahala amalnya menurut niyatnya. Dan pahala amalannya itu, diperoleh yang mengerjakannya sendiri.

Kata Fa man kanat hijratuhu ilallahi wa rasulihi fa hijratuhu ilallahi wa rasulihi, maksudnya barangsiapa berhijrah meninggalkan kampung halamannya karena mencari keredhaan Allah dan keredhaan rasul-Nya, maka ia akan memperoleh pahala dari pada hijrahnya itu.

Kata wa man kanat hijratuhu ila dun-ya yusibuha awimra-atin yankihuha fahijratuhu ila ma hajara ilaihi, yakni barangsiapa meninggalkan kampung halamannya pergi ke Madinah lantaran sesuatu maksud keduniaan yang ingin dicapainya, atau lantaran maksud dapat mengawini wanita yang lebih dahulu sudah berhijrah ke Madinah, maka dia tidak memperoleh pahala dari hijrahnya. Bahkan dia mungkin mendapat dosa lantaran dia berhijrah bukan dengan maksud mengikuti Allah dan rasul-Nya.

وعَنْ أبي عبد الرحمن عبد اللَّه بن عمر بن الخطاب رَضِيَ اللَّهُ عَنْهماُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يقول: <انطلق ثلاثة نفر ممن كان قبلكم حتى آواهم المبيت إِلَى غار فدخلوه، فانحدرت صخرة مِنْ الجبل فسدت عليهم الغار فقالوا: إنه لا ينجيكم مِنْ هذه الصخرة إلا أن تدعوا اللَّه بصالح أعمالكم. قال رجل مِنْهم: اللَّه كان لي أبوان شيخان كبيران، وكنت لا أغبق قبلهما أهلا ولا مالا، فنأى بي طلب الشجر يوما فلم أرح عليهما حتى ناما، فحلبت لهما غبوقهما فوجدتهما نائمين، فكرهت أن أوقظهما وأن أغبق قبلهما أهلا أو مالا، فلبثت والقدح عَلَى يدي أنتظر استيقاظهما حتى برق الفجر والصبية يتضاغون عند قدمي، فاستيقظا فشربا غبوقهما، اللَّهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك ففرج عنا ما نحن فيه مِنْ هذه الصخرة، فانفرجت شيئا لا يستطيعون الخروج. قال الآخر: اللَّهم كان لي ابنة عم كانت أحب الناس إلي. وفي رواية: كنت أحبها كأشد ما يحب الرجال النساء، فأردتها عَنْ نفسها فامتنعت مني حتى ألمت بها سنة مِنْ السنين فجاءتني فأعطيتها عشرين ومائة دينار عَلَى أن تخلي بيني وبين نفسها، ففعلت حتى إذا قدرت عليها. وفي رواية: فلما قعدت بين رجليها، قالت: تتق اللَّه ولا تفض الخاتم إلا بحقه، فانصرفت عَنْها وهي أحب الناس إلي وتركت الذهب الذي أعطيتها، اللَّهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت الصخرة غير أنهم لا يستطيعون الخروج مِنْها. وقال الثالث: اللَّهم استأجرت أجراء وأعطيتهم أجرهم غير رجل واحد ترك الذي له وذهب، فثمرت أجره حتى كثرت مِنْه الأموال فجاءني بعد حين فقال: يا عبد اللَّه أد إلي أجري. فقلت: كل ما ترى مِنْ أجرك مِنْ الإبل والبقر والغنم والرقيق. فقال: يا عبد اللَّه لا تستهزئ بي! فقلت: لا أستهزئ بك، فأخذه كله فاستاقه فلم يترك مِنْه شيئا، اللَّهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه، فانفرجت الصخرة فخرجوا يمشون> مُتَّفّقٌ عَلَيْهِ.

Dari Abu Abdur Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu sama berangkat bepergian, sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik.Seorang dari mereka itu berkata: “Ya Allah. Saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu – yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya sayapun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seseorang sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, Anak-anak kecil sama menangis kerana kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini.” Batu besar itu tiba- tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua.

Yang lain berkata: “Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak paman wanita – jadi sepupu wanita – yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia – dalam sebuah riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan orang- orang lelaki yang amat sangat kepada wanita – kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran. lapun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus duapuluh dinar padanya dengan syarat ia suka menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya suka dikumpuli dalam seketiduran. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya – dalam sebuah riwayat lain disebutkan: Setelah saya dapat duduk di antara kedua kakinya – sepupuku itu lalu berkata: “Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin – maksudnya cincin di sini adalah kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini – melainkan dengan haknya – yakni dengan perkawinan yang sah -, lalu sayapun meninggalkannya, sedangkan ia adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kita hadapi ini.” Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya.

Orang yang ketiga lalu berkata: “Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga ber-tambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini.” Batu besar itu lalu membuka lagi dan merekapun keluar dari gua itu. (Muttafaq ‘alaih)

اَلنَّاسُ كُلُّهُمْ هَلْكَى اِلاَّ الْعَالِمُوْنَ، وَالْعَالِمُوْنَ كُلُّهُمْ هَلْكَى اِلاَّ الْعَامِلُوْنَ، وَالْعَامِلُوْنَ كُلُّهُمْ هَلْكَى اِلَّا الْمُخْلِصُوْنَ، وَالْمُخْلِصُوْنَ فِىْ خَطَرٍ عَظِيْمٍ.

“Semua manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu. Semua orang berilmu akan binasa kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmunya akan binasa kecuali orang yang ikhlas. Mereka yang ikhlas masih dalam kekhawatiran yang agung.”

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,

إن العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل حتى يكون خالصا وصوابا فالخالص أن يكون لله والصواب أن يكون على السنة

Yang namanya amalan jika niatannya ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Sama halnya jika amalan tersebut benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima. Amalan tersebut barulah diterima jika ikhlas dan benar. Yang namanya ikhlas, berarti niatannya untuk menggapai ridha Allah saja. Sedangkan disebut benar jika sesuai dengan petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:72)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Selasa, 19 Februari 2019

Sejarah Penulisan Alqur'an

Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, ketika wahyu / al-Qur’an masih turun, al-Qur’an dicatat oleh penulis wahyu, tersimpan di dada-dada para sahabat yang menghafalnya, juga ditulis di tulang-tulang dan kulit.

Jam’ul Qur’an Periode Nabi.

A. Pengumpulan dalam dada.

Secara kodrati, bangsa arab memiliki daya hafal yang kuat. Hal itu dikarenakan sebagian besar dari mereka buta huruf atau tidak dapat membaca dan menulis. Sehingga dalam menulis berita, syair, atau silsilah keluarga mereka hanya menuliskannya dalam hati. Termasuk ketika mereka menerima ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Dalam kitab shahih Bukhari, dikemukakan bahwa terdapat tujuh Huffaz melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, dan Abu Darda.

B. Pengumpulan dalam bentuk tulisan

Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari para sahabat pilihan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman,Ali, Abban bin Sa‘id, Khalid bin Sa‘id, Khalid bin al-Walid, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Selain penulis wahyu, para sahabat yang lainnya pun ikut menulis ayat-ayat al-Qur’an.Kegiatan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi:

لَا تَكْتُبُوْاعَنِّي شَيْئًاإِلَّاالْقُرْاٰنَ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي سِوَى الْقُرْاٰنَ فَلْيَمْحُهُ.

Artinya :

“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku kecuali al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (H.R. Muslim)

Diantara faktor pendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi adalah :

1. Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi al-Qur’an tidak ditulis di tempat tertentu.

Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad, yaitu :

1. Riqa, atau lembaran lontar (daun yang dikeringkan) atau perkamen (kulit binatang).

2. Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas.

3. ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis.

4. Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta.

5. Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.

6. Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.

Para sahabat menyodorkan al-Qur’an kepada Rasulullah secara hafalan maupun tulisan. Tetapi tulisan-tulisan yang terkumpul pada jaman nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, dan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki yang lainnya.

Jam’ul Qur’an periode Abu Bakar Ash-Shidiq

Pasca wafatnya Rasulullah SAW, kekhalifahan bangsa Arab beralih kepada Abu Bakar. Pada masa kekhalifahannya, Abu Bakar dihadapkan oleh kemurtadan yang terjadi di kalangan bangsa Arab. Abu Bakar pun segera mengerahkan pasukan untuk menumpas kemurtadan. Perang itupun dikenal dengan sebutan Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 11 H/633 M.

Dalam perang tersebut, sekitar 70 orang Huffaz mati Syahid. Umar bin Khattab merasa khawatir atas peristiwa ini. Maka Umar mengadukan kekhawatirannya tersebut kepada Abu Bakar.

Kita akan ambil dari Shahih Bukhari sebuah riwayat yang menjelaskan awal kejadian pengumpulan al-Qur’an:

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ مِمَّنْ يَكْتُبُ الْوَحْيَ قَالَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ وَعِنْدَهُ عُمَرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِالنَّاسِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ فِي الْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنْ تَجْمَعُوهُ وَإِنِّي لَأَرَى أَنْ تَجْمَعَ الْقُرْآنَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ أَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفَنِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلَانِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ اللَّهُ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ مِنْ سُورَةِ التَّوْبَةِ آيَتَيْنِ مَعَ خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهُمَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ { لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ } إِلَى آخِرِهِمَا وَكَانَتْ الصُّحُفُ الَّتِي جُمِعَ فِيهَا الْقُرْآنُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ تَابَعَهُ عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ وَاللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ اللَّيْثُ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ وَقَالَ مُوسَى عَنْ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ وَتَابَعَهُ يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ وَقَالَ أَبُو ثَابِتٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ وَقَالَ مَعَ خُزَيْمَةَ أَوْ أَبِي خُزَيْمَةَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Ibnu As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu -salah seorang penulis wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang Yamamah, ketika itu Umar disampingnya. Abu Bakr berkata bahwasanya Umar mendatangiku dan mengatakan; "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau memerintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an." Abu Bakar berkata kepada Umar; "Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Umar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik." Ia terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar dan aku sependapat dengannya. Zaid berkata; Abu Bakar berkata; -pada waktu itu disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak berkata apa-apa.- "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama)." Zaid berkata; "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih berat bagiku dari pada (pengumpulan atau pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Abu Bakar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah baik." Aku pun terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur'an (yang ditulis) pada kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun. Yaitu ayat: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (9: 128-129). Dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada Hafshah putri Umar. Diriwiyatkan pula oleh 'Utsman bin 'Umar dan Al Laits dariYunus dari Ibnu Syihab; Al Laits berkata; Telah menceritakan kepadaku 'Abdur Rahman bin Khalid dari Ibnu Syihab; dia berkata; ada pada Abu Huzaimah Al Anshari. Sedang Musa berkata; Dari Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab; 'Ada pada Abu Khuzaimah.' Juga diriwayatkan oleh Ya'qub bin Ibrahim dari Bapaknya. Abu Tsabit berkata; Telah menceritakan kepada kamiIbrahim dia berkata; 'Ada pada Khuzaimah atau Abu Khuzaimah. (Shahih Bukhari, Hadits No. 4311).

Jati diri Zaid bin Tsabit begitu istimewa sehingga tak heran Abu Bakar dan Umar diberikan kelapangan dada untuk memberikan tugas tersebut pada Zaid bin Tsabit, yang mana sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini Zaid bin Tsabit dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus. Beberapa keistimewaan tersebut diantaranya adalah:

1- Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi prima)
2- Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar yang mengatakan bahwa, “Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif terhadap anda”.
3- Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid tinggal berdekatan dengan beliau.
4- Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis wahyu dan dalam satu kondisi tertentu pernah Zaid berada di antara beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an malaikat jibril bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan.
5- Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena memiliki vitalitas dan energi namun kompetensinya dalam kecerdasan spiritual dan intelektual

Seperti diceritakan diatas, pengumpulan al-Qur’an dilaksanakan oleh Zaid atas arahan khalifah. Waktu pengumpulan Zaid terhadap al-Qur’an sendiri sekitar 1 tahun. Hal ini dikarenakan Zaid bin Tsabit melakukannya dengan sangat hati-hati. Hal yang pertama kali Zaid lakukan adalah mengumumkan bahwa siapa saja yang memiliki berapapun ayat al-Qur’an, hendaklah diserahkan kepadanya. Ia tidak akan menerima satu ayat pun melainkan orang tersebut membawa bukti dan dua orang saksi yang menyatakan bahwa apa yang ia bawa adalah wahyu Qur’ani. Bukti pertama adalah naskah tertulis. Bukti kedua adalah hafalan, yaitu kesaksian orang-orang bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari Rasulullah SAW.

Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan :

1- Menulis hanya ayat al-Qur’an yang telah disepakati mutawatir riwayatnya.
2- Mencakup semua ayat al-Qur’an yang tidak mansukh al-Tilawah.
3- Susunan ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur’an sekarang ini.
4- Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana al-Qur’an itu diturunkan.
5- Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari al-Qur’an.

Senada dengan itu, al-Zarqani menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar ini adalah:

1- Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
2- Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh atau dinasakh bacaannya.
3- Seluruh ayat al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya.

Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para sahabat yang menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih mencakup ayat-ayat yang mansukh al-Tilawah, ayat-ayat yang termasuk kategori riwayat al-Ahad, catatan doa dan tulisan yang diklasifikasikan sebagai sebagai tafsir dan takwil.

Setelah semua ayat al-Qur’an terkumpul, kumpulan tersebut disimpan dalam kotak kulit yang disebut “Rab’ah”. Kemudian kumpulan tersebut diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah beliau wafat, kumpulan atau lembaran-lembaran tersebut berpidah tangan kepada Umar. Lalu setelah Umar wafat, maka lembaran-lembaran tersebut disimpan oleh putrinyasekaligus istri Rasulullah SAW yaitu Hafsah binti Umar.

Jam’ul Qur’an Periode Utsman

Penyebaran Islam bertambah luas, dan para Qurra‘ pun tersebar ke seluruh wilayah hingga ke arah utara Jazirah Arab sampai Azerbaijan dan Armenia. Setiap wilayah diutuslah seorang Qari. Maka bacaan al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda. Berasal dari suku kabilah dan provinsi yang beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan. Nabi Muhammad SAW sendiri memang telah mengajarkan membaca al-Qur’an berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa sulit untuk meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya perbedaan dalam penyebutan atau membaca al-Qur’an yang kemudian menimbulkan kerancuan dan perselisihan dalam masyarakat..

Ketika itu, orang yang mendengar bacaan al-Qur’an yang berbeda dengan bacaan yang ia gunakan menyalahkannya. Bahkan mereka saling mengafirkan. Hal ini membuat Huzaifah bin al-Yaman resah dan mengadukan hal tersebut kepada Utsman. Menanggapi hal tersebut, Utsman mengirim utusan kepada Hafsah dan meminjam mushaf Abu Bakar. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Keriga orang terakhir adalah orang Quraisy. Utsman memerintahkan agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dalam logat mereka.

Setelah mereka melakukan hal itu, Utsman mengembalikan mushaf kepada Hafsah. Mereka menyalinnya ke dalam beberapa mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an/mushaf lainnya dibakar. Mushaf tersebutlah yang dikenal dengan mushaf Utsmani.

Al-Zarqani sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah Usman adalah sebagai berikut:

1- Ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawwir berasal dari Rasulullah.
2- Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh atau dinasakh bacaannya.
3- Susunan menurut urutan wahyu.
4- Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada al-Qur’an seperti apa yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu.
5- Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf” dimana al-Qur’an diturunkan dengannya.

Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Senin, 18 Februari 2019

Fadhilah Ayat 128-129 Surat At-Taubah


حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ مِمَّنْ يَكْتُبُ الْوَحْيَ قَالَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ وَعِنْدَهُ عُمَرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِالنَّاسِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ فِي الْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنْ تَجْمَعُوهُ وَإِنِّي لَأَرَى أَنْ تَجْمَعَ الْقُرْآنَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ أَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفَنِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلَانِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ اللَّهُ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ مِنْ سُورَةِ التَّوْبَةِ آيَتَيْنِ مَعَ خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهُمَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ { لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ } إِلَى آخِرِهِمَا وَكَانَتْ الصُّحُفُ الَّتِي جُمِعَ فِيهَا الْقُرْآنُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ تَابَعَهُ عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ وَاللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ اللَّيْثُ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ وَقَالَ مُوسَى عَنْ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ وَتَابَعَهُ يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ وَقَالَ أَبُو ثَابِتٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ وَقَالَ مَعَ خُزَيْمَةَ أَوْ أَبِي خُزَيْمَةَ

Telah menceritakan kepada kamiAbu Al Yaman Telah mengabarkan kepada kamiSyu'aib dari Az Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadakuIbnu As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu -salah seorang penulis wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang Yamamah, ketika itu Umar disampingnya. Abu Bakr berkata bahwasanya Umar mendatangiku dan mengatakan; "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau memerintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an." Abu Bakar berkata kepada Umar; "Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Umar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik." Ia terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar dan aku sependapat dengannya. Zaid berkata; Abu Bakar berkata; -pada waktu itu disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak berkata apa-apa.- "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama)." Zaid berkata; "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih berat bagiku dari pada (pengumpulan atau pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Abu Bakar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah baik." Aku pun terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur'an (yang ditulis) pada kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun. Yaitu ayat: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (9: 128-129). Dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada Hafshah putri Umar. Diriwiyatkan pula oleh 'Utsman bin 'Umar dan Al Laits dariYunus dari Ibnu Syihab; Al Laits berkata; Telah menceritakan kepadaku 'Abdur Rahman bin Khalid dari Ibnu Syihab; dia berkata; ada pada Abu Huzaimah Al Anshari. Sedang Musa berkata; Dari Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab; 'Ada pada Abu Khuzaimah.' Juga diriwayatkan oleh Ya'qub bin Ibrahim dari Bapaknya. Abu Tsabit berkata; Telah menceritakan kepada kamiIbrahim dia berkata; 'Ada pada Khuzaimah atau Abu Khuzaimah.


من قرأ آية الحرص ( لقد جاءكم رسول من أنفسكم …..) مرة بعد صلاة الصبح حفظ قلبه و بعد صلاة الظهر (مرة) أحيا قلبه و ثبته في الحياة الدنيا و الآخرة و بعد صلاة العصر (مرة)لم يمت موت الفجأة و بعد صلاة المغرب (مرة) رزق الاستقامة و بعد صلاة العشاء (مرة) حفظ من كبار المعاصي و بعد الوتر (مرة) كفى أمر الرزق و خوف الخلق و بعد صلاة عيد الفطر(سبعا) حفظ من الصمم كل سنة ما داوم عليها و بعد عيد الأضحى (احد و عشرين مرة) أمنه الله من العمى الأكحل كل سنة قرأها و بعد صلاة الكسوف (ستة و ستون مرة) شفاه الله في بدنه من سائر الأمراض و بعد صلاة الاستسقاء (ثمانية و عشرين مرة) أستجيبت دعوته و بعد صلاة الفجر (مرة) لم يمت حتى يرى مقعده في الجنة أو يرى له و بعد الاستخارة النبوية كانت الملائكة في عونه و (مرة) بعد أي نافلة رزق حلاوة الإيمان و بعد صلاة الجمعة (تسعا و تسعين مرة) حفظ من أكل الحرام ما دام عليها و في يوم عرفة (ثلاث مائة و ستين مرة) أخذ الله بيده و كفاه هم الدنيا و الآخرة و في يوم عاشوراء( ألفا )تخدمه الأرواح و تأتيه بالأرزاق من الكون و في ليلة النصف من شعبان (خمسمائة) لم يسأل في قبره و من قرأها كل صباح(مرة) و كل مساء(مرة) حفظ من الآفات و لا يضره شيء ما داوم عليها و (مرة) عند النوم تحفظ من الآفات إلى الصباح و لا يضره شيء أبدا و من قرأها على أحد حفظ من كل سوء و من خاف من لص أو ظالم فليضع يده على رأسه و ليقرأها فيحفظ منه و(ثلاثا) عند طلوع الشمس و عند غروبها كفاه الله شر العالم و من قرأها (ثلاثا) عشية جمعة حفظ من السحر و لا ينفذ فيه سم و (سبعا) على أي علة شفيت كان شرب له كتابتها (سبعا) و إن قرئت (مائة) على عليل أعي الأطباء بصدق الطلب شفي من حينه و من دخل الخلوة و قرأها (ثلاثين ألفا) و يده على صدره لا يمرض أبدا و لا يفقد بصره و لا يتصرف فيه أحد من أهل الظاهر و لا من أهل الباطن و من قرأها (ستة و ستين) على ملسوع شفى بالله من حينه و من قرأها (مائة و احد عشر مرة) على عولة لم يفقدها أبدا ما دام يقرأها على العولة و من قرأها عند كل أكل لم يفقد النعمة و لو في فلاة و من قرأها على الحامل (مرة)(أربعين يوما) حفظت هي و ولدها من الآفات و يكون الولد صالحا و من يشاهد الخيالات في نومه قرأها عند النوم (إحدى عشر مرة) حفظه الله و إن وضع المسافر يده على رأسه و يقرأها على نفسه حفظه الله حتى يرجع لا يموت في سفره و حفظ من الأمراض و من قرأها في اليوم و الليلة و لو مرة لا يموت ما دام يقرأها و من ودع مسافرا بعد أن يقرأها عليه حفظه الله من الآفات و لا يموت حتى يرجع و من قرأها على مال حفظه الله و حرسه و من قرأها على دار أو بستان أو مدينة أو قرية أو حصن حفظ الله الجميع و من قرأها على قافلة أو سفينة حفظها الله و من قرأها في غزوة (ألف مرة) انهزمت الأعداء و رزق النصر و السلامة و إن قرأها (ستة و ستين مرة) على نار تفسد انطفأت بالله و من قرأها في خلوة (سبعين ألفا) تخدمه الأرواح و الجن المؤمنون طول حياته و يكون له الإقبال في قلوب الخلائق و تخضع له الجبابرة طوعا أو كرها و يعافي في جميع الأمراض و لا يصعب عليه مطلب و من أكثر قراءتها بلا عدد مشيا و قعودا كثر خيره و يحبه النبي صلى الله عليه و سلم و يراه في كل وقت و حين و من داوم عليها أربعين سنة زال الحجاب بينه و بين النبي صلى الله عليه و سلم و ينال ما ناله الصديقين


Fadilah membaca ayat Al-Hirsh (QS: At-Taubah : 128 - 129)


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُول مِنْ أَنْفُسكُمْ عَزِيز عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيص عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوف رَحِيم (*) فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِي اللَّه لَا إِلَه إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْت وَهُوَ رَبّ الْعَرْش الْعَظِيم

1. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Subuh maka Allah akan menjaga hatinya

2. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Dhuhur maka Allah akan menghidupkan dan menetapkan hatinya (dalam keimanan) di dunia maupun di akhirat

3. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat 'Ashar maka dia tidak akan mati seperti matinya orang kaget

4. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Maghrib maka dia akan diberi istiqomah (dalam beribadah) oleh Allah SWT

5. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat 'Isya maka Allah akan menjaga dirinya dari penguasa lalim

6. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Witir maka Allah akan mencukupi perkara rizqinya dan ketakutannya terhadap makhluq

7. Barang siapa membaca ayat ini tujuh kali setelah sholat 'Iedul Fitri maka Allah akan menjaganya / menjauhkannya dari bencana sepanjang tahun

8. Barang siapa membaca ayat ini dua puluh satu kali setelah sholat 'Iedul Adha maka Allah akan menjauhkannya dari kebutaan sepanjang tahun bagi yang membacanya

9. Barang siapa membaca ayat ini enam puluh enam kali setelah sholat gerhana matahari maka Allah akan menyembuhkannya dari segala penyakit yang ada di tubuh

10. Barang siapa membaca ayat ini dua puluh delapan kali setelah sholat Istisqo maka Allah akan mengabulkan doa doanya

11. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat fajar maka dia tidak akan mati kecuali sehingga melihat tempatnya di surga atau dia melihat surga

12. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat Istikhoroh maka akan senantiasa dibantu oleh Malaikat

13. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setelah sholat sunah maka Allah akan emberina rizqi kepadanya bisa merasakan manisnya iman

14. Barang siapa membaca ayat ini tujuh puluh tujuh kali setelah sholat Jum'ah maka Allah akan menjaganya dari makan makanan haram

14. Barang siapa membaca ayat ini tiga ratus enam puluh kali pada hari 'Arafah maka Allah akan menuntunnya dan mencukupinya dari kesusahan dunia akhirat

15. Barang siapa membaca ayat ini seribu kali pada hari 'Asyura maka akan dilayani oleh para Malaikat dan Allah akan memberi rizqi bqginya dari segala arah

16. Barang siapa membaca ayat ini lima ratus kali pada malam Nishfu Sya'ban maka dia tidak akan ditanya oleh Malaikat Munkar Nakir

17. Barang siapa membaca ayat ini satu kali pada pagi dan sore hari maka Allah akan menjaganya dari segala mara bahaya dan tidak akan ada yang dapat mencelakainya selamanya

18. Barang siapa membaca ayat ini satu kali setiap akan tidur maka Allah akan menjaganya sampai pagi dan tidak akan ada yang dapat mencelakainya selamanya

19. Barang siapa membaca ayat ini untuk seseorang maka Allah akan menaga orang itu dari segala keburukan

20. Barang siapa membaca ayat ini dengan meletakkan tangannya di kepala maka Allah akan menaga orang itu dari Pencuri dan orang dholim

21. Barang siapa membaca ayat ini tiga kali ketika matahari terbit dan ketika terbenam maka Allah akan menjauhkannya dari buruknya ilmu

22. Barang siapa membaca ayat ini tiga kali pada sore hari ketika hari jum'ah maka Allah akan menjaganya dari sihir dan binatang berbisa

23. Barang siapa membaca ayat ini tujuh kali ditulis untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan cara meminum air rendamannya

24. Barang siapa membaca ayat ini seratus kali untuk orang sakit dengan niat yang sungguh sungguh dan benar maka akan sembuh seketika

25. Barang siapa berkholwat dan membaca ayat ini tiga puluh ribu kali dengan meletakkan tangannya di dada maka dia tidak akan sakit selamanya, tidak akan kelihatan penglihatannya, tidak akan ada yang bisa mengganggunya baik itu ahli dhohir maupun ahli batin

26. Barang siapa membaca ayat ini enam puluh enam kali kepada orang yang terkena bisa binatang maka akan sembuh seketika

27. Barang siapa membaca ayat ini seratus sebelas kali kepada orang yang menangis / meratap maka tidak akan kembali tangisannya / ratapannya selama dia membacanya

28. Barang siapa membaca ayat ini ketika makan maka tidak akan hilang nikmatnya walaupun tengah berada di padang pasir

29. Barang siapa membaca ayat ini sekali selama empat puluh hari kepada orang hamil maka akan dijaga ibu dan kandungannya, dan setelah lahir akan menjadi anak yang sholih

30. Barang siapa membaca ayat ini sebelas kali ketika mimpi buruk maka Allah akan menjaganya

31. Apabila seorang musafir meletakkan tangannya di kepala lalu membaca ayat ini maka Allah akan menjaganya datri segala macam keburukan sampai dia pulang dan dijauhkan dari segala macam penyakit

32. Barang siapa membaca ayat ini siang dan malam walaupun hanya sekali maka dia tidak akan mati selgi dia tetap membacanya

33. Barang siapa setelah membaca ayat ini mengantar musafir maka musafir tersebut akan dijaga dari segala macam bahaya dan dia tidak akan mati sehingga pulang

34. Barang siapa membaca ayat ini untuk harta benda maka Allah akan menjaga harta tersebut

35. Barang siapa membaca ayat ini untuk rumah, atau kebun, atau desa, atau kota, atau benteng maka Allah akan menjaga semuanya

36. Barang siapa membacanya untuk kafilah atau perahu / kapal laut maka Allah akan menjaganya

37. Barang siapa membaca ayat ini di tengah peperangan maka musuh akan lari dan diberi kemenangan dan keselamatan

38. Barang siapa membaca ayat ini enam puluh enam kali kepada api yang berkobar maka api tersebut akan padam dengan idzin Allah SWT

39. Barang siapa membaca ayat ini tujuh puluh ribu kali ketika kholwat maka akan mendapat khodam malaikat dan jin mukmin selama hidupnya, diterima dihati semua makhluk,  semua akan tunduk kepadanya, disembuhkan segala penyakitnya, dan diberi kemudahan segala urusannya

40. Barang siapa memperbanyak membaca ayat ini tanpa dihitung, baik ketika berjalan maupun duduk makan bertambah tambah kebaikannya, dicintai baginda Nabi SAW, dapat melihat baginda Nabi SAW setiap saat

41. Barang siapa selalu membaca ayat ini selama empat puluh tahun maka hilanglah hijab antara dia dan baginda Nabi SAW, dan memperoleh derajat sebagaimana yang diperoleh para shiddiiqiin

Minggu, 17 Februari 2019

Doa Kafarotul Majlis

Sebuah majelis, apalagi dengan jamaah yang sangat ramai, bukan jaminan seseorang senantiasa luput dari kesalahan kendatipun forum yang diikuti adalah positif seperti pengajian, kegiatan belajar-mengajar, shalawatan, atau sejenisnya. Kesalahan tersebut bisa berupa membual, berbohong, pamer, merasa saleh ketimbang lainnya, meremehkan orang lain, dan sebagainya.

Perilaku negatif tersebut sangat tidak dianjurkan. Namun, karena watak manusia yang serng lupa dan lalai, kekhilafan pun tetap saja kerap terjadi. Karena itu, setiap akan meninggalkan sebuah majelis, kita dianjurkan membaca:

سُبْحانَكَ اللَّهُمَّ وبِحَمْدِكَ أشْهَدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ أنْتَ أسْتَغْفِرُكَ وأتُوبُ إِلَيْكَ


Subhânakallâhumma wa bihamdika asyhadu an-lâilâha illâ anta astaghfiruka wa atûbu ilaik

“Maha Suci Engkau, ya Allah. Segala sanjungan untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

Disebutkan dalam hadits,

عَنْ أَبِى بَرْزَةَ الأَسْلَمِىِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ بِأَخَرَةٍ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ مِنَ الْمَجْلِسِ « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ ». فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتَقُولُ قَوْلاً مَا كُنْتَ تَقُولُهُ فِيمَا مَضَى. قَالَ « كَفَّارَةٌ لِمَا يَكُونُ فِى الْمَجْلِسِ ».

Dari Abu Barzah Al-Aslami, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di akhir majelis jika beliau hendak berdiri meninggalkan majelis, “Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau dan aku meminta ampunan dan bertaubat pada-Mu).”

Ada seseorang yang berkata pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, engkau mengucapkan suatu perkataan selama hidupmu.” Beliau bersabda, “Doa itu sebagai penambal kesalahan yang dilakukan dalam majelis.” (HR. Abu Daud, no. 4857;  Ahmad, 4: 425. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Maksudnya, doa itu adalah penambal kesalahan berupa kata-kata laghwu atau perkataan yang sia-sia.

Doa itu diucapkan ketika akan berpisah atau akan selesai dari suatu majelis. Majelis ini tidak mesti dengan duduk-duduk. Pokoknya setiap pembicaraan atau obrolan biasa apalagi diyakini ada perkataan sia-sia yang terucap, maka doa kafaratul majelis sangat dianjurkan untuk dibaca.

Jika suatu majelis atau tempat obrolan yang membicarakan hal akhirat maupun hal dunia, lantas di dalamnya tidak terdapat dzikir pada Allah, sungguh sangat merugi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَامِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً

“Setiap kaum yang bangkit dari majelis yang tidak ada dzikir pada Allah, maka selesainya majelis itu seperti bangkai keledai dan hanya menjadi penyesalan pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 4855; Ahmad, 2: 389. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Tentu kita tidak mau menjadi orang yang merugi dalam setiap waktu kita. Karenanya, jadikanlah akhir majelis dengan istighfar dan bacaan doa kafaratul majelis.

Setiap pertemuan bersama atau katakanlah belajar bersama, pasti mempunyai niat dan tujuan yang sudah ditentukan. Dalam suatu pertemuan itulah terkadang biasanya ada beberapa orang yang berselisih paham atau sering ‘nggrundel’, atau ada beberapa perbuatan yang kurang terpuji yang dilakukannya.

Sehingga menyebabkan suasana yang seharusnya membutuhkan rasa tentram, fokus, dan ramah tamah serta serius berubah menjadi ramai dan penuh dengan keributan. Bahkan bisa jadi sampai ada yang mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang kurang terpuji pada teman lainnya.

Nah, kegunaan dari doa penutup majelis ini, sebenarnya tidak lain adalah sebagai bentuk pujian dan permohonan maaf diri kita masing-masing yang ada dalam majelis atau pertemuan tersebut kepada Allah SWT., agar hal-hal yang tidak baik, dan tidak berguna dalam suatu pertemuan tersebut mendapatkan ampunan, dan tidak terulang kembali pada pertemuan berikutnya. Dimanapun dan kapanpun.

Di samping itu, juga sebagai bentuk penghormatan kepada Allah SWT., Dzat Yang Maha Suci dan Luas Kasih Sayang-nya kepada diri kita umat manusia. Dengan membaca doa tersebut, kita semua tentu berharap agar ilmu atau pertemuan yang telah kita adakan, bisa menjadi lebih bermanfaat, bisa diamalkan dan tetap berdasarkan iman yang kuat pula. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin..

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ

“Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim).

Dari Abu Madinah Ad-Darimi, ia berkata,

كَانَ الرَّجُلانِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَيَا لَمْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَقْرَأَ أَحَدُهُمَا عَلَى الآخَرِ : ” وَالْعَصْرِ إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ” ، ثُمَّ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمَا عَلَى الآخَرِ

“Jika dua orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bertemu, maka mereka tidak akan berpisah sampai salah satu di antara keduanya membaca ‘wal ‘ashr innal insana lafii khusr …’. Lalu salah satu dari keduanya saling mengucapkan salam untuk lainnya.” (HR. Abu Daud dalam Az-Zuhd, no. 417; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, 5: 215; Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman)

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum selalu istiqomah membaca surat Al Ashr ketika hendak berpisah dari suatu majelis. Amalan ini bukanlah bid’ah yang dibuat-buat oleh para sahabat. Sudah barang tentu mereka melakukannya karena ada petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah sabda, praktik atau penetepan dari beliau.

Abdullah bin Mas’ud dan Imam Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَلإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat yang terbaik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.”(HR. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda